GLOBALISASI DAN INDONESIA
Dalam suatu negara demokratis dan
pluralistis seperti Indonesia, adanya pro-kontra terhadap suatu masalah adalah suatu
hal yang lazim, dan malah perlu diberi tempat sebagai salah satu konsekuensi
yang telah menjadi bagian dari komitmen berbangsa dan bernegara. Namun ketika suatu keputusan pemerintah dilakukan
atas adanya suatu tekanan ancaman dan kekerasan, apalagi dengan memenangkan
kelompok yang lebih kuat memberi tekanan – yang belum tentu lebih mayoritas –
maka komitmen Indonesia sebagai negara demokratis patut dipertanyakan.
Kegamangan akan hal tersebut tersirat dari pembatalan konser Lady Gaga di
Indonesia, dengan alasan tidak dapat menjamin keamanan baik bagi pihak tamu
maupun bagi para penonton. Dari fenomena ini menyiratkan bahwa pada hakekatnya
pemerintah sendiri ragu dalam menjamin keamanan dan keselamatan demokrasi dan
pluralisme-nya sendiri ketika menghadapi
tekanan, dimana hukum sebagai pilar demokrasi menjadi tidak efektif, dengan
menerima pada intensitas tuntutan situasional, sebagimana hal ini sering
terjadi pula dalam menghadapi pelbagai macam konflik di dalam negeri yang acap
tidak ada penyelesaian yang jelas dan sering berujung pada tindakan anarkisme. Padahal, setidaknya ada tiga citra utama yang
saat ini ingin dikibarkan oleh politik luar negeri dan diplomasi Indonesia,
yakni citra Indonesia sebagai negara demokratis, moderat dan pluralistik,
sebagai upaya menempatkan diri kedalam arus pergaulan internasional atau
global. Dengan demikian pilihan bangsa Indonesia untuk diakui sebagai negara
demokratis, moderat dan pluralistik, secara paradigmatik tidak hanya sebagai
pilihan formal semata, melainkan juga pilihan sosio-kultural yang secara
fungsional harus membawa konsekuensi pada perubahan perilaku dan kedewasaan seluruh
unsur-unsur masyarakat, dalam rangka menata kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga citra tersebut menjadi realita. Dalam hal ini Indonesia perlu mendidik
bangsanya agar menghargai nilai-nilai demokrasi, bersikap moderat serta
menghargai perbedaan dan keberagaman. Seringkali adanya gap persepsi diantara
para pengambil keputusan dalam menghadapi pelbagai persoalan, mengindikasikan
adanya pemahaman yang kurang tepat terhadap hakekat negara demokrasi yang
mengedepankan sikap moderat dan plural. Terutama ketika mengatasi dilema yang dimunculkan oleh iklim
demokrasi itu sendiri, misalnya ketika pemerintah perlu menindak
kelompok-kelompok radikal-intoleran, sementara di sisi lain juga perlu memberi
ruang pada perbedaan, kebebasan dan partisipasi publik. Kebingungan dan
keraguan pemerintah dalam mengatasi pelbagai persoalan, sering dituding tidak
tegas, lamban dan tidak tuntas. Pada ujungnya kapasitas negara dipandang lemah
dalam mengatasi pelbagai persoalan, termasuk dalam menindak aksi-aksi intoleran,
yang dilakukan oleh segelintir kelompok-kelompok, maupun ormas-ormas yang
belakangan ini tumbuh marak di daerah-daerah, yang kiprahnya juga seolah ingin mendudukkan
diri diatas hukum, dengan melemahkan posisi kewibawaan aparat negara yang
kadangkala sangat merugikan terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa. Tentu
saja demokrasi bukanlah membiarkan kebebasan
antar kelompok dan ormas untuk menyaingi wibawa negara dimana aparat
penegak hukum terkooptasi didalamnya. Penurunan
wibawa hukum acapkali didemonstrasikan justru oleh pelaku aparat negara yang
seharusnya memberi keteladanan, dimana lembaga demokrasi pun sering terperangkap
menjadi organisasi kekuasaan yang semestinya melindungi dan mengelola
kepentingan masyarakat banyak. Oleh karena itu masyarakat perlu terus dibekali
pengetahuan tentang seluk beluk mengatur negara, dan diberi ketrampilan
bagaimana mengambil bagian dari seluruh proses politik. Dengan demikian mereka
dapat ikut mengendalikan perilaku para penyelenggara negara, dan kalau masih dimungkinkan
menyelamatkan orde reformasi dari kegagalan. Bagi negara yang baru mulai dengan
demokrasi “ pendidikan politik bagi
masyarakat sangat mutlak”, apalagi ketika bangsa Indonesia tengah berada
pada persimpangan arus globalisasi. Tentu saja bangsa Indonesia perlu banyak
belajar tentang bagaimana mempraktikkan demokrasi terhadap negara-negara yang
telah lebih dulu berpengalaman
menjalankan demokrasi, sehingga kesenjangan antara perilaku bernegara
dan perilaku bermasyarakat tidak terlalu lebar, kalau benar Indonesia ingin
masuk kedalam pergaulan global dengan citra negara yang demokratis-moderat dan
pluralistik.
Globalisasi telah
membuka lebar jalinan interaksi dan
transaksi antar individu, kelompok dan antar negara yang membawa implikasi politik, ekonomi, sosial dan budaya beserta
iptek (PEST) pada tingkat dan intensitas yang berbeda. Indonesia tidak lepas
dari pengaruh ini, dimana masyarakat di “alam
demokrasi” ini tengah dirangsang oleh pelbagai tawaran yang ada dipasar,
sehingga masing-masing berlomba untuk memenuhi hasrat konsumtif dan hedonisnya.
Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini ditandai oleh
serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam
rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan kalangan pelaku ekonomi di
tingkat internasional atau global. Negara-negara yang sekarang ini disebut sebagai
negara modern menempuh pembangunanannya melalui tiga tahapan, yaitu unifikasi (unification), industrialisasi (industrialization), dan kesejahteraan
sosial (social welfare). Pada tingkat
pertama, yang menjadi masalah berat
adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan
kesatuan nasional. Pada tingkat kedua,
perjuangan yang menekankan pada pembangunan ekonomi dan modernisasi politik.
Pada tingkat ketiga, tugas negara
yang terutama adalah melindungi masyarakat dari sisi negatif pengaruh industrialisasi,
memperbaiki kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan pada aspek kesejahteraan
masyarakat. Langkah-langkah tersebut dilalui secara bertahap dan memakan waktu
relatif lama. Urgensi untuk segera menyelesaikan masalah stabilitas politik dan
ekonomi serta menata keteraturan lembaga-lembaga politik dan
sosial-kemasyarakatan akan berimplikasi pada stabilitas keamanan dan persatuan
nasional yang diharapkan akan kembali pulih dan kokoh. Persatuan nasional
merupakan prasyarat untuk menjalankan tahap industrialisasi, sementara industrialisasi
merupakan jalan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).
Pada dasarnya setiap
kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut
sebagai hukum. Hukum disini dimaknai pengertiannya menjadi perundang-undangan
yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara. Cita-cita hukum nasional merupakan
satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan
pelaksanaan nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara, berbangsa,
dan bermasyarakat yang berasaskan dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. khususnya, pengembangan yang lebih serius agar mampu menopang tata
kehidupan ekonomi global dengan aman, dalam pengertian tidak merugikan dan dirugikan
oleh pihak-pihak lain. Lembaga hukum adalah salah satu di antara
lembaga-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama, ekonomi dan lain
sebagainya. Hukum dalam negara demokrasi sangat dibutuhkan dalam bidang
kehidupan dan kegiatan ekonomi pada umumnya dan dalam rangka menyongsong
masyarakat global. Dengan demikian, cita-cita hukum nasional sangat membutuhkan
kajian dalam rangka mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya,
baik dalam kehidupan politik, sosial-budaya, pendidikan, dan yang tak kalah
penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam
kegiatan ekonomi inilah hukum justru sangat diperlukan, mengingat sumber daya
ekonomi yang terbatas disatu pihak, dan tidak terbatasnya permintaan atau
kebutuhan akan sumber daya ekonomi dilain pihak. Sehingga konflik antara sesama
warga yang sering terjadi dalam memperebutkan sumber daya ekonomi tersebut dapat
diatasi. Sebagaimana diketahui, masalah keadilan di alam demokrasi saat ini
sangat sensitif, misalkan hanya sekedar untuk mendapatkan lapak berdagang di
kaki lima saja dapat memicu perselisihan sengit, jika tidak ada peratutan daerah
(PERDA) dan penegakkannya secara tegas. Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan
hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya
kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Tuntutan agar hukum
mampu berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan
prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitasnya, merupakan fenomena yang harus
segera ditindaklanjuti apabila tidak ingin terjadi kepincangan antara laju
gerak ekonomi yang dinamis dengan mandeknya perangkat hukum. Di samping itu
para pakar hukum juga diminta peranannya dalam konsep pembangunan ekonomi,
yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga atau agen modernisasi dan bahwa
hukum dibuat untuk keperluan pembangunan standar hidup masyarakat. Perubahan
tatanan dunia saat ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan
komunikasi dan informasi antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah,
dan hukum internasional saat ini bercirikan hukum yang harmonis atau
setidak-tidaknya hukum yang bersifat dan berskala transnasional. Harmonisasi
hukum di sini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi hukum nasional
dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses
harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional,
berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong
realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang
perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dalam
rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong
negara-negara membuat pelbagai aturan sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan
tersebut dalam suasana tatanan nasional. Sebagai akibat adanya globalisasi dan
peningkatan pergaulan serta perdagangan internasional, cukup banyak
peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga
dituangkan ke dalam pandangan perundang-undangan nasional, misalnya ke dalam
hal surat-surat berharga, pasar modal dan kejahatan komputer. Terutama
kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima
sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan
aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional atau global.
Sebagai konsekuensi semakin memasuki abad ke-21, semakin hukum nasional
Indonesia akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga
perbedaan-perbedaan dengan sistem hukum negara lain akan semakin berkurang.
Adanya kepastian hukum beserta penegakkannya dengan tegas tanpa pandang bulu,
akan mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan
dalam pergaulan dan percaturan global. Sebaliknya jika kapasitas pemerintah
dipandang lemah dalam penegakkan hukum, citra negara Indonesia sebagai negara
demokrasi modern akan diragukan oleh komunitas Internasional atau global.
Perkembangan dalam
teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling
bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib antara satu dengan
yang lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama
terlihat dalam kegiatan perdagangan internasional, baik di bidang barang-barang
(trade in goods), maupun di bidang
jasa (trade in services). Saling
keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang
berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah
aturan main yang berkembang dalam sistem GATT-WTO. Manakala ekonomi menjadi terintegrasi,
harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya
blok-blok ekonomi regional, seperti Masyarakat Uni Eropa, NAFTA, AFTA dan APEC.
Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan.
Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok
perdagangan baru. Perdagangan yang sejalan dengan aturan main WTO dan kerjasama
ekonomi regional berarti menuntut pula pengembangan institusi yang lebih
demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistem hukum.
Pada saat yang sama,
arah kembar globalisasi dan desentralisasi akan membuat suatu bangsa semakin
jauh memasuki – yang tadinya sebagai sebuah negara - sebuah dunia dengan domain ekonomi. Yang
dimaksud disini bukan mengembangkan suatu cara baru dalam menata dunia,
melainkan sebuah cara baru dalam memahami dunia. Artinya sumber data-informasi
ekonomi yang relevan dan merupakan dasar bagi pengambilan keputusan ekonomi
bukanlah dari apa yang dihasilkan di dalam batas suatu negara, melainkan apa
yang dihasilkan secara global dalam suatu sektor industri, misalkan dalam sektor
otomotif atau sektor farmasi. Sektor-sektor bisnis dalam industri global ini
disebut sebagai “domain ekonomi”. Konsekuensinya,
ukuran keberhasilan ekonomi dalam pasar yang saling terkait seharusnya bukan
lagi Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, melainkan Produk Bruto Domain
Ekonomi, atau Gross Product Economics Domain sebagai PDB baru dunia.
Pemahaman terhadap globalisasi dan desentralisasi seyogyanya diartikan sebagai
globalisasi aktivitas ekonomi, bukan penjumlahan berbagai kegiatan ekonomi
(PDB) di masing-masing 243 negara. Maka akan muncul domain otomotif, domain
farmasi, domain jasa keuangan, domain pariwisata dan seterusnya, yang perlu
terus didiskusikan. Hal ini juga sebagai konsekuensi dari perkembangan
perusahaan multinasional yang bersifat mandiri, sebagai perkembangan badan usaha
yang benar-benar mandiri tanpa mengenal kebangsaan.
Dalam mengukur
intensitas globalisasi ekonomi, maka dapat dipergunakan berbagai sarana-prasarana,
seperti hubungan telepon, pergerakan mata uang, jumlah atau nilai perdagangan,
dan sebagainya. Namun penyebaran budaya dan gagasan tidak dapat diukur dengan
mudah, dimana Amerika Serikat yang sering dituding sebagai penyebar paham
globalisasi, justru tengah mengalami perubahan yang lebih dramatis ketimbang
perubahan yang disebabkan oleh negara adidaya tersebut terhadap dunia. Dalam
pandangan yang lebih bijak maka dunialah yang mengubah dunia. Amerikanisasi
yang banyak ditentang oleh sebagian orang atau organisasi lebih didasari oleh
latar belakang ketidaksenangan ketimbang fakta yang sebenarnya dimana jumlah
restoran China di Amerika Serikat justru lebih banyak daripada outlet MC-Donald. Amerika Serikat saat
ini adalah negara dengan entitas paling beragam di dunia, dimana 100 juta dari
400 juta orang yang tinggal di Amerika Serikat adalah imigran Amerika Latin
ditambah Asia yang akan mancapai sepertiga populasi Amerika Serikat dimasa
mendatang. Kini penganut agama Islam merupakan penganut agama terbesar kedua di
Amerika Serikat setelah penganut agama Kristen. Pergeseran ini merupakan bukti dari
fenomena perubahan besar mengenai apa dan siapa itu orang Amerika Serikat. Kenyataannya,
sebagian besar orang di dunia berusaha memperkuat identitas budaya negara
mereka itu sendiri. Semakin universal masyarakat atau bangsa-bangsa di dunia, maka
semakin peduli mereka akan identitas budayanya, dimana ramalan bahwa akan
terjadi homogenisasi dunia terbantahkan. Dengan demikian, di dunia hal yang
paling penting bagi suatu bangsa terletak pada putusan bangsa itu sendiri.
Dalam seluruh unsur kemasyarakatan, baik dalam hal bahasa, keluarga, komunitas,
warisan budaya, kesemuanya tergantung pada seberapa kuat mereka memegang teguh nilai
tersebut, yang akan berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya,
ataupun orang yang satu dengan orang yang lainnya. Peran negara atau bangsa
akan terus berupaya melestarikan identitas dan warisan budaya mereka sekaligus
mengembangkan bidang pendidikan. Pendeknya, masa depan negara atau bangsa tertanam
dalam keputusan-keputusan ekonomi masa sekarang. Itulah sebabnya dibutuhkan
pelbagai indikator atau indeks ekonomi yang lebih baik untuk mengikuti
perkembangan globalisasi dunia. Hubungan dan aktivitas ekonomi dunia teritegrasi
dan bersifat swakelola, dimana jendela untuk melihat, mengkaji dan memahaminya
adalah domain ekonomi.
Peter Drucker
menyebut tahun-tahun terakhir abad ke-20, lebih ditandai oleh suatu perubahan
yang terputus-putus, yaitu perubahan dengan fenomena tidak saling terkait
dimana berbagai hal muncul secara tiba-tiba. Berbagai konsep baru yang inovatif dan penuh kejutan
muncul, dibarengi berbagai gejolak politik, ekonomi dan sosial-budaya yang
membutuhkan adaptasi dalam kurun waktu yang relatif panjang dan lama. Dalam tahun
pertama abad ke-21, dunia telah bergerak dari sebuah periode perubahan yang bersifat terputus-putus
kesebuah periode perubahan panjang yang
berkelanjutan, dan kini sebenarnya dunia berada dalam era evolusioner sebagai
sebuah periode yang dibangun diatas landasan yang telah dipersiapkan. Jika
sejarah penciptaan dan inovasi besar merupakan sebuah gambar pergerakkan
seismografi, maka dengan jelas terlihat
bahwa di beberapa titik alat perekam tersebut bergerak semakin kencang untuk
beberapa waktu yang relatif lama, dan kemudian dalam rentang waktu tertentu agak
melambat dengan mencatat pergerakan yang konstan dan sedang-sedang saja.
Gerakan mencolok sering muncul ketika ada perubahan revolusioner yang besar
sehingga dapat mengguncang bumi. Guncangan itu kemudian diikuti oleh gerakan
tidak ekstrim namun lama, dimana bumi yang berguncang kembali stabil. Masa
stabilitas itulah yang disebut periode evolusioner, dimana dunia memetik
manfaat lebih besar daripada masa awal selama perubahan terjadi. Dalam bingkai
waktu tujuh abad terakhir, perubahan besar berakhir bergerlombang seolah dunia
menyemburkan semangat kelahiran kembali. Masa dimana semangat intelektual
paling banyak disemburkan adalah masa Renaisans,
yaitu suatu revolusi besar pembebasan pikiran. Masa Renaisans dimulai di Italia Utara yang menyebarkan semangat
pembebasan di benua Eropa dimulai pada abad ke -14 hingga abad ke -16, yang memperkenalkan
bisnis percetakan dan penerbitan diiringi dengan terwujudnya penyelenggaraan
universitas berskala besar, termasuk Oxford, Heidelberg, dan Wina. Jika masa Renaisans disebut sebagai masa pembebasan
akbar terhadap pikiran, maka perubahan berikutnya adalah penciptaan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Masa
itu disebut sebagai revolusi industri yang dimulai pada tahun terakhir abad ke
-18. Dipicu oleh penemuan mesin uap, selanjutnya membawa pada perjalanan menuju kota-kota yang
dipenuhi oleh pelbagai pabrik, lampu jalan berbahan gas, kapal uap, rel kereta
api, serikat pekerja, perdagangan bebas, department
store, fotografi, mesin tik, mesin jahit, terusan suez di Mesir, dan gelar
universitas pertama yang diberikan kepada para wanita di Amerika Serikat (1841).
Setelah bumi terguncang oleh penciptaan inovasi yang revolusioner, maka sebuah
periode panjang adopsi, difusi dan pengembangan inovasi datang mengikuti. Sejak
itu dunia telah menyerap, menyempurnakan dan memetik manfaat dari produk
revolusi industri. Diakhir abad ke -19 semangat kelahiran kembali membumbung ke
udara. Rantai perubahan revolusioner berikutnya muncul, hanya dalam periode
pendek dua dasawarsa, yakni di sekitar antara tahun 1880 dan 1890-an, dimana lima
penemuan mengagumkan muncul dan pada waktunya membawa ke periode modernisasi
yang dikenal dengan penemuan dibidang listrik, telepon, otomotif, penerbangan,
dan radio. Mobil dan pesawat terbang manjadi platform baru bagi kecepatan
transportasi. Listrik menjadi platform energi baru untuk menjalankan hampir
segala hal, sementara telepon dan radio menjadi platform baru dalam berkomunikasi.
Lebih dari 100 tahun kemudian pembangunan dan terobosan perubahan yang dilakukan
masih berbasis pada platform tersebut. Diramalkan kemungkinan besar tidak akan
terjadi perubahan besar lagi dalam waktu dekat ini, bahkan dengan akselerasi
perubahan saat ini, rantai penemuan berikutnya mungkin baru terjadi dalam 50
atau 75 tahun ke depan. Tren perubahan evolusioner terus melaju dengan menyibukkan
orang untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan selama paruh pertama abad
ke-21 ini. Temuan teknologi baru paling besar di abad ini adalah teknologi
piranti lunak dengan dampak yang
mengubah cara hidup dan bekerja manusia.
Bagi Indonesia,
pemahaman terhadap tren perubahan global ini sangatlah penting, terutama dalam
mempersiapkan pendidikan bagi generasi muda kedepan, khususnya dalam membangun
pola pikir dengan wawasan global, dimana cara berfikir baru perlu dikembangkan
agar tidak terjebak pada pemahaman sempit dan satu dimensional saja terhadap
tren globalisasi sebagai suatu keniscayaan. Karenanya, suka atau tidak suka,
siap atau belum siap, sejak sekarang para pelaku yang terlibat dalam dunia
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi perlu segera melahirkan para alumninya
dengan kesiapan kompetensi dalam memasuki globalisasi pendidikan.Dalam konteks
ini, adalah kesiapan ketika ledakan perubahan revolusioner kembali terjadi di
dunia, maka para alumni perguruan tinggi Indonesia bukanlah lagi hanya sebagai
penonton seperti di masa lalu dan saat ini, namun menjadi pelaku atau agen
perubahan itu sendiri. Viva perguruan
tinggi Indonesia tercinta.
Jakarta, 5 Juni 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar