AGAMA DAN GLOBALISASI
Globalisasi sebagai proses sejarah sekaligus sebuah
tren ekonomi telah memberi pengaruh yang
signifikan terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia. Ada
pengaruh yang bersifat positif, seperti tersedianya informasi yang mudah
diakses secara cepat, masif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia
berkat tersedianya jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun, ada pula
pengaruh yang bersifat negatif, seperti persaingan sosial, budaya, agama,
politik, dan bisnis. Menguatnya sentimen antar suku, ras, agama, dan
bangsa-bangsa di beberapa tempat, serta melebarnya kesenjangan dan ketimpangan
ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Begitu pula tengah terjadi kerusakan lingkungan alam akibat eksploitasi
dan eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan, adalah pelbagai dampak negatif
dari proses sejarah dan pusaran ekonomi global yang sedang berputar sekarang
ini. Hasil penelitian dari The Centre of National Research of France
menyatakan bahwa dunia dewasa ini tengah memasuki perkembangan baru globalisasi,
yaitu globalisasi budaya. Globalisasi
pertama adalah globalisasi politik yang dimulai dengan terbentuknya Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Globalisasi
kedua adalah globalisasi ekonomi yang diperkirakan dimulai pada pertengahan
tahun 1970-an, yakni ditandai lahirnya berbagai kesepakatan antar negara, seperti
APEC, AFTA, NAFTA, dan lain-lain. Globalisasi
ketiga adalah globalisasi budaya yang dimulai pada sekitar pertengahan
tahun 2000-an. Pertemuan antar dan lintas budaya yang sering terjadi
mengakibatkan penguatan budaya lokal karena setiap bangsa ingin mempertahankan
budayanya sendiri. Agaknya periode tenggang waktu munculnya tahap globalisasi
mengikuti siklus 30 tahunan, sehingga dapat diprediksi di tahun 2030-an
kemungkinan besar dapat terjadi globalisasi dibidang pendidikan, ditandai
dengan banyaknya perguruan tinggi asal negara maju yang memiliki cabang di
sejumlah negara lain. Terdapat kekhawatiran bahwa ketika pendidikan di negara-negara
sekuler mengendalikan dunia pendidikan, maka isu sekulerisme semakin sulit
diatasi. Perkembangan ini menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan yang
berlabel agamis di seluruh dunia. Sehingga terdapat kebutuhan mendesak untuk
merealisasikan sebuah pendidikan agama, sains, dan teknologi untuk menghidupkan
intelektualitas di negara-negara yang menerapkan pendidikan yang bernafaskan
agamis yang relatif telah lama stagnan. Karakteristik perkembangan masyarakat
pada era globalisasi budaya diprediksikan tidak akan linear lagi, namun akan
penuh dengan diskontinuitas dan ketidakpastian. Jika dunia pendidikan
bernafaskan agama gagal merespon dengan baik perkembangan globalisasi budaya
ini dengan daya intelektualitas yang
memadai, maka kegagalan tersebut mudah mendorong kelompok-kelompok primordial
dengan faham ekslusifisme-radikal muncul ke permukaan, seperti munculnya
gerakan Al-Qaeda dan perlawanan kelompok radikal lainnya.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan
masyarakat polisentris yang multi-kultural dan multi-religius, suatu istilah
yang menunjuk pada tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam
identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi
yang setara dan kooperatif. Dalam konteks ini, globalisasi seolah membuka jalan
bagi terciptanya keadilan, demokrasi, perdamaian, integritas, persaudaraan, dan
persahabatan di dalam perbedaan. Sebagaimana disinyalir oleh Malcom Walter, bahwa
globalisasi yang datang bersamaan dengan kapitalisme ini telah membawa kekuatan
baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer, dan sumber kekuatan
lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi
baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan
nilai-nilai kebudayan barat, seperti hak asasi manusia, demokrasi, feminisme,
liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Namun
demikian, dibelahan dunia lain tengah terjadi resistensi terhadap arus dan
faham globalisasi, ditandai dengan tumbuhnya semangat dan sikap tidak toleran, yakni munculnya pelbagai komunitas
primordial yang justru mempertebal
kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal.
Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama
identitas primordial seperti agama ini. Lepas dari adanya rekayasa di balik itu
semua, kejadian mengerikan pernah terjadi di Indonesia, baik kasus Ambon maupun
musibah yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah yang menimbulkan korban dan
merenggut nyawa, oleh penyerangan sekelompok ormas yang mengatasnamakan
identitas keagamaan. Begitu juga maraknya aktivitas radikalisme pada
tahun-tahun belakangan ini sebagai bentuk penentangan yang lebih ekstrim.
Potensi konflik juga acap terjadi dalam modus penolakan terhadap kesenian yang
dianggap berbau budaya barat, seperti penolakan terhadap artis atau grup musik
asing akhir-akhir ini, yang dianggap membawa pengaruh budaya negatif.
Di pihak lain, globalisasi dengan visi multi-kultural
dan multi-religiusnya adakalanya dianggap dapat mengancam pelbagai identitas
lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan
kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks ini
muncul peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan
lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama dapat ditanggalkan dan
kemudian berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik
atau sebaliknya rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini
bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi
dirinya. David Ray Griffin menyatakan
bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak
kualitas penting, dimana manusia dapat terlempar ke dalam kekosongan tak
bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya. Pada
kenyataannya ternyata globalisasi tersebut tidak berlangsung hanya dari barat
ke timur, tetapi juga adanya pengaruh timur ke barat, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa wilayah timur tempat dimana mayoritas muslim berdomisili merupakan korban
terbesar globalisasi. Sehingga terjadi perkembangan menarik di Timur Tengah – sebagai
poros dunia Islam - yang digambarkan oleh para analis barat.
Sebagai ilustrasi, sebelum abad ke 20 versi Islam Salafi
yang fundamentalis tidak begitu menarik bagi orang-orang di luar gurun Arabia,
namun perkembangan terakhir tidak begitu lagi, penyebaran Salafisme yang
didanai petrodolar Arab Saudi telah memberikan dampak sangat besar pada cara
kebanyakan orang muslim menafsirkan kepercayaan mereka dewasa ini, serta
bagaimana mereka memandang kepercayaan lain, termasuk kepada sesama muslim yang
kurang ortodok maupun kepada kelompok Syi’ah. Di tangan para fundamentalis
muslim faham Salafisme yang didukung dana minyak telah berfungsi sebagai ideologi
yang membenarkan “jihad kekerasan” dengan tujuan mengembalikan kejayaan
kekhalifahan Islam abad ke 7 dengan mendukung kelompok-kelompok Taliban, Al
Qaeda, Hammas, dan pelaku bom bunuh diri di Irak, Palestina serta Pakistan. Adanya
serangan yang hendak mengambil alih Masjidil Haram di Makkah pada tahun 1979,
telah membuat keluarga kerajaan Saudi sadar bahwa upaya untuk menumbangkan
mereka tidak main-main lagi. Pelajaran yang dipetik keluarga kerajaan dari
pertikaian itu adalah melindungi diri dari kelompok ekstrimis religius dengan
cara memberdayakan jenis kelompok yang sama kearah luar. Pemerintah Saudi
menggunakan milyaran real untuk membangun ratusan mesjid dan perguruan tinggi
serta ribuan sekolah keagamaan di seluruh dunia, dengan staf yang terdiri atas
imam-imam yang beraliran Wahabi. Karena Arab Saudi memiliki sumber minyak yang
melimpah dan pengelola dua mesjid suci Islam di Makkah dan Madinah, sehingga
memiliki baik dukungan legitimasi maupun tingkat sumber daya yang melimpah
untuk memajukan aliran Islam ultrakonservatif ke seluruh dunia muslim.
Belakangan ini telah muncul kecenderungan geopolitik
paling penting, yakni terjadinya pergeseran pusat gravitasi dunia Islam, dari Cairo-Istanbul-Casablanca-Damaskus
atau mediteranian pada abad ke-19 dan 20 yang tadinya bersikap lunak dan
terbuka, kearah gravitasi dunia Islam Salafi yang berkiblat ke negeri Saudi
atau gurun yang puritan, membatasi peran kaum perempuan dan bersikap keras
terhadap kepercayaan lain. Para analis menyatakan kebangkitan aliran Islam yang
lebih fundamentalis dalam dua dasawarsa yang lalu digerakkan sepenuhnya oleh
uang yang berasal dari Saudi. Permusuhan yang meluas terhadap globalisasi dan
westernisasi juga merebak di dunia muslim setelah kegagalan nasionalisme,
sosialisme, dan bahkan komunisme di dunia Arab. Menurut laporan Financial Times (2008), dinyatakan bahwa
Saudi jelas telah mendorong dan mengokohkan gerakan Islam yang ortodok dan
kaku. Hampir dua per tiga dari populasi timur tengah yang berusia di bawah umur
dua puluh lima tahun dan lebih dari satu perempatnya tidak bekerja, mereka telah
menemukan penyaluran dari rasa frustasi dan pengangguran ke dalam kegiatan
agama. Dalam sebuah esainya, William G. Ridgeway dari lembaga penelitian Inggris
The Social Affair Unit (2005)
menyatakan bahwa pergeseran yang terjadi tadi merupakan sebuah versi modern
pertentangan yang sudah lama terjadi antara “Islam gurun yang puritan” dalam
hal ini diwakili oleh sekte-sekte semacam kaum Wahabi, dan “Islam perkotaan”
yang jauh lebih kosmopolitan, lebih toleran dan lebih terbuka kepada gagasan
lain. “Pemaksaan modernisasi yang meski dilakukan secara halus telah
menghasilkan peningkatan kekuatan dan penyebaran Islam gurun dalam kehidupan
sehari-hari”, begitu tulis Ridgeway. Minyak telah membuat Saudi memiliki cara untuk
mengubah dunia agar mirip dengan mereka atau sebagai upaya serangan terhadap
Islam liberal oleh sebuah sekte gurun yang telah dipinggirkan dalam masa
keemasan budaya Arab masa lalu. Selain Arab Saudi, negara teluk konservatif
lain, seperti Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menyalurkan dana minyak
mereka ke badan-badan amal dan lembaga keagamaan yang lebih konservatif, baik
di dalam negeri maupun ke negara lain. Orang Mesir sebetulnya enggan menerima
yang mereka sebut Saudisasi kebudayaan mereka. Mesir sudah mendominasi seni
pertunjukkan dari Maroko hingga Irak, namun kini akibat banjir petrodolar dari
para investor Saudi yang terus membeli pelbagai kontrak dengan para penyanyi
dan aktor telah mengobrak-abrik dunia televisi dan perfilman yang cenderung
menetapkan sebuah agenda media yang lebih berakar pada nilai-nilai ortodok
Saudi daripada ke budaya Mesir yang luwes. Ironinya antara kaum Wahabi dan
kelompok Al Qaeda memiliki ideologi yang hampir sama, dimana penguasa Arab Saudi
adalah sekutu AS dan Al Qaeda adalah musuh utama AS. Menurut mantan direktur
CIA, Jim Woolsey, “pertentangan mendasar
antara kaum Wahabi dan Al Qaeda bukan dalam hal ideologi, namun lebih dipicu
oleh persaingan dalam hal determinasi dan kekuasaan, seperti pertentangan
antara pengikut Stalin dan pengikut Trotsky di Rusia”. Bagaimanapun
pandangan-pandangan yang dilandasi persaingan dari kedua faham tersebut secara
umum menunjuk kearah yang sama. Banyak madrasah yang didanai olah kaum Wahabi di
seluruh dunia menggemakan dan mempraktikan rivalitas kepada pihak lain yang
membawa kepada konsekuensi yang sama. Surat kabar Saudi Ain - Al Yaqeen (2000)
melaporkan bahwa empat organisasi penyebaran faham Wahabi, diantaranya yayasan
Al Haramain telah membangun 1100 buah mesjid, sekolah dan pusat-pusat keIslaman
di Pakistan dan negara muslim lainnya, serta mempekerjakan 3 ribu juru dakwah
pada tahun sebelumnya. Bahkan organisasi yang paling aktif, yaitu International Islamic Relief Organization, yang sempat dituduh oleh
komisi 11 September sebagai pendukung langsung Taliban dan Al Qaeda, telah
menyelesaikan pembangunan 3800 mesjid dan mengeluarkan uang 45 juta dolar AS untuk
pendidikan Islam dengan mempekerjakan 6 ribu guru agama yang sebagian besar berasal
dari Pakistan.
