.


Rabu, 18 Januari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I/ 2012: Sejarah dan Kedaulatan Ekonomi


SEJARAH DAN KEDAULATAN EKONOMI
Dalam tulisan saya di kolom terdahulu telah dinukil tentang pentingnya rekonsruksi sejarah bangsa Indonesia sebagai kesadaran akan hadirnya identitas dan semangat kebangsaan untuk mencapai cita-cita kejayaan bangsa Indonesia. Adanya kontinuitas dari generasi ke generasi sebagai upaya untuk mengokohkan soliditas dan kesinambungan sejarah, sehingga bangsa ini tidak kehilangan jati dan harga dirinya sebagai bangsa. Fondasi pertama telah diletakkan oleh pendiri bangsa ini  dengan menciptakan pancasila sebagai landasan idiil dan falsafah bangsa, sementara sisi plurarisme sosio-budaya dan etnis direkatkan oleh wawasan nasional bhineka tunggal ika. Maka secara ideologi, falsafah dan konseptual,  bangsa ini telah memenuhi syarat mensejajarkan diri dengan bangsa lain sebagai bangsa yang berdaulat, apalagi telah berhasil dirumuskannya mukadimah dan UUD 45 yang di era reformasi dalam beberapa hal telah diamandemen. Para pemikir bangsa ini – rupanya tidak kalah oleh para filsuf besar – tidak ditakdirkan untuk banyak mengerjakan sesuatu akan tetapi lebih “memikirkan sesuatu” terutama di awal kemerdekaan. Soekarno, Hatta, Agus Salim, Syahrir, dan tokoh lainnya adalah sosok pejuang dan negarawan bangsa ini yang memiliki daya fikir pintar dan jenial terutama dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar dalam mengokohkan berdirinya negara republik Indonesia ini. Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol kelompok masyarakat atau bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman hidup (asas perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat dan bangsa. Sementara pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa yang dianggap akan mampu membawa bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur sejahtera. Iulah sehingga bangsa Indonesia dapat mempertahankan kemerdekaan dan masih tetap utuh sebagai bangsa dikarenakan memiliki sistem nilai yang dinafasi pancasila ini. Dalam pandangan pancasila manusia dilihat sebagai suatu keseimbangan yang utuh, baik ia hidup sebagai pribadi atau pun hidup sebagai anggota masyarakat, adanya kebutuhan akan kehidupan material dan spiritual. Oleh karena itu dari sudut pandangan ekonomipun manusia Indonesia tidak bisa hanya dilihat sebagai mahluk yang hanya didorong oleh motif instingtif  dan egoismenya saja.
Dalam dekade terakhir, kita menyaksikan perjalanan sejarah bahwa diantara dua ideologi raksasa yang bertikai antara  ideologi komunisme dengan kaptalisme yang saling berhadapan, ternyata berakhir dengan runtuhnya negara-negara penganut faham komunisme, yang sempat membuat perhatian dunia terperangah dengan pecahnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin dan sikap pragmatisme yang diambil oleh Cina. Sementara negara-negara yang bertahan dalam faham komunisme, seperti Kuba dan Korea Utara, lebih terkesan sebagai negara terisolir dari pergaulan bangsa-bangsa  dunia, dimana terjangan gelombang faham kapitalisme terus mencengkram dunia dengan kemasan “new brand” yakni globalisme. Kemenangan kapitalisme bisa terjadi karena kapitalisme sebagai faham ideologi dan sistem ekonomi mampu menghantar dan memanjakan sifat  kebutuhan dasar  manusia yang cenderung ingin memuaskan dan memenuhi keinginan  materialnya, terutama dilihat dari sisi manusia sebagai mahluk jasmaniah atau material, sehingga faham kapitalisme sebetulnya mengalir secara alami pada aliran darah manusia terutama dalam pemenuhan hajat jasmaniah atau hedonisme akan kebutuhan  materialnya. Kaptalisme mampu meladeni hasrat dan gairah individual manusia dari sisi “fitrah” pemuasan kebutuhan fisik-biologisnya.  Ide pokok The wealth of Nations  karya Adam Smith antara lain adalah bahwa pasar bebas bergerak menurut mekanisme pasar yang dianggapnya secara otomatis bisa menghasilkan macam dan persediaan jumlah barang yang paling disenangi dan diperlukan masyarakat konsumen. Jika persediaan barang dan/jasa yang  diminati oleh mayoritas konsumen berkurang, dengan sendirinya harga akan naik dan kenaikan harga ini akan mendatangkan banyak keuntungan bagi siapa saja yang memproduksinya. Melihat sisi keuntungan tersebut, pabrik-pabrik lain akan tergerak untuk memproduksinya juga, maka dengan kenaikan volume hasil produksi akan menghilangkan masalah kelangkaan produk. Kenaikan suplai dalam kaitan dengan kompetisi antar berbagai perusahaan akan cenderung menurunkan harga produk pada tingkat harga yang normal. Tak ada pihak manapun yang mampu membantu melenyapkan kelangkaan, tetapi kelangkaan itu akan teratasi dengan sendirinya. Karena hakekat dasar manusia menurut Smith “cenderung mencari keuntungan untuk dirinya”, ia seolah dituntun oleh ‘tangan  tak terlihat’ untuk mencapai tujuan akhir yang terkadang bukan menjadi bagian dari keinginannya. Dengan mengejar kepentingan dirinya sendiri berarti ia juga secara efektif memajukan masyarakat meski sebenarnya ia tidak bermaksud memajukannya. Tangan yang tak terlihat ini (mekanisme pasar) tak dapat bekerja jika terdapat gangguan terhadap persaingan bebas. Oleh karena itu Smith percaya pada sistem perdagangan bebas dan menentang keras biaya tinggi. Smith menentang hampir semua campur tangan pemerintah di bidang bisnis dan pasar bebas. Campur tangan ini dianggapnya akan selalu mengakibatkan penurunan efisiensi ekonomi dan pada akhirnya akan menaikkan harga. Meski demikian ia mengecam keras praktik-praktik monopoli ekonomi dan menginginkan penghapusannya, menurut Smith “di arena perdagangan, produk yang sama jarang bertemu bersama, tetapi bertemunya dua manusia dalam pembicaraan yang intim, bisa berakhir pada terbentuknya konspirasi yang bertentangan dengan kehendak rakyat”. Begitu sempurnanya Adam Smith mengorganisasi dan mengedepankan pemikiran sistem ekonominya sehingga hanya dalam beberapa puluh tahun saja mazhab-mazhab ekonomi sebelumnya tersisihkan. Dengan kata lain, semua pokok-pokok pikiran mereka yang bagus telah tercakup oleh sistem pemikiran Smith, sementara Smith dengan sistematis mengungkapkan kekurangan-kekurangan yang ada pada mazhab sebelumnya. Pengganti Smith termasuk ekonom-ekonom kenamaan seperti Thomas Malthus dan David Ricardo, mengembangkan dan menyempurnakan sistemnya - tanpa mengubah garis-garis pokoknya – menjadi struktur yang kini digolongkan kedalam kategori ekonomi klasik. Jika Ricardo dan Karl Marx bersikeras bahwa tekanan penduduk akan menghambat naiknya upah, Smith malah menegaskan sebaliknya bahwa dalam produksi yang meningkat upah pun dapat dinaikkan. Smith menentang teori lama merkantilisme yang beranggapan pentingnya negara memiliki persediaan batangan emas dalam jumlah yang besar dan begitu juga arti tanah sebagai sumber daya utama dan nilai, yang menjadi pokok paling penting baginya adalah tenaga kerja. Dengan gigih Smith menekankan bahwa peningkatan hasil produksi dapat dicapai melalui pembagian kerja dan spesialisasi, dengan menyerang habis semua peraturan pemerintah dan segala campur tangannya yang menghambat dan menghalangi perkembangan dan perluasan industri. Kini hampir di setiap lini kegiatan ekonomi – khususnya di sektor swasta – mekanisme pasar dengan persaingan bebasnya terus berkembang dinamis membuka peluang usaha dan lapangan kerja mengikuti denyut arus kapitalisme. Dimana organisasi swasta semakin bergantung pada pasar ekonomi dalam membangun sarananya. Tidak hanya untuk meraup keuntungan, terlebih adalah menjaga kesinambungan hidup dalam melebarkan kebutuhan primernya supaya menjadi lebih beragam.
Sementara kapitalisme berkembang pesat,  nasib komunisme di “habitatnya” sendiri mengalami masa kritis, khususnya di negara-negara Uni Soviet sebagai penganut faham komunisme yang tengah terjadi perubahan besar. Diawali  krisis finansial di tahun 1985  disebabkan  pemerintah yang sangat besar menggunakan anggaran belanja bagi persaingan perlengkapan senjata. Pemimpin Mikhail Gorbachev kala itu mencanangkan program perestroika (1985) atau pengaturan kembali untuk mengatasi ekonomi Uni Soviet yang buruk. Akibat aspek pengaturan kembali ini, kekuatan partai komunis yang saat itu benar-benar menguasai pemerintahan, pengaruhnya menurun dengan cepat di bawah pemerintahan Gorbachev. Melalui program perestroikanya terjadi pengesahan usaha swasta dalam beberapa bidang. Sebetulnya Gorbachev selalu bersikeras bahwa ia pengikut setia Marx dan Lenin, dan seseorang yang teguh dalam faham sosialisme. Tujuan perestroika katanya semata-mata untuk memperbaiki sistem komunisme agar sistem itu dapat bekerja dengan lebih baik. Namun melalui kebijakan glasnost atau keterbukaan (1986), diijinkannya setiap individu atau media mendiskusikan masalah-masalah politik secara bebas membuka ruang bagi dilaksanakannya pemilihan umum untuk pembentukan parlemen Soviet yang baru, yaitu dewan deputi rakyat.
Pada akhirnya,  hasil tindakan Gorbachev yang paling penting adalah dampak penyatuan kembali Jerman, pecahnya Uni Soviet dan kematian komunisme, dimana kematian imperium komunisme tersebut oleh sebagian kalangan tadinya diperkirakan tidak berlangsung secepat itu, meski dalam pernyataan verbalnya Gorbachev tidak bermaksud memecah Uni Soviet dan meruntuhkan partai komunis. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet ini telah menjadi pelajaran sejarah berharga bagi negara-negara manapun di dunia. Suatu program penyelamatan yang seolah tanpa arah dan tujuan, namun telah menghasilkan perubahan drastis bagi kelangsungan sejarah bangsa Rusia umumnya.
Runtuhnya imperium komunis telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi berkembang biaknya faham kapitalisme dengan wajah-baru globalisme, meski Adam Smith menganjurkan kebebasan penuh bagi setiap mahluk ekonomi untuk menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan dengan siapa saja dan negara mana pun. Namun jika ditelaah lebih mendalam di negara Inggris sendiri pun teori ekonomi ini menjadi faham nasionalistis, yaitu dengan diterapkannya teori ekonomi tersebut negara Inggris ingin merajai ekonomi dunia, dan itulah yang benar-benar terjadi. Saat Amerika Serikat memerdekakan diri dari Inggris salah satu sebabnya adalah nasionalisme Amerika  Serikat menentang nasionalisme Inggris. Perbedaan pendapat tentang cara melaksanakan hubungan ekonomi dengan Inggris – antara pandangan perdagangan bebas dan proteksionisme – sempat menjerumuskan Amerika Serikat pada perang saudara yang berkepanjangan. Pendeknya, ilmu ekonomi Adam Smith di samping bersifat kosmopolitan ia juga bersifat nasionalistik, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Yang jelas ia merupakan senjata ampuh bagi negara yang sudah maju untuk lebih maju lagi tapi sebaliknya bagi negara miskin yang belum maju perlu mempertimbangkan kembali dengan seksama – jika tidak ingin menolaknya -  supaya tidak “dijajah” secara ekonomi oleh negara-negara lainnya yang lebih maju. Misalnya bagi negara seperti Indonesia ketergantungan kepada negara-negara yang lebih maju semakin lama semakin besar, sementara di dalam negeri kelompok ekonomi kuat dan sektor modern akan berkembang jauh lebih cepat dari kelompok ekonomi lemah, yang memicu terjadinya kesenjangan ekonomi kaya-miskin yang semakin bertambah. Padahal  di negara maju sendiri teori ekonomi klasik telah menemukan metoda sosialistik untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, sebagaimana konsep ekonomi pasar sosial yang telah diterapkan oleh pemerintahan Jerman dan telah menghantarkan masyarakatnya mencapai kemakmuran. Di Indonesiapun fakta sejarah telah memperlihatkan, bahwa sebelum kedatangan para pedagang dari Eropa, sistem ekonomi Indonesia sudah bercorak sistem ekonomi pasar. Para pedagang Indonesia jauh hari sudah mengarungi lautan untuk berdagang dengan bangsa-bangsa India, Cina, Timur Tengah dan Madagaskar. Di dalam negeri sistem pasar sudah berkembang jauh sebelum teori ekonomi pasar lahir di Barat tahun 1776. Juga pembagian kerja ala Adam Smith sudah berkembang dalam kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Justru para pedagang belanda yang membawa angin sistem ekonomi kapitalis liberal yang monopolistik dengan mendirikan VOC atau kumpeni, dimana  monopoli itu sendiri ditentang oleh Adam Smith. Urgensi Indonesia untuk menerapkan ekonomi pancasila – dengan memperkuat teori yang mendasarinya - lebih karena amanat para pendiri bangsa yang tercantum  pada pasal 34 UUD 1945, bahwa :”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, bahkan juga tercantum dalam pasal 33 tentang pedoman dasar pengelolaan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Bung Hatta membedakan dengan tegas antara sistem ekonomi dan politik ekonomi, seperti ketika ia mengamati pemerintahan Soeharto setelah berjalan sepuluh tahun: “sampai saat ini negara kita masih beradasarkan Pancasila dan UUD 45, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman”. Pasal 33 UUD 45 secara mendasar mengatur sistem ekonomi dan tidak secara langsung menggariskan politik ekonomi. Politik ekonomi disusun oleh pemerintah secara realistik berdasarkan kondisi ekonomi yang sedang berlaku pada waktu tertentu. Dalam konteks historis di negara kita, dapat dibedakan antara pemerintahan periode ekonomi terpimpin (1956 -1959) dan politik ekonomi orde baru (1966) yang konon bertekad akan “melaksanakan pancasila dan UUD 45 secara murni dan kosekuen”.
Setiap masyarakat memiliki sejarahnya sendiri yang unik bagi masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana juga eropa memiliki perjalanan sejarahnya sendiri tentang proses pembentukan sistem ekonomi yang dianutnya. Proses dialektika sejarah dan pergulatan antar pemikiran, muncullah pembaruan  pemikiran ekonomi yang dilakukan oleh John Maynard Keynes yang mengkritik bahwa telah terjadi kekeliruan dalam teori ekonomi klasik yang sudah berjalan selama 150 tahun tanpa disadari. Menurut Keynes bahwa untuk menjadi seorang ahli ekonomi yang baik – yang berguna bagi masyarakat dan bangsa – sekaligus ia harus menjadi ahli sosiologi, sejarah, filsafat, psikologi dan matematika. Artinya lebih mudah untuk menjadi teoritikus bidang ekonomi namun lebih sukar untuk menjadi ahli ekonomi  negaranya sendiri. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis dan sejarah, sebaiknya seorang ahli ekonomi tidak terlalu fanatik pada ilmu ekonomi yang sudah dikuasainya. Seorang ahli ekonomi yang mendalami ilmu sosiologi segera akan menyadari bahwa di dalam masyarakat terbentuk kelompok-kelompok dan stratifikasi sosial yang mencerminkan masing-masing kepentingan kelompok tersebut yang dalam konteks ekonomi klasik  kenyataan adanya perbedaan kepentingan ini kurang diperhatikan. Begitu pula Indonesia secara historis memiliki ciri khas nasional-kebangsaan  dalam mengembangkan sistem ekonominya yang diwarnai oleh cita-cita  sejarah. Dari sisi kacamata ahli sosiologi keseimbangan tidak dapat dicapai tanpa disertai oleh pengaturan dan penataan ulang kelembagaan sosial yang tepat, tidak semata-mata dibiarkan kepada proses persaingan bebas dan pasar. Sementara kita di Indonesia seorang ahli ekonomi yang baik seyogyanya mendalami juga ilmu antropologi untuk memahami sistem ekonomi non pasar, baik yang bersifat subsisten-tradisional, feodal atau yang bersifat campur tangan langsung dari pemerintah. Maka dengan memahami metoda pendekatan ilmu sejarah, maka seorang pemikir ilmu ekonomi akan senantiasa dijiwai dan berpijak di atas bumi tanah airnya sendiri dalam upaya meramalkan pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi masa depan. Pendekatan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa keadaan sekarang adalah produk masa lalu, oleh karenanya para pemikir ekonomi tidak terjebak dengan hanya menganalisis keadaan ekonomi masa kini dalam melakukan ramalan ke depan. Kita harus menyadari proses kesinambungan sejarah dari segala peristiwa, fenomena dan isu-isu, sehingga dengan kekuatan pemikiran mereka  mampu mempengaruhi opini umum menuju pemikiran yang lebih positif.
Semakin berat dan kompleks masalah konkrit perekonomian yang sedang dihadapi bangsa kita, semakin besar “godaan” untuk mencari jalan pintas dalam mengatasinya. Dan proses pencarian jalan pintas (politik ekonomi jangka pendek) bisa menyebabkan kita mengenyampingkan masalah sistem ekonomi. Demikian pula sebaliknya, dalam keadaan serba makmur diiringi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kita bisa saja tidak memandang penting masalah sistem ekonomi, karena apa yang sudah diatur oleh mekanisme pasar tidak mengharuskan kita memeras pikiran lagi. Hanya bangsa yang selalu berfikir jauh – baik saat kondisi makmur atau prihatin – yang  mau dan mampu memikirkan masalah sistem perekonomiannya secara konsisten. Sistem ekonomi Indonesia sudah digariskan sebagai sistem ekonomi pancasila, dan sistem ekonomi koperasi sudah digariskan secara jelas dalam pasal 33 UUD 1945 berikut  penjelasan pasal 2. Perkataan koperasi memang tidak disebut dalam pasal 33, namun yang dimaksud asas kekeluargaan adalah koperasi (Bung Hatta). Sementara Begawan ekonomi Indonesia prof. Sumitro Djojohadikusumo, pada kuliah perdana universitas terbuka tahun 1985 mengemukakan wawasan :”…pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas bersumber pada serangkaian kaidah hidup yang dalam masyarakat kita telah dijadikan landasan dasar dan asas tunggal dalam tata susunan negara, yaitu kaidah-kaidah yang terkandung dalam pancasila”. Hal senada digambarkan oleh teknokrat orde baru Prof. Widjoyo Nitisastro – meski tidak secara eksplisit menyebut pancasila - sebagai berikut: “sistem perekonomian didasarkan pada usaha bersama dari masyarakat secara keseluruhan, dengan tujuan utamanya untuk menaikkan tingkat hidup masyarakat (dengan meningkatkan pendapatan perkapita) dan pembagian yang seimbang yang berasal dari hasil usaha bersama itu (pembagian pendapatan yang merata), dengan negara memainkan pernanan aktif untuk mengarahkan dan melaksanakan pembangunan ekonomi”. Berbagai pandangan tersebut, seyogyanya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi  para penentu kebijakan  dalam merumuskan politik ekonomi, baik dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang, dalam mempertahankan dan memperkokoh kedaulatan ekonomi bangsa. Dalam tulisan yang terbit di tahun 1955, Bung Hatta berpesan: “Politik perekonomian berjangka panjang meliputi segala usaha dan rencana untuk menyelenggarakan secara berangsur-angsur ekonomi Indonesia yang berdasarkan koperasi. Di sebelah menunggu tercapainya hasil politik perekonomian berjangka panjang ini, perlu ada politik kemakmuran berjangka pendek yang realisasinya bersumber pada bukti-bukti yang nyata. Sekalipun sifatnya berlainan daripada ideal kita bagi masa datang, apabila buahnya nyata memperbaiki keadaan rakyat dan memecahkan kekurangan kemakmuran kini juga, tindakan itu sementara waktu harus dilakukan dan dilaksanakan oleh mereka yang sanggup melaksanakannya”
Sudah siapkah rekan sejawat mengemban amanah ini? Jayalah Indonesia, jayalah Universitas kita!
                                                                                                           
Jakarta, 17 Januari 2012
                                                                                                                                        Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar