.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Rabu, 27 Juni 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: 9 Kunci Penyetaraan Pendidikan Manajemen dan Bisnis


Untuk membedakan sebuah negara menganut sistem ekonomi kapitalisme atau sosialisme, maka indikator kasat mata yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak swasta atau negara menguasai  sumber daya ekonomi. Jika sumber daya ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka sistem ekonomi negara tersebut menganut sistem kapitalisme. Sebaliknya, jika sumber daya ekonomi lebih banyak dikuasi dan dikendalikan oleh negara, maka sistem ekonomi negara tersebut lebih bercorak sosialisme. Memasuki periode akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran dengan digulirkannya berbagai kebijakan deregulasi dan privatisasi oleh pemerintah. Menyimak rangkaian kebijakan tersebut, maka dapat dinilai bahwa dewasa ini tengah terjadi perubahan mainstream sistem ekonomi di Indonesia. Isu-isu ekonomi politik agaknya banyak dibawa ke arah liberalisasi, baik dari sisi kepemilikan dan alokasi-relokasi  sumber daya ekonomi, maupun yang berkenaan dengan pengendalian sektor riil, sektor keuangan, serta sektor perdagangan. Sektor swasta nyatanya berperan lebih besar karena pemerintah dianggap belum berhasil dalam mengalokasikan atau merelokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi bangsa, baik yang berasal dari eksploitasi sumber daya alam (flora, fauna, dan fosil), pendapatan pajak maupun hutang luar negeri. Ciri lain bahwa sistem ekonomi Indonesia tengah mengarah ke sistem liberal, yakni semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi termasuk didalamnya adalah kepemilikan sumber daya ekonomi dalam bentuk aset-aset produksi. Sejalan dengan dijualnya berbagai saham BUMN (state owned company) kepada para investor swasta, baik swasta nasional maupun swasta  asing. Argumen tersebut semakin diperkuat dengan adanya keterlibatan pemerintah Indonesia dalam perjanjian umum tarif dan perdagangan (GATT) yang kemudian ditingkatkan kedalam World Trade Organisation (WTO).  Sementara  kerangka aturan multilateral yang berkenaan dengan tarif dan jasa, termasuk jasa pendidikan tertuang dalam General Agreement on Tariff and Services (GATS). Keterlibatan Indonesia dalam perjanjian tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk secara lebih intensif masuk dalam kancah liberalisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
Posisi Indonesia dalam konstelasi politik-ekonomi global telah mendorong prioritas kebijakan pembangunan ekonomi diatas bidang yang lain. Sehingga terjadi pergeseran fokus kebijakan dari maksimalisasi jaring pengaman sosial (social safety net) ke arah maksimalisasi jaring pengaman modal atau investasi (capital safety net)  yang pada gilirannya, suka atau tidak suka, akan berdampak pada perluasan kesempatan, pemerataan dan muatan pendidikan nasional di Indonesia, baik formal maupun non formal,  di tingkat dasar, menengah maupun tinggi.  Atau secara luas lebih dikenal dengan formula: input, proses dan output serta outcome pendidikan. Dalam konteks pendidikan  di Indonesia, dewasa ini penyelenggaraan pendidikan dijalankan oleh  dua pelaku utama, di satu sisi oleh pihak negara, dan di sisi yang lain oleh partisipasi masyarakat dalam bentuk keterlibatan pendidikan  swasta, baik pihak swasta nasional maupun asing. Dalam perkembangan lebih lanjut, sejalan dengan otonomi daerah, maka otonomi pendidikan juga diberlakukan dalam semua strata pendidikan. Khusus dalam konteks pendidikan tinggi, maka pelimpahan penyelenggaraan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah mapan di wilayah perkotaan di serahkan kepada partisipasi masyarakat atau pihak swasta (PTS). Begitu juga sebaliknya, secara bertahap pemerintah telah dan akan mengambil alih penyelenggaraan beberapa perguruan tinggi swasta yang sudah mapan di daerah agar lebih mampu berkembang. Melalui kebijakan deregulasi dan privatisasi sektor pendidikan tinggi, pemerintah membuka perluasan kesempatan dan pemerataan pendidikan  dalam kerangka penguatan social safety net bidang pendidikan tinggi. Namun demikian disayangkan, pada tingkat implementasi upaya pemerintah tersebut belum berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan, sementara pihak swasta lebih sigap melakukan penetrasi pendidikan tinggi, yaitu dengan memperluas jaringan penyelenggaraan pendidikan tinggi ke pelbagai kota dan pelosok daerah yang lebih berorientasi bisnis. Mau tidak mau, perubahan tata kelola pendidikan tinggi pada akhirnya akan lebih berorientasi pada pelayanan pasar dengan etos kemampuan atau daya beli dan kepuasan mahasiswa selaku konsumen.  Tak terkecuali pendidikan tinggi di bidang manajemen dan bisnis,  baik yang diselenggarakn oleh pihak negara maupun pihak swasta dan kedua pihak ini tidak luput dari pengaruh globalisasi pendidikan yang lebih mensyaratkan, yakni:  Pertama, kesiapan mahasiswa agar dapat berkinerja optimal dan percaya diri dalam kompetisi bisnis global. Kedua, implementasi berbagai temuan riset yang terkait dengan trend dan best practices manajemen global. Ketiga, peningkatan laverage melalui pemanfaatan aspek lintas budaya dan praktek-praktek manajemen dan bisnis sehingga tercipta inovasi dan reengineering yang berkelanjutan.  Dengan demikian, arah dan kebijakan otonomi pendidikan tinggi di bidang manajemen dan bisnis di Indonesia perlu berorientasi ke pasar dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi di mata para mahasiswa, staf pimpinan, dosen dan karyawan selaku stakeholder internal serta para alumni, orang tua, para wirausahawan dan pengusaha,  pemerintah dan para pelaku publik lainnya selaku stakeholder eksternal.
Sebagaimana telah banyak disinyalir, globalisasi merupakan gejala mondial yang ditandai oleh aktivitas bisnis dan perdagangan antar negara yang semakin intensif. Globalisasi juga telah memicu knoweldge-driven economy, yang menumbuhkan permintaan akan sumber daya manusia (SDM) yang profesional dan berketerampilan tinggi, untuk bekerja di sektor industri riil dan jasa.  Globalisasi ekonomi telah mendorong kompetisi antar bangsa, yang menuntut setiap negara memiliki keunggulan dan daya saing yang kuat. Adapun keunggulan dan daya saing negara dapat dibangun dengan baik bila ditopang oleh perguruan tinggi  yang berkualitas dan berdaya guna, yang mampu melahirkan alumni yang berkualitas, bertalenta dan kompeten. Dalam kaitan ini, perguruan tinggi telah berhasil memainkan peran sentral dalam membangun masyarakat berpengetahuan, yang tercermin pada lahirnya lapisan kelas menengah terdidik dan kaum profesional yang menjadi kekuatan penentu kemajuan ekonomi suatu bangsa atau negara. Mereka merupakan elemen pokok dalam menyokong ekonomi berbasis pengetahuan.  Ilmu pengetahuan telah menjadi investasi modal yang amat penting dan sekaligus merupakan faktor determinan dalam proses produksi. Dalam hal ini aktivitas ekonomi global lebih bersifat padat pengetahuan yang ingin semakin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya alam. Sejalan dengan hal itu teknologi komunikasi dan informasi (ICT) berperan dominan dalam mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan global. Dengan sendirinya peran perguruan tinggi menjadi penting sebagai basis produksi, diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. Perguruan tinggi berperan strategis dalam konteks peningkatan kapasitas dan keterampilan konseptual, teknikal serta  hubungan relasional manusia.
Bangsa yang mempunyai banyak manusia terdidik, berpengetahuan, dan menguasai teknologi pasti memiliki daya saing kuat dalam kompetisi ekonomi global. Daya saing nasional amat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program riset dan pengembangan untuk melahirkan berbagai penemuan baru. Dengan kata lain, kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuan dalam kapasitas inovasi, pendidikan, riset dan layanan masyarakat. Untuk itu hubungan segitiga antara pendidikan tinggi, dunia industri, dan masyarakat (triple helix of university-industry-society) menjadi tak terelakan, disamping universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, juga menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri. Dengan demikian perguruan tinggi dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat memberi manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan dana untuk menopang kegiatan penelitian dan pengembangan di universitas. Sangat jelas, dinamika hubungan segitiga ini akan memberi sumbangan besar pada peningkatan produktivitas nasional. Dalam konteks demikian, dukungan finansial pemerintah amat vital guna mengembangkan perguruan tinggi menjadi industri pendidikan yang kuat. Ada empat pertimbangan sosial ekonomi yang penting, yakni: Pertama, investasi pada industri pendidikan tinggi akan melahirkan manfaat eksternal jangka panjang yang menjadi faktor krusial pembangunan ekonomi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan; Kedua, investasi pada sektor pendidikan tinggi akan memberi manfaat sosial politik karena akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar, yang dapat memperkuat kohesi sosial dan menetapkan dasar-dasar demokrasi; Ketiga, pendidikan tinggi  juga memainkan peran penting dalam menopang pendidikan dasar dan menengah, sekaligus menyokong suatu economic externalities di kedua jenjang pendidikan itu; dan Keempat, pengembangan teknologi dan kegiatan penelitian dasar dan terapan akan membawa keuntungan jangka panjang guna mencapai keunggulan bangsa. Dengan demikian, tugas utama pemerintah adalah mengembangkan pendidikan tinggi bermutu dan unggul yang mampu memasok pelbagai tenaga ahli yang diperlukan di bergbagai bidang kehidupan. Untuk itu, investasi dalam pengembangan pendidikan tinggi harus difokuskan pada, yakni: (1) pembangunan sarana-prasarana dan penyediaan fasilitas pendidikan, seperti laboratorium,  perpustakaan dan penerbitan; (2) penguatan struktur kelembagaan termasuk penataan institusi penelitian dan pengembangan; (3) peningkatan perencanaan akademik; (4) peningkatan standar mutu akademik (dosen dan peneliti); (5) memperkuat landasan keilmuan; (6) peningkatan kerjasama perguruan tinggi dengan dunia industri; dan (7) mengefektifkan peran alumni sebagai penghubung antara kepentingan perguruan tinggi dan dunia industri. Ketujuh faktor keberhasilan ini penting diperhatikan agar para akademisi dapat lebih optimal mengemban tugas-tugas akademik, mendalami bidang keilmuan yang menjadi minatnya, dan melakukan riset-riset ilmiah yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dukungan fasilitas yang memadai, mereka akan tergoda untuk hengkang (brain-drain) ke negara-negara maju baik di Asia, Australia, Uni Eropa, maupun Amerika Serikat. Di negara-negara ini mereka akan menemukan lingkungan akademik yang kondusif guna menekuni profesi mereka sebagai akademisi dan peneliti. Dengan demikian, bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi  ternyata tidak dapat lepas dari aspek manajemen dan  bisnis serta pelbagai faktor lingkungan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi (PEST) .
Meskipun belum terbukti secara ilmiah, namun secara empiris  dapat disimak bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia masih dihinggapi mitos bahwa bersekolah, atau berpendidikan menjadi cara utama, atau bahkan jalan satu-satunya untuk mendapatkan potensi dalam meraih kesuksesan. Mitos yang berkembang  di masyarakat masih dipengaruhi sikap apriori, yakni jika ingin menjadi seseorang yang berhasil dalam pemupukan kepemilikan materi, maka mereka harus mencapai pendidikan yang tinggi. Sikap masyarakat yang demikian ini, jika dikaji oleh sekelompok pengusaha atau wirausahawan yang jeli dapat berarti suatu peluang bisnis. Dengan demikian, adanya tuntutan masyarakat akan kehadiran perguruan tinggi pada gilirannya dapat memicu perluasan kesempatan dan jumlah perguruan tinggi di Indonesia. Bertambahnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia secara konseptual memang baik. Logikanya, semakin banyak lembaga pendidikan tinggi, berarti masyarakat semakin terampil dan cerdas. Dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia dewasa ini, maka sekitar 90% adalah perguruan tinggi milik swasta yang berorientasi bisnis dan sisanya adalah perguruan tinggi milik negara  yang lebih berorientasi sosial dan belakangan ini malah dituntut pula untuk menerapkan kaidah-kaidah bisnis demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Namun secara faktual bahwa kedua bentuk perguruan tinggi tersebut pada umumnya belum memenuhi persyaratan kualifikasi yang diharapkan di tingkat lokal, terlebih di tingkat internasional atau global.
Sebagaimana diketahui, dilihat dari sisi pasar atau permintaan, maka jasa pendidikan tinggi merupakan peluang sekaligus tantangan besar yang harus dihadapi kalangan dunia pendidikan tinggi di masa depan yang semakin kompetitif. Namun dilihat dari sisi industri atau penawaran, maka jasa pendidikan tinggi harus mampu dan unggul bersaing  di pasar tenaga kerja terampil dan semi terampil, baik di dalam negeri (home-country)  maupun di luar negeri (host countries). Untuk bisa bertahan hidup terlebih lagi untuk berkembang, kalangan perguruan tinggi harus mampu menunjukkan kualitas jasa dan layanan pendidikan tinggi yang mampu memenuhi standar tuntutan pasar internasional atau global. Apalagi  jasa pendidikan tinggi saat ini tidak hanya melulu ditawarkan oleh penyedia jasa formal, namun juga  non-formal (pelatihan), baik oleh para pelaku bisnis (in-bound training) maupun oleh pihak ketiga (out-bound training). Berbagai kegiatan kursus dan pelatihan di Indonesia tidak hanya diselenggarakan  oleh kalangan perguruan tinggi saja, namun juga oleh berbagai perusahaan nasional berskala besar dan Internasional.  Bahkan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta papan atas telah berani melakukan terobosan dengan mendatangkan kampium dunia bisnis untuk mengajar di kampus. Selain itu, mereka berupaya beraliansi dengan para pelaku industri untuk mendukung kerja sama dengan berbagai universitas di luar negeri yang bermutu, seperti Harvard University (Amerika Serikat), Cambridge (Inggris) dan UGhent (Belgia).
Ada banyak jalan menuju Roma, dengan beragam terobosan yang bisa dilalui untuk memperbaiki kualifikasi perguruan tinggi dalam negeri yang setara dengan perguruan tinggi di luar negeri, khususnya di negara-negara maju. Permasalahan  muncul disini, bahwa segala terobosan dalam rangka perbaikan kualitas jasa pendidikan tinggi perlu ditopang oleh daya beli yang tersedia di pasar, yang dalam hal ini adalah kemampuan para mahasiswa, baik dari kalangan keluarga yang mampu, kurang mampu maupun tidak mampu. Dengan kata lain, perluasan kesempatan jasa pendidikan yang berkualitas harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, dalam rangka memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi. Apalagi isu pemerataan jasa pendidikan telah jauh hari disuarakan oleh para pendiri bangsa dan kalangan legislatif yang tertuang dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan yang berlaku. Bagaimana pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan nasional yang bisa mendorong munculnya inovasi baru di berbagai bidang keilmuan, memberikan pemecahan pada berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, dan berbuat sesuatu di forum internasional atau global. Kerjasama antar bangsa atau negara, antar disiplin ilmu, serta penggabungan pelbagai perspektif dan gagasan inovatif, menurut seorang pakar manajemen dan bisnis Frans Johansson (2005), merupakan ciri perubahan global yang tengah berlangsung.
Dalam kaitan tersebut, tentu saja  peran perguruan tinggi swasta  yang secara kuantitas telah tumbuh pesat tidak dapat diabaikan. Menurut laporan media Kompas (21 April 2010) bahwa perguruan tinggi swasta di Indonesia jumlahnya telah  mencapai 3.017 institusi, yang mencakup akademi, sekolah tinggi, institut, hingga universitas. Di antara tahun 2006 - 2007 terdapat 2.556 perguruan tinggi swasta, sedangkan diantara tahun 2007 - 2008 naik menjadi 2.596 perguruan tinggi swasta atau meningkat  sekitar dua persen. Namun secara faktual, melonjaknya jumlah perguruan tinggi swasta tidak serta-merta diiringi oleh kualitas yang memadai. Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi),  dikatakan bahwa melonjaknya perguruan tinggi swasta dapat mencapai hingga 200 institusi setiap tahunnya. Hal tersebut antara lain disebabkan mudahnya pemerintah dalam menerbitkan pemberian izin operasi. Selain itu, banyak perguruan tinggi swasta dan juga negara yang masih mengabaikan standar kualitas, baik nasional dan bahkan internasional. Tentunya secara periodik pemerintah perlu mengkaji dan mengevaluasi keberadaan perguruan tinggi di Indonesia, sehingga dapat diketahui mana perguruan tinggi yang layak beroperasi, dimonitor dan dibina,  dan mana yang terpaksa harus ditutup atau fusi. Kehadiran perguruan tinggi – termasuk pendidikan manajemen dan bisnis -  yang tidak memenuhi standar kualitas tentunya hanya akan menambah beban masyarakat. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi meningkatnya jumlah pengangguran intelektual yang sebagian besar disumbang oleh lulusan perguruan tinggi, baik negara maupun swasta.
 Terdapat perbedaan antara  perguruan tinggi negeri  dengan perguruan tinggi swasta, khususnya dari aspek keuangan dan kualitas lulusan. Dari aspek keuangan sekitar 80% sumber pendanaan perguruan tinggi negara berasal dari subsidi pemerintah, yang akhir-akhir ini telah ditetapkan berkisar 20% dari total anggaran pendapatan dan  belanja negara (APBN), yang sebagian besar bersumber dari pendapatan pajak dan hutang lunak (soft loan). Sedangkan sumber pendanaan perguruan tinggi swasta sekitar 80% berasal dari partisipasi masyarakat. Filosofi yang melandasi pemberian subsidi pemerintah terhadap perguruan tinggi negara merefleksikan tugas pemerintah sebagai organisasi publik yang berorientasi pada social safety net sejalan dengan tuntutan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan tinggi, berpijak pada falsafah capital safety net ketimbang social safety net. Kondisi ini memaksa para pimpinan perguruan tinggi swasta untuk lebih bersikap business oriented. Perguruan tinggi swasta terpaksa meraup uang dari masyarakat. Kecenderungan pergeseran dari institusi sosial menjadi institusi bisnis semakin terbuka lebar akibat sumbangan dana dan dukungan lainnya dari pihak pemerintah relatif masih minimal. Perguruan tinggi swasta terpaksa menjadi sebuah organisasi yang dikelola atau di manage dengan pendekatan bisnis. Pendekatan berorientasi bisnis ini tidak akan menjadi masalah jika dalam prakteknya tidak mereduksi makna, peran serta otonomi pendidikan tinggi di Indonesia. Dilihat dari sisi kualitas, berdasarkan pengamatan ternyata sebagian besar dari perguruan tinggi swasta dan pada sejumlah perguruan tinggi negeri belum memiliki akreditasi yang baik atau masih rendah. Sementara tuntutan pasar potensial menghendaki akan tersedianya jasa pendidikan tinggi dengan akreditasi yang baik. Dilema ini merupakan pemicu bagi calon mahasiswa untuk belajar di luar negeri, baik melalui dana beasiswa atau membiayai sendiri bagi calon mahasiswa dari kalangan keluarga yang mampu. Namun jika calon mahasiswa mengandalkan pada skema beasiswa, tentunya mereka perlu mengikuti persyaratan tertentu, seperti seleksi kapasitas intelektual, kejiwaan, bahasa dan adakalanya juga gender. Disamping hal itu, mahasiswa calon penerima beasiswa bersama mahasiswa non-beasiswa, juga harus memenuhi persyaratan akademik lainnya untuk memasuki suatu perguruan tinggi di luar negeri. Terlebih lagi di jenjang pendidikan magister dan doktor bidang manajemen dan bisnis, tingkat persaingan akan semakin ketat, dikarenakan calon mahasiswa dapat berasal dari pelbagai disiplin ilmu (multidisiplin).
Beranjak dari fenomena dan isu-isu relevan pendidikan tinggi, baik formal dan non-formal (pelatihan), maka berikut ini diungkapkan berbagai faktor kunci dalam rangka penyetaraan pendidikan manajemen dan bisnis di Indonesia agar terpenuhi akreditasi di tingkat lokal-nasional dan bahkan ditingkat internasional atau global, yakni sebagai berikut:
1.     Visi, Misi, Tujuan dan Peran.
Di masa lalu sampai sekarang, pendidikan manajemen dan bisnis – baik swasta maupun negara – lebih berorientasi pada penyediaan SDM untuk kepentingan perusahaan multinasional dan lokal-nasional berskala besar, sehingga kurang menyentuh kepentingan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan bahkan juga koperasi. Hal ini berdampak pada kesenjangan kemampuan para pelaku bisnis dalam meraih peluang, yang pada akhirnya berdampak pula pada kesenjangan ekonomi antara kelompok yang kaya dan yang miskin. Dengan demikian perlu adanya reorientasi dan koreksi atas visi, misi, tujuan dan peran pendidikan ke depan dengan memasukkan dimensi sosial kepada para pelaku pendidikan tinggi, sebagai koreksi bagi penyelenggara perguruan tinggi negeri, dan sebagai kewajiban bagi penyelenggara pendidikan swasta dalam bentuk beasiswa dan pembedaan tarif pendidikan yang tidak diskriminatif. Misi dan tujuan pendidikan tinggi manajemen dan bisnis adalah mencetak lulusan dengan kualitas tertentu yang bertujuan memberikan pengalaman belajar secara optimal kepada para mahasiswa, oleh karenanya pertimbangan biaya jangan sampai dijadikan faktor penghambat dalam mencapai misi dan tujuan utama pendidikan tersebut.
2.     Struktur, Muatan dan Evaluasi Kurikulum.
Sampai saat ini struktur dan muatan kurikulum lebih menekankan pendekatan manajerial-strategikal dan bisnis organisasional-fungsional, ketimbang pada pendekatan non-manajerial dan bisnis non-organisasional-fungsional. Pengambilan keputusan pada para pelaku bisnis non-organisasional lebih didorong oleh naluri, intuisi dan bakat individual serta otoritas kepemimpinan selaku anggota keluarga pemilik. Pergeseran muatan kurikulum ini diharapkan dapat menggugah minat para pelaku UMKM dan koperasi untuk merekrut dan bahkan menyekolahkan anggota keluarga dari para pemilik. Perubahan kurikulum perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek non manajemen dan bisnis, seperti etika, budaya dan situasi politik. Bagaimanapun pergeseran kurikulum ini merupakan suatu keharusan bagi pendidikan ini di masa depan yang memiliki cakupan pasar yang lebih luas dengan tetap mempertahankan aspek kualitatif disamping kuantitatif. Pendidikan manajemen dan bisnis tetap memiliki tanggung jawab dalam menjamin kesadaran akan globalisasi yang menuntut perubahan dan pengembangan kurikulum, karena berbagai disiplin ilmu, tidak dapat diajarkan, difahami dan diselenggarkan dalam konteks muatan lokal sepenuhnya. Karenanya akreditasi terhadap program pendidikan ini secara periodikal perlu dilakukan oleh pihak institusi independen, seperti AACSB.
3.     Pengembangan Pelatihan bagi Kalangan Manajer
Pendidikan manajemen dan bisnis secara konseptual dan profesional atau vokational secara aplikatif memiliki hubungan yang simbiotik, sehingga terjalin hubungan simbiotik pula antara dunia bisnis dan pendidikan ini. Karenanya pendidikan formal di bidang ini perlu dilengkapi oleh pendidikan non-formal  dalam bentuk pelbagai kursus dan pelatihan. Hal ini diperlukan bagi para manajer dalam rangka menjalani proses pembelajaran seumur hidup baik untuk meningkatkan kematangan kompetensi maupun peningkatan jenjang karir. Pelbagai pelatihan ini dapat diselenggarakan baik oleh pihak negara (departemental dan non-departemental) dan pihak swasta (swadaya dan non swadaya)  ataupun secara internal oleh pihak perusahaan yang bersangkutan (in-bound). Agar pelaku bisnis dari kalangan UMKM dan koperasi tetap bertahan dan sinambung, maka kursus dan pelatihan serupa perlu juga diberikan kepada para manajer UMKM dan koperasi dengan program yang lebih spesifik dengan biaya yang lebih terjangkau. Dalam hal ini keterlibatan pemerintah sangat diperlukan agar asas pemerataan dan keterjangkauan pendidikan ini – terutama dari sisi pendanaan -  dapat terealisasi dan dinikmati oleh para pelaku UMKM dan koperasi dalam mengembangkan bisnis mereka.
4.     Urgensi Kepemimpinan, Kewirausahaan dan Kecerdasan Emosi-Spiritual
Program pendidikan dan pelatihan bisnis kedepan perlu memberikan porsi yang lebih besar terhadap aspek kepemimpinan dan kewirausahaan. Bagi para pelaku UMKM dan koperasi hal ini diperlukan dalam rangka optimalisasi penataan operasional internal bisnis, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek non-fisik terutama dalam rangka meningkatkan efisiensi usahanya. Berbeda halnya dengan pelaku usaha berskala besar yang lebih memerlukan kepemimpinan dan kewirausahaan untuk kepetingan eksternal-strategikal dalam rangka meningkatkan efektivitas perusahaannya. Para lulusan pendidikan dan pelatihan bisnis, baik yang berkiprah di perusahaan berskala besar maupun di UMKM dan koperasi, maka segala aspek potensi dirinya perlu dikembangkan. Jika selama ini pendidikan dan pelatihan bisnis lebih menekankan pada kemampuan daya nalar dan intelektualitas semata, maka dalam rangka meningkatkan kualitas kepemimpinan dan kewirausahaan ke depan, perlu ditopang oleh potensi lain, yaitu pelibatan aspek kecerdasan emosi dan spiritual dalam melengkapi kemampuan mereka untuk bersaing dan berprestasi. Dalam hal kepemimpinan dan kewirausahaan kepada para mahasiswa perlu diberikan pemahaman bahwa secara empirikal terdapat perbedaan yang jelas antara praktek bisnis organisasional dengan praktek bisnis non-organisasional secara aplikabel.
5.     Penerapan Multi-Media dan Teknologi serta Metoda Pembelajaran
Lembaga pendidikan bisnis – baik yang formal maupun non-formal, baik milik negara maupun swasta – perlu mengikuti dan menerapkan kemajuan  teknologi informasi dan komunikasi serta media mutakhir lainnya. Hal ini tentunya memerlukan investasi yang besar dengan biaya overhead yang tinggi. Karenanya untuk mengatasi hal tersebut,  pemecahan dilakukan dengan cara menyewa dari pihak ke tiga, kepemilikan bersama, ataupun perluasan cakupan pasar. Dilain pihak, integrasi ICT dalam sistem pendidikan yang berhasil secara implementatif, dapat membantu merampingkan biaya operasi, mengendalikan biaya administrasi, meningkatkan komunikasi internal dan eksternal, memobilisasi sumber daya yang terbatas, meningkatkan produktivitas R & D serta menjangkau keberadaan mahasiswa dan lulusan secara lebih luas dan intensif.
6.     Dimensi Etik, Tanggung Jawab Sosial dan Politik .
Di era globalisasi telah terjadi tata hubungan dunia baru dengan landasan aturan main yang telah disepakati secara bersama di tingkat hubungan internasional atau global, baik dalam bidang bisnis dan transaksi perdagangan, yang perlu direnspon oleh kalangan penyelenggara pendidikan bisnis. Disamping dibutuhkan pola pikir dengan wawasan global, lembaga pendidikan bisnis juga perlu membekali mahasiswanya dengan pola pikir respektual dan etikal agar mampu menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan bisnis aktual  kelak setelah mereka lulus. Menurut Howard Gardner, salah seorang pakar psikologi pendidikan, maka sikap respek, toleransi dan mengutamakan kepentingan bersama (etikal-altruistik) merupakan salah satu kunci sukses dalam menghadapi lingkungan bisnis ke depan. Pembekalan aspek etikal ini akan berdampak pula pada moral para lulusan, disamping mampu berbisnis dengan handal, juga memiliki kepekaan sosial dan pemahaman wawasan politik yang dinafasi kaidah-kaidah etika dalam rangka menanamkan kepercayaan terhadap rekan bisnis. Disamping itu, mahasiswa sebagai subjek didik harus mendapatkan pembelajaran etika bisnis secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses  pembelajaran harus diutamakan, terutama pelibatan etika bisnis pada aspek afektif (emosi) dapat disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Tidak lain, karena substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dalam menilai etis atau tidaknya suatu tindakan bisnis. Dengan demikian simulasi pengambilan keputusan etis dalam pendidikan bisnis  sebaiknya terintegrasi dengan pemberian mata kuliah lainnya.
7.     Manajerialisme, Gender dan Lintas-Budaya.
Tidak semua masalah dapat diatasi hanya dengan satu cara, demikian pula halnya yang berkenaan dengan permasalahan bisnis, baik yang bersifat organisasional maupun non-organisasional. Begitu pula dalam kasus gender dan lintas budaya, seolah berlaku pandangan stereotip bahwa hanya jenis kelamin dan etnis tertentu saja yang boleh menduduki posisi selaku manajer dalam aktivitas bisnis. Tentunya pandangan streotip ini keliru dan tidak relevan lagi, sebagaimana yang pernah dianut oleh kalangan dunia bisnis terdahulu, yang tadinya menganggap bahwa kerja tim yang didasarkan pada mono-etnis dan mono-gender adalah yang mampu meningkatkan produktivitas kerja tim. Hipotetis ini sekarang banyak disangkal, mengingat di banyak perusahaan bahkan di banyak negara, produktivitas kerja tim justru meningkat ketika diterapkannya aspek multi-etnis, budaya dan gender yang pada saat ini mulai banyak diterapkan di berbagai negara, seperti Singapura. Oleh karena itu pendidikan tinggi yang tengah mempersiapakan SDM di bidang bisnis, perlu menambahkan perspektif multi etnis-kultural dan gender ini sebagai faktor pemicu kreativitas dan produktivitas, yang dapat disampaikan dengan pelbagai metoda belajar mengajar, baik role playing, learner dynamic, games dan simulasi serta program internship, dimana semua aspek perbedaan tersebut harus dibaurkan melalui pendekatan metoda pembelajaran tersebut. Dengan demikian pendidikan bisnis dapat memainkan peran penting dalam pengembangan dan pelatihan terhadap orang yang peka terhadap budaya dan mampu bekerja dalam lingkungan kerja tim yang multikultural.
8.      Nilai Sejarah dan Narasi
Sejarah dan narasi merupakan input penting bagi seseorang untuk melakukan refleksi ke masa lalu, dan juga sebagai sumber inspirasi, kreasi dan inovasi untuk masa mendatang. Pendokumentasian perjalanan sejarah institusi pendidikkan bisnis, baik dalam bentuk perjuangan, kisah sukses dan peninggalan fisik, akan memberikan perspektif dan informasi  lebih utuh bagi mahasiswa, lulusan dan publik terhadap warisan sejarah yang memiliki nilai ekonomis (economic heritage). Oleh karena itu dokumentasi dan narasi sejarah perlu dilestarikan dalam rangka artikulasi sumbangan  pendidikan tinggi terhadap siklus budaya dan peradaban. Adapun sejarah dalam arti evolusi kemajuan ilmu pengetahuan bisnis merupakan sumber inspirasi yang dapat memicu kreativitas dan inovasi bagi penemuan, baik bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun kemanfaatannya untuk kepentingan praktikal situasional.
9.     Metodologi Pembelajaran
Didalam proses pendidikan manajemen dan bisnis, maka faktor metodologi pembelajaran sangatlah penting, karena hal ini akan menentukan sejauhmana kadar transfer ilmu pengetahuan dari pendidik atau dosen terhadap peserta didik atau mahasiswa. Menyimak metodologi yang ada saat ini, terdapat metodologi lama yang perlu dikurangi atau dimodifikasi seperti texbook dan power-point, namun metodologi lain seperti games, role-play, learner dynamics dan simulasi yang ditunjang peralatan canggih perlu diperhatikan. Sehubungan dengan kebutuhan biaya investasi yang besar, dibalik semua metodologi yang canggih tersebut, keberadaan penyediaan papan tulis tetap diperlukan dalam rangka menciptakan suasana tatap muka, hubungan dialogis dan relasi yang hangat, disamping murah, efektivitasnya masih dirasakan sampai saat ini. Sementara dalam mengadopsi metoda yang akan digunakan perlu bervariasi sejalan dengan visi, misi dan tujuan, sumber daya yang dimiliki, lokasi, regulasi, bahasa, budaya, dan kalender akademik dan non-akademik yang berlaku.
Demikianlah, beranjak dari paparan diatas penulis merasa bahwa pemikiran yang telah diuraikan di atas, masih perlu disempurnakan. Karenanya dengan pelbagai kekurangan yang ada, segala masukan dan kritikan akan sangat berharga bagi penyempurnaan yang tentunya akan disambut dengan senang hati. Yang jelas, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan akan tetap sulit diatasi dan kesejahteraan masyarakat akan semakin menjauh seandainya tidak dilakukan perubahan yang signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk di bidang manajemen dan bisnis. Oleh karena itu, perlu lebih mempertimbangkan dimensi sosial-kemanusiaan ketimbang bisnis-ekonomi. Disamping itu perlu berpegang pada kaidah-kaidah etika, profesionalisme dan peningkatan kualitas jasa pendidikan. Perlu dicamkan disini, bahwa tugas utama pendidikan secara universal adalah untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab seseorang, bukan hanya terhadap negara dan lingkungan kemasyarakatan, tetapi juga terhadap kelangsungan hidup umat manusia.
                                                                                   
Bandung, 27 Juni 2012

                                                                                                              Faisal Afiff