Menurut Mamoun Fandy dari International Institute Of Strategic di London mengatakan bahwa
saat ini ada “Islam laut tengah” dan ada “Islam laut merah”, dan apabila pusat
gravitasi Islam bergeser kearah laut tengah, yakni dunia yang sibuk dengan
perkapalan, perdagangan, dan interaksi, di Beirut, Istanbul, Alexandria, atau
Andalusia maka agama dan komunitasnya akan lebih kosmopolitan yang bersedia
memandang dan bergaul dengan dunia luar. Apabila pusat gravitasi Islam bergeser
ke laut merah dan lebih mendekat ke gurun yang terisolasi dan kurang ramah
serta kaya dengan sumber minyak mentah, maka muncul fanatisme dan ketidaksenangan
kepada orang asing. Namun demikian, belakangan ini ada kabar baik dari keluarga
raja Saudi yang telah mengambil langkah nyata dalam upaya mengendalikan
juru-juru da’wah kelompok jihad, para sarjana, serta kaum muda religius yang
paling ekstrem, serta menangkap orang Saudi yang bergabung dalam organisasi
radikal dalam negeri atau menjadi relawan untuk berjihad diluar negeri. Namun
demikian ideologi Salafi Wahabi semakin dipertahankan dan semakin tertanam dalam
sistem keagamaan dan/ atau pendidikan Saudi dan upaya untuk mengendurkannya
merupakan tugas yang sulit. Sebelumnya keluarga yang berkuasa di Saudi tidak khawatir
terhadap kelompok jihad radikal di negeri mereka selama militansi mereka
diarahkan ke luar negeri. Akan tetapi setelah kaum jihad juga melancarkan
serangan kepada berbagai lembaga Saudi didalam negeri, maka pemerintah yang
berkuasa mulai menangani ancaman tersebut dengan lebih serius. Laporan BBC (2008)
dengan mengutip surat kabar Saudi Asharq Alawasat bahwa kerajaan Saudi tengah
melatih kembali 40 ribu imam masjid dan guru agama mereka dalam upaya meredam Islam
militan, juga memberi penataran remedial kepada para tokoh utama keagamaan di
negeri itu, diantaranya menyerukan untuk berhenti mengutuk kelompok agama lain.
Sebagaimana dimuat dalam Al-Riyadi (2008), surat kabar pemerintah ini menyerukan
bahwa memusuhi kelompok agama lain bertentangan dengan hukum Ilahi, dimana kutukan
seharusnya tidak diarahkan kepada kaum kafir secara umum, melainkan hanya
kepada yang menyakiti dan memerangi orang muslim.
Tentu saja
masih banyak warga Saudi yang moderat bahkan bersikap pro Barat, yaitu mereka
yang pernah belajar di Amerika Serikat dan sering bertukar pikiran dengan orang
barat. Meski mereka mencintai agamanya namun merasa malu dengan sikap
berlebihan kelompok Salafi-Wahabi, yang telah mencoreng Arab Saudi dimata
dunia. Mereka percaya bahwa banyak orang Saudi lebih menyukai umat Islam yang
lebih terbuka. Namun disadari oleh mereka bahwa mereka bukan yang menetapkan
aturan agama dan bukan yang dapat mempengaruhi madrasah-madrasah baik di
Pakistan, Inggris, Irak, dan Indonesia. Hal traumatik masih membayang dimana pemuda
Muslim Sunni dari Arab Saudi, Afrika Utara, dan seluruh dunia Arab yang
terilhami oleh para juru da’wah Saudi Wahabi telah menjadi kekuatan utama
pelaku bom bunuh diri yang mempu menghadang tentara pimpinan Amerika Serikat
dalam perang di Iraq. Menurut Stuart Levey, asisten menteri ekonomi pemerintahan
George Bush kepada ABC News (2007), “andai
saya dapat menjentikan jari saya untuk menghentikan aliran dana dari sebuah
negeri, maka negeri itu adalah Arab Saudi”. Warga Saudi juga menyediakan
dana untuk Al-Qaeda di Mesopotamia guna mencegah kaum Syiah mendominasi kaum
muslim di Iraq. Dengan politik minyak (petro
politics) telah membantu melicinkan seluruh proses gerakan ini. Gal Luft
dan Anne Korin dari Institute for the
Analysis of Global Security, menyatakan bahwa memang banyak badan amal di
Arab Saudi yang benar-benar didirikan untuk tujuan mulia, namun ada diantaranya
yang hanya berfungsi untuk pencucian uang dan/ atau alat pendanaan kelompok
radikal. Yang membuat pelacakan dan pengendalian uang dalam transaksi di dunia
Arab menjadi sulit adalah adanya sistem hawala,
yaitu berupa metoda pemindahan uang tidak resmi yang merupakan salah satu unsur
kunci dalam pendanaan kelompok radikal di dunia, yang telah tertanam kuat dalam
budaya Arab. Transaksi hawala
didasarkan pada prinsip saling kepercayaan, yang dilakukan secara lisan tanpa
ada catatan diatas kertas sama sekali.
Kebanyakan warga Saudi kaya raya berkat dana penjualan
minyak dari dunia barat, telah mengubah tidak hanya dunia Muslim, tetapi juga mengubah
politik dunia secara keseluruhan. Dengan hanya menggali sebuah lubang digurun,
sebuah negara dapat memacu energi kreativitas dan kewirausahaan. Namun disisi
lain suatu negara juga dapat mengekang kemerdekaan serta mengabaikan pendidikan
dan pembangunan kualitas manusia yang mencerdaskan, dan penyebab dari kesemua
hal ini adalah politik minyak. Sebagaimana pernah dikatakan oleh direktur CIA Jim
Woolsey, “kita tengah mendanai pembelian tali untuk menggantung
diri kita sendiri”, dimana kelompok radikal telah menyalurkan dana amal
untuk yayasan pendidikan yang bersifat kurang toleran dan menolak kepada
nilai-nilai asal dunia barat. Perlombaan senjata juga tengah terjadi antara
sesama agama di dunia modern, yaitu antara pemerintahan Salafi Saudi yang kaya
minyak dengan Republik Islam Revolusioner Syiah atau Iran yang juga kaya minyak
yang berebut pengaruh untuk mengatur dunia Islam. Terlepas dari perseteruan dan
persaingan diatas, kemunduran dunia Islam di bidang sains dan teknologi
terutama disebabkan oleh budaya dan praktek politik minyaknya. Akhir-akhir ini
Saudi Arabia disamping memprioritaskan pengembangan aliran Wahabiah juga telah
menginvestasikan dananya dalam jumlah yang relatif besar dibidang sains dan teknologi.
Dengan dana yang melimpah disayangkan di negara yang kaya minyak tersebut belum
berhasil melahirkan adanya World Class
University, yang unggul dibidang
sains dan teknologi. Indonesia pun terlalu sibuk melakukan reformasi dibidang
politik, ekonomi, dan hukum yang tidak pernah kunjung sampai pada substansi
persoalannya, sehingga melupakan sektor pendidikan. Padahal hal ini akan
membuat konsekuensi dimasa mendatang, dimana seluruh komponen bangsa akan
mengalami keterbelakangan kolektif dalam memasuki kehidupan globalisasi budaya
dan pendidikan. Kebijakan politik Malaysia yang berinvestasi secara besar-besaran
di bidang pendidikan sains dan teknologi patut diteladani oleh negara mayoritas
muslim lainnya. Porsi dana pendidikan di Malaysia yang rata-rata diatas 3%,
bahkan 8% dari GDP pada tahun 2005 – sementara Indonesia hanya rata-rata 1% -
telah menjadikan Malaysia satu-satunya negara mayoritas muslim yang menempatkan
dua universitasnya dalam 200 unversitas terbaik didunia. Maka Malaysia telah
mengembangkan pendidikan yang relevan dengan arah globalisasi yang leading di bidang sains dan teknologi tanpa
mengabaikan pendidikan religiusnya. Dengan demikian dunia Islam perlu
meninggalkan paradigma pendidikan lama yang lebih diwarnai oleh kepentingan
Ideologi-keagamaan dan tradisi semata.
Tanpa harus mencampuri urusan negara-negara Timur
Tengah yang tengah membiayai untuk menyebarkan faham Salafi-Wahabiah - yang sebenarnya juga sebagai reaksi terhadap globalisai yang mengancam
sendi-sendi tradisi mereka - dimana batas-batas negara secara fisik geografis
menjadi tidak penting lagi. Dengan adanya penemuan baru dalam bidang teknologi
informasi dan komunikasi (ICT), kekuasaan suatu negara dalam arti teritorial
telah semakin kabur. Maka dalam situasi ini, Indonesia dapat mengambil
pelajaran dari suatu proses pendidikan yang bersifat maya (virtual) yang mampu mempersiapkan generasi muda menjadi komunitas
yang terberdayakan dalam menghadapi kehidupan global yang semakin lama semakin
menggantungkan diri pada teknologi informasi dan komunikasi. Di era globalisasi
budaya dan pendidikan, maka perguruan tinggi sekuler yang maju – diprediksi
akan tetap leading - di dunia barat,
seperti Harvard, Columbia, Cambridge, dan Oxford University dengan mudah dapat membuka cabang-cabangnya di
seluruh dunia. Dengan demikian, pendidikan tinggi di Indonesia dapat
mensinergikan antara agama, sains, dan teknologi sebagai alternatif utama,
terutama ketika lembaga pendidikan di era ini secara global mencari pendekatan
baru dalam pengembangan sains dan teknologi yang lebih konstruktif. Bahkan secara
faktual semakin maju sains dan teknologi semakin relevan dan dekat dengan
ayat-ayat sains dan teknologi yang terkandung dalam kitab-kitab suci. Dengan
peningkatan intelektual yang tercerahkan, bangsa Indonesia dapat terhindar dari
merebaknya faham radikalisme-ekstrim yang diimpor dari pusat negara-negara
asalnya. Dengan hanya berbekal pendidikan religius yang bersumber pada revealed knowledge semata, bangsa
Indonesia akan lumpuh dalam menghadapi persaingan global. Sebaliknya dengan
berbekal sains dan teknologi yang bersumber dari acquired knowledge semata, umat beragama Indonesia akan kehilangan kontrol
dalam mengimplementasikan sains dan teknologi. Memadukan antara revealed knowledge dengan acquired knowledge secara total
merupakan langkah awal dalam mengatasi problematik globalisasi yang dihadapi
bangsa Indonesia selama ini.
Pada tanggal 28 Agustus hingga 4 September 1993 di kota
Chicago AS, komunitas agama sedunia pernah melaksanakan pertemuan Dewan
Parlemen Agama-Agama Dunia. Dengan jumlah peserta lebih dari 6.500 orang dari
berbagai komunitas agama dunia, pertemuan itu berhasil mendeklarasikan sebuah
piagam yang disebut “Declaration Toward a
Global Ethic.” Dokumen ini merupakan sebuah konsensus dasar (fundamental consensus) yang terkait
dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu
gugat, serta sikap dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global. Di
dalam dokumen deklarasi tersebut komunitas agama sedunia mendeklarasikan
beberapa hal, yaitu pertama, kesadaran
akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
lingkungannya. Kedua, komitmen untuk
menghormati kehidupan dan martabat,
individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara
manusiawi dan setara tanpa kecuali. Ketiga,
panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan,
keadilan, dan perdamaian. Keempat, komitmen
untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, dimana
setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang optimal
sebagai manusia.
Dengan etika global tersebut diharapkan terjadinya
perkembangan ilmu pengetahuan yang bersanding dengan kebijakan, penerapan
teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang
dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi yang dilandasi moral,
dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan menjungjung semangat
persaudaraan. Dengan demikian globalisasi
dan agama memang tidak dapat dipisahkan, baik secara historis maupun ideologis,
maka agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era
manapun termasuk di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi
adalah misi agama itu sendiri. Oleh sebab itu adalah relevan membicarakan
globalisasi dalam hubungan dengan agama sebagai suatu keharusan untuk meminta
pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari berbagai agama tentang ragam
persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini. Tentunya
dukungan harus terus diberikan terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk
mempertemukan pelbagai pandangan keagamaan sebagaimana yang ditempuh oleh Dewan
Parlemen Agama - Agama Dunia, yaitu suatu dialog antar dan lintas agama dalam
skala global dalam rangka menemukan dan menebarkan prinsip-prinsip moral,
perdamaian dan kemanusiaan, sebagaimana dirindukan oleh umat manusia yang masih
berfikir waras secara keseluruhan. Tantangan nyata dunia pendidikan tinggi
dewasa ini – khususnya bagi kaum muda Indonesia – adalah bagaimana
mensenyawakan antara sains dan teknologi yang bernafaskan sekuler dengan secret science and technology yang bernafaskan spiritual-keagamaan, yang
selama ini masih terkesan berjalan disharmoni, padahal secara metodologis keduanya
tidak bertentangan. Jawaban terhadap hal ini terpulang pada kemauan dan
kemampuan tenaga pendidik Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan pendidikan
strata 3 dalam segala macam bidang sains dan teknologi.
Jakarta, 29 Mei 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar