KEPEMIMPINAN ALTRUISTIK
In the last analysis, management is practice
It’s essence is not knowing but doing
It’s
test is not logic but result
It’s only authority is performance
(Peter F. Drucker)
Ilmu
manajemen, sebagai salah satu pendekatan disiplin Ilmu Ekonomi, khususnya ilmu
bisnis, pada dasarnya masih merupakan suatu pengetahuan yang berusia muda, dan
di Indonesia pun relatif baru dikenal. Disamping itu uniknya
pula, hingga saat ini, diantara para pakar masih terus berlangsung perdebatan
akademik, apakah manajemen itu lebih diposisikan sebagai ilmu-kah atau
seni-kah. Tetapi terlepas dari pergulatan ide tadi, manajemen dapat
didefinisikan sebagai “the process of
planning, organizing, directing, and controlling an organization resources to achieve
its goals”.
Di tanah air
sendiri, nyatanya beragam kegiatan pendidikan seputar ilmu manajemen bukan
semata-mata merupakan monopoli dari program magister manajemen saja, namun
dalam jenjang stara diploma, S1, S2, maupun S3, juga diselenggarakan oleh berbagai lembaga
pendidikan tinggi lain baik yang menawarkan disiplin ilmu ekonomi maupun ilmu
non-ekonomi, dan bahkan oleh sekolah tinggi yang tersendiri (School of Management).
Tak dapat
dipungkiri, bahwa beragam penyelenggara pendidikan ilmu manajemen tersebut
lebih menitik-beratkan
muatan kurikulum atau silabinya pada sisi fungsional bisnis, seperti kajian di
bidang manajemen pemasaran, operasi, keuangan, dan sumber daya manusia.
Sedangkan pendidikan ilmu manajemen yang memfokuskan dirinya pada kajian perspektif korporasi boleh dikatakan relatif
masih langka, terkecuali hanya satu di pulau Bali yang kini dinakhodai oleh salah
seorang praktisi manajemen ternama.
Untuk negeri
seluas Indonesia, dengan keragaman struktur industri berikut skala usaha dan bentuk hukum
bisnisnya, hal ini tentu saja agak menyedihkan, dan oleh karenanya kita pun
patut menjadi maklum adanya, tatkala kualitas manajerial yang dimiliki manusia
Indonesia pun senantiasa dipergunjingkan di ajang pergaulan antarbangsa di
dunia.
Fenomena
pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang masih terpaku pada sisi fungsional
bisnis seperti itu, mau tak mau berdampak pula memunculkan perilaku para
manajer kita yang lebih tertarik berfikir internal dan parsial serta menekankan
pada upaya-upaya manajerial yang bersifat taktik-operasional demi kesuksesan
mengejar raihan keuntungan bisnis jangka pendek semata. Bahkan lebih parah
lagi, mereka pun seringkali mempersepsikan bisnis sebagai bisnis semata tanpa
mampu mengaitkan dengan kearifan hidup kemanusiaan yang lebih luas lagi. Selaku
para manajer seyogyanya mereka terkait dengan pertanggungjawaban organisasi
bisnis terhadap publik sebagai manifestasi akan keberadaan eksistensial diri berikut organisasi
bisnisnya dalam menjunjung tinggi kaidah etik-manajerial.
Suatu petikan
menarik adalah contoh di India yang lama telah memiliki tradisi bisnis altruistik (Sundar, 2000). Para pelaku
bisnis altruistik di India telah menggunakan sebagian besar keuntungan bisnis mereka untuk tujuan amal
seperti membangun tangki air, sekolah, kuil, apotik, pelayanan kesehatan dan
klinik atau rumah sakit. Bahkan pengusaha serakah seperti di India Selatan
masih memiliki tradisi dari ajaran dasar altruistik (Singer, 1972). Agaknya ajaran Mahatma Gandhi masih
berpengaruh besar pada gagasan
bisnis-altruistik. Salah satu
gagasan Gandhi yang mengilhami bisnis-altruistik adalah tentang
perwalian. Sebagaimana banyak diketahui dari sejarah, Gandhi adalah pejuang yang telah
mengidentifikasi penyebab kesenjangan sosial
dan pentingnya perjuangan untuk kemerdekaan dari penjajahan Inggris,
dengan pemberdayaan perempuan, pengentasan kemiskinan dan orang tertindas
lainnya, kerukunan antar umat beragama, dan kemandirian ekonomi bangsa. Gandhi
juga mengajarkan kemurnian dalam cara
mencapai tujuan. Di bawah kepemimpinan Gandhi, bisnis-altruistik tidak hanya diterjemahkan sebagai amal bagi
masyarakat miskin, akan tetapi juga prinsip kekayaan perusahaan sebagai amanah,
sebagai dasar komitmen sosial dalam melaksanakan kejujuran bisnis secara etik.
Masih banyak pengusaha di India yang percaya atau menganut prinsip-prinsip ajaran altruistik dari
Mahatma Gandhi. Sebagaimana difahami secara umum, bahwa altruisme memusatkan perhatian pada pandangan manusia untuk membantu orang lain dan keinginan untuk
melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sehingga altruisme adalah motivasi manusia yang murni untuk memberi tanpa
memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Dari studi yang pernah dilakukan oleh
Khandwalla, dari sepuluh gaya manajemen
perusahaan di India, salah satu gaya yang senantiasa mempengaruhi para pelaku bisnis adalah gaya
manajemen altruistik, yang beberapa ide dasarnya menggunakan landasan
ajaran dari Mahatma Gandhi. Yang dimaksud dengan perwalian dalam konteks ini adalah
bahwa suatu manajemen bisnis menyadari bahwa mereka adalah wali dari
kepentingan publik atau masyarakat, termasuk pemilik, pelanggan, dan pekerja.
Oleh karena itu, landasan filosofi dan praktek bisnis yang dijalankan lebih
dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran, semangat pengorbanan, komitmen terhadap
kesejahteraan orang lain, dan dedikasi untuk cita-cita sosial yang lebih luas
dan mendasar.
Di antara sepuluh gaya manajemen yang
banyak dipraktekkan di India, maka gaya
altruistik ternyata menempati peringkat kelima yang paling banyak digunakan
oleh perusahaan, dengan mengambil sampel sembilan puluh perusahaan yang beroperasi di
India. Sedangkan peringkat gaya diatasnya, yakni peringkat keempat adalah gaya
konservatif yang lebih menekankan pada sikap kehati-hatian, kompromi, preseden,
tradisi, stabilitas dan pertumbuhan yang stabil. Sedangkan gaya profesionalistik,
sebagai peringkat ke tiga, lebih menekankan pada pengambilan keputusan berbasis
penelitian dan perencanaan jangka panjang,
kecanggihan sistem informasi manajemen (SIM), strategi, dan pengambilan
keputusan oleh para profesional. Peringkat kedua menekankan pada gaya organik,
yakni pengambilan keputusan yang didasari oleh aliran bebas komunikasi dan
interaksi yang luas, penekanan pada kesadaran akan tujuan organisasi secara
luas, orientasi pada masalah, rencana bisnis dan prosedur formal. Yang
terakhir, yakni peringkat pertama, adalah gaya partisipatif, yang lebih menekankan pada partisipasi bawahan
dalam pengambilan keputusan, konsensus berbasis keputusan atas landasan saling
bertukar dan berbagi ide dan informasi, saling percaya, serta menjunjung
iklim kolaborasi dan semangat kerja tim. Peringkat dibawah gaya
altruistik yang lebih banyak
dipraktekkan adalah gaya kewirausahaan, gaya otoriter, gaya
birokrasi, gaya manajemen berorientasi peraturan , dan gaya
paternalistik atau kekeluargaan.
Gaya altruistik memiliki korelasi yang sangat erat dengan
gaya partisipatif dan gaya birokrasi,
dan lebih banyak dipraktekkan oleh
organisasi publik ketimbang organisasi bisnis swasta. Adapun yang menarik adalah bahwa gaya altruistik
ternyata menjadi pendorong utama bagi mekanisme
pembelajaran organisasi dan inovasi. Sebagai contoh adalah gaya profesional berkorelasi sangat erat
(pada tingkat kepercayaan 99 persen) dengan hanya sembilan dari dua puluh tiga
indikator mekanisme pembelajaran dan inovasi, sedangkan gaya altruistik
berkorelasi sangat erat dengan kedua puluh indikator tersebut. Hal ini boleh
jadi bahwa organisasi yang berinvestasi dalam pembelajaran dan inovasi,
otomatis terlatih dan terbentuk sikap kejujuran dan kebaikan meskipun
beroperasi di lingkungan bisnis yang dikenal korup. Gaya altruistik juga berkorelasi erat dengan enam dari
sepuluh kriteria organisasi yang efektif, yakni semangat
kerja, dampak sosial yang positif, citra perusahaan, stabilitas kinerja,
kekuatan keuangan dan inovasi. Temuan lain menunjukkan bahwa manajemen
altruistik berhubungan juga dengan proses
belajar yang produktif, inovasi, dan keramahan internal, yang kesemuanya
merupakan suatu aset yang sangat penting bagi kesuksesan organisasi dalam
lingkungan bisnis yang penuh turbulensi dan kompetitif. Dalam praktek bisnis di
lingkungan yang demikian itu, maka
manajemen altruistik dapat dirangsang untuk mengambil jalan lain bagi proses
pembelajaran yang cepat dan inovatif agar tetap berada di depan. Altruisme pada
perusahaan juga dapat memberikan rasa bermakna
dan adanya peningkatan kualitas hidup bagi para pekerja yang merasa
terjebak oleh rutinitas, serta mendesak pekerja untuk memiliki keunggulan
kolektif guna meningkatkan kinerja organisasi serta kualitas hidup para
pemangku kepentingan organisasi. Mereka juga dapat merasakan hal yang unik dan bermartabat di dalam situasi dunia bisnis yang penuh
dengan cela dan keserakahan.
Tentu
saja penelitian demikian perlu juga dilakukan di negara kita, sehingga kita tidak serta-merta
menjatuhkan vonis negatif pada para pelaku bisnis Indonesia secara apriori. Namun berdasarkan pengamatan dan
pengalaman pribadi, acapkali
orientasi manajerial berjangka pendek pada akhirnya meninggalkan jejak keorganisasian yang tidak
kontinum. Ada baiknya filosofi altruistik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama menjadi
landasan dalam membangun kiprah organisasi dalam rentang waktu yang panjang
dan relatif abadi. Para ahli manajemen telah mencanangkan konsepsi, bahwa suatu aktivitas
kolektif barulah pantas dimaknai sebagai suatu organisasi jika memenuhi
ciri-ciri sebagai berikut :
·
Relatively permanent social entities;
·
Characterized by
·
Goal-oriented behavior;
·
Specialization, and
·
Structure.
Agaknya hingga saat ini, di bumi
nusantara tercinta, masih belum muncul kesadaran kolektif untuk memilahkan
pemahaman antara peran manajemen di strata fungsional dan peran manajemen di
strata korporasi, baik dalam organisasi laba maupun nirlaba. Orang hanya
melihat bahwa posisi manajerial di tingkat korporasi itu ditafsirkan lebih
berkuasa dan cenderung dimaknai identik dengan kepemilikan ketimbang posisi
manajerial ditingkat fungsional yang
diberi pembobotan pada keterampilan teknikal, administratif, dan kepemimpinan.
Namun jarang diketahui bahwa peranan manajemen korporasi yang paling penting
adalah justru dalam membangun dan mengejawantahkan formula-formula kepemimpinan
yang memiliki semangat altruistik berikut nafas moralitasnya di lingkungan internal dan eksternal suatu
organisasi, agar kelak tidak hanya dihayati pada tingkatan manajemen eselon
puncak (CEO) saja akan tetapi beradaptasi pada tingkatan manajemen eselon
menengah serta bawah (COO) hingga ke para pekerja pelaksananya. Semangat
altruisme di sini dimaksudkan sebagai “a
social behavior carried out by an individual or organization to benefit another
without anticipation of reward from external sources”. Sedangkan dengan
kandungan moralita dimaksud di sini adalah sebagai “the standards that an individual or a group has about what is right
and wrong or paradise and evil”.
Kepemimpinan manajemen puncak tanpa
dibarengi nuansa altruistik dan etika bisnis yang kental – yang sebahagian
besar diantara mereka adalah individu-individu yang berpendidikan dan pekerja
keras - akan senantiasa
mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan mempercanggih kinerja bisninya.
Berbagai keluhan kalangan dunia bisnis di Indonesia dewasa ini yang merasa
kewalahan menghadapi gejolak buruh, kebingungan membendung serbuan barang impor
namun murah, dan juga ketidakmampuan dalam meningkatkan produktivitas sumber
daya manusianya, kesemuanya ini paling tidak semakin memperlihatkan pada kita akan adanya suatu tuntutan perubahan dalam kurikulum atau silabi ilmu pengetahuan
manajemen yang muatannya lebih berorientasi pada manajemen korporasi yang
holistik sekaligus kontekstual dengan ciri khas lingkungan ke-Indonesiaan yang memiliki nuansa kehidupan kemasyarakatan yang masih bersifat komunal, agamis, mistis,
kekerabatan, etnikal dan bahkan feodal.
Disadari
bahwa, konsepsi pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang selama ini
diterapkan lebih bersifat westernize,
mengutamakan peran kefungsionalan dalam organisasi (spesialisasi), hedonistik
dan egoistik, individual, mengunggulkan keuntungan maksimal jangka pendek,
serta berorientasi pada penawaran dan kesejahteraan pemilik modal (capital safety net) yang kesemuanya merupakan
hasil warisan pemikiran manajemen di era pasca perang dunia ke-2. Oleh
karenanya, sudah saatnya di alam reformasi Indonesia yang disertai krisis multidimensional
sekarang ini, perlu segera dilakukan terobosan untuk merubah konsepsi
pendidikan ilmu pengetahuan manajemen menjadi berbasis moralistik-altruistik serta berorientasi pada permintaan
dan kesejahteraan masyarakat (social safety net), tanpa harus mengabaikan raihan perolehan keuntungan yang proporsional, sejalan
dengan pemikiran manajerial kontemporer di era globalisasi abad ke 21 ini, yang
mengedepankan isu-isu kritikal seputar HAM, demokrasi, dan kelestarian lingkungan hidup.
Secara
komprehensif dapat kiranya diulas suatu runtutan berfikir holistik yang menghantar terbentuknya ilmu pengetahuan
manajemen berbasis altruistik. Dalam paparan ini, adalah menarik untuk menyimak pernyataan
dari Dr. Danah Zohar (Maria Hartiningsih, Menghidupi Modal Spiritual, Kompas,
30 Juni 2006) yang dikenal sebagai seorang pakar fisikawan serta meraih doktor
di bidang filsafat, agama, dan psikologi lulusan dari Universitas Harvard,
Amerika Serikat, dan juga selaku penulis buku Spiritual Capital: Wealth We
Can Live By, The Quantum Self, dan The
Quantum Society- yang menyatakan antara lain:
·
Keberhasilan
pemimpin sering diukur hanya dari keuntungan material yang di peroleh selama
masa kepemimpinannya. Keberhasilan bisnis juga dinilai hanya dari ekspansi,
pendapatan, dan kemampuan untuk menguasai pihak lain. Orientasinya sesaat dan
bertujuan jangka pendek. Kepentingan yang melandasinya bersifat sempit dan
dangkal;
·
Obsesi
pada pencapaian material adalah sangat berbahaya. Apalagi demi pencapaian
material itu, kesejahteraan pekerja atau buruh harus dikorbankan. Praktik ini
antara lain dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kemiskinan, penyakit,
jurang kesenjangan sosial serta berbagai dampak serius lainnya, termasuk
keresahan sosial, ketiadaan kesetiaan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan
sosial, menguatnya pandangan membedakan orang lain, dan munculnya kelompok
eksklusif berdasarkan etnis, agama, dan golongan; dan
·
Karena
yang dikejar material belaka, maka kehendak untuk menjaga, merawat, berbagi,
dan melayani sesama manusia juga semakin menipis. Begitu pula korupsi akan merajalela
karena mereka tak punya rasa memiliki bersalah mencuri hak milik banyak orang.
Jika para pelaku dunia pendidikan dan
para praktisi manajemen tidak mau merubah orientasi mereka, maka bisa
diprediksikan bahwa akan semakin banyak organisasi atau perusahaan anak bangsa
yang kolaps, tereduksi,
dan bahkan lenyap ditelan kecepatan perubahan atau dinamika lingkungan. Dari
sudut pandang yang jeli, kita pun patut menyadari, bahwa dibalik kesuksesan
kiprah para manajer perusahaan berskala besar nasional dan multinasional (MNE’s),
sesungguhnya terkandung pula semangat altruisme yang menggumpal, tentunya“versi mereka”, yang telah melahirkan
produktivitas, talenta, dan kreativitas tanpa batas dalam menorehkan sejarah
manuver organisasi mereka yang unggul, ekspansif, dan bergenerasi.
Adalah
merupakan tantangan zaman bagi para teoritisi dunia pendidikan tinggi maupun para
praktisi dunia bisnis di bumi nusantara tercinta, untuk saling bekerja sama
merumuskan secara komprehensif suatu paket kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan
manajemen berbasis altruisme “versi
Indonesia” yang memiliki muatan berimbang antara sisi korporasi dan
fungsionalnya. ***
Jakarta, 19 Desember 2012
Faisal Afiff