.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Kamis, 26 Januari 2012

Rangkaian Kolom Kluster II, 2012: Indikator dan Ukuran Kewirausahaan


Indikator dan Ukuran Kewirausahaan

            Tidak adanya definisi tunggal yang dapat diterima secara umum mengenai konsep kewirausahaan tampaknya telah menciptakan suatu konsekuensi tidak adanya suatu indikator yang dapat diterima secara umum dan pula dalam hal pengukurannya. Bahkan Storey (1991) mengungkapkan bahwa dalam mengoperasionalkan kewirausahaan untuk pengukuran empiris pun sangat sulit untuk dilakukan. Derajat kesulitan atau kerumitan tersebut secara eksponensial akan meningkat manakala perbandingan dilakukan secara lintas negara.
            Dengan karakteristiknya yang seperti demikian, ternyata banyak analis maupun pakar ekonomi yang telah mengakui bahwa kewirausahaan merupakan penggerak penting dalam pertumbuhan ekonomi, inovasi, penyerapan angkatan kerja, dan produktivitas. Sejak pertengahan 1990-an pengakuan para pakar ekonomi dan para analis atas konsep kewirausahaan cenderung semakin meningkat. Hal ini diindikasikan oleh adanya kesepakatan dan komitmen mereka untuk lebih meningkatkan kewirausahaan, atau paling tidak, menyempurnakan lingkungan yang berkenaan dengan wirausaha (Lundstrom dan Stevenson, 2005; Hart, 2003; OECD, 2007) melalui pembentukan berbagai kebijakan yang dapat memperbaiki lingkungan yang berkenaan dengan kegiatan wirausaha.
Kebijakan tersebut diantaranya adalah menghilangkan hambatan-hambatan perkembangannya, atau melalui tindakan-tindakan yang diarahkan langsung pada subyeknya, seperti subsidi. Namun demikian, untuk merumuskan dan membentuk kebijakan-kebijakan tersebut masih dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Secara umum, rujukan mengenai kewirausahaan lebih cenderung untuk perusahaan  berskala kecil dan menengah, atau bahkan untuk sejumlah besar pekerja mandiri atau self-employed (Hoffman, 2007).
Dalam ketiadaan definisi kewirausahaan yang dapat diterima secara umum, serta juga tidak adanya indikator-indikator yang secara internasional dapat diperbandingkan, maka para pengambil keputusan tidak memiliki acuan yang memadai dalam membangun kebijakan-kebijakannya, terutama manakala akan mempelajarinya dari praktik-praktik terbaik kewirausahaan dalam tataran internasional.
Adanya perbedaan konteks dan bentuk-bentuk organisasional yang melibatkan kewirausahaan menyebabkan kurangnya sarana untuk mengukur indikator-indikator yang dapat menggambarkan aktivitas kewirausahaan. Ukuran tentang adanya perubahan dalam jumlah pekerja mandiri (self-employed) umumnya hanya mencerminkan adanya perubahan yang terjadi dalam diri individual yang memulai suatu bisnis baru. Perubahan seperti ini sangat kurang tercermin ke dalam kelompok perusahaan dengan skala yang lebih besar sehingga menggunakan “pekerja mandiri” sebagai tolok ukur aktivitas kewirausahaan memunculkan suatu kritik, yakni apa yang dimaksud “baru” dan “beda” bagi seseorang pada tataran industri atau pasar lokal, bisa tidak begitu beda pada tataran industri atau pasar internasional, regional atau global. Bahkan untuk negara maju seperti Amerika Serikat, hanya sebagian kecil dari yang memulai usaha baru yang benar-benar inovatif. Pengukuran pekerja mandiri (self-employed) masih banyak digunakan untuk menggambarkan derajat aktivitas kewirausahaan, umumnya dikarenakan banyak dipakai di banyak negara serta digunakan untuk mempermudah perbandingan antar negara (Blau, 1987).
Audretsch, Carree, J. van Stel dan Thurik (2002) dan Carree, J. van Stel, Thurik dan Wennekers (2001) menggunakan tingkat kepemilikan bisnis untuk menggambarkan derajat aktivitas kewirausahaan. Pengukuran ini ditetapkan sebagai jumlah pemilik bisnis (dalam semua sektor kecuali pertanian) dibagi oleh total angkatan kerja. Terdapat sejumlah kualifikasi penting yang perlu memperoleh penekanan lebih sewaktu menggunakan dan menginterpretasikan alat ukur ini.
Pertama, ukuran ini menyatukan seluruh jenis aktivitas yang sangat heterogen, lintas suatu spektrum dan konteks yang luas, ke dalam sebuah ukuran tersendiri. Pengukuran ini memperlakukan bahwa seluruh bisnis adalah sama. Lagi pula, semua bisnis diukur secara identik, meskipun secara jelas beberapa memiliki suatu dampak yang lebih besar dibanding yang lainnya.
Kedua, alat ukur ini tidak disusun untuk mengukur besaran atau dampak. Lagipula, seluruh bisnis diukur secara identik, meskipun secara jelas beberapa memiliki suatu dampak besar dibanding yang lainnya.
Ketiga, alat ukur ini disusun untuk mengukur bisnis yang ada dan bukan yang baru memulai. Lagipula, ukuran ini memiliki dua keunggulan, yakni: yang pertama, alat ukur ini merupakan representasi yang berguna untuk mengukur kewirausahaan (Storey, 1991). Kedua, alat ukur ini dapat dibandingkan lintas negara dan dapat dilakukan setiap saat.
Pengukuran lain tentang kewirausahaan lebih memfokuskan pada perubahan yang sesuai dengan aktivitas inovatif bagi sebuah industri. Pengukuran seperti itu mencakup indikator aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D), jumlah penemuan yang dipatenkan, serta inovasi produk baru di pasar (Audretsch, 1995). Pengukuran ini memiliki keunggulan yang hanya mencakup perusahaan yang benar-benar menghasilkan perubahan pada tingkat industri, yaitu pada tingkatan di atas sebuah perusahaan (beyond the entrepreneur).
Persoalan yang mungkin timbul dalam mengukur kewirausahaan dengan menggunakan indikator “produk baru” adalah berkenaan dengan persoalan kebaruannya (newness). Kebaruan suatu produk umumnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu baru menurut produsen, baru menurut konsumen, dan baru menurut keduanya atau baru bagi dunia (new to the world).
Konsep kebaruan hasil invensi menurut sudut pandang konsumen ini secara lebih jelas dikemukakan oleh Robertson, dalam Hisrich dan Peters (1978), yang menyatakan bahwa kebaruan suatu produk hasil inovasi dapat diukur oleh sejauhmana perubahan perilaku atau pembelajaran baru diperlukan masyarakat untuk dapat menggunakan produk baru tersebut. Dengan melandaskan pada gagasan ini maka dapat diklasifikasikan adanya tiga kelompok inovasi, yaitu: (a) inovasi yang terus menerus (kontinyu) atau inovasi yang menghasilkan perubahan yang paling sedikit dalam pola-pola konsumsi masyarakat konsumen atas suatu produk baru; (b) inovasi yang terus menerus secara dinamis atau inovasi yang menciptakan beberapa pengaruh terhadap  pola-pola konsumsi  yang ada; dan (c) inovasi yang diskontinyu atau inovasi yang mampu menciptakan pola-pola konsumsi baru serta penciptaan produk yang sebelumnya tidak dikenal. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebaruan (newness) hasil suatu invensi (penemuan produk baru) dengan jelas dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan pengukuran mengenai konsep kewirausahaan ditinjau dari perspektif ke-inovasiannya.
Pengukuran lainnya mengenai aktivitas kewirausahaan, yaitu yang semata-mata memfokuskan pada kriteria pertumbuhan. Perusahaan yang menunjukkan pertumbuhan yang tinggi selama waktu yang panjang diklasifikasikan sebagai gazelles. Secara lebih jelas Petersen dan Ahmad (2007) memberikan definisi tentang istilah Gazelles tersebut, adalah sebagai seluruh perusahaan yang berusia di bawah 5 tahun dengan rata-rata pertumbuhan tahunan lebih dari 20%, selama periode tiga tahun. Pengukuran jumlah gazelles ini dapat mencerminkan kewirausahaan (Birch (1999). Pengukuran kewirausahaan melalui gazelles tersebut perlu memenuhi syarat untuk fokusnya yang sempit tidak saja hanya pada satu unit observasi (perusahaan), tetapi juga pada satu pengukuran perubahan, yaitu pertumbuhan.
Dengan mengikuti acuan hasil penelitian The Global Entrepreneurship Monitor (GEM), Lundstrom dan Stevenson (2001) mendefinisikan dan mengukur kewirausahaan sebagai “sebagian besar masyarakat yang berada pada tahap pra-bisnis, tahap memulai bisnis (start-up business), dan tahap awal bisnis. Definisi ini cenderung ke arah wirausaha yang baru memulai bisnis karena mereka merupakan sasaran dari langkah-langkah kebijakan yang berkenaan dengan kewirausahaan. Suatu keterbatasan yang nyata dari pendekatan ini adalah membatasi aktivitas kewirausahaan pada proses organisasi memulai bisnisnya. Sementara suatu manifestasi perubahan dan inovasi tidak diragukan lagi tercerminkan oleh proses bisnis baru, pada saat yang sama terdapat sejumlah besar perubahan dan inovasi yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada dari berbagai ukuran yang memiliki manajemen yang profesional.
Dengan uraian di atas menjadi jelas bahwa walaupun kewirausahaan merupakan suatu aktivitas yang mencakup rentangan yang luas dan heterogen dari organisasi, akan tetapi sebetulnya banyak sekali definisi konvensional, indikator, dan ukuran untuk menggambarkan kewirausahaan sebagai suatu kegiatan yang homogen.

Jakarta, 27 Januari 2012
                                                                Faisal Afiff



Rangkaian Kolom Kluster I, 2012: WHAT NEXT INDONESIAKU?


WHAT NEXT INDONESIAKU?
Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menyisakan banyak agenda penting meskipun situasi  turbulensi tahap transisi reformasi sebagian telah terlewati. Melalui ruang demokrasi dan kebebasan, saat ini generasi muda Indonesia lebih memiliki keleluasan untuk menampilkan diri dalam kancah kepemimpinan dan perpolitikan di Indonesia, tidak hanya generasi muda kaum pria saja, kaum wanita muda pun memiliki peluang yang sama untuk bersama-sama mengaktualisasikan diri, mewujudkan bakat dan potensinya. Dalam dasawarsa terakhir telah lahir tunas-tunas bangsa yang memberikan harapan akan lahirnya generasi muda baru Indonesia dalam kepemimpinan dan perpolitikan mendatang. Pelbagai media massa pernah menampilkan sederet nama yang mencuat ke panggung nasional, bahkan diantaranya adalah kalangan artis selebriti, yakni mereka yang acapkali  menghiasi halaman media massa dan layar kaca, antara lain:  Fajroel Rahman, Yenny Abdurachman Wahid, Budiman Sujatmiko, Puan Maharani, Putty Guntur Soekarno Putra , Pramono Anung, Nurul Arifin, Rieke Diyah Pitaloka, Ade Komarudin, Komarudin Hidayat, Anies Baswedan dan Anas Urbaningrum, meski yang belakangan ini sempat dilanda prahara “skandal-wisma-atlit” yang telah menurunkan  popularitas nya secara drastis di mata publik. Dengan adanya kasus Anas ini publik sempat meragukan kemampaun anak muda secara keseluruhan untuk segera tampil di panggung kepemimpinan nasional. Sementara generasi yang lebih tua agaknya belum sepenuhnya bulat hendak meninggalkan arena pertarungan, khususnya menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014 nama-nama lama masih tetap bertengger. Sudah 13 tahun masyarakat diberi pembelajaran berdemokrasi, baik dalam memilih wakil-wakil rakyat maupun dalam pemilihan eksekutif pemerintahan dari tingkat nasional sampai ke tingkat daerah. Di dalam periode transisi reformasi ini rupanya masyarakat umum sampai ke tingkat akar rumput, tidak begitu peduli untuk memunculkan dan memilih kepemimpinan yang cakap, berkualitas dan berkelas. Figur-figur popular – seperti artis dan selebriti – justru lebih mendapat tempat, disamping figur-figur  “dermawan” dengan kantong tebal, rupanya rakyat benar-benar tengah  berpesta. Sampai pada titik tertentu masyarakat luas mulai bosan dan jenuh dengan pelbagai hiruk-pikuk pesta demokrasi yang tak kunjung mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih bermartabat . Kekecewaan dengan pelbagai sepak terjang politikus senayan dan para tokoh eksekutif pemerintahan telah menimbulkan rasa skeptisisme yang meluas, sehingga dari hasil survei-survei yang dilakukan, kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan partai-partai politik menurun drastis. Riset juga menunjukkan bahwa masyarakat pemilih cenderung lebih tertarik untuk bersikap pragmatis saja, dengan melakukan pola “transaksi” dengan para calon pemimpin mereka, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan demikian pendekatan “politik-uang” akan semakin sulit dihindari dan diperkirakan akan terus meningkat dengan modus dan kemasan yang lebih canggih, baik terselubung ataupun terang-terangan. Estimasi biaya yang harus dikeluarka para calon kepala daerah baik ditingkat propinsi, kabupaten, maupun di tingkat kodya untuk memenangkan pilkada mudah diperkirakan dengan formula yang baku, berapa kocek yang harus mereka keluarkan. Dengan demikian agenda dan tema-tema kampanye serta isu isu yang diangkat dintara masing-masing calon yang bersaing akan berkisar di seputar fenomena yang sama, dengan mengkritisi kinerja kepemimpinan sebelumnya. Konon dengan bergulirnya orde reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini, para pengamat yang optimis kerap mengatakan bahwa masyarakat saat ini semakin cerdas dan pragmatis. Namun perlu  segera dipisahkan dengan jelas antara istilah cerdas dan sikap pragmatisme. Kecerdasan dalam konteks ini, bisa dilihat dari sejauh mana masyarakat dapat memilih dan memilah persoalan, mampu melakukan analisis dan diagnosis terhadap pelbagai persoalan, sehingga apa yang merupakan visi dan misi beserta program para kandidat pemimpin dapat dievaluasi, dikaji dan disimpulkan sebagai solusi dan/atau resolusi alternatif dan  efektif terhadap daerahnya masing-masing. Begitu pula kecerdasan dalam menilai kepribadian para pemimpinnya, baik dari sisi kejujuran, integritas dan kemampuan manajerialnya, sehingga masyarakat tidak merasa membeli kucing dalam karung, akibat tidak memiliki informasi yang utuh tentang calon pemimpinnya.  Masyarakat sebaiknya mampu melihat bahwa kesalahan dalam menentukan pilihan dapat berdampak luas, dengan demikian kecerdasan memiliki arti adanya daya antisipasi dan daya abstraksi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bakal muncul. Sementara sikap pragmatisme, dapat merupakan sikap reaktif sesaat terhadap situasi yang tidak ideal untuk memutuskan pilihan yang menurut kondisi sesaat adalah yang terbaik, dengan tidak menghiraukan dampak dan eksesnya untuk jangka panjang. Sehingga sikap pragmatik ini menjadi identik dengan sikap spekulatif dalam menentukan solusi dan/atau resolusi  sesaat, baik bersifat rasional maupun irasional dengan tidak melandaskan diri pada akurasi dan keutuhan informasi. Sikap cerdas mungkin masih bisa diharapkan lahir dari masyarakat yang terdidik, baik formal ataupun non formal, sementara dari lapisan masyarakat tidak terdidik dan mungkin pula semi terdidik, dapat memunculkan keputusan-keputusan spekulatif-irasional. Tinggal kita secara jujur  melakukan penilaian obyektif, tentang  besaran orang yang memiliki hak pilih sebagian besar  mengelompok di lapisan masyarakat yang mana, di lapisan terdidik, semi terdidik dan/atau tidak terdidik. Tanpa harus melakukan penelitian secara komprehensif, sejak dini kita sudah dapat menyimpulkan dan memaklumi bersama. Dengan demikian, akan ada banyak jajaran pemimpin di seluruh propinsi, kabupaten dan kotamadya yang tampil meraih kemenangan suara sebagai pemimpin formal daerah masing-masing, tampil terpilih akibat pertimbangan spekulatif- irasional ketimbang pertimbangan obyektif rasional. Tidak mengherankan jika para pemimpin formal peraih suara terbanyak tersebut di akhir masa pemerintahannya banyak yang tersandung kasus dan skandal, baik terkait dengan pelanggaran hukum, moral-kesusilaan maupun melakukan penyimpangan tidak sengaja akibat tidak dibekali oleh kecakapan manajerial (missmanagement). Ironinya, ada seorang bupati yang diawal pemerintahannya mendapat mayoritas suara terbesar, namun setelah dua atau tiga tahun memerintah harus dilengserkan di tengah jalan akibat keterlibatan dalam pelbagai kasus dan penyimpangan. Begitu pula dalam  skala nasional hal ini nyaris menimpa presiden transisional Habibie di awal era reformasi, dan secara tragis menimpa pula presiden selanjutnya, yakni mendiang Abdurachman Wahid yang terpilih karena manuver kelompok kaukus poros tengah yang tidak menghendaki terpilihnya Megawati sebagai presiden. Dan begitu seterusnya, berbagai persoalan muncul silih berganti akibat transisi yang berkepanjangan di orde reformasi, dibarengi dengan pelbagai kejadian bencana alam yang silih berganti. Lembaga Mahkamah Konstitusi pun hampir-hampir kewalahan menangani berbagai kasus yang muncul akibat diselenggarakannya pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), bahkan lembaga ini pun nyaris tertimpa masalah yang hampir serupa dengan apa yang menimpa  lembaga KPK, namunn beruntung Mahkamah Konstitusi masih memiliki pemimpin yang  mendapat kepercayaan publik sehingga keberadaan lembaga tersebut masih dapat terselamatkan.
Kini Indonesia tercinta berada di persimpangan jalan, apakah akan terus melaksanakan agenda-agenda reformasi secara konsisten, atau melakukan pelbagai revisi ulang terhadap pelbagai agenda reformasi yang danggap menyimpang dan kurang terkendali. Dalam rangka mempercepat akselerasi proses reformasi, pemerintahan SBY akhirnya hanya bisa melakukan pendekatan simptomatis atau remedial terhadap masalah bangsa yang dihadapi, dengan membentuk lembaga-lembaga adhok semacam satgas untuk meredam ketidak puasan publik terhadap kinerja pemerintahan. Rupanya para tokoh politik, pemuda,  mahasiswa serta pemuka masyarakat sudah tidak tertarik terhadap pilihan-pilihan radikal dalam mengatasi persoalan bangsa, sehingga cenderung membiarkan saja pemerintahan SBY berjalan apa adanya sampai berakhir di tahun 2014. Kecenderungan ini nampak jelas dengan kurang munculnya gagasan-gagasan pembaharuan (renaissance) yang diwacanakan secara nasional dan diimplementasikan kedalam suatu gerakan. Apakah karena mereka sudah mulai lelah, atau mendapatkan sesuatu yang sesungguhnya mereka inginkan, atau karena melihat besarnya biaya yang harus dipikul masyarakat, bangsa dan negara jika dilakukan kembali perubahan-perubahan radikal yang penuh konflik dan ketegangan.
Generasi muda yang sama-sama kita harapkan, ternyata juga seperti kehilangan visi, misi dan orientasi tentang arah-tujuan, sistem serta reposisi bangsa Indonesia ke depan di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia dalam era globalisasi. Ketajaman daya pikir mereka seperti terkendala oleh dahsyatnya perubahan makro di tingkat global – juga ketidak percayaan diri akibat berlarut-larutnya segala kekisruhan dalam negeri -  sehingga tidak memiliki keberanian berpikir  dan bersikap tentang posisi bangsa Indonesia dalam konstelasi perubahan global. Berbeda dengan pemuda-pemuda yang dilahirkan ketika awal kemerdekaan, integritas dan sikap kenegarawanan acap diwujudkan dalam bentuk pemikiran-pemikiran strategis Indonesia ke depan. Situasinya menjadi sulit saat Indonesia sempat diterpa pelbagai krisis multidimensional, yang mengguncang pilar-pilar  ketahanan nasional bangsa Indonesia, baik dari sisi persatuan bangsa maupun ketahanan fondasi perekonomian, dimana banyak sejumlah sumber daya dan kekayaan Indonesia yang sudah dikuasai oleh pihak asing, atau di kuasai oleh orang pribumi asli dan/atau non asli Indonesia yang perilakunya lebih asing daripada orang asing. Justru dalam situasi yang penuh ketidakpastian,  sendi-sendi berbangsa dan bernegara seperti situasi dewasa ini, sangat dibutuhkan inisiatif atau prakarsa besar dari generasi muda untuk mengambil alih persoalan bangsa, disaat generasi  yang lebih tua sebelumnya sudah tersandera dan terperangkap oleh pelbagai persoalan besar yang melilitnya. Secara intuitif kita merasa bahwa masyarakat, bangsa dan negara kita saat ini tengah masuk ke wilayah ruang hampa dan vakum, seumpama gunung berapi yang tidak menujukkan aktivitas apa-apa, namun hewan satwa disekitarnya terlihat gelisah. Sementara generasi muda saat ini yang tidak terlibat dalam proses perumusan falsafah dan ideologi negara, rupanya tidak meyakini betul bahwa untuk saat ini falsafah dan ideologi bangsa masih relevan untuk dijadikan inspirasi dan kompas tujuan perjalanan bangsa untuk abad selanjutnya. Skeptisime tersebut dapat dimengerti mengingat mereka mungkin belum mampu menghayati suasana kebatinan ketika awal pertama kali falsafah dan ideologi  bangsa dirumuskan. Apalagi falsafah dan ideologi bangsa sebagai satu-satunya asas ini pernah efektif dijadikan instrumen kekuasaan untuk menekan lawan-lawan politik ekstrim kanan dan ekstrim kiri sebagai musuh-musuh bangsa dan negara yang melawan ideologi pancasila. Memang sejak ideologi pancasila dirumuskan dan 66 tahun masa kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia belum pernah benar-benar mencapai masa keemasan secara gemilang. Seolah-olah belum ada bukti yang benar-benar dapat dijadikan kebanggaan  bahwa dengan menerapkan pola-pikir pancasilais bangsa Indonesia masuk kedalam gerbang kejayaan. Pemikiran tentang adanya ekonomi pancasila pun sering dicibir  dan dianggap tidak menggambarkan realitas tuntutan modernitas zaman. Bagi sebagian orang memperjuangkan sistem ekonomi pancasila dianggap bertolak belakang dengan realitas. Keadaan ini memang tidak dapat dilemparkan kesalahannya kepada generasi muda begitu saja, dimana dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, sudah sulit ditemukan adanya suasana kehidupan yang dilandasi asas kekeluargaan dan gotong royong. Dalam situasi desakan kesulitan hidup sehari-hari, dimana upah buruh relatif rendah dengan kualitas hidup yang kurang layak, sulit kita bercerita tentang adanya suatu kerajaan dongeng dimana penduduknya hidup bermandikan susu dan madu, yang disetiap gapura dan bangunan indah negeri tersebut di dinding-dindingnya bertatahkan kalimat keramat pancasila.
Meskipun kita sudah merdeka secara politik selama 66 tahun, namun keterpurukan dan kegagalan dalam membangun keadilan dan kesejahteraan telah menjadikan bangsa kita kehilangan kepercayaan diri, untuk berfikir dan menentukan arah nasibnya sendiri. Orang yang sudah turun temurun menghuni tanah nusantara, sampai saat ini banyak kualitas hidupnya berada dalam kondisi yang mengenaskan. Sementara di sisi yang lain sebagian kecil kelompok masyarakat dalam waktu relatif singkat dapat menikmati kekayaan  Indonesia .
Kita dapat merenungkan pendapat Boeke di tahun 1910, yang mengatakan bahwa “di Indonesia teori barat tidak bisa dipakai, karena kita hidup  berdampingan  dalam dua sistem ekonomi yang tidak dapat berbaur. Sistem modern kapitalis berjalan sendiri, dan sistem tradisional kerakyatan juga berjalan sendiri. Dengan demikian terdapat sebuah kesenjangan dari sektor modern kapitalistis didalam suatu sistem ekonomi tradisional kerakyatan yang luas”.

                                                                                                            Jakarta, 27 Januari 2012
                                                                                                                        Faisal Afiff

Rabu, 18 Januari 2012

Rangkaian Kolom Kluster II, 2012: Konsep Kewirausahaan

KATA PEMBUKA
Rekan-rekan sejawat, saya ingin menginformasikan bahwa di tahun 2012, rangkaian kolom-kolom yang akan saya sajikan terbagi dalam dua kluster, yakni kluster pertama berkenaan dengan aspek-aspek makro, yakni: politik, ekonomi dan bisnis, sosial dan budaya, serta iptek (PEST). Sedangkan, kluster kedua berkenaan dengan aspek mikro,yakni kewirausahaan.
Berikut ini saya sampaikan ulasan pembuka rangkaian kolom kluster kedua:

KEWIRAUSAHAAN
KONSEP DAN IMPLEMENTASI

Berbagai fenomena relevan dan aktual yang tengah dihadapi dewasa ini berkenaan dengan aspek kewirausahaan dapat dikelompokkan kedalam dua hal, yaitu:
·        Subjek kewirausahaan telah menjadi topik ilmu pengetahuan dan penelitian pada berbagai bidang akademik, dan tidak terbatas pada ilmu ekonomi saja; dan
·        Subjek kewirausahaan yang bersifat multidisiplin memiliki keterkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi yang relatif kompleks.

Tulisan ini merupakan salah satu upaya untuk mengungkapkan atau mengidentifikasi aspek-aspek penting kewirausahaan yang dapat memberi petunjuk bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam  memahami fenomena, isu-isu, perdebatan, serta dalam membuat perbandingan diantara berbagai konsep kewirausahaan, berikut implementasinya dalam konteks geografis dan/ atau negara yang berbeda.
Rangkaian kolom yang akan disampaikan akan mencakup enam bagian dengan merujuk pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1.      Bagaimana kewirausahaan dipahami dan dideskripsikan dalam tataran konseptual;
2.      Mengapa terdapat beberapa definisi berkenaan dengan kewirausahaan meskipun kebanyakan penelitian memfokuskan pada aspek sekitar proses perubahan (Agent  of  Change);
3.      Bagaimana pengukuran secara aktual berkenaan dengan konsep kewirausahaan yang telah dilakukan para pakar;
4.      Bagaimana menjelaskan bahwa konsep tentang kewirausahaan sebenarnya telah mengalami suatu evolusi  yang cukup lama dan cenderung semakin penting;
5.      Bagaimana hubungan antara kewirausahaan dan kinerja perekonomian à baik dalam konteks unit bisnis, wilayah, dan negara. Bagaimana pengukuran kinerja ekonomi à berkenaan dengan penciptaan pekerjaan, penyerapan angkatan kerja, pertumbuhan, inovasi, produktivitas , dan ekspor; dan
6.      Bagaimana penerapan kewirausahaan pada sektor publik, baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta.

KONSEP KEWIRAUSAHAAN
Istilah kewirausahaan (Entrepreneurship) pada dasarnya memiliki definisi yang cukup beragam. Hal ini terutama berkaitan erat dengan perspektif pihak-pihak yang mendefinisikannya. Meskipun terjadi keragaman definisi, namun hal ini tampaknya tidak mengarah pada perdebatan yang destruktif karena masing-masing pihak mampu memberikan argumennya secara logis menurut perspektifnya masing-masing, misalnya perbedaan perspektif antara disiplin ekonomi dan manajemen. 
Dalam hubungan ini, para pakar telah mengemukakan definisi tentang  kewirausahaan  dalam rentang yang cukup luas, dan manakala dioperasionalkan, menghasilkan sejumlah langkah atau tindakan yang berbeda (Herbert dan Link, 1989). Kedua pakar tersebut telah mengidentifikasi dua tradisi intelektual yang berbeda dalam pengembangan literatur tentang kewirausahaan. Kedua tradisi ini dapat dicirikan sebagai tradisi Jerman (German Tradition), yang berlandaskan pada Von Thuenen dan Schumpeter dan tradisi Austria (Austrian Tradition) yang berlandaskan pada Von Mises, Kirzner, dan Shackle (Audtretsch, 2004).
Tradisi Shumpeterian telah memiliki dampak yang paling besar terhadap literatur kewirausahaan kontemporer. Ciri khas dari tradisi Schumpeterian, yaitu bahwa kewirausahaan dipandang sebagai suatu fenomena ketidakseimbangan kekuatan  (dis-equilibrating force). Dalam risalah klasiknya tahun 1911, Theorie der wirtschaftlichen Entwicklungen (Teori Pembangunan Ekonomi), Schumpeter mengusulkan sebuah teori tentang “creative destruction”. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan  baru dengan spirit kewirausahaan muncul dan menggantikan perusahaan lama yang kurang inovatif. Fenomena ini selanjutnya mengarah ke tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dalam risalah klasiknya tahun 1942, Capitalism and Democracy, Schumpeter masih memperdebatkan bahwa kubu perusahaan berskala besar cenderung resistan terhadap perubahan, dan terus memaksa para wirausahawan untuk memulai mendirikan perusahaan baru dalam mewujudkan kegiatan inovatif. Dengan demikian fungsi para usahawan adalah melakukan pembaruan atau merombak pola produksi dengan menggali suatu invensi (benar-benar baru), atau secara lebih umum, menerapkan suatu teknologi yang belum pernah digunakan untuk menghasilkan  produk baru atau  produk lama  melalui suatu cara yang baru. Pada umumnya untuk mengimplementasikan hal-hal baru  ini relatif sulit dan merupakan suatu fungsi ekonomi yang berbeda namun nyata. Pertama karena hal tersebut berada di luar tugas-tugas rutin, dan kedua melalui berbagai macam cara  lingkungan  bersifat resistan.
Meskipun paham Schumpeterian menekankan proses pendirian sebuah perusahaan sebagai awal untuk menetapkan aktivitas yang berkenaan dengan kewirausahaan, ternyata tidak terdapat suatu definisi tentang kewirausahaan yang secara umum dapat diterima di negara-negara maju (OECD, 1998). Kegagalan tidak tersepakatinya  definisi tunggal tentang kewirausahaan, mencerminkan kenyataan bahwa kewirausahaan adalah sebuah konsep yang multidimensional. Definisi yang sebenarnya digunakan untuk meneliti atau mengklasifikasikan kegiatan kewirausahaan  terefleksi dalam sebuah perspektif dengan penekanan khusus. Misalnya, terdapat keberagaman definisi tentang kewirausahaan   dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi dan manajemen walaupun kedua displin tersebut memiliki sasaran pengalaman yang sama.
Dari sudut pandang ekonomi, Herbert dan Link (1989) membedakan antara pasokan modal finansial (financial capital), inovasi, alokasi dan/atau relokasi sumberdaya diantara alternatif penggunaan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian seorang wirausahawan adalah seseorang yang mencakup keseluruhan spektrum fungsi-fungsi kewirausahaan. Wirausahawan adalah seseorang yang berspesialisasi dalam pengambilan tanggung jawab dan membuat pertimbangan yang mempengaruhi lokasi, bentuk, dan penggunaan barang-barang, sumberdaya fisik atau non fisik lainnya (Herbert dan Link, 1989).
Dengan melakukan perbandingan, dari sudut pandang manajemen, Sahlman dan Stevenson (1991), membuat perbedaan arti antara wirausahawan dan menejer, yaitu:”kewirausahaan merupakan suatu cara mengelola yang mencakup mengejar peluang tanpa memperhatikan sumberdaya yang saat ini dimiliki. Para wirausahawan mengidentifikasi peluang-peluang, mengumpulkan sumberdaya yang diperlukan, menerapkan sebuah rencana tindakan yang dapat dilaksanakan dan memungut imbalan dalam waktu dan cara yang fleksibel.
Gambaran yang paling lazim mengenai kewirausahawan memfokuskan pada persepsi tentang peluang-peluang sosial-ekonomi dan pengenalan gagasan baru di pasar. Seperti dikemukakan Audretsch (1995), kewirausahawan adalah berkenaan dengan perubahan, sebagaimana diketahui bahwa para usahawan adalah agen perubahan (agent of change). Ringkasnya, kewirausahawan adalah dicirikan dengan proses perubahan. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan OECD, yaitu: “Wirausahawan adalah agen perubahan dan pertumbuhan di dalam sebuah pasar suatu sistem perekonomian dan dapat bertindak untuk mempercepat penciptaan, penyebaran dan penerapan gagasan-gagasan inovatif….Entreprenurs not only seek out and identify potentially profitable economics opportunities but also willing to take risks too see if their hunches are right” (OECD, 1998).
Meskipun kesederhanaan dalam mendefinisikan kewirausahawan sebagai akti-vitas pendorong perkembangan perubahan inovatif yang memiliki daya tarik, namun dibalik kesederhanaan seperti demikian terkandung pula muatan kompleksitasnya. Terselimutinya kompleksitas kewirausahawan  paling sedikit disebabkan oleh dua alasan. Alasan pertama muncul karena kewirausahawan merupakan suatu aktivitas lintas organisasi yang multi bentuk. Apakah kewirausahawan menunjukkan perubahan yang menyebabkan kegiatan  perorangan, kelompok perorangan seperti jaringan, proyek, perusahaan, dan bahkan keseluruhan industri, atau bahkan pula seluruh obyek observasi, seperti  kluster dan wilayah?
Bagian dari kerumitan yang tercakup dalam kewirausahawan, yaitu bahwa kewirausahawan ini mencakup keseluruhan bentuk organisasional. Tidak ada satu bentuk organisasi yang dapat mengklaim atau memonopoli kewirausahaan.
Sumber kompleksitas kedua, yaitu bahwa konsep perubahan adalah bersifat relatif untuk beberapa benchmark (Audretsch, 2002). Apa yang dipersepsikan sebagai perubahan bagi seseorang atau organisasi belum tentu mencakup sebuah praktik baru bagi industri. Atau hal itu merepresentasikan perubahan untuk industri domestik, tetapi bukan untuk industri global. Oleh karena itu, konsep kewirausahaan melekat dalam cakupan lokal (local context). Pada waktu yang bersamaan, nilai kewirausahaan dibentuk pula oleh benchmark lainnya yang relevan. Aktivitas kewirausahaan yang dianggap ‘baru’ menurut seseorang, tetapi bisa saja ‘tidak baru’ bagi perusahaan atau industri , yang mana kesemua hal ini bisa membatasi nilai inovasinya.
Dengan demikian, salah satu ciri yang menonjol dari konsep kewirausahaan yaitu lintas analisis terhadap sejumlah unit yang  penting. Pada satu tahap, kewirausahaan mencakup berbagai keputusan dan tindakan perorangan. Individu secara perorangan ini bisa bertindak sendiri atau di dalam konteks sebuah kelompok. Pada tahap yang lain, kewirausahaan mencakup unit analisis pada tingkat indutri, juga dapat pada tingkatan  yang lebih lebar, seperti kota, kabupaten, propinsi  dan negara.

                                                                                    Jakarta, 18 Januari 2012
                                                                                                Faisal Afiff