.


Kamis, 26 Januari 2012

Rangkaian Kolom Kluster II, 2012: Indikator dan Ukuran Kewirausahaan


Indikator dan Ukuran Kewirausahaan

            Tidak adanya definisi tunggal yang dapat diterima secara umum mengenai konsep kewirausahaan tampaknya telah menciptakan suatu konsekuensi tidak adanya suatu indikator yang dapat diterima secara umum dan pula dalam hal pengukurannya. Bahkan Storey (1991) mengungkapkan bahwa dalam mengoperasionalkan kewirausahaan untuk pengukuran empiris pun sangat sulit untuk dilakukan. Derajat kesulitan atau kerumitan tersebut secara eksponensial akan meningkat manakala perbandingan dilakukan secara lintas negara.
            Dengan karakteristiknya yang seperti demikian, ternyata banyak analis maupun pakar ekonomi yang telah mengakui bahwa kewirausahaan merupakan penggerak penting dalam pertumbuhan ekonomi, inovasi, penyerapan angkatan kerja, dan produktivitas. Sejak pertengahan 1990-an pengakuan para pakar ekonomi dan para analis atas konsep kewirausahaan cenderung semakin meningkat. Hal ini diindikasikan oleh adanya kesepakatan dan komitmen mereka untuk lebih meningkatkan kewirausahaan, atau paling tidak, menyempurnakan lingkungan yang berkenaan dengan wirausaha (Lundstrom dan Stevenson, 2005; Hart, 2003; OECD, 2007) melalui pembentukan berbagai kebijakan yang dapat memperbaiki lingkungan yang berkenaan dengan kegiatan wirausaha.
Kebijakan tersebut diantaranya adalah menghilangkan hambatan-hambatan perkembangannya, atau melalui tindakan-tindakan yang diarahkan langsung pada subyeknya, seperti subsidi. Namun demikian, untuk merumuskan dan membentuk kebijakan-kebijakan tersebut masih dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Secara umum, rujukan mengenai kewirausahaan lebih cenderung untuk perusahaan  berskala kecil dan menengah, atau bahkan untuk sejumlah besar pekerja mandiri atau self-employed (Hoffman, 2007).
Dalam ketiadaan definisi kewirausahaan yang dapat diterima secara umum, serta juga tidak adanya indikator-indikator yang secara internasional dapat diperbandingkan, maka para pengambil keputusan tidak memiliki acuan yang memadai dalam membangun kebijakan-kebijakannya, terutama manakala akan mempelajarinya dari praktik-praktik terbaik kewirausahaan dalam tataran internasional.
Adanya perbedaan konteks dan bentuk-bentuk organisasional yang melibatkan kewirausahaan menyebabkan kurangnya sarana untuk mengukur indikator-indikator yang dapat menggambarkan aktivitas kewirausahaan. Ukuran tentang adanya perubahan dalam jumlah pekerja mandiri (self-employed) umumnya hanya mencerminkan adanya perubahan yang terjadi dalam diri individual yang memulai suatu bisnis baru. Perubahan seperti ini sangat kurang tercermin ke dalam kelompok perusahaan dengan skala yang lebih besar sehingga menggunakan “pekerja mandiri” sebagai tolok ukur aktivitas kewirausahaan memunculkan suatu kritik, yakni apa yang dimaksud “baru” dan “beda” bagi seseorang pada tataran industri atau pasar lokal, bisa tidak begitu beda pada tataran industri atau pasar internasional, regional atau global. Bahkan untuk negara maju seperti Amerika Serikat, hanya sebagian kecil dari yang memulai usaha baru yang benar-benar inovatif. Pengukuran pekerja mandiri (self-employed) masih banyak digunakan untuk menggambarkan derajat aktivitas kewirausahaan, umumnya dikarenakan banyak dipakai di banyak negara serta digunakan untuk mempermudah perbandingan antar negara (Blau, 1987).
Audretsch, Carree, J. van Stel dan Thurik (2002) dan Carree, J. van Stel, Thurik dan Wennekers (2001) menggunakan tingkat kepemilikan bisnis untuk menggambarkan derajat aktivitas kewirausahaan. Pengukuran ini ditetapkan sebagai jumlah pemilik bisnis (dalam semua sektor kecuali pertanian) dibagi oleh total angkatan kerja. Terdapat sejumlah kualifikasi penting yang perlu memperoleh penekanan lebih sewaktu menggunakan dan menginterpretasikan alat ukur ini.
Pertama, ukuran ini menyatukan seluruh jenis aktivitas yang sangat heterogen, lintas suatu spektrum dan konteks yang luas, ke dalam sebuah ukuran tersendiri. Pengukuran ini memperlakukan bahwa seluruh bisnis adalah sama. Lagi pula, semua bisnis diukur secara identik, meskipun secara jelas beberapa memiliki suatu dampak yang lebih besar dibanding yang lainnya.
Kedua, alat ukur ini tidak disusun untuk mengukur besaran atau dampak. Lagipula, seluruh bisnis diukur secara identik, meskipun secara jelas beberapa memiliki suatu dampak besar dibanding yang lainnya.
Ketiga, alat ukur ini disusun untuk mengukur bisnis yang ada dan bukan yang baru memulai. Lagipula, ukuran ini memiliki dua keunggulan, yakni: yang pertama, alat ukur ini merupakan representasi yang berguna untuk mengukur kewirausahaan (Storey, 1991). Kedua, alat ukur ini dapat dibandingkan lintas negara dan dapat dilakukan setiap saat.
Pengukuran lain tentang kewirausahaan lebih memfokuskan pada perubahan yang sesuai dengan aktivitas inovatif bagi sebuah industri. Pengukuran seperti itu mencakup indikator aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D), jumlah penemuan yang dipatenkan, serta inovasi produk baru di pasar (Audretsch, 1995). Pengukuran ini memiliki keunggulan yang hanya mencakup perusahaan yang benar-benar menghasilkan perubahan pada tingkat industri, yaitu pada tingkatan di atas sebuah perusahaan (beyond the entrepreneur).
Persoalan yang mungkin timbul dalam mengukur kewirausahaan dengan menggunakan indikator “produk baru” adalah berkenaan dengan persoalan kebaruannya (newness). Kebaruan suatu produk umumnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu baru menurut produsen, baru menurut konsumen, dan baru menurut keduanya atau baru bagi dunia (new to the world).
Konsep kebaruan hasil invensi menurut sudut pandang konsumen ini secara lebih jelas dikemukakan oleh Robertson, dalam Hisrich dan Peters (1978), yang menyatakan bahwa kebaruan suatu produk hasil inovasi dapat diukur oleh sejauhmana perubahan perilaku atau pembelajaran baru diperlukan masyarakat untuk dapat menggunakan produk baru tersebut. Dengan melandaskan pada gagasan ini maka dapat diklasifikasikan adanya tiga kelompok inovasi, yaitu: (a) inovasi yang terus menerus (kontinyu) atau inovasi yang menghasilkan perubahan yang paling sedikit dalam pola-pola konsumsi masyarakat konsumen atas suatu produk baru; (b) inovasi yang terus menerus secara dinamis atau inovasi yang menciptakan beberapa pengaruh terhadap  pola-pola konsumsi  yang ada; dan (c) inovasi yang diskontinyu atau inovasi yang mampu menciptakan pola-pola konsumsi baru serta penciptaan produk yang sebelumnya tidak dikenal. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebaruan (newness) hasil suatu invensi (penemuan produk baru) dengan jelas dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan pengukuran mengenai konsep kewirausahaan ditinjau dari perspektif ke-inovasiannya.
Pengukuran lainnya mengenai aktivitas kewirausahaan, yaitu yang semata-mata memfokuskan pada kriteria pertumbuhan. Perusahaan yang menunjukkan pertumbuhan yang tinggi selama waktu yang panjang diklasifikasikan sebagai gazelles. Secara lebih jelas Petersen dan Ahmad (2007) memberikan definisi tentang istilah Gazelles tersebut, adalah sebagai seluruh perusahaan yang berusia di bawah 5 tahun dengan rata-rata pertumbuhan tahunan lebih dari 20%, selama periode tiga tahun. Pengukuran jumlah gazelles ini dapat mencerminkan kewirausahaan (Birch (1999). Pengukuran kewirausahaan melalui gazelles tersebut perlu memenuhi syarat untuk fokusnya yang sempit tidak saja hanya pada satu unit observasi (perusahaan), tetapi juga pada satu pengukuran perubahan, yaitu pertumbuhan.
Dengan mengikuti acuan hasil penelitian The Global Entrepreneurship Monitor (GEM), Lundstrom dan Stevenson (2001) mendefinisikan dan mengukur kewirausahaan sebagai “sebagian besar masyarakat yang berada pada tahap pra-bisnis, tahap memulai bisnis (start-up business), dan tahap awal bisnis. Definisi ini cenderung ke arah wirausaha yang baru memulai bisnis karena mereka merupakan sasaran dari langkah-langkah kebijakan yang berkenaan dengan kewirausahaan. Suatu keterbatasan yang nyata dari pendekatan ini adalah membatasi aktivitas kewirausahaan pada proses organisasi memulai bisnisnya. Sementara suatu manifestasi perubahan dan inovasi tidak diragukan lagi tercerminkan oleh proses bisnis baru, pada saat yang sama terdapat sejumlah besar perubahan dan inovasi yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada dari berbagai ukuran yang memiliki manajemen yang profesional.
Dengan uraian di atas menjadi jelas bahwa walaupun kewirausahaan merupakan suatu aktivitas yang mencakup rentangan yang luas dan heterogen dari organisasi, akan tetapi sebetulnya banyak sekali definisi konvensional, indikator, dan ukuran untuk menggambarkan kewirausahaan sebagai suatu kegiatan yang homogen.

Jakarta, 27 Januari 2012
                                                                Faisal Afiff



0 komentar:

Posting Komentar