Untuk membedakan sebuah negara
menganut sistem ekonomi kapitalisme atau sosialisme, maka indikator kasat mata
yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak
swasta atau negara menguasai sumber daya
ekonomi. Jika sumber daya ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka
sistem ekonomi negara tersebut menganut sistem kapitalisme. Sebaliknya, jika
sumber daya ekonomi lebih banyak dikuasi dan dikendalikan oleh negara, maka
sistem ekonomi negara tersebut lebih bercorak sosialisme. Memasuki periode
akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, sistem ekonomi di Indonesia terus
mengalami pergeseran dengan digulirkannya berbagai kebijakan deregulasi dan
privatisasi oleh pemerintah. Menyimak rangkaian kebijakan tersebut, maka dapat
dinilai bahwa dewasa ini tengah terjadi perubahan mainstream sistem ekonomi di Indonesia. Isu-isu ekonomi politik
agaknya banyak dibawa ke arah liberalisasi, baik dari sisi kepemilikan dan
alokasi-relokasi sumber daya ekonomi, maupun yang berkenaan dengan pengendalian sektor riil, sektor keuangan, serta sektor perdagangan.
Sektor swasta nyatanya
berperan lebih besar karena
pemerintah dianggap belum berhasil dalam mengalokasikan atau merelokasikan
sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi bangsa, baik
yang berasal dari eksploitasi sumber daya
alam (flora, fauna, dan fosil), pendapatan pajak maupun hutang luar negeri. Ciri lain bahwa sistem ekonomi Indonesia tengah
mengarah ke sistem liberal, yakni semakin kecilnya
peran pemerintah dalam bidang ekonomi termasuk didalamnya adalah kepemilikan
sumber daya ekonomi dalam bentuk aset-aset produksi. Sejalan dengan dijualnya
berbagai saham BUMN (state owned company)
kepada para investor swasta, baik swasta nasional maupun swasta asing. Argumen tersebut semakin diperkuat
dengan adanya keterlibatan pemerintah Indonesia dalam perjanjian umum tarif dan
perdagangan (GATT) yang kemudian ditingkatkan kedalam World Trade Organisation
(WTO). Sementara kerangka aturan multilateral yang berkenaan
dengan tarif dan jasa, termasuk jasa pendidikan tertuang dalam General Agreement on Tariff and Services (GATS). Keterlibatan Indonesia
dalam perjanjian tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen
Indonesia untuk secara lebih intensif masuk dalam kancah liberalisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
Posisi Indonesia dalam
konstelasi politik-ekonomi global telah mendorong prioritas kebijakan
pembangunan ekonomi diatas bidang yang lain. Sehingga terjadi pergeseran fokus
kebijakan dari maksimalisasi jaring pengaman sosial (social safety net) ke
arah maksimalisasi jaring pengaman modal atau investasi (capital safety net) yang
pada gilirannya, suka atau tidak suka, akan berdampak pada perluasan
kesempatan, pemerataan dan muatan pendidikan nasional di Indonesia, baik formal
maupun non formal, di tingkat dasar,
menengah maupun tinggi. Atau secara luas
lebih dikenal dengan formula: input, proses dan output serta outcome pendidikan. Dalam konteks pendidikan
di Indonesia, dewasa ini penyelenggaraan pendidikan dijalankan
oleh dua pelaku utama, di satu sisi oleh pihak negara, dan di sisi yang lain
oleh partisipasi masyarakat dalam bentuk keterlibatan pendidikan swasta, baik pihak swasta nasional maupun
asing. Dalam perkembangan lebih lanjut, sejalan dengan otonomi daerah, maka
otonomi pendidikan juga diberlakukan dalam semua strata pendidikan. Khusus
dalam konteks pendidikan tinggi, maka pelimpahan penyelenggaraan beberapa
perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah mapan di
wilayah perkotaan di serahkan kepada
partisipasi masyarakat atau pihak swasta (PTS).
Begitu juga sebaliknya, secara bertahap
pemerintah telah dan akan mengambil alih penyelenggaraan beberapa perguruan
tinggi swasta yang sudah mapan di daerah agar lebih mampu
berkembang. Melalui kebijakan deregulasi dan privatisasi
sektor pendidikan tinggi, pemerintah membuka perluasan kesempatan dan
pemerataan pendidikan dalam kerangka
penguatan social safety net bidang
pendidikan tinggi. Namun demikian disayangkan, pada tingkat implementasi upaya pemerintah tersebut belum berjalan dengan baik sebagaimana yang
diharapkan, sementara pihak swasta lebih sigap melakukan penetrasi pendidikan tinggi, yaitu dengan memperluas jaringan penyelenggaraan pendidikan tinggi ke pelbagai kota
dan pelosok daerah yang lebih berorientasi bisnis. Mau tidak mau, perubahan tata kelola pendidikan tinggi pada akhirnya akan lebih
berorientasi pada pelayanan pasar dengan etos kemampuan atau daya beli dan kepuasan mahasiswa selaku konsumen. Tak terkecuali pendidikan tinggi di bidang
manajemen dan bisnis, baik yang diselenggarakn oleh pihak negara maupun
pihak swasta dan kedua pihak ini tidak luput dari pengaruh globalisasi
pendidikan yang lebih mensyaratkan, yakni:
Pertama, kesiapan mahasiswa
agar dapat berkinerja optimal dan percaya diri dalam kompetisi bisnis global. Kedua, implementasi berbagai temuan
riset yang terkait dengan trend dan best practices manajemen global. Ketiga, peningkatan
laverage melalui pemanfaatan aspek lintas budaya dan praktek-praktek manajemen
dan bisnis sehingga tercipta inovasi dan reengineering
yang berkelanjutan. Dengan demikian,
arah dan kebijakan otonomi pendidikan tinggi di bidang manajemen dan bisnis di Indonesia
perlu berorientasi ke pasar dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi di mata para
mahasiswa, staf pimpinan, dosen dan karyawan selaku stakeholder internal serta para alumni, orang tua, para
wirausahawan dan pengusaha, pemerintah
dan para pelaku publik lainnya selaku stakeholder
eksternal.
Sebagaimana telah banyak
disinyalir, globalisasi merupakan gejala mondial yang ditandai oleh aktivitas
bisnis dan perdagangan antar negara yang semakin intensif. Globalisasi juga
telah memicu knoweldge-driven economy,
yang menumbuhkan permintaan akan sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan
berketerampilan tinggi, untuk bekerja di sektor industri riil dan jasa. Globalisasi ekonomi telah mendorong kompetisi
antar bangsa, yang menuntut setiap negara memiliki keunggulan dan daya saing
yang kuat. Adapun keunggulan dan daya saing negara dapat dibangun dengan baik
bila ditopang oleh perguruan tinggi yang
berkualitas dan berdaya guna, yang mampu melahirkan alumni yang berkualitas,
bertalenta dan kompeten. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi telah berhasil memainkan
peran sentral dalam membangun masyarakat berpengetahuan, yang tercermin pada
lahirnya lapisan kelas menengah terdidik dan kaum profesional yang menjadi
kekuatan penentu kemajuan ekonomi suatu bangsa atau negara. Mereka merupakan
elemen pokok dalam menyokong ekonomi berbasis pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah menjadi investasi
modal yang amat penting dan sekaligus merupakan faktor determinan dalam proses
produksi. Dalam hal ini aktivitas ekonomi global lebih bersifat padat
pengetahuan yang ingin semakin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap
sumber daya alam. Sejalan dengan hal itu teknologi komunikasi dan informasi (ICT)
berperan dominan dalam mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan global. Dengan
sendirinya peran perguruan tinggi menjadi penting sebagai basis produksi,
diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. Perguruan
tinggi berperan strategis dalam konteks peningkatan kapasitas dan keterampilan
konseptual, teknikal serta hubungan
relasional manusia.
Bangsa yang mempunyai banyak
manusia terdidik, berpengetahuan, dan menguasai teknologi pasti memiliki daya
saing kuat dalam kompetisi ekonomi global. Daya saing nasional amat ditentukan
oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan,
melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program riset dan pengembangan untuk
melahirkan berbagai penemuan baru. Dengan kata lain, kemakmuran ekonomi jangka
panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuan dalam kapasitas inovasi,
pendidikan, riset dan layanan masyarakat. Untuk itu hubungan segitiga antara
pendidikan tinggi, dunia industri, dan masyarakat (triple helix of university-industry-society) menjadi tak terelakan,
disamping universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi
teknologi, juga menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri.
Dengan demikian perguruan tinggi dapat melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan yang dapat memberi manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan dana untuk menopang
kegiatan penelitian dan pengembangan di universitas. Sangat jelas, dinamika
hubungan segitiga ini akan memberi sumbangan besar pada
peningkatan produktivitas nasional. Dalam konteks demikian, dukungan finansial
pemerintah amat vital guna mengembangkan perguruan tinggi menjadi industri
pendidikan yang kuat. Ada empat pertimbangan sosial ekonomi yang penting, yakni: Pertama, investasi pada industri pendidikan tinggi akan melahirkan manfaat
eksternal jangka panjang yang menjadi faktor krusial pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada ilmu pengetahuan; Kedua, investasi pada sektor pendidikan tinggi akan memberi
manfaat sosial politik karena akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar,
yang dapat memperkuat kohesi sosial dan menetapkan dasar-dasar demokrasi; Ketiga, pendidikan tinggi juga
memainkan peran penting dalam menopang pendidikan dasar dan menengah, sekaligus
menyokong suatu economic externalities
di kedua jenjang pendidikan itu; dan Keempat, pengembangan teknologi dan kegiatan penelitian dasar dan terapan akan
membawa keuntungan jangka panjang guna mencapai keunggulan bangsa. Dengan
demikian, tugas utama pemerintah adalah mengembangkan pendidikan tinggi bermutu
dan unggul yang mampu memasok pelbagai tenaga ahli yang diperlukan di bergbagai
bidang kehidupan. Untuk itu, investasi dalam pengembangan pendidikan tinggi
harus difokuskan pada, yakni: (1) pembangunan
sarana-prasarana dan penyediaan fasilitas pendidikan, seperti laboratorium,
perpustakaan dan penerbitan; (2) penguatan struktur kelembagaan termasuk
penataan institusi penelitian dan pengembangan; (3) peningkatan perencanaan
akademik; (4) peningkatan standar mutu akademik (dosen dan peneliti); (5)
memperkuat landasan keilmuan; (6) peningkatan kerjasama perguruan tinggi dengan
dunia industri; dan (7) mengefektifkan peran alumni sebagai penghubung antara
kepentingan perguruan tinggi dan dunia industri. Ketujuh faktor keberhasilan ini penting diperhatikan agar para
akademisi dapat lebih optimal mengemban tugas-tugas akademik, mendalami bidang
keilmuan yang menjadi minatnya, dan melakukan riset-riset ilmiah yang
berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dukungan
fasilitas yang memadai, mereka akan tergoda untuk hengkang (brain-drain) ke negara-negara maju baik
di Asia, Australia, Uni Eropa, maupun Amerika Serikat. Di negara-negara ini
mereka akan menemukan lingkungan akademik yang kondusif guna menekuni profesi
mereka sebagai akademisi dan peneliti. Dengan demikian, bahwa penyelenggaraan
pendidikan tinggi ternyata tidak dapat
lepas dari aspek manajemen dan bisnis
serta pelbagai faktor lingkungan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi (PEST) .
Meskipun belum terbukti secara
ilmiah, namun secara empiris dapat
disimak bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia masih dihinggapi mitos bahwa
bersekolah, atau berpendidikan menjadi cara utama, atau bahkan jalan
satu-satunya untuk mendapatkan potensi dalam meraih kesuksesan. Mitos yang berkembang di masyarakat masih
dipengaruhi sikap apriori, yakni jika ingin menjadi seseorang yang berhasil dalam pemupukan kepemilikan materi, maka mereka harus
mencapai pendidikan yang tinggi. Sikap masyarakat yang demikian ini, jika
dikaji oleh sekelompok pengusaha atau wirausahawan yang jeli dapat berarti suatu peluang bisnis. Dengan demikian, adanya tuntutan masyarakat akan kehadiran perguruan tinggi pada gilirannya dapat memicu perluasan kesempatan dan jumlah
perguruan tinggi di Indonesia. Bertambahnya jumlah perguruan tinggi di
Indonesia secara konseptual memang baik. Logikanya, semakin banyak lembaga pendidikan tinggi, berarti masyarakat semakin
terampil dan cerdas. Dari seluruh perguruan tinggi
yang ada di Indonesia dewasa ini, maka sekitar 90% adalah perguruan tinggi
milik swasta yang berorientasi bisnis dan sisanya adalah perguruan tinggi milik
negara yang lebih berorientasi sosial
dan belakangan ini malah dituntut pula untuk menerapkan kaidah-kaidah bisnis
demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Namun secara faktual bahwa kedua
bentuk perguruan tinggi tersebut pada umumnya belum memenuhi persyaratan
kualifikasi yang diharapkan di tingkat lokal, terlebih di tingkat internasional
atau global.
Sebagaimana
diketahui, dilihat dari sisi pasar atau permintaan, maka jasa pendidikan tinggi
merupakan peluang sekaligus tantangan besar yang harus dihadapi kalangan dunia
pendidikan tinggi di masa depan yang semakin kompetitif. Namun dilihat dari
sisi industri atau penawaran, maka jasa pendidikan tinggi harus mampu dan
unggul bersaing di pasar tenaga kerja
terampil dan semi terampil, baik di dalam negeri (home-country) maupun di luar
negeri (host countries). Untuk bisa
bertahan hidup terlebih lagi untuk berkembang, kalangan perguruan tinggi harus
mampu menunjukkan kualitas jasa dan layanan pendidikan tinggi yang mampu
memenuhi standar tuntutan pasar internasional atau global. Apalagi jasa pendidikan tinggi saat ini tidak hanya
melulu ditawarkan oleh penyedia jasa formal, namun juga non-formal (pelatihan), baik oleh para pelaku
bisnis (in-bound training) maupun
oleh pihak ketiga (out-bound training).
Berbagai kegiatan kursus dan pelatihan di Indonesia tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan perguruan tinggi saja, namun
juga oleh berbagai perusahaan nasional berskala besar
dan Internasional.
Bahkan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta papan atas telah
berani melakukan terobosan dengan mendatangkan kampium dunia bisnis untuk
mengajar di kampus. Selain itu, mereka berupaya beraliansi dengan para pelaku
industri untuk mendukung kerja sama dengan berbagai universitas di luar negeri
yang bermutu, seperti Harvard University (Amerika Serikat), Cambridge (Inggris)
dan UGhent (Belgia).
Ada banyak jalan
menuju Roma, dengan beragam terobosan yang bisa dilalui untuk memperbaiki
kualifikasi perguruan tinggi dalam negeri yang setara dengan perguruan tinggi
di luar negeri, khususnya di negara-negara maju. Permasalahan muncul disini, bahwa segala terobosan dalam
rangka perbaikan kualitas jasa pendidikan tinggi
perlu ditopang oleh daya beli yang tersedia di pasar, yang dalam hal ini adalah kemampuan para mahasiswa, baik dari kalangan keluarga yang mampu,
kurang mampu maupun tidak mampu. Dengan kata lain, perluasan kesempatan jasa
pendidikan yang berkualitas harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat,
dalam rangka memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi. Apalagi isu pemerataan jasa
pendidikan telah jauh hari disuarakan oleh para pendiri bangsa dan kalangan
legislatif yang tertuang dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan yang
berlaku. Bagaimana pemerintah
membuat sebuah sistem pendidikan nasional yang bisa mendorong munculnya inovasi
baru di berbagai bidang keilmuan, memberikan pemecahan pada berbagai persoalan
yang dihadapi bangsa, dan berbuat sesuatu di forum internasional atau global.
Kerjasama antar bangsa atau negara, antar disiplin ilmu, serta penggabungan pelbagai
perspektif dan gagasan inovatif, menurut seorang pakar manajemen dan bisnis Frans
Johansson (2005), merupakan ciri perubahan
global yang tengah
berlangsung.
Dalam
kaitan tersebut, tentu saja peran
perguruan tinggi swasta yang secara
kuantitas telah tumbuh pesat tidak dapat diabaikan. Menurut laporan media Kompas (21 April 2010) bahwa perguruan tinggi swasta di Indonesia jumlahnya telah mencapai 3.017 institusi, yang mencakup akademi,
sekolah tinggi, institut, hingga universitas. Di antara tahun 2006 - 2007
terdapat 2.556 perguruan tinggi swasta, sedangkan diantara tahun 2007 - 2008 naik
menjadi 2.596 perguruan tinggi swasta atau meningkat sekitar dua persen. Namun secara faktual,
melonjaknya jumlah perguruan tinggi swasta tidak serta-merta diiringi oleh
kualitas yang memadai. Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia (Aptisi), dikatakan bahwa melonjaknya
perguruan tinggi swasta dapat mencapai hingga 200 institusi setiap tahunnya.
Hal tersebut antara lain disebabkan mudahnya pemerintah dalam menerbitkan
pemberian izin operasi. Selain itu, banyak perguruan tinggi swasta dan juga
negara yang masih mengabaikan standar kualitas, baik nasional dan bahkan
internasional. Tentunya secara periodik pemerintah perlu mengkaji dan
mengevaluasi keberadaan perguruan tinggi di Indonesia, sehingga dapat diketahui
mana perguruan tinggi yang layak beroperasi, dimonitor dan dibina, dan mana yang terpaksa harus ditutup atau fusi. Kehadiran perguruan tinggi – termasuk pendidikan manajemen
dan bisnis - yang tidak memenuhi standar
kualitas tentunya hanya akan menambah beban masyarakat. Apalagi saat ini
Indonesia tengah menghadapi meningkatnya jumlah pengangguran intelektual yang
sebagian besar disumbang oleh lulusan perguruan tinggi, baik negara maupun swasta.
Terdapat perbedaan antara perguruan tinggi negeri dengan perguruan tinggi swasta, khususnya
dari aspek keuangan dan kualitas lulusan. Dari aspek keuangan sekitar 80% sumber pendanaan perguruan
tinggi negara berasal dari subsidi pemerintah, yang akhir-akhir ini telah
ditetapkan berkisar 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang sebagian besar bersumber dari pendapatan
pajak dan hutang lunak (soft loan). Sedangkan
sumber pendanaan perguruan tinggi swasta sekitar 80% berasal dari partisipasi
masyarakat. Filosofi yang melandasi pemberian subsidi pemerintah terhadap perguruan
tinggi negara merefleksikan tugas pemerintah sebagai organisasi publik yang
berorientasi pada social safety net sejalan
dengan tuntutan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun partisipasi masyarakat dalam
dunia pendidikan tinggi, berpijak pada falsafah capital safety net
ketimbang social safety net. Kondisi ini memaksa para pimpinan perguruan tinggi
swasta untuk lebih bersikap business
oriented. Perguruan tinggi swasta terpaksa meraup uang dari masyarakat.
Kecenderungan pergeseran dari institusi sosial menjadi institusi bisnis semakin
terbuka lebar akibat sumbangan dana dan dukungan lainnya dari pihak pemerintah
relatif masih minimal. Perguruan tinggi swasta terpaksa menjadi sebuah
organisasi yang dikelola atau di manage dengan pendekatan bisnis.
Pendekatan berorientasi bisnis ini tidak akan menjadi masalah jika dalam prakteknya
tidak mereduksi makna, peran serta otonomi pendidikan tinggi di Indonesia. Dilihat
dari sisi kualitas, berdasarkan pengamatan ternyata sebagian besar dari
perguruan tinggi swasta dan pada sejumlah perguruan tinggi negeri belum memiliki akreditasi yang baik atau masih
rendah. Sementara tuntutan pasar potensial menghendaki akan tersedianya jasa pendidikan
tinggi dengan akreditasi yang baik. Dilema ini merupakan pemicu bagi calon mahasiswa
untuk belajar di luar negeri, baik melalui dana beasiswa atau membiayai sendiri
bagi calon mahasiswa dari kalangan keluarga yang mampu. Namun jika calon
mahasiswa mengandalkan pada skema beasiswa, tentunya mereka perlu mengikuti persyaratan
tertentu, seperti seleksi kapasitas intelektual, kejiwaan, bahasa dan adakalanya
juga gender. Disamping hal itu, mahasiswa calon penerima beasiswa bersama mahasiswa non-beasiswa, juga harus memenuhi persyaratan akademik lainnya untuk memasuki suatu perguruan tinggi di luar
negeri. Terlebih lagi di jenjang pendidikan magister dan doktor bidang
manajemen dan bisnis, tingkat persaingan akan semakin ketat, dikarenakan calon
mahasiswa dapat berasal dari pelbagai disiplin ilmu (multidisiplin).
Beranjak dari fenomena dan isu-isu
relevan pendidikan tinggi, baik formal dan non-formal (pelatihan), maka berikut
ini diungkapkan berbagai faktor kunci dalam rangka penyetaraan pendidikan
manajemen dan bisnis di Indonesia agar terpenuhi akreditasi di tingkat
lokal-nasional dan bahkan ditingkat internasional atau global, yakni sebagai
berikut:
1.
Visi, Misi, Tujuan dan Peran.
Di masa lalu sampai
sekarang, pendidikan manajemen dan bisnis – baik swasta maupun negara – lebih berorientasi pada
penyediaan SDM untuk kepentingan perusahaan multinasional dan lokal-nasional
berskala besar, sehingga kurang menyentuh kepentingan para pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM) dan bahkan juga koperasi. Hal ini berdampak pada
kesenjangan kemampuan para pelaku bisnis dalam meraih peluang, yang pada
akhirnya berdampak pula pada kesenjangan ekonomi antara kelompok yang kaya dan
yang miskin. Dengan demikian perlu adanya reorientasi dan koreksi atas visi,
misi, tujuan dan peran pendidikan ke depan dengan memasukkan dimensi sosial
kepada para pelaku pendidikan tinggi, sebagai koreksi bagi penyelenggara
perguruan tinggi negeri, dan sebagai kewajiban bagi penyelenggara pendidikan swasta dalam bentuk
beasiswa dan pembedaan tarif pendidikan yang tidak diskriminatif. Misi dan tujuan pendidikan tinggi manajemen
dan bisnis adalah mencetak lulusan dengan kualitas tertentu yang bertujuan
memberikan pengalaman belajar secara optimal kepada para mahasiswa, oleh
karenanya pertimbangan biaya jangan sampai dijadikan faktor penghambat dalam
mencapai misi
dan tujuan utama pendidikan
tersebut.
2.
Struktur, Muatan dan Evaluasi
Kurikulum.
Sampai
saat ini struktur dan muatan kurikulum lebih menekankan pendekatan
manajerial-strategikal dan bisnis organisasional-fungsional, ketimbang pada
pendekatan non-manajerial dan bisnis non-organisasional-fungsional. Pengambilan
keputusan pada para pelaku bisnis non-organisasional lebih didorong oleh
naluri, intuisi dan bakat individual serta otoritas kepemimpinan selaku anggota
keluarga pemilik. Pergeseran muatan kurikulum ini diharapkan dapat menggugah
minat para pelaku UMKM dan koperasi untuk merekrut dan bahkan menyekolahkan anggota keluarga dari para
pemilik. Perubahan kurikulum perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek non
manajemen dan bisnis, seperti etika, budaya dan situasi politik. Bagaimanapun
pergeseran kurikulum ini merupakan suatu keharusan bagi pendidikan ini di masa
depan yang memiliki cakupan pasar yang lebih luas dengan tetap mempertahankan
aspek kualitatif disamping kuantitatif. Pendidikan manajemen dan bisnis tetap
memiliki tanggung jawab dalam menjamin kesadaran akan globalisasi yang menuntut
perubahan dan pengembangan kurikulum, karena berbagai disiplin ilmu, tidak
dapat diajarkan, difahami dan diselenggarkan dalam konteks muatan lokal
sepenuhnya. Karenanya akreditasi terhadap program pendidikan ini secara
periodikal perlu dilakukan oleh pihak institusi independen, seperti AACSB.
3.
Pengembangan Pelatihan bagi
Kalangan Manajer
Pendidikan manajemen dan
bisnis secara konseptual dan profesional atau vokational secara aplikatif memiliki
hubungan yang simbiotik, sehingga terjalin hubungan simbiotik pula antara dunia
bisnis dan pendidikan ini. Karenanya pendidikan formal di bidang ini perlu
dilengkapi oleh pendidikan non-formal
dalam bentuk pelbagai kursus dan pelatihan. Hal ini diperlukan bagi para
manajer dalam rangka menjalani proses pembelajaran seumur hidup baik untuk
meningkatkan kematangan kompetensi maupun peningkatan jenjang karir. Pelbagai
pelatihan ini dapat diselenggarakan baik oleh pihak negara (departemental dan
non-departemental) dan pihak swasta (swadaya dan non swadaya) ataupun secara internal oleh pihak perusahaan
yang bersangkutan (in-bound). Agar
pelaku bisnis dari kalangan UMKM dan koperasi tetap bertahan dan sinambung,
maka kursus dan pelatihan serupa perlu juga diberikan kepada para manajer UMKM dan koperasi dengan program yang lebih
spesifik dengan biaya yang lebih terjangkau. Dalam hal ini keterlibatan
pemerintah sangat diperlukan agar asas pemerataan dan keterjangkauan pendidikan
ini – terutama dari sisi pendanaan -
dapat terealisasi dan dinikmati oleh para pelaku UMKM dan koperasi dalam
mengembangkan bisnis mereka.
4.
Urgensi Kepemimpinan,
Kewirausahaan dan Kecerdasan Emosi-Spiritual
Program
pendidikan dan pelatihan bisnis kedepan perlu memberikan porsi yang lebih besar
terhadap aspek kepemimpinan dan kewirausahaan. Bagi para pelaku UMKM dan koperasi hal ini diperlukan dalam
rangka optimalisasi penataan operasional internal bisnis, khususnya yang
berkaitan dengan aspek-aspek non-fisik terutama dalam rangka meningkatkan efisiensi usahanya. Berbeda halnya dengan
pelaku usaha berskala besar yang lebih memerlukan kepemimpinan dan kewirausahaan
untuk kepetingan eksternal-strategikal dalam rangka meningkatkan efektivitas perusahaannya. Para lulusan pendidikan dan
pelatihan bisnis, baik yang berkiprah di perusahaan berskala besar maupun di UMKM
dan koperasi, maka segala aspek potensi dirinya perlu dikembangkan. Jika selama ini
pendidikan dan pelatihan bisnis lebih menekankan pada kemampuan daya nalar dan
intelektualitas semata, maka dalam rangka meningkatkan kualitas kepemimpinan
dan kewirausahaan ke depan, perlu ditopang oleh potensi lain, yaitu pelibatan
aspek kecerdasan emosi dan spiritual dalam melengkapi kemampuan mereka untuk
bersaing dan berprestasi. Dalam hal kepemimpinan dan kewirausahaan kepada para
mahasiswa perlu diberikan pemahaman bahwa secara empirikal terdapat perbedaan
yang jelas antara praktek bisnis organisasional dengan praktek bisnis
non-organisasional secara aplikabel.
5.
Penerapan Multi-Media dan Teknologi
serta Metoda Pembelajaran
Lembaga pendidikan bisnis –
baik yang formal maupun non-formal, baik milik negara maupun swasta – perlu mengikuti dan menerapkan
kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi serta media mutakhir lainnya. Hal ini tentunya memerlukan investasi
yang besar dengan biaya overhead yang
tinggi. Karenanya untuk mengatasi hal tersebut,
pemecahan dilakukan dengan cara menyewa dari pihak ke tiga, kepemilikan bersama,
ataupun perluasan cakupan pasar. Dilain pihak, integrasi ICT dalam sistem
pendidikan yang berhasil secara implementatif, dapat membantu merampingkan
biaya operasi, mengendalikan biaya administrasi, meningkatkan komunikasi
internal dan eksternal, memobilisasi sumber daya yang terbatas, meningkatkan
produktivitas R & D serta menjangkau keberadaan mahasiswa dan lulusan secara lebih
luas dan intensif.
6.
Dimensi Etik, Tanggung
Jawab Sosial dan Politik .
Di era globalisasi telah
terjadi tata hubungan dunia baru dengan landasan aturan main yang telah
disepakati secara bersama di tingkat hubungan internasional atau global, baik dalam bidang
bisnis dan transaksi perdagangan, yang perlu direnspon oleh kalangan
penyelenggara pendidikan bisnis. Disamping dibutuhkan pola pikir dengan wawasan
global, lembaga pendidikan bisnis juga perlu membekali mahasiswanya dengan pola
pikir respektual dan etikal agar mampu menyesuaikan perilakunya dengan
lingkungan bisnis aktual kelak setelah
mereka lulus. Menurut Howard Gardner, salah seorang pakar psikologi pendidikan,
maka sikap respek, toleransi dan mengutamakan kepentingan bersama
(etikal-altruistik) merupakan salah satu kunci sukses dalam menghadapi
lingkungan bisnis ke depan. Pembekalan aspek etikal ini akan berdampak pula
pada moral para lulusan, disamping mampu berbisnis dengan handal, juga memiliki
kepekaan sosial dan pemahaman wawasan politik yang dinafasi kaidah-kaidah etika
dalam rangka menanamkan kepercayaan terhadap rekan bisnis. Disamping itu, mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran etika bisnis secara komprehensif. Integrasi antara
aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran harus diutamakan, terutama
pelibatan etika bisnis pada aspek afektif (emosi) dapat disisipkan di berbagai
mata kuliah yang ditawarkan. Tidak lain, karena substansi materi etika bisnis
lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar
acuan tergantung persepsi individu dalam menilai etis atau tidaknya suatu
tindakan bisnis. Dengan demikian simulasi pengambilan keputusan etis dalam pendidikan
bisnis sebaiknya terintegrasi dengan
pemberian mata kuliah lainnya.
7.
Manajerialisme, Gender dan Lintas-Budaya.
Tidak semua masalah dapat
diatasi hanya dengan satu cara, demikian pula halnya yang berkenaan dengan
permasalahan bisnis, baik yang bersifat organisasional maupun non-organisasional.
Begitu pula dalam kasus gender dan
lintas budaya, seolah berlaku pandangan stereotip bahwa hanya jenis kelamin dan
etnis tertentu saja yang boleh menduduki posisi selaku manajer dalam aktivitas
bisnis. Tentunya pandangan streotip ini keliru dan tidak relevan lagi,
sebagaimana yang pernah dianut oleh kalangan dunia bisnis terdahulu, yang
tadinya menganggap bahwa kerja tim yang didasarkan pada mono-etnis dan mono-gender adalah yang mampu meningkatkan produktivitas kerja tim.
Hipotetis ini sekarang banyak disangkal, mengingat di banyak perusahaan bahkan
di banyak negara, produktivitas kerja tim justru meningkat ketika
diterapkannya aspek multi-etnis, budaya dan gender
yang pada saat ini mulai banyak diterapkan di berbagai negara, seperti Singapura. Oleh karena itu
pendidikan tinggi yang tengah mempersiapakan SDM di bidang bisnis, perlu
menambahkan perspektif multi etnis-kultural dan gender ini sebagai faktor pemicu kreativitas dan produktivitas, yang dapat disampaikan
dengan pelbagai metoda belajar mengajar, baik role playing, learner dynamic,
games dan simulasi serta program internship, dimana semua aspek perbedaan tersebut harus dibaurkan melalui
pendekatan metoda pembelajaran tersebut. Dengan demikian pendidikan bisnis dapat memainkan peran penting
dalam pengembangan dan pelatihan terhadap orang yang peka terhadap budaya dan
mampu bekerja dalam lingkungan kerja tim yang multikultural.
8. Nilai Sejarah dan Narasi
Sejarah dan narasi merupakan input penting bagi seseorang
untuk melakukan refleksi ke masa lalu, dan juga sebagai sumber inspirasi,
kreasi dan inovasi untuk masa mendatang. Pendokumentasian perjalanan sejarah
institusi pendidikkan bisnis, baik dalam bentuk perjuangan, kisah sukses dan peninggalan fisik, akan memberikan perspektif dan informasi lebih utuh bagi mahasiswa, lulusan dan publik
terhadap warisan sejarah yang memiliki nilai ekonomis (economic heritage). Oleh karena itu dokumentasi dan narasi sejarah
perlu dilestarikan dalam rangka artikulasi sumbangan pendidikan tinggi terhadap siklus budaya dan
peradaban. Adapun sejarah dalam arti evolusi kemajuan ilmu pengetahuan bisnis
merupakan sumber inspirasi yang dapat memicu kreativitas
dan inovasi bagi penemuan, baik bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
itu sendiri, maupun kemanfaatannya untuk kepentingan praktikal situasional.
9.
Metodologi Pembelajaran
Didalam proses pendidikan manajemen dan bisnis, maka faktor metodologi
pembelajaran sangatlah penting, karena hal ini akan menentukan sejauhmana kadar
transfer ilmu pengetahuan dari pendidik atau dosen terhadap peserta didik atau
mahasiswa. Menyimak metodologi yang ada saat ini, terdapat metodologi lama yang
perlu dikurangi atau dimodifikasi seperti texbook
dan power-point, namun metodologi
lain seperti games, role-play, learner dynamics dan simulasi yang
ditunjang peralatan canggih perlu diperhatikan. Sehubungan dengan kebutuhan biaya investasi yang besar, dibalik semua metodologi yang
canggih tersebut, keberadaan penyediaan papan tulis tetap
diperlukan dalam rangka menciptakan suasana tatap muka, hubungan dialogis dan
relasi yang hangat, disamping murah, efektivitasnya
masih dirasakan sampai saat ini. Sementara dalam mengadopsi metoda yang akan
digunakan perlu bervariasi sejalan dengan visi, misi dan tujuan, sumber daya
yang dimiliki, lokasi, regulasi, bahasa, budaya, dan kalender akademik dan
non-akademik yang berlaku.
Demikianlah,
beranjak dari paparan diatas penulis merasa bahwa pemikiran yang telah diuraikan di atas, masih perlu disempurnakan. Karenanya dengan
pelbagai kekurangan yang ada, segala masukan dan kritikan akan sangat berharga
bagi penyempurnaan yang tentunya akan disambut dengan senang hati. Yang jelas,
kesenjangan ekonomi dan kemiskinan akan tetap sulit diatasi dan kesejahteraan
masyarakat akan semakin menjauh seandainya tidak dilakukan perubahan yang
signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk di bidang manajemen dan bisnis. Oleh karena itu, perlu
lebih mempertimbangkan dimensi sosial-kemanusiaan ketimbang bisnis-ekonomi.
Disamping itu perlu berpegang pada kaidah-kaidah etika, profesionalisme dan
peningkatan kualitas jasa pendidikan. Perlu dicamkan disini,
bahwa tugas utama pendidikan secara universal
adalah untuk mengembangkan
kesadaran dan tanggung jawab seseorang, bukan hanya terhadap negara dan lingkungan
kemasyarakatan, tetapi juga
terhadap kelangsungan hidup umat manusia.
Bandung,
27 Juni 2012
Faisal Afiff