.


Senin, 04 Juni 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Agama dan Globalisasi

AGAMA DAN GLOBALISASI
Globalisasi sebagai proses sejarah sekaligus sebuah tren ekonomi telah  memberi pengaruh yang signifikan terhadap struktur sosial dan tingkat kesejahteraan manusia. Ada pengaruh yang bersifat positif, seperti tersedianya informasi yang mudah diakses secara cepat, masif, dan ekonomis serta terjalinnya kehidupan manusia berkat tersedianya jaringan komunikasi dan transaksi global. Namun, ada pula pengaruh yang bersifat negatif, seperti persaingan sosial, budaya, agama, politik, dan bisnis. Menguatnya sentimen antar suku, ras, agama, dan bangsa-bangsa di beberapa tempat, serta melebarnya kesenjangan dan ketimpangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Begitu pula tengah terjadi  kerusakan lingkungan alam akibat eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan, adalah pelbagai dampak negatif dari proses sejarah dan pusaran ekonomi global yang sedang berputar sekarang ini.  Hasil penelitian dari The Centre of National Research of France menyatakan bahwa dunia dewasa ini tengah memasuki perkembangan baru globalisasi, yaitu globalisasi budaya. Globalisasi pertama adalah globalisasi politik yang dimulai dengan terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Globalisasi kedua adalah globalisasi ekonomi yang diperkirakan dimulai pada pertengahan tahun 1970-an, yakni ditandai lahirnya berbagai kesepakatan antar negara, seperti APEC, AFTA, NAFTA, dan lain-lain. Globalisasi ketiga adalah globalisasi budaya yang dimulai pada sekitar pertengahan tahun 2000-an. Pertemuan antar dan lintas budaya yang sering terjadi mengakibatkan penguatan budaya lokal karena setiap bangsa ingin mempertahankan budayanya sendiri. Agaknya periode tenggang waktu munculnya tahap globalisasi mengikuti siklus 30 tahunan, sehingga dapat diprediksi di tahun 2030-an kemungkinan besar dapat terjadi globalisasi dibidang pendidikan, ditandai dengan banyaknya perguruan tinggi asal negara maju yang memiliki cabang di sejumlah negara lain. Terdapat kekhawatiran bahwa ketika pendidikan di negara-negara sekuler mengendalikan dunia pendidikan, maka isu sekulerisme semakin sulit diatasi. Perkembangan ini menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan yang berlabel agamis di seluruh dunia. Sehingga terdapat kebutuhan mendesak untuk merealisasikan sebuah pendidikan agama, sains, dan teknologi untuk menghidupkan intelektualitas di negara-negara yang menerapkan pendidikan yang bernafaskan agamis yang relatif telah lama stagnan. Karakteristik perkembangan masyarakat pada era globalisasi budaya diprediksikan tidak akan linear lagi, namun akan penuh dengan diskontinuitas dan ketidakpastian. Jika dunia pendidikan bernafaskan agama gagal merespon dengan baik perkembangan globalisasi budaya ini dengan daya  intelektualitas yang memadai, maka kegagalan tersebut mudah mendorong kelompok-kelompok primordial dengan faham ekslusifisme-radikal muncul ke permukaan, seperti munculnya gerakan Al-Qaeda dan perlawanan kelompok radikal lainnya.
Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi melahirkan masyarakat polisentris yang multi-kultural dan multi-religius, suatu istilah yang menunjuk pada tersedianya ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan kooperatif. Dalam konteks ini, globalisasi seolah membuka jalan bagi terciptanya keadilan, demokrasi, perdamaian, integritas, persaudaraan, dan persahabatan di dalam perbedaan. Sebagaimana disinyalir oleh Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersamaan dengan kapitalisme ini telah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer, dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayan barat, seperti hak asasi manusia, demokrasi, feminisme, liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Namun demikian, dibelahan dunia lain tengah terjadi resistensi terhadap arus dan faham globalisasi, ditandai dengan tumbuhnya semangat dan sikap  tidak toleran, yakni munculnya pelbagai komunitas primordial yang justru mempertebal   kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang radikal. Karena itu tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama ini. Lepas dari adanya rekayasa di balik itu semua, kejadian mengerikan pernah terjadi di Indonesia, baik kasus Ambon maupun musibah yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah yang menimbulkan korban dan merenggut nyawa, oleh penyerangan sekelompok ormas yang mengatasnamakan identitas keagamaan. Begitu juga maraknya aktivitas radikalisme pada tahun-tahun belakangan ini sebagai bentuk penentangan yang lebih ekstrim. Potensi konflik juga acap terjadi dalam modus penolakan terhadap kesenian yang dianggap berbau budaya barat, seperti penolakan terhadap artis atau grup musik asing akhir-akhir ini, yang dianggap membawa pengaruh budaya negatif.  
Di pihak lain, globalisasi dengan visi multi-kultural dan multi-religiusnya adakalanya dianggap dapat mengancam pelbagai identitas lokal dan primordial. Tidak sedikit orang yang mengalami krisis identitas dan kehilangan orientasi nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Dalam konteks ini muncul peluang bagi lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baru terbuka dengan lapang. Sistem kepercayaan dan komunitas iman yang lama dapat ditanggalkan dan kemudian berpaling pada agama-agama modern yang bersifat mistik personalistik atau sebaliknya rasionalistik materialistik. Kedua kategori agama modern ini bersifat artifisial dan menjauhkan manusia dari eksistensi dan transendensi dirinya.  David Ray Griffin menyatakan bahwa globalisasi telah membuat kita terancam oleh bahaya kehilangan banyak kualitas penting, dimana manusia dapat terlempar ke dalam kekosongan tak bermakna dan menjadi makhluk asing bagi dirinya dan bagi lingkungannya. Pada kenyataannya ternyata globalisasi tersebut tidak berlangsung hanya dari barat ke timur, tetapi juga adanya pengaruh timur ke barat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah timur tempat dimana mayoritas muslim berdomisili merupakan korban terbesar globalisasi. Sehingga terjadi perkembangan menarik di Timur Tengah – sebagai poros dunia Islam - yang digambarkan oleh para analis barat.
Sebagai ilustrasi, sebelum abad ke 20 versi Islam Salafi yang fundamentalis tidak begitu menarik bagi orang-orang di luar gurun Arabia, namun perkembangan terakhir tidak begitu lagi, penyebaran Salafisme yang didanai petrodolar Arab Saudi telah memberikan dampak sangat besar pada cara kebanyakan orang muslim menafsirkan kepercayaan mereka dewasa ini, serta bagaimana mereka memandang kepercayaan lain, termasuk kepada sesama muslim yang kurang ortodok maupun kepada kelompok Syi’ah. Di tangan para fundamentalis muslim faham Salafisme yang didukung dana minyak telah berfungsi sebagai ideologi yang membenarkan “jihad kekerasan” dengan tujuan mengembalikan kejayaan kekhalifahan Islam abad ke 7 dengan mendukung kelompok-kelompok Taliban, Al Qaeda, Hammas, dan pelaku bom bunuh diri di Irak, Palestina serta Pakistan. Adanya serangan yang hendak mengambil alih Masjidil Haram di Makkah pada tahun 1979, telah membuat keluarga kerajaan Saudi sadar bahwa upaya untuk menumbangkan mereka tidak main-main lagi. Pelajaran yang dipetik keluarga kerajaan dari pertikaian itu adalah melindungi diri dari kelompok ekstrimis religius dengan cara memberdayakan jenis kelompok yang sama kearah luar. Pemerintah Saudi menggunakan milyaran real untuk membangun ratusan mesjid dan perguruan tinggi serta ribuan sekolah keagamaan di seluruh dunia, dengan staf yang terdiri atas imam-imam yang beraliran Wahabi. Karena Arab Saudi memiliki sumber minyak yang melimpah dan pengelola dua mesjid suci Islam di Makkah dan Madinah, sehingga memiliki baik dukungan legitimasi maupun tingkat sumber daya yang melimpah untuk memajukan aliran Islam ultrakonservatif ke seluruh dunia muslim.
Belakangan ini telah muncul kecenderungan geopolitik paling penting, yakni terjadinya pergeseran pusat gravitasi dunia Islam, dari Cairo-Istanbul-Casablanca-Damaskus atau mediteranian pada abad ke-19 dan 20 yang tadinya bersikap lunak dan terbuka, kearah gravitasi dunia Islam Salafi yang berkiblat ke negeri Saudi atau gurun yang puritan, membatasi peran kaum perempuan dan bersikap keras terhadap kepercayaan lain. Para analis menyatakan kebangkitan aliran Islam yang lebih fundamentalis dalam dua dasawarsa yang lalu digerakkan sepenuhnya oleh uang yang berasal dari Saudi. Permusuhan yang meluas terhadap globalisasi dan westernisasi juga merebak di dunia muslim setelah kegagalan nasionalisme, sosialisme, dan bahkan komunisme di dunia Arab. Menurut laporan Financial Times (2008), dinyatakan bahwa Saudi jelas telah mendorong dan mengokohkan gerakan Islam yang ortodok dan kaku. Hampir dua per tiga dari populasi timur tengah yang berusia di bawah umur dua puluh lima tahun dan lebih dari satu perempatnya tidak bekerja, mereka telah menemukan penyaluran dari rasa frustasi dan pengangguran ke dalam kegiatan agama. Dalam sebuah esainya, William G. Ridgeway dari lembaga penelitian Inggris The Social Affair Unit (2005) menyatakan bahwa pergeseran yang terjadi tadi merupakan sebuah versi modern pertentangan yang sudah lama terjadi antara “Islam gurun yang puritan” dalam hal ini diwakili oleh sekte-sekte semacam kaum Wahabi, dan “Islam perkotaan” yang jauh lebih kosmopolitan, lebih toleran dan lebih terbuka kepada gagasan lain. “Pemaksaan modernisasi yang meski dilakukan secara halus telah menghasilkan peningkatan kekuatan dan penyebaran Islam gurun dalam kehidupan sehari-hari”, begitu tulis Ridgeway. Minyak telah membuat Saudi memiliki cara untuk mengubah dunia agar mirip dengan mereka atau sebagai upaya serangan terhadap Islam liberal oleh sebuah sekte gurun yang telah dipinggirkan dalam masa keemasan budaya Arab masa lalu. Selain Arab Saudi, negara teluk konservatif lain, seperti Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menyalurkan dana minyak mereka ke badan-badan amal dan lembaga keagamaan yang lebih konservatif, baik di dalam negeri maupun ke negara lain. Orang Mesir sebetulnya enggan menerima yang mereka sebut Saudisasi kebudayaan mereka. Mesir sudah mendominasi seni pertunjukkan dari Maroko hingga Irak, namun kini akibat banjir petrodolar dari para investor Saudi yang terus membeli pelbagai kontrak dengan para penyanyi dan aktor telah mengobrak-abrik dunia televisi dan perfilman yang cenderung menetapkan sebuah agenda media yang lebih berakar pada nilai-nilai ortodok Saudi daripada ke budaya Mesir yang luwes. Ironinya antara kaum Wahabi dan kelompok Al Qaeda memiliki ideologi yang hampir sama, dimana penguasa Arab Saudi adalah sekutu AS dan Al Qaeda adalah musuh utama AS. Menurut mantan direktur CIA, Jim Woolsey, “pertentangan mendasar antara kaum Wahabi dan Al Qaeda bukan dalam hal ideologi, namun lebih dipicu oleh persaingan dalam hal determinasi dan kekuasaan, seperti pertentangan antara pengikut Stalin dan pengikut Trotsky di Rusia”. Bagaimanapun pandangan-pandangan yang dilandasi persaingan dari kedua faham tersebut secara umum menunjuk kearah yang sama. Banyak madrasah yang didanai olah kaum Wahabi di seluruh dunia menggemakan dan mempraktikan rivalitas kepada pihak lain yang membawa kepada konsekuensi yang sama. Surat kabar Saudi Ain - Al Yaqeen (2000) melaporkan bahwa empat organisasi penyebaran faham Wahabi, diantaranya yayasan Al Haramain telah membangun 1100 buah mesjid, sekolah dan pusat-pusat keIslaman di Pakistan dan negara muslim lainnya, serta mempekerjakan 3 ribu juru dakwah pada tahun sebelumnya. Bahkan organisasi yang paling aktif, yaitu International Islamic Relief Organization, yang sempat dituduh oleh komisi 11 September sebagai pendukung langsung Taliban dan Al Qaeda, telah menyelesaikan pembangunan 3800 mesjid dan mengeluarkan uang 45 juta dolar AS untuk pendidikan Islam dengan mempekerjakan 6 ribu guru agama yang sebagian besar berasal dari Pakistan.
Menurut Mamoun Fandy dari International Institute Of Strategic di London mengatakan bahwa saat ini ada “Islam laut tengah” dan ada “Islam laut merah”, dan apabila pusat gravitasi Islam bergeser kearah laut tengah, yakni dunia yang sibuk dengan perkapalan, perdagangan, dan interaksi, di Beirut, Istanbul, Alexandria, atau Andalusia maka agama dan komunitasnya akan lebih kosmopolitan yang bersedia memandang dan bergaul dengan dunia luar. Apabila pusat gravitasi Islam bergeser ke laut merah dan lebih mendekat ke gurun yang terisolasi dan kurang ramah serta kaya dengan sumber minyak mentah, maka muncul fanatisme dan ketidaksenangan kepada orang asing. Namun demikian, belakangan ini ada kabar baik dari keluarga raja Saudi yang telah mengambil langkah nyata dalam upaya mengendalikan juru-juru da’wah kelompok jihad, para sarjana, serta kaum muda religius yang paling ekstrem, serta menangkap orang Saudi yang bergabung dalam organisasi radikal dalam negeri atau menjadi relawan untuk berjihad diluar negeri. Namun demikian ideologi Salafi Wahabi semakin dipertahankan dan semakin tertanam dalam sistem keagamaan dan/ atau pendidikan Saudi dan upaya untuk mengendurkannya merupakan tugas yang sulit. Sebelumnya keluarga yang berkuasa di Saudi tidak khawatir terhadap kelompok jihad radikal di negeri mereka selama militansi mereka diarahkan ke luar negeri. Akan tetapi setelah kaum jihad juga melancarkan serangan kepada berbagai lembaga Saudi didalam negeri, maka pemerintah yang berkuasa mulai menangani ancaman tersebut dengan lebih serius. Laporan BBC (2008) dengan mengutip surat kabar Saudi Asharq Alawasat bahwa kerajaan Saudi tengah melatih kembali 40 ribu imam masjid dan guru agama mereka dalam upaya meredam Islam militan, juga memberi penataran remedial kepada para tokoh utama keagamaan di negeri itu, diantaranya menyerukan untuk berhenti mengutuk kelompok agama lain. Sebagaimana dimuat dalam Al-Riyadi (2008), surat kabar pemerintah ini menyerukan bahwa memusuhi kelompok agama lain bertentangan dengan hukum Ilahi, dimana kutukan seharusnya tidak diarahkan kepada kaum kafir secara umum, melainkan hanya kepada yang menyakiti dan memerangi orang muslim.
 Tentu saja masih banyak warga Saudi yang moderat bahkan bersikap pro Barat, yaitu mereka yang pernah belajar di Amerika Serikat dan sering bertukar pikiran dengan orang barat. Meski mereka mencintai agamanya namun merasa malu dengan sikap berlebihan kelompok Salafi-Wahabi, yang telah mencoreng Arab Saudi dimata dunia. Mereka percaya bahwa banyak orang Saudi lebih menyukai umat Islam yang lebih terbuka. Namun disadari oleh mereka bahwa mereka bukan yang menetapkan aturan agama dan bukan yang dapat mempengaruhi madrasah-madrasah baik di Pakistan, Inggris, Irak, dan Indonesia. Hal traumatik masih membayang dimana pemuda Muslim Sunni dari Arab Saudi, Afrika Utara, dan seluruh dunia Arab yang terilhami oleh para juru da’wah Saudi Wahabi telah menjadi kekuatan utama pelaku bom bunuh diri yang mempu menghadang tentara pimpinan Amerika Serikat dalam perang di Iraq. Menurut Stuart Levey, asisten menteri ekonomi pemerintahan George Bush kepada ABC News (2007), “andai saya dapat menjentikan jari saya untuk menghentikan aliran dana dari sebuah negeri, maka negeri itu adalah Arab Saudi”. Warga Saudi juga menyediakan dana untuk Al-Qaeda di Mesopotamia guna mencegah kaum Syiah mendominasi kaum muslim di Iraq. Dengan politik minyak (petro politics) telah membantu melicinkan seluruh proses gerakan ini. Gal Luft dan Anne Korin dari Institute for the Analysis of Global Security, menyatakan bahwa memang banyak badan amal di Arab Saudi yang benar-benar didirikan untuk tujuan mulia, namun ada diantaranya yang hanya berfungsi untuk pencucian uang dan/ atau alat pendanaan kelompok radikal. Yang membuat pelacakan dan pengendalian uang dalam transaksi di dunia Arab menjadi sulit adalah adanya sistem hawala, yaitu berupa metoda pemindahan uang tidak resmi yang merupakan salah satu unsur kunci dalam pendanaan kelompok radikal di dunia, yang telah tertanam kuat dalam budaya Arab. Transaksi hawala didasarkan pada prinsip saling kepercayaan, yang dilakukan secara lisan tanpa ada catatan diatas kertas sama sekali.
Kebanyakan warga Saudi kaya raya berkat dana penjualan minyak dari dunia barat, telah mengubah tidak hanya dunia Muslim, tetapi juga mengubah politik dunia secara keseluruhan. Dengan hanya menggali sebuah lubang digurun, sebuah negara dapat memacu energi kreativitas dan kewirausahaan. Namun disisi lain suatu negara juga dapat mengekang kemerdekaan serta mengabaikan pendidikan dan pembangunan kualitas manusia yang mencerdaskan, dan penyebab dari kesemua hal ini adalah politik minyak. Sebagaimana pernah dikatakan oleh direktur CIA Jim Woolsey, “kita tengah mendanai pembelian tali untuk menggantung diri kita sendiri”, dimana kelompok radikal telah menyalurkan dana amal untuk yayasan pendidikan yang bersifat kurang toleran dan menolak kepada nilai-nilai asal dunia barat. Perlombaan senjata juga tengah terjadi antara sesama agama di dunia modern, yaitu antara pemerintahan Salafi Saudi yang kaya minyak dengan Republik Islam Revolusioner Syiah atau Iran yang juga kaya minyak yang berebut pengaruh untuk mengatur dunia Islam. Terlepas dari perseteruan dan persaingan diatas, kemunduran dunia Islam di bidang sains dan teknologi terutama disebabkan oleh budaya dan praktek politik minyaknya. Akhir-akhir ini Saudi Arabia disamping memprioritaskan pengembangan aliran Wahabiah juga telah menginvestasikan dananya dalam jumlah yang relatif besar dibidang sains dan teknologi. Dengan dana yang melimpah disayangkan di negara yang kaya minyak tersebut belum berhasil melahirkan adanya World Class University,  yang unggul dibidang sains dan teknologi. Indonesia pun terlalu sibuk melakukan reformasi dibidang politik, ekonomi, dan hukum yang tidak pernah kunjung sampai pada substansi persoalannya, sehingga melupakan sektor pendidikan. Padahal hal ini akan membuat konsekuensi dimasa mendatang, dimana seluruh komponen bangsa akan mengalami keterbelakangan kolektif dalam memasuki kehidupan globalisasi budaya dan pendidikan. Kebijakan politik Malaysia yang berinvestasi secara besar-besaran di bidang pendidikan sains dan teknologi patut diteladani oleh negara mayoritas muslim lainnya. Porsi dana pendidikan di Malaysia yang rata-rata diatas 3%, bahkan 8% dari GDP pada tahun 2005 – sementara Indonesia hanya rata-rata 1% - telah menjadikan Malaysia satu-satunya negara mayoritas muslim yang menempatkan dua universitasnya dalam 200 unversitas terbaik didunia. Maka Malaysia telah mengembangkan pendidikan yang relevan dengan arah globalisasi yang leading di bidang sains dan teknologi tanpa mengabaikan pendidikan religiusnya. Dengan demikian dunia Islam perlu meninggalkan paradigma pendidikan lama yang lebih diwarnai oleh kepentingan Ideologi-keagamaan dan tradisi semata.
Tanpa harus mencampuri urusan negara-negara Timur Tengah yang tengah membiayai untuk menyebarkan faham Salafi-Wahabiah -  yang sebenarnya juga sebagai  reaksi terhadap globalisai yang mengancam sendi-sendi tradisi mereka - dimana batas-batas negara secara fisik geografis menjadi tidak penting lagi. Dengan adanya penemuan baru dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT), kekuasaan suatu negara dalam arti teritorial telah semakin kabur. Maka dalam situasi ini, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari suatu proses pendidikan yang bersifat maya (virtual) yang mampu mempersiapkan generasi muda menjadi komunitas yang terberdayakan dalam menghadapi kehidupan global yang semakin lama semakin menggantungkan diri pada teknologi informasi dan komunikasi. Di era globalisasi budaya dan pendidikan, maka perguruan tinggi sekuler yang maju – diprediksi akan tetap leading - di dunia barat, seperti Harvard, Columbia, Cambridge, dan Oxford University dengan mudah dapat membuka cabang-cabangnya di seluruh dunia. Dengan demikian, pendidikan tinggi di Indonesia dapat mensinergikan antara agama, sains, dan teknologi sebagai alternatif utama, terutama ketika lembaga pendidikan di era ini secara global mencari pendekatan baru dalam pengembangan sains dan teknologi yang lebih konstruktif. Bahkan secara faktual semakin maju sains dan teknologi semakin relevan dan dekat dengan ayat-ayat sains dan teknologi yang terkandung dalam kitab-kitab suci. Dengan peningkatan intelektual yang tercerahkan, bangsa Indonesia dapat terhindar dari merebaknya faham radikalisme-ekstrim yang diimpor dari pusat negara-negara asalnya. Dengan hanya berbekal pendidikan religius yang bersumber pada revealed knowledge semata, bangsa Indonesia akan lumpuh dalam menghadapi persaingan global. Sebaliknya dengan berbekal sains dan teknologi yang bersumber dari acquired knowledge semata, umat beragama Indonesia akan kehilangan kontrol dalam mengimplementasikan sains dan teknologi. Memadukan antara revealed knowledge dengan acquired knowledge secara total merupakan langkah awal dalam mengatasi problematik globalisasi yang dihadapi bangsa Indonesia selama ini.
Pada tanggal 28 Agustus hingga 4 September 1993 di kota Chicago AS, komunitas agama sedunia pernah melaksanakan pertemuan Dewan Parlemen Agama-Agama Dunia. Dengan jumlah peserta lebih dari 6.500 orang dari berbagai komunitas agama dunia, pertemuan itu berhasil mendeklarasikan sebuah piagam yang disebut “Declaration Toward a Global Ethic.” Dokumen ini merupakan sebuah konsensus dasar (fundamental consensus) yang terkait dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak dapat diganggu gugat, serta sikap dalam menghadapi berbagai masalah dan ancaman global. Di dalam dokumen deklarasi tersebut komunitas agama sedunia mendeklarasikan beberapa hal, yaitu pertama, kesadaran akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. Kedua, komitmen untuk menghormati kehidupan  dan martabat, individualitas dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi dan setara tanpa kecuali. Ketiga, panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan, keadilan, dan perdamaian. Keempat, komitmen untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, dimana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang optimal sebagai manusia.
Dengan etika global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang bersanding dengan kebijakan, penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi yang dilandasi moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan menjungjung semangat persaudaraan. Dengan demikian globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan, baik secara historis maupun ideologis, maka agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era manapun termasuk di era globalisasi ini. Bahkan disinyalir bahwa globalisasi adalah misi agama itu sendiri. Oleh sebab itu adalah relevan membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama sebagai suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari berbagai agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini. Tentunya dukungan harus terus diberikan terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertemukan pelbagai pandangan keagamaan sebagaimana yang ditempuh oleh Dewan Parlemen Agama - Agama Dunia, yaitu suatu dialog antar dan lintas agama dalam skala global dalam rangka menemukan dan menebarkan prinsip-prinsip moral, perdamaian dan kemanusiaan, sebagaimana dirindukan oleh umat manusia yang masih berfikir waras secara keseluruhan. Tantangan nyata dunia pendidikan tinggi dewasa ini – khususnya bagi kaum muda Indonesia – adalah bagaimana mensenyawakan antara sains dan teknologi yang bernafaskan sekuler dengan secret science and technology yang bernafaskan spiritual-keagamaan, yang selama ini masih terkesan berjalan disharmoni, padahal secara metodologis keduanya tidak bertentangan. Jawaban terhadap hal ini terpulang pada kemauan dan kemampuan tenaga pendidik Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan pendidikan strata 3 dalam segala macam bidang sains dan teknologi.

Jakarta, 29 Mei 2012

Faisal Afiff

                                                                                           

0 komentar:

Posting Komentar