EKONOMI HIJAU
Indonesia adalah
negara kedua paling kaya di dunia untuk keanekaragaman hayati darat (terrestrial biodiversity), setelah Brasil
dan peringkat pertama untuk keanekargaman hayati laut (marine biodiversity). Walaupun hanya meliputi 1,3% dari seluruh
permukaan daratan bumi, hutan Indonesia mencapai 10% hutan dunia dan merupakan
rumah bagi 20% spesies flora dan fauna dunia, 17% spesies burung dunia dan
lebih dari 25% spesies ikan dunia. Dalam hampir setiap sepuluh hektar hutan pulau
Kalimantan memiliki berbagai spesies pohon yang berbeda-beda melebihi yang
ditemukan di seluruh Amerika Utara, apalagi jika didalamnya dimasukkan jumlah
tumbuhan, serangga, dan hewan langka yang tidak dapat ditemui di tempat lain dimanapun
di dunia. Meskipun pulau Kalimantan luasnya hanya 1% dari luas permukaan bumi,
namun menurut laporan United State Agency
for International Development (USAID)
memiliki 6% spesies burung dunia, spesies mamalia dunia, dan spesies tumbuhan
berbunga di dunia. Seluruh kepulauan Karibia hanya memiliki sekitar satu per
sepuluh ke anekaragaman hayati laut Indonesia yang terletak di pertemuan samudera
Hindia, laut Cina selatan, dan samudera Pasifik yang memperoleh makanan dari
ketiga kawasan laut tersebut. Menurut Alfred Nakatsuma (USAID), Indonesia kini kehilangan hutan tropika seluas negara bagian
Maryland setiap tahunnya, dan karbon yang dilepaskan oleh penebangan dan
pembukaan hutan – sebagian dilakukan secara liar – telah menjadikan Indonesia
negara ketiga paling besar di dunia untuk emisi gas rumah kaca, setelah Amerika
Serikat dan Cina dan peringkat keempatnya adalah Brasil. Lebih dari 70% emisi
CO2 dari Indonesia berasal dari penebangan dan pembukaan hutan.
Menurut Conservation International,
setiap jamnya hutan Indonesia ditebang 300 kali seluas lapangan sepak bola.
Penebangan liar di hutan nasional menyebabkan pemerintah Indonesia kehilangan 3
milyar dolar AS pendapatan negara setiap tahunnya, bahkan pembukaan hutan resmi
pun dilakukan secara besar-besaran karena Indonesia masih berusaha menumbuhkan
ekonominya dengan menjual produk-produk hasil hutan. Begitu pula yang terjadi
di wilayah lautan, perairan di sekitar 17 ribu pulau di kepulauan Indonesia
memiliki 14% terumbu karang bumi dan lebih dari 2 ribu spesies ikan yang hidup
di terumbu karang. Terumbu karang adalah tempat bernaung, struktur, sekaligus
substrat, sebagaimana pohon di hutan yang apabila hilang maka berbagai jenis
spesies binatang punah, begitu juga apabila tidak ada terumbu karang ikan pun
punah. Pembangunan yang tak terkendali dan penangkapan ikan baik yang
menggunakan dinamit maupun sianida telah banyak merusak terumbu karang di
Indonesia, sebagai habitat sangat penting bagi ikan dan hewan karang lainnya.
Pada tahun 2000 penangkapan ikan di sekitar perairan Indonesia mulai menjarah
kepada ikan yang belum cukup umur, yakni sebesar 8% dan di tahun 2004 angkanya
telah berlipat menjadi 34% dari total kekayaan ikan. Menurut para pakar ketika
bayi ikan yang ditangkap mencapai satu per tiga dari yang tersedia, berarti
kiamat di dunia sudah dekat. Bayangkan sebuah dunia tanpa hutan. Bayangkan
sebuah dunia tanpa karang. Bayangkan sebuah dunia tanpa ikan. Bayangkan sebuah
dunia dengan sungai-sungai yang mengalir hanya dalam musim hujan. Kita perlu
segera mengembangkan sebuah sistem untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan
sumber daya alam yang cerdas, serba lengkap, dan efektif.
Sejak KTT bumi tahun
1992 di Rio De Janeiro (Brasil), muncul konsensus global bahwa perubahan iklim
bumi, pola konsumsi sumber daya, dan ledakan jumlah penduduk secara gabungan
mengancam keanekaragaman hayati yang berfungsi mempertahankan keberadaan semua
spesies, termasuk manusia, sehingga perlu didefinisikan kembali hubungan
manusia dengan dunia. Konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, kepunahan spesies,
penggundulan hutan, politik minyak, dan pemanasan bumi, semua saling terkait.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan jumlah penduduk telah melepaskan
lebih banyak karbon ke dalam atmosfer, sehingga bumi yang rata dan penuh sesak
telah menjadikan udara semakin panas dan pengap. Begitu pula perusakan hutan
dan alam lainnya seperti terumbu karang,
menjadikan manusia semakin rentan, karena pohon di hutan yang berfungsi
menyerap air hujan bersih sekaligus menyimpannnya di bawah permukaaan dalam akar-akar
dan akuifer-akuifer, yang kemudian kesemuanya secara teratur dilepaskan ke
sungai-sungai dan anak-anak sungai. Begitu juga terumbu karang dan hutan bakau
adalah penyangga daerah pantai dari hempasan badai tropika. Maka semakin jauh
kita masuk ke dalam energi iklim, semakin besar kebutuhan kita akan habitat
alami, sebagaimana hutan yang dapat mencengkeram tanah dan menyediakan rumah
bagi spesies-spesies yang terancam, sementara karang dapat melindungi daerah
pantai dari kenaikan permukaan air laut dan menyediakan pakan bagi sekawanan
ikan yang merupakan mata pencaharian bagi penduduk pantai. Membangkitkan
elektron-elektron bersih yang melimpah, andal, dan murah akan membantu
mengurangi tekanan terhadap ekosistem bumi yang tengah terancam, namun lebih
dari itu diperlukan strategi integral dan komprehensif untuk membangkitkan
pelestarian secara besar-besaran guna memastikan
masih tersedianya banyak tumbuhan dan hewan bagi manusia sebagai sumber daya
yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Strategi tersebut perlu didorong dan
dipelihara, khususnya oleh orang-orang yang tinggal di wilayah sumber daya
alami yang paling berharga. Di samping itu perlu dirumuskan kebijakan pemerintah
tentang ekosistem, investasi, dan stakeholders
yang tepat dan benar untuk menyelamatkan sebuah ekosistem yang terdiri atas
tumbuhan, hewan dan hutan. Kita perlu menyambut baik terhadap upaya yang telah
dikembangkan para pakar ekonomi yang menggagas pendekatan di bidang ekonomi
yang mengintegrasikan faktor lingkungan dan ekosistem kedalam paradigma pemikiran
di bidang ekonomi, khususnya dalam rangka mempengaruhi kebijakan ekonomi
pemerintah yang terintegrasi dengan pelestarian alam. Suatu pendekatan yang
berusaha untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan
jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan mendesak yang perlu
segera ditangani. Sebaliknya upaya menggerakkan roda perekonomian dengan
kebijakan rendah karbon (low carbon
economy) perlu mendapat dukungan yang luas. Sebelumnya masyarakat hampir tidak peduli dengan bahan bakar
kotor (high carbon), mereka seolah
menutup mata dan menganggap wajar jika pertumbuhan ekonomi akan mengorbankan
kesehatan ekosistem serta kesehatan ekonomi masyarakat yang tersingkir,
sementara kepunahan pelbagai spesies merupakan efek samping dan tak terelakkan.
Padahal dengan sistem energi bersih, kita akan faham bahwa ekosistem sehat dan
ekonomi sehat harus seiring, jika tidak pertumbuhan itu sendiri tidak akan
dapat dinikmati lagi akibat kerusakan dan ketidaktersediaan sumber daya alam
yang memadai. Boleh jadi ekonomi
hijau dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi alternatif pilihan terbaik
dalam rangka melaksanakan model pembangunan dengan reducing emission from deforestation and degradation (REDD), suatu pembangunan ekonomi yang tidak
hanya bersifat business as usual,
namun cenderung pada konsep green economy
untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan menekan resiko kerusakan
ekologi. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sama pentingnya dengan
memperkecil resiko lingkungan dan pengikisan aset ekologi. Komitmen untuk menerapkan
REDD merupakan tantangan bagi pemerintah dan pelaku bisnis Indonesia guna
menerapkan konsep ekonomi hijau secara utuh. Karena dengan ekonomi hijau akan
terjawab aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi sekaligus secara
bersamaan. Melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu
menggantikan kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada
solusi jangka pendek. Dengan pendekatan baru kebijakan ekonomi hijau diharapkan
mampu memadukan aspek "pelestarian lingkungan" dan "pertumbuhan
ekonomi". Dengan perkataan lain, melalui model pendekatan Green Economy akan mampu menjawab saling
ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat
aktivitas ekonomi terhadap perubahan iklim dan pamanasan global. Beberapa
kebijakan perlu segera ditempuh, diantaranya: Pertama, sebuah kebijakan pemerintah nasional perlu melindungi
daerah-daerah tertentu yang telah melewati batas aman untuk eksploitasi,
konversi, dan/atau pembangunan mengingat pentingnya ke aneka ragaman hayati di
suatu daerah. Di samping itu membatasi dengan tegas daerah-daerah lain untuk
dikembangkan dengan alasan pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan yang cermat
guna melindungi spesies terancam, mutu air, dan nilai ekologi lainnya. Kedua, memberi peluang alternatif
ekonomi bagi masyarakat setempat yang memungkinkan mereka tetap berkembang
tanpa harus merusak keanekaragaman hayati di daerahnya. Ketiga, investor swasta apakah dari pihak subsektor energi atau
pertambangan, agrobisnis, pengembangan wisata, perhotelan dan lainnya yang
memiliki kepentingan untuk menjaga agar keanekaragaman hayati di daerahnya
tetap utuh dan dapat menarik investasi global dalam proyek-proyek yang
menguntungkan, menghormati dunia alami, sekaligus membantu standar hidup
penduduk setempat. Keempat,
pemerintah daerah harus mampu dan bersedia melestarikan daerah yang harus
dilindungi dengan tidak menjualnya demi uang atau membiarkan diri dikorup oleh
kepentingan pihak penebang dan penambang. Kelima,
melibatkan pakar lokal atau internasional yang paham betul cara mengukur keanekaragaman
hayati dengan canggih dan benar, sekaligus merencanakan tata guna lahan untuk
menentukan dengan tepat daerah mana yang perlu dilindungi dan daerah mana yang
dapat dibangun untuk penanganan lingkungan yang tepat. Keenam, mendukung pelbagai inisiatif penyelenggaraan pendidikan
dasar, menengah dan tinggi guna meningkatkan kesadaran generasi muda untuk
secara antusias menerima pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka sadar
tidak ingin merusak dunia alami di sekitar mereka.
Tentunya setiap
komponen masyarakat perlu disadarkan terhadap situasi genting diatas, baik itu
dari pihak pemerintah, perusahaan, organisasi non pemerintah dan penduduk daerah
setempat perlu terlibat dalam upaya pelestarian dan memahami bahwa menjaga
keutuhan ekosistem lokal sama dengan menjaga kepentingan mereka. Mereka semua
perlu dilibatkan dalam melestarikan daerah yang dilindungi beserta keanekaragaman
hayati secara keseluruhan, dengan mengaitkan keterlibatan tersebut dengan peluang
sukses mereka. Suatu kisah menarik adalah ketika sekelompok aktivis lingkungan –
pecinta orang utan – mengorganisasikan pendekatan khusus bagi pelestarian hutan
batang toru di Sumatera Utara, berkat komunikasi dan lobi yang baik dengan
perusahaan pertambangan, penduduk desa, dan perusahaan penebangan yang memiliki
hak pengusahaan hutan, serta bagaimana mereka meyakinkan para investor besar di
subsektor energi yang ingin memanfaatkan kantung-kantung panas bumi di daerah
itu. Investor lokal tersebut telah mengantongi hak untuk menggarap panas bumi
di tengah hutan batang toru dari pemerintah pada tahun 2006. Pemimpin dari
aktivis lingkungan tersebut mencoba berdialog dan memberi pemahaman kepada
investor lokal tersebut tentang adanya kepentingan bersama untuk mempertahankan
hutan. Bahkan hutan tersebut mempunyai fungsi sebagai water table yang diperlukan untuk membuat sumur-sumur panas bumi
tetap ada dan tidak sampai merosot terlalu rendah, sehingga batuan-batuan panas
di situ tidak dapat membuat uap lagi, dimana fungsi hutan adalah mempertahankan
daerah tangkapan air. Setelah para pengusaha menyadari hal ini, mereka
menggunakan pengaruhnya untuk membeli hak pengusahaan hutan tropika batang toru
dari perusahaan penebang kayu sebagai pemilik semula yang kemudian diubahnya
menjadi sebuah hutan lindung yang bebas dari pembangunan, kecuali agroforestry terkendali dan rencana proyek
panas buminya yang sedang dikerjakan. Mereka tengah membeli hak pengusahaan
hutan senilai kira-kira 2 milyar dolar AS bagi hutan lindung, agaknya
perusahaan penebangan tidak berkeberatan menjual hak tersebut karena sebagian
besar hutan tumbuh di lereng-lereng bukit yang curam dan menyulitkan penebangan
serta pengangkutan kayu gelondongan. Pengusaha energi geotermal tersebut
berhasil menguasai hutan dan berencana melanjutkan proyek geotermalnya yang
akan menghasilkan 330 mega-watt serta mencari kemitraan dengan penduduk
setempat dengan mengendalikan pertanian di lantai hutan sekaligus memanfaatkan sebagai
daya tarik wisata lingkungan alam (eco-tourism) yang juga bisa dinikmati oleh warga
kota-kota terdekat. Begitu pula perundingan soal royalti bagi penduduk desa
dari fasilitas operator geotermal diupayakan, ketika fasilitas itu selesai dan
dioperasikan, untuk mendukung sekolah dan infrastruktur setempat. Para aktivis
juga bekerjasama dengan penduduk asli dalam menghidupkan kembali hukum-hukum
lisan adat-istiadat mereka yang sangat menjunjung upaya melindungi hutan,
sungai, dan lingkungan alami secara keseluruhan. Mereka menghidupkan kembali
nilai-nilai yang telah dianut oleh nenek moyang mereka yang telah terkikis oleh
kalangan generasi baru akibat terlalu banyak menonton televisi, padahal tempat
tinggal mereka dekat sekali dengan hutan.
Tentu kisah tersebut
masih dapat dihitung dengan jari, sementara para elit Indonesia yang tengah
dilanda demam demokrasi dan disentralisasi telah memberikan pengaruh yang
campur aduk dalam hal kebijakan lingkungan. Di satu sisi di beberapa bagian
negeri ini, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten tengah
menggalakkan program konservasi secara sungguh-sungguh. Namun di tempat lain
pemerintah daerah yang baru tengah menikmati kekuasaan penuh – tanpa mendengar
supervisi lagi dari pemerintah pusat – tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk
mendapatkan uang secara cepat melalui penjualan ijin-ijin pengusahaan sumber
daya alam, dan ironinya dengan meresmikan operator-operator yang semula liar
menjadi resmi. Dengan demikian, baik pemerintah pusat maupun para aktivis lokal
dan wartawan perlu memberi tekanan dan pengendalian terhadap para pejabat yang
perilakunya tidak bersahabat lagi dengan program kelestarian lingkungan.
Padahal menurut para aktivis lingkungan tadi, komunikasi dengan semua kalangan
perlu diefektifkan, misalnya ketika kita berbicara dengan kepala pemerintahan daerah,
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa ekonomi versi birokrat, namun ketika
kita berbicara dengan masyarakat setempat, maka bahasa yang digunakan adalah
kesejahteraan, dan ketika kita berbicara dengan para pengusaha maka bahasa yang
digunakan adalah tentang keuntungan bagi mereka di masa mendatang. Begitu pula
ketika berbicara dengan sesama para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa lingkungan. Setiap kebijakan harus
disesuaikan secara lokal di tempat masing-masing, baik dengan pemain lokal
maupun investor lokal dari sudut kepentingan mereka namun kondusif bagi upaya
pelestarian lingkungan. Meningkatkan kesadaran terhadap isu lingkungan ini
mendorong masyarakat untuk memikirkan upaya keseimbangan laju ekonomi dengan
konservasi lingkungan alam yang dapat melahirkan paradigma ekonomi yang
memasukkan aspek lingkungan kedalamnya.
Menurut Thomas L.
Friedman, Jika ingin menyelamatkan hutan, maka harus menyelamatkan
orang-orangnya terlebih dahulu, dan dalam dunia masa kini cara satu-satunya
untuk mewujudkannya adalah melalui pendidikan, suatu tempat dimana orang bisa
belajar pelbagai keterampilan baik yang berkenaan dengan sektor jasa maupun
manufaktur yang tidak merusak keseimbangan hutan. Setelah itu menciptakan
lapangan kerja berbasis pengetahuan guna menyelamatkan hutan secara
berkelanjutan. Begitu juga para aktivis lingkungan tidak bisa dibiarkan
bergerak sendiri-sendiri, mereka harus bahu-membahu mencari cara yang paling
efektif bagi penyelamatan hutan dan ekosistem secara terpadu dan menyeluruh. Menurut
L. Friedman, “jika anda pergi ke Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini
dan melihat pesawat penuh dengan perempuan muda yang dikirim ke luar negeri
untuk menjadi pembantu rumah tangga, anda juga bisa memastikan bahwa kayu-kayu
gelondongan dari hutan-hutannya pun akan diekspor sampai habis”. Situasi ironis
ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlangsung, terutama bagi masyarakat
yang masih merasa sebagai bangsa yang bermartabat. Maka makna kata “hijau”
mengandung sebuah nilai yang perlu dilestarikan dalam sanubari diri sendiri
terlebih dahulu, bukan karena semata akan membuahkan rekening bank yang semakin
gemuk – yang kebetulan warna lembaran dolar juga berwarna hijau – melainkan
dengan sikap demikian akan menjadikan hidup lebih kaya dan penuh berkah yang
seyogyanya akan selalu demikian. Etika konservasi menyatakan bahwa
mempertahankan dunia yang alami adalah sebuah nilai yang mustahil
dikuantifikasi tetapi juga mustahil diabaikan, sebab itulah keindahan,
keajaiban, kegembiraan dan kemustahilan yang bisa disediakan oleh alam raya yang
hidup. Hal tersebut baru dapat terwujud
secara konkrit, apabila kalangan dunia pendidikan di semua strata mampu
melakukan kreasi dan inovasi dalam merancang berbagai program pelestarian
lingkungan kedalam berbagai aktivitas intra dan ekstra kurikuler yang menggugah
minat dan menumbuhkan kepedulian siswa dan/atau mahasiswa sehingga mereka
betul-betul tergerak, terlibat dan melakukan tindakan nyata secara spontan dan
sukarela. Viva Green Economy.
Jakarta,
23 Mei 2012
Faisal Afiff