.


Kamis, 26 Januari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I, 2012: WHAT NEXT INDONESIAKU?


WHAT NEXT INDONESIAKU?
Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menyisakan banyak agenda penting meskipun situasi  turbulensi tahap transisi reformasi sebagian telah terlewati. Melalui ruang demokrasi dan kebebasan, saat ini generasi muda Indonesia lebih memiliki keleluasan untuk menampilkan diri dalam kancah kepemimpinan dan perpolitikan di Indonesia, tidak hanya generasi muda kaum pria saja, kaum wanita muda pun memiliki peluang yang sama untuk bersama-sama mengaktualisasikan diri, mewujudkan bakat dan potensinya. Dalam dasawarsa terakhir telah lahir tunas-tunas bangsa yang memberikan harapan akan lahirnya generasi muda baru Indonesia dalam kepemimpinan dan perpolitikan mendatang. Pelbagai media massa pernah menampilkan sederet nama yang mencuat ke panggung nasional, bahkan diantaranya adalah kalangan artis selebriti, yakni mereka yang acapkali  menghiasi halaman media massa dan layar kaca, antara lain:  Fajroel Rahman, Yenny Abdurachman Wahid, Budiman Sujatmiko, Puan Maharani, Putty Guntur Soekarno Putra , Pramono Anung, Nurul Arifin, Rieke Diyah Pitaloka, Ade Komarudin, Komarudin Hidayat, Anies Baswedan dan Anas Urbaningrum, meski yang belakangan ini sempat dilanda prahara “skandal-wisma-atlit” yang telah menurunkan  popularitas nya secara drastis di mata publik. Dengan adanya kasus Anas ini publik sempat meragukan kemampaun anak muda secara keseluruhan untuk segera tampil di panggung kepemimpinan nasional. Sementara generasi yang lebih tua agaknya belum sepenuhnya bulat hendak meninggalkan arena pertarungan, khususnya menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014 nama-nama lama masih tetap bertengger. Sudah 13 tahun masyarakat diberi pembelajaran berdemokrasi, baik dalam memilih wakil-wakil rakyat maupun dalam pemilihan eksekutif pemerintahan dari tingkat nasional sampai ke tingkat daerah. Di dalam periode transisi reformasi ini rupanya masyarakat umum sampai ke tingkat akar rumput, tidak begitu peduli untuk memunculkan dan memilih kepemimpinan yang cakap, berkualitas dan berkelas. Figur-figur popular – seperti artis dan selebriti – justru lebih mendapat tempat, disamping figur-figur  “dermawan” dengan kantong tebal, rupanya rakyat benar-benar tengah  berpesta. Sampai pada titik tertentu masyarakat luas mulai bosan dan jenuh dengan pelbagai hiruk-pikuk pesta demokrasi yang tak kunjung mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih bermartabat . Kekecewaan dengan pelbagai sepak terjang politikus senayan dan para tokoh eksekutif pemerintahan telah menimbulkan rasa skeptisisme yang meluas, sehingga dari hasil survei-survei yang dilakukan, kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan partai-partai politik menurun drastis. Riset juga menunjukkan bahwa masyarakat pemilih cenderung lebih tertarik untuk bersikap pragmatis saja, dengan melakukan pola “transaksi” dengan para calon pemimpin mereka, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Dengan demikian pendekatan “politik-uang” akan semakin sulit dihindari dan diperkirakan akan terus meningkat dengan modus dan kemasan yang lebih canggih, baik terselubung ataupun terang-terangan. Estimasi biaya yang harus dikeluarka para calon kepala daerah baik ditingkat propinsi, kabupaten, maupun di tingkat kodya untuk memenangkan pilkada mudah diperkirakan dengan formula yang baku, berapa kocek yang harus mereka keluarkan. Dengan demikian agenda dan tema-tema kampanye serta isu isu yang diangkat dintara masing-masing calon yang bersaing akan berkisar di seputar fenomena yang sama, dengan mengkritisi kinerja kepemimpinan sebelumnya. Konon dengan bergulirnya orde reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini, para pengamat yang optimis kerap mengatakan bahwa masyarakat saat ini semakin cerdas dan pragmatis. Namun perlu  segera dipisahkan dengan jelas antara istilah cerdas dan sikap pragmatisme. Kecerdasan dalam konteks ini, bisa dilihat dari sejauh mana masyarakat dapat memilih dan memilah persoalan, mampu melakukan analisis dan diagnosis terhadap pelbagai persoalan, sehingga apa yang merupakan visi dan misi beserta program para kandidat pemimpin dapat dievaluasi, dikaji dan disimpulkan sebagai solusi dan/atau resolusi alternatif dan  efektif terhadap daerahnya masing-masing. Begitu pula kecerdasan dalam menilai kepribadian para pemimpinnya, baik dari sisi kejujuran, integritas dan kemampuan manajerialnya, sehingga masyarakat tidak merasa membeli kucing dalam karung, akibat tidak memiliki informasi yang utuh tentang calon pemimpinnya.  Masyarakat sebaiknya mampu melihat bahwa kesalahan dalam menentukan pilihan dapat berdampak luas, dengan demikian kecerdasan memiliki arti adanya daya antisipasi dan daya abstraksi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bakal muncul. Sementara sikap pragmatisme, dapat merupakan sikap reaktif sesaat terhadap situasi yang tidak ideal untuk memutuskan pilihan yang menurut kondisi sesaat adalah yang terbaik, dengan tidak menghiraukan dampak dan eksesnya untuk jangka panjang. Sehingga sikap pragmatik ini menjadi identik dengan sikap spekulatif dalam menentukan solusi dan/atau resolusi  sesaat, baik bersifat rasional maupun irasional dengan tidak melandaskan diri pada akurasi dan keutuhan informasi. Sikap cerdas mungkin masih bisa diharapkan lahir dari masyarakat yang terdidik, baik formal ataupun non formal, sementara dari lapisan masyarakat tidak terdidik dan mungkin pula semi terdidik, dapat memunculkan keputusan-keputusan spekulatif-irasional. Tinggal kita secara jujur  melakukan penilaian obyektif, tentang  besaran orang yang memiliki hak pilih sebagian besar  mengelompok di lapisan masyarakat yang mana, di lapisan terdidik, semi terdidik dan/atau tidak terdidik. Tanpa harus melakukan penelitian secara komprehensif, sejak dini kita sudah dapat menyimpulkan dan memaklumi bersama. Dengan demikian, akan ada banyak jajaran pemimpin di seluruh propinsi, kabupaten dan kotamadya yang tampil meraih kemenangan suara sebagai pemimpin formal daerah masing-masing, tampil terpilih akibat pertimbangan spekulatif- irasional ketimbang pertimbangan obyektif rasional. Tidak mengherankan jika para pemimpin formal peraih suara terbanyak tersebut di akhir masa pemerintahannya banyak yang tersandung kasus dan skandal, baik terkait dengan pelanggaran hukum, moral-kesusilaan maupun melakukan penyimpangan tidak sengaja akibat tidak dibekali oleh kecakapan manajerial (missmanagement). Ironinya, ada seorang bupati yang diawal pemerintahannya mendapat mayoritas suara terbesar, namun setelah dua atau tiga tahun memerintah harus dilengserkan di tengah jalan akibat keterlibatan dalam pelbagai kasus dan penyimpangan. Begitu pula dalam  skala nasional hal ini nyaris menimpa presiden transisional Habibie di awal era reformasi, dan secara tragis menimpa pula presiden selanjutnya, yakni mendiang Abdurachman Wahid yang terpilih karena manuver kelompok kaukus poros tengah yang tidak menghendaki terpilihnya Megawati sebagai presiden. Dan begitu seterusnya, berbagai persoalan muncul silih berganti akibat transisi yang berkepanjangan di orde reformasi, dibarengi dengan pelbagai kejadian bencana alam yang silih berganti. Lembaga Mahkamah Konstitusi pun hampir-hampir kewalahan menangani berbagai kasus yang muncul akibat diselenggarakannya pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), bahkan lembaga ini pun nyaris tertimpa masalah yang hampir serupa dengan apa yang menimpa  lembaga KPK, namunn beruntung Mahkamah Konstitusi masih memiliki pemimpin yang  mendapat kepercayaan publik sehingga keberadaan lembaga tersebut masih dapat terselamatkan.
Kini Indonesia tercinta berada di persimpangan jalan, apakah akan terus melaksanakan agenda-agenda reformasi secara konsisten, atau melakukan pelbagai revisi ulang terhadap pelbagai agenda reformasi yang danggap menyimpang dan kurang terkendali. Dalam rangka mempercepat akselerasi proses reformasi, pemerintahan SBY akhirnya hanya bisa melakukan pendekatan simptomatis atau remedial terhadap masalah bangsa yang dihadapi, dengan membentuk lembaga-lembaga adhok semacam satgas untuk meredam ketidak puasan publik terhadap kinerja pemerintahan. Rupanya para tokoh politik, pemuda,  mahasiswa serta pemuka masyarakat sudah tidak tertarik terhadap pilihan-pilihan radikal dalam mengatasi persoalan bangsa, sehingga cenderung membiarkan saja pemerintahan SBY berjalan apa adanya sampai berakhir di tahun 2014. Kecenderungan ini nampak jelas dengan kurang munculnya gagasan-gagasan pembaharuan (renaissance) yang diwacanakan secara nasional dan diimplementasikan kedalam suatu gerakan. Apakah karena mereka sudah mulai lelah, atau mendapatkan sesuatu yang sesungguhnya mereka inginkan, atau karena melihat besarnya biaya yang harus dipikul masyarakat, bangsa dan negara jika dilakukan kembali perubahan-perubahan radikal yang penuh konflik dan ketegangan.
Generasi muda yang sama-sama kita harapkan, ternyata juga seperti kehilangan visi, misi dan orientasi tentang arah-tujuan, sistem serta reposisi bangsa Indonesia ke depan di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia dalam era globalisasi. Ketajaman daya pikir mereka seperti terkendala oleh dahsyatnya perubahan makro di tingkat global – juga ketidak percayaan diri akibat berlarut-larutnya segala kekisruhan dalam negeri -  sehingga tidak memiliki keberanian berpikir  dan bersikap tentang posisi bangsa Indonesia dalam konstelasi perubahan global. Berbeda dengan pemuda-pemuda yang dilahirkan ketika awal kemerdekaan, integritas dan sikap kenegarawanan acap diwujudkan dalam bentuk pemikiran-pemikiran strategis Indonesia ke depan. Situasinya menjadi sulit saat Indonesia sempat diterpa pelbagai krisis multidimensional, yang mengguncang pilar-pilar  ketahanan nasional bangsa Indonesia, baik dari sisi persatuan bangsa maupun ketahanan fondasi perekonomian, dimana banyak sejumlah sumber daya dan kekayaan Indonesia yang sudah dikuasai oleh pihak asing, atau di kuasai oleh orang pribumi asli dan/atau non asli Indonesia yang perilakunya lebih asing daripada orang asing. Justru dalam situasi yang penuh ketidakpastian,  sendi-sendi berbangsa dan bernegara seperti situasi dewasa ini, sangat dibutuhkan inisiatif atau prakarsa besar dari generasi muda untuk mengambil alih persoalan bangsa, disaat generasi  yang lebih tua sebelumnya sudah tersandera dan terperangkap oleh pelbagai persoalan besar yang melilitnya. Secara intuitif kita merasa bahwa masyarakat, bangsa dan negara kita saat ini tengah masuk ke wilayah ruang hampa dan vakum, seumpama gunung berapi yang tidak menujukkan aktivitas apa-apa, namun hewan satwa disekitarnya terlihat gelisah. Sementara generasi muda saat ini yang tidak terlibat dalam proses perumusan falsafah dan ideologi negara, rupanya tidak meyakini betul bahwa untuk saat ini falsafah dan ideologi bangsa masih relevan untuk dijadikan inspirasi dan kompas tujuan perjalanan bangsa untuk abad selanjutnya. Skeptisime tersebut dapat dimengerti mengingat mereka mungkin belum mampu menghayati suasana kebatinan ketika awal pertama kali falsafah dan ideologi  bangsa dirumuskan. Apalagi falsafah dan ideologi bangsa sebagai satu-satunya asas ini pernah efektif dijadikan instrumen kekuasaan untuk menekan lawan-lawan politik ekstrim kanan dan ekstrim kiri sebagai musuh-musuh bangsa dan negara yang melawan ideologi pancasila. Memang sejak ideologi pancasila dirumuskan dan 66 tahun masa kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia belum pernah benar-benar mencapai masa keemasan secara gemilang. Seolah-olah belum ada bukti yang benar-benar dapat dijadikan kebanggaan  bahwa dengan menerapkan pola-pikir pancasilais bangsa Indonesia masuk kedalam gerbang kejayaan. Pemikiran tentang adanya ekonomi pancasila pun sering dicibir  dan dianggap tidak menggambarkan realitas tuntutan modernitas zaman. Bagi sebagian orang memperjuangkan sistem ekonomi pancasila dianggap bertolak belakang dengan realitas. Keadaan ini memang tidak dapat dilemparkan kesalahannya kepada generasi muda begitu saja, dimana dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, sudah sulit ditemukan adanya suasana kehidupan yang dilandasi asas kekeluargaan dan gotong royong. Dalam situasi desakan kesulitan hidup sehari-hari, dimana upah buruh relatif rendah dengan kualitas hidup yang kurang layak, sulit kita bercerita tentang adanya suatu kerajaan dongeng dimana penduduknya hidup bermandikan susu dan madu, yang disetiap gapura dan bangunan indah negeri tersebut di dinding-dindingnya bertatahkan kalimat keramat pancasila.
Meskipun kita sudah merdeka secara politik selama 66 tahun, namun keterpurukan dan kegagalan dalam membangun keadilan dan kesejahteraan telah menjadikan bangsa kita kehilangan kepercayaan diri, untuk berfikir dan menentukan arah nasibnya sendiri. Orang yang sudah turun temurun menghuni tanah nusantara, sampai saat ini banyak kualitas hidupnya berada dalam kondisi yang mengenaskan. Sementara di sisi yang lain sebagian kecil kelompok masyarakat dalam waktu relatif singkat dapat menikmati kekayaan  Indonesia .
Kita dapat merenungkan pendapat Boeke di tahun 1910, yang mengatakan bahwa “di Indonesia teori barat tidak bisa dipakai, karena kita hidup  berdampingan  dalam dua sistem ekonomi yang tidak dapat berbaur. Sistem modern kapitalis berjalan sendiri, dan sistem tradisional kerakyatan juga berjalan sendiri. Dengan demikian terdapat sebuah kesenjangan dari sektor modern kapitalistis didalam suatu sistem ekonomi tradisional kerakyatan yang luas”.

                                                                                                            Jakarta, 27 Januari 2012
                                                                                                                        Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar