REORIENTASI STRATEGI PERGURUAN
TINGGI
Terdapat substansi dari tujuan dunia pendidikan, yang agaknya
dari dulu hingga kini secara normatif relatif tidak berubah, yakni bertujuan membebaskan
manusia dari belenggu kebodohan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai
upaya sistematik dan empirik untuk mencari kebenaran. Adalah Plato filsuf besar
Yunani - dalam bukunya Republik - yang
jauh hari telah merumuskan makna pendidikan sebagai “tugas membebaskan dan
memperbaharui manusia dari belenggu ketidak-tahuan dan ketidak benaran”, yang
tidak lain sasaran akhirnya dalam rangka perwujudan negara yang Ideal. Menurutnya,
pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia
yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan
mengantarnya ke ide yang tertinggi, yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Tokoh lain adalah Aristoteles, sebagai murid Plato, ia
mempunyai konsep pemikiran tentang pendidikan yang hampir sejalan dengan Plato. Namun Aristoteles lebih tegas
mengaitkan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan
pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara, dalam hal
ini segala upaya pembuatan dan penyusunan hukum, begitu pula pembentukan konstitusi,
harus dinafasi oleh semangat dan idealisme dunia pendidikan, sehingga dapat
tercapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berbahagia (eudaimonia).
Pada periode selanjutnya, khususnya di Eropa, idealisme itu
kembali bergema, yakni sejak abad ke-14, secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuan
universitas adalah mencari kebenaran. Istilah universitas pada zaman itu
dipakai dalam arti yang khusus, yaitu menunjuk pada sekelompok guru atau
pendidik dan para mahasiswa, atau entitas yang tidak dicampuri atau diganggu
kepentingan pihak luar atau oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan
lain-lainnya. Entitas ini mempunyai ciri yang khas berupa partisipasi mahasiswa
dari seluruh benua Eropa. Universitas berdiri sebagai suatu lembaga yang bebas
dari politik dan mengatasi posisi negara. Pada masa abad pertengahan sampai
revolusi industri misalnya, muncul universitas-universitas seperti Bologna di
Italia, Oxford dan Cambridge di Inggris, Heidelberg di Jerman, Universitas
Paris di Prancis, Harvard, Yale, dan Columbia di Amerika Serikat.
Institusi-institusi ini terpisah dari dunia sekuler dan sering disebut sebagai
menara gading, yakni tempat berkumpulnya kaum ilmuwan dan elite untuk mencari
kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
Di benua lain, khususnya
di universitas-unversitas Amerika Serikat, berprinsip bahwa mencari kebenaran itulah citra yang dapat kita
pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Meskipun, mata
kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa
universitas itu adalah untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.
Mungkin yang agak berbeda adalah apa yang terjadi di Jepang, khsususnya pada masa
Restorasi Meiji. Dimana tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara,
atau dengan perkataan lain, suatu pendidikan
dirancang tidak lain adalah untuk kepentingan negara. Motif dari reformasi
pendidikan yang dimotori oleh arsitek pendidikan Jepang seperti Mori Arino pada
era Restorasi Meiji adalah mempertahankan negara. Semua kebijakan-kebijakan
dalam dunia pendidikan diambil demi kepentingan negara. Logika sistem pendidikannya
adalah demi menjamin agar Jepang sukses
bersaing dengan negara-negara besar lainnya. Kebijakan pendidikannya mempunyai
tujuan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuatan negara dengan maksud untuk
menempatkan Jepang pada kedudukan yang sama tinggi dalam waktu sesingkat
mungkin dengan negara-negara besar lainnya. Jadi, tujuan pendidikan di Jepang
bukan untuk mencari kebenaran seperti yang terjadi di universitas-universitas
tertua di barat, namun yang terpenting adalah mencari hal yang berguna bagi
kepentingan negara.
Mori berpendapat bahwa kegairahan dalam menuntut ilmu
seharusnya mengutamakan penerapan daya guna daripada mencari kebenaran demi
kebenaran itu sendiri. Dalam pidatonya ia menjelaskan pandangannya,
"Melulu mengkhotbahkan prinsip-prinsip berbagai ajaran dan melulu
menjunjung tinggi perilaku-perilaku mulia adalah jauh dari kehidupan nyata di
dunia ini. Membaca buku dan menulis esei tidaklah bermanfaat bagi tindakan
nyata. Mereka yang asyik dalam melakukan hal-hal demikian itu bukanlah termasuk
yang mempunyai kecakapan. Dalam masa persaingan dengan negara-negara barat
seperti sekarang ini, orang-orang yang acuh tak acuh macam itu tidak mungkin
memenuhi kebutuhan mendesak negara kita”.
Itulah gambaran singkat tujuan pendidikan yang pernah muncul
dalam sejarah dunia, yang bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk merancang
tujuan pendidikan di negara kita. Di negara kita sendiri, yakni pada awal sejarah kebangkitan nasional Indonesia, yang
berakar pada kesadaran akan pentingnya rasa kebangsaan dan pemerataan
pendidikan. Hal ini tercermin dari berbagai pemikiran banyak tokoh utama dimasa
itu maupun orientasi organisasi masa dan pemuda yang ada. Ternyata bahwa pada
awal kebangkitan nasional Indonesia, tema pembicaraan pengembangan sumber daya
manusia Indonesia sering mengemuka dan menjadi salah satu faktor bahasan utama.
Hal ini menarik jika kita simak pernyataan para tokoh utama masa itu, seperti
dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, dimana beliau melihat bahwa faktor
pemerataan pendidikan khususnya berkenaan melalui baca-tulis menjadi media yang
sangat strategis. Langkah ini sangat menguntungkan ditinjau dari produktivitas
proses pemerataan informasi untuk menunjang proses belajar mengajar terutama
mengingat sumber daya pendidik atau guru yang terbatas saat itu.
Di
masa pemerintahan orde baru, di mana
Indonesia telah banyak mengalihkan fokus pembangunan negara pada masalah fisik
dengan mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, tetapi tetap tergambar dalam
GBHN (1993) pemerintah saat itu menaruh perhatian yang besar terhadap sektor
pendidikan, yakni diantaranya telah dicanangkannya program wajib belajar 9
tahun pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei 1994 dengan fokus utama
pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah bahkan tidak tanggung-tanggung
dalam melaksanakan hal ini dengan mengambil sebagian besar formasi pegawai
negeri yang ada untuk membuka peluang menjadi guru. Jelas bahwa tenaga pendidik atau
guru yang ada dan jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah siswa atau calon siswa yang
membutuhkan uluran pendidikan di seluruh tanah air.
Namun demikian Indonesia kini tengah memasuki era reformasi yang terus bergulir, yang
memunculkan
semangat untuk melakukan berbagai perubahan di berbagai sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah sektor
pendidikan. Untuk menjadikan sektor pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik,
para wakil rakyat telah mengamandemen pasal-pasal UUD tahun 1945 yang mengatur
mengenai pendidikan, misalnya dengan mengamanatkan bahwa 20% dari anggaran
negara adalah untuk sektor pendidikan, selain itu berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menunjang perbaikan sektor
pendidikan. Tidak ketinggalan pula di dalam berbagai pembentukan peraturan
perundang-undangan, juga dimasukkan
berbagai konsep-konsep liberal sebagai penyikapan terhadap era globalisasi yang penuh dengan persaingan.
Logika yang saat itu dipakai, adalah apabila kita tidak siap dalam menghadapi
persaingan, maka Indonesia tidak akan mampu
bertahan di dalam era globalisasi. Apabila mencermati peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan berdirinya Perguruan Tinggi Negeri
menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), maka terlihat dengan jelas bahwa salah satu landasan utamanya adalah
dalam rangka untuk menghadapi persaingan di era globalisasi pendidikan. Sebagai contoh dapat dilihat pada
Pasal 3 PP Nomor 152 tahun 2000 Tentang Penetapan Universitas Indonesia Sebagai
Badan Hukum Milik Negara, yang disebutkan
bahwa “Universitas diselenggarakan
berdasarkan asas-asas yang dilandasi
oleh:
a.
Kemandirian moral untuk membangun perguruan tinggi
sebagai kekuatan moral dalam pembangunan masyarakat yang demokratis dan mampu
bersaing secara global; dan
b.
Wawasan global, guna mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya,
dan seni.”
Secara eksplisit
dapat kita lihat bahwa Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) memang diciptakan secara filosofis untuk menghadapi
tantangan globalisasi, dengan mengadopsi nilai-nilai globalisasi yang saat ini
identik dengan nilai-nilai liberalisasi. Paradigma persaingan di dalam konsep
PTN BHMN dianggap sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian, meskipun persaingan memiliki segi-segi positif, sebaliknya ia juga memiliki segi-segi negatif, di dalam konsep
persaingan biasanya yang kuatlah yang bertahan, sementara pihak yang lemah akan tersingkir. Maka tidak heran apabila di dalam realitasnya golongan yang lemah secara ekonomi akan terkena
imbas pertama kali. Inilah yang terjadi
apabila logika ‘persaingan’ dimaknai dalam kacamata
yang sempit. Padahal
dalam buku Blue Ocean Strategy (2005), yang ditulis W. Chan Kim dan Renee
Mauborgne telah mengembangkan pandangan baru di bidang strategi yang selama ini
lebih banyak di pengaruhi doktrin militer. Sebagai contoh, bahasa strategi
dalam kemiliteran yang sering diadopsi itu adalah seperti “officers” (perwira) atau “headquarter”
(markas), armada atau lini depan. Dalam strategi militer, upaya strategis lebih
menggambarkan bagaimana cara bertempur dan memenangkan peperangan melawan musuh
untuk memperebutkan sepetak tanah yang terbatas dengan pasukan dan persenjataan
yang terbatas pula, yang mengalirkan pertumpahan darah, yang hal ini oleh W.
Chan Kim dan rekan, disinonimkan sebagai
Red Ocean Strategy. Sebaliknya
strategi dalam konsep “samudra biru” yang diperkenalkannya, W. Chan Kim
mengajak untuk menjelajahi ruang pasar baru, dengan menciptakan permintaan dan
ruang pertumbuhan yang sangat menguntungkan dengan membentuk aturan main baru.
Dalam paradigma persaingan, dapat terjadi proses komoditasi barang dan/atau
jasa yang semakin cepat, perang harga yang semakin panas, dan bahkan marjin
keuntungan yang semakin menyusut. Ketika suatu merek dari suatu barang dan/atau
suatu jasa dimana sesama atribut yang saling bersaing menjadi semakin mirip atau serupa, maka
konsumen akan semakin cenderung melakukan pilihan berdasarkan harga. Konsumen tidak
akan lagi loyal secara kukuh bahwa deterjen mereka haruslah bermerek rinso,
atau fanatik membeli silet dengan merek goal. Begitu pula dalam dunia
pendidikan tinggi, logika tersebut berlaku seakan-akan pendidikan tinggi saat ini
telah menjadi suatu komoditas yang sudah hampir mirip antara
lembaga pendidikan yang satu dengan lainnya . Hal ini kemudian menjadi tanda tanya
apakah paradigma ‘persaingan’ yang mengarahkan tawaran
pendidikan sebagai
komoditas bisnis sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Untuk keluar dari kondisi status quo, maka perlu dirumuskan suatu strategi masa depan yang
menekankan pada penciptaan ruang pasar yang belum ada atau sedikit pesaingnya,
dan berfokus pada permintaan serta menjauhi arena kompetisi dengan memaksimalkan
peluang dan meminimalkan ancaman. Diantaranya adalah dengan mengatasi berbagai rintangan
organisasional, yang mencakup rintangan
kognitif, sumber daya yang relatif terbatas, motivasional dan politik.
Berdasarkan Global
Competitiveness Report 2010-2011, kemitraan universitas-industri kita
berada pada peringkat ke-26 dari 139 negara. Hal ini turut memberi andil bagi
naiknya indeks daya saing global Indonesia ke posisi 44 setelah berada di
peringkat ke-54 pada tahun sebelumnya (Kompas 29 April 2011), sebuah pencapaian
yang cukup memberi harapan. Kendatipun demikian, di sisi lain pengembangan
universitas riset di tanah air nampaknya belum memberi kontribusi signifikan
bagi pembangunan nasional.
Setelah lebih dari empat dasawarsa pembangunan industri,
Indonesia masih tergolong sebagai negara pengimpor teknologi maju, yakni
melalui mekanisme lisensi teknis, waralaba, investasi langsung asing, impor
barang modal dan perdagangan internasional. Tak heran bila ditinjau lebih
lanjut berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi, daya saing negara
kita berada jauh di posisi ke-91. Kondisi ini jauh berbeda dengan Korea Selatan
yang juga mengembangkan industrialisasinya dalam kurun waktu yang sama. Korea
Selatan dengan indeks daya saing global di posisi ke-22, berada pada peringkat
ke-19 berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi. Saat ini Korea Selatan
telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama dunia dan termasuk dalam
negara industri maju. Kepemimpinan Korea Selatan dalam beberapa sektor industri
seperti semikonduktor, elektronik dan teknologi informasi telah diakui dunia.
Hal tersebut merupakan hasil dari investasi di berbagai
bidang inovasi industrial yang dikembangkan sejak tiga dekade terakhir. Salah
satu faktor kunci pengembangan inovasi industrial di Korea Selatan adalah
keterlibatan perguruan tinggi dalam wujud peran universitas riset. Bercermin
dari keberhasilan pengalaman Korea Selatan, maka beberapa pendekatan strategis
mereka dapat dicontoh untuk mendorong efektivitas peran perguruan tinggi dalam
proses percepatan pembangunan nasional Indonesia.
Studi-studi bidang ekonomika menjelaskan kontribusi penting
penemuan (invention) dan inovasi industrial (industrial innovation)
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pencapaian dalam penemuan dan
inovasi industrial adalah suatu proses sistematis yang dibentuk oleh akumulasi
riset-riset ilmiah (R&D). Penjelasan teoritis dan bukti-bukti empiris
mengenai hal ini dapat kita peroleh misalnya dalam Grossman dan Helpman (1992)
serta Guellec dan Potterie (2001) yang memaparkan hasil-hasil studinya terhadap
negara-negara industrialis yang tergabung dalam OECD.
Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Grossman dan Helpman
(1992), faktor inovasi industrial memiliki relevansi yang rendah terhadap
pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Hal ini merupakan lingkaran
persoalan di negara-negara berkembang. Negara-negara dengan tingkat pembangunan
ekonomi yang rendah umumnya mengalami keterbatasan pada ketersediaan sumber
daya manusia (SDM) terdidik, investasi modal, kewirausahaan serta iklim usaha
yang menunjang, seperti perijinan dan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual. Pelbagai keterbatasan tersebut lebih lanjut akan menjadi kendala
bagi kegiatan-kegiatan R&D yang berorientasi komersial. Akibatnya, harapan
akan dihasilkannya penemuan dan inovasi industrial menjadi rendah dan pada
akhirnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Tak
pelak kesenjangan pembangunan antara negara-negara industri maju dan
negara-negara berkembang pun semakin lebar. Pertanyaannya, adakah jalan keluar
terhadap lingkaran persoalan ini?
Solusi komprehensif terhadap persoalan di atas adalah
kompleks, namun langkah prioritas dapat dilakukan dengan memutus mata rantai
persoalan melalui intervensi kebijakan pemerintah. Kebijakan dimaksud adalah
dalam bentuk tersedianya kerangka hukum, mekanisme insentif dan alokasi
anggaran yang mendorong tumbuhnya penemuan dan inovasi industrial. Model
pengembangan strategisnya adalah pelibatan peran aktif tiga unsur utama, yakni
pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi. Tanpa mengenyampingkan
keberadaan institusi riset publik (LIPI), peran perguruan tinggi adalah penting
karena merupakan pusat bagi pelatihan tenaga-tenaga riset yang mendukung
berkembangnya kreativitas dan inovasi ilmiah. Potensinya yang besar paling tidak tampak dari profil perguruan
tinggi di Indonesia yang di tahun 2005 berjumlah 2.300-an institusi, terdiri
dari 86 PTN dan sekitar 2.200-an PTS, dan mendidik lebih dari 3,5 juta
mahasiswa.
Sekalipun penemuan dan inovasi industrial di negara-negara
maju didominasi oleh peran korporasi, namun pemerintah dan perguruan tinggi
juga memiliki peran yang signifikan. Berdasarkan hasil survei tahun 2005,
negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD rata-rata mengalokasikan
dukungan sebesar 78,1% dari total anggaran riset perguruan tinggi.
Negara-negara industri maju melihat dengan jelas peran perguruan tinggi dalam
membentuk masa kritis (critical mass) yang dibutuhkan bagi penemuan dan
inovasi industrial (Weber dan Duderstadt, 2004). Dengan demikian peran universitas riset
sebenarnya memiliki aspek yang penting bagi pembangunan di negara-negara maju.
Lebih jauh, persoalan khusus bagi negara-negara maju saat
ini adalah melihat kembali keseimbangan dua peran penting perguruan tinggi di
tengah-tengah masyarakat, yakni peran pengajaran dan penelitian. Salah satu
studi kasus yang menjadi rujukan adalah
perkembangan perguruan tinggi di Eropa (Bologna Process, 1999), yakni sejak
dua dasawarsa terakhir yang menyadari kebutuhan untuk memisahkan program studi
umum dan program studi di tingkat pascasarjana. Perguruan tinggi yang ingin
mengembangkan kompetensi universitas riset perlu lebih banyak mengalokasikan
sumber dayanya dalam kegiatan-kegiatan penelitian multidisipliner di tingkat
pascasarjana, dimana sebagai konsekuensinya akan mengurangi kegiatan pengajaran
di tingkat sarjana. Di sisi lain, perguruan tinggi yang ingin mengembangkan
kompetensi universitas pengajaran akan lebih berfokus pada proses pendidikan di
tingkat sarjana atau pendidikan profesi. Jelas sesuai pertimbangan ini tidak
semua perguruan tinggi akan mencapai status perguruan tinggi kelas dunia (world-class
university). Sebuah sistem pendidikan nasional yang matang diperlukan untuk
menciptakan iklim yang sehat bagi keseimbangan peran pengajaran dan penelitian.
Secara konseptual, ekosistem pengembangan inovasi industrial
terdiri dari berbagai unsur, yaitu penyedia SDM, penyedia modal, penyedia
pengetahuan dan teknologi, serta pembuat kebijakan. Interaksi berkelanjutan
diantara pihak-pihak tersebut akan menghasilkan peneliti-peneliti dan
produk-produk R&D yang berkualitas. Produk R&D dapat dibedakan dalam
dua bentuk, yaitu penemuan ilmiah dasar dan inovasi industrial yang bersifat
terapan. Pemanfaatan penemuan-penemuan ilmiah dasar menjadi inovasi industrial
yang memiliki manfaat ekonomis seringkali merupakan proses panjang yang
membutuhkan investasi waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang relatif besar.
Sebuah ekosistem yang berkelanjutan akan terwujud
ketika setiap pihak memperoleh manfaat. Ketika berinvestasi dalam kegiatan
R&D, perusahaan cenderung memikirkan aspek komersial dari produk R&D
tersebut. Sementara itu, para peneliti universitas seringkali tidak melihat
secara konkrit aspek komersial dari hasil penelitian mereka. Para akademisi
cenderung memperlakukan produk penelitiannya sebagai karya intelektual. Telah
disinggung di atas bahwa sebagian besar penemuan ilmiah tidaklah bersifat
aplikatif. Bahkan seringkali penerapannya adalah bersifat khusus bagi
perusahaan atau sektor-sektor industri tertentu. Karenanya universitas dan
pihak industri harus memiliki kerangka kemitraan jangka panjang agar mampu
mengakumulasikan penemuan ilmiah tersebut secara dinamis. Pemerintah, dengan
memperhatikan kemanfaatannya bagi pembangunan nasional, perlu membuat kebijakan
dan insentif yang mendorong terciptanya kemitraan yang berkelanjutan tersebut.
Korea Selatan saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi
utama dunia. Di kancah global negara ini tercatat sebagai pengekspor terbesar
keenam. Kekuatan ekonominya terutama dibangun oleh daya saing di bidang
manufaktur, khususnya di sektor industri semikonduktor, peralatan
telekomunikasi, elektronik, otomotif, petrokimia, komputer, perkapalan dan
baja. Beberapa permasalahan khas negara berkembang pernah dialami negara ini,
namun berkat pendekatan kebijakan pemerintah yang efektif upaya tersebut
menunjukkan keberhasilan. Dalam kaitan ini salah satu hal yang menonjol adalah
integrasi pengembangan universitas riset dengan kebijakan industri nasional.
Industrialisasi di Korea Selatan yang dimulai sejak awal
periode 1960-an bermula dari industri pengolahan bahan baku biji besi, hingga
bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi lagi. Namun sejak
1970-an mulai berkembang sektor-sektor industri baru yang berorientasi ekspor,
seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis. Dalam dua dekade awal
industrialisasi ini, para industriawan Korea Selatan belum menaruh perhatian
pada kegiatan pengembangan teknologi baru. Upaya mereka lebih berfokus pada
upaya mengejar ketertinggalan teknologi melalui proses imitasi dan
adaptasi.
Periode kedua industrialisasi pada 1980-1990an merupakan
periode yang menentukan, dimana akumulasi modal dan tingkat penguasaan
teknologi telah memungkinkan bagi penyerapan dan pengembangan teknologi yang lebih
tinggi. Industri petrokimia, perkapalan, otomotif dan konstruksi menjadi
penggerak utama perekonomian nasional Korea Selatan. Dalam periode inilah
pemerintah Korea Selatan secara intensif mendorong peran universitas riset
sebagai salah satu faktor kunci pembangunan ekonominya. Pasca krisis keuangan periode
1997-1999, sektor-sektor industri berteknologi tinggi pun mulai mendominasi
perekonomian negara tersebut. Saat ini Korea Selatan terus meningkatkan daya
saingnya dalam memasuki era perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge
based economy).
Studi Yang (2009), menjelaskan tiga tahapan periodisasi
kebijakan pemerintah yang mendukung kemitraan universitas-industri. Pada tahap
awal di tahun 1963-1997 beberapa kebijakan diluncurkan, misalnya Industrial Education
and Industrial-Academic Cooperation Promotion Act pada tahun 1963.
Kebijakan-kebijakan ini lebih menekankan pada aspek pendidikan dan pelatihan
yang mendukung ketersediaan tenaga kerja industri. Beberapa proyek penelitian
nasional telah diperkenalkan pada tahun 1982. Seiring dengan geliat pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan tahapan industrialisasinya, pada periode kedua
(1998-2003) pemerintah Korea Selatan mengeluarkan serangkaian mekanisme
insentif dan pembangunan infrastruktur guna mendorong kemitraan
universitas-industri dalam kegiatan-kegiatan riset. Selanjutnya, sejak tahun 2004
pemerintah berupaya memanfaatkan lebih lanjut kerjasama-kerjasama yang telah
terbentuk untuk menopang sistem inovasi industri regional.
Berikut ini
dipaparkan secara singkat tiga kebijakan pemerintah yang berdampak langsung
dalam terbentuknya sistem kerjasama tripartit antara pemerintah, kalangan
industri dan perguruan tinggi. Ketiga kebijakan itu adalah: (1) reformasi
mekanisme insentif perguruan tinggi, (2) pembangunan sistem dan infrastruktur
pendukung, dan (3) pengembangan kompetensi riset.
Kebijakan reformasi mekanisme insentif perguruan tinggi
didasari oleh pemahaman bahwa universitas secara tradisional adalah institusi
pendidikan. Beberapa kritik mempertanyakan seberapa jauh kurikulum dan kegiatan
pendidikan di perguruan tinggi memiliki relevansi dengan upaya peningkatan daya
saing nasional. Karenanya sejak tahun 1994, pemerintah mulai melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap kegiatan pendidikan tinggi. Evaluasi tersebut meliputi
manajemen inovasi universitas, kualitas pendidikan, kapasitas tenaga pendidik,
sistem pendukung mahasiswa, infrastruktur, kemitraan universitas-industri, dan
pengembangan spesialisasi strategis. Sejalan dengan evaluasi ini pemerintah
menyediakan berbagai program insentif bagi kegiatan R&D dan pengembangan
SDM universitas. Pada tahun 2005 misalnya, pemerintah Korea Selatan mengeluarkan
dana sebesar 4.488 miliar won yang setara dengan 2,29% total anggaran belanja
negara atau sebesar 0,56% PDB Korea Selatan. Pola kemitraan
universitas-industri juga mencakup kerjasama dengan usaha kecil dan menengah
melalui Kibo Technology Funds.
Reformasi juga dilakukan terhadap sistem evaluasi kapasitas
tenaga pendidik di universitas. Sistem evaluasi ini menyoroti jumlah dana
penelitian, paten dan kerjasama dengan perusahaan. Insentif untuk publikasi di berbagai jurnal ilmiah juga mendapat
proporsi yang besar. Selanjutnya di tahun 1997 pemerintah membuka peluang bagi
universitas untuk menyediakan fasilitas bagi kerjasama bisnis, dimana tenaga
pendidik dapat terlibat langsung dalam kegiatan bisnis tersebut.
Kebijakan pembangunan sistem dan infrastuktur pendukung
meliputi pembangunan wilayah industri yang terintegrasi dengan pengembangan SDM
industri. Kebijakan ini dilakukan di bawah National Science and Technology
Council yang berdiri di tahun 1999. Badan ini merupakan institusi tertinggi
dalam perencanaan dan pengembangan teknologi strategis di tingkat nasional yang
dipimpin langsung oleh presiden. Dengan demikian pembangunan sistem dan
infrastruktur pengembangan teknologi dapat berjalan selaras dengan strategi dan
kebijakan industri nasional. Melalui Korea
Science and Engineering Foundation
(KOSEF) dan Korea Research Foundation
(KRF), berbagai kerjasama riset universitas-industri memperoleh dukungan penuh.
Beberapa infrastruktur klaster riset dan industri dibangun dalam bentuk Science Park Development Program, Techno
Park Building Program dan Industrial Complex Innovation Cluster Program. Demikian pula pembangunan
institusi riset publik maupun universitas berbasis riset, seperti Korea Advanced Institute of Science and
Technology (KAIST).
Kebijakan pengembangan kompetensi riset bertujuan untuk
meningkatkan kompetensi akademik di bidang pendidikan dan penelitian. Salah
satu bentuknya adalah dengan mengevaluasi jumlah artikel yang dipublikasikan
dalam jurnal ilmiah dan kerjasama institusional antara universitas dan
perusahaan. Selain itu, pada perode tahun 2004-2008 telah diperkenalkan pelbagai
proyek untuk menciptakan sinergi antara pengembangan spesialisasi kompetensi
universitas dengan kebutuhan industri-industri yang berkembang di wilayahnya.
Pada tahun 2006 saja pemerintah menyediakan anggaran sebesar 260 juta USD bagi kebutuhan
proyek-proyek ini.
Sejak tahun 1999 diperkenalkan proyek Brain Korea 21. Untuk proyek ini pemerintah Korea Selatan telah mengalokasikan
290 juta USD pada tahun 2006. Tujuan proyek ini adalah untuk: (a) menumbuhkan
10 besar universitas berorientasi riset di beberapa bidang iptek kunci; (b)
mendorong universitas-universitas di Korea Selatan untuk masuk dalam 10 besar
publikasi jurnal ilmiah; dan (c) menjadi salah satu dari 10 negara terbesar
dalam hal transfer teknologi dari universitas ke industri di dunia, yakni dari
10% di tahun 2004, meningkat ke 20% di tahun
2012.
Dalam hal ini patut dicatat bahwa berbagai upaya terobosan
kebijakan pemerintah tersebut telah menimbulkan iklim kemitraan
universitas-industri yang sehat dan berkelanjutan. Keberadaan mahasiswa-mahasiswa
asing di Korea Selatan yang umumnya berasal dari negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, maka sejak awal tahun 2000-an sebagian besar adalah berasal
dari dukungan beasiswa proyek-proyek kemitraan R&D di
universitas-universitas Korea Selatan. Mahasiswa-mahasiswa di tingkat
pascasarjana tersebut dibutuhkan sebagai tenaga-tenaga riset untuk mengerjakan
proyek-proyek kemitraan tersebut. Proyek-proyek R&D tersebut adalah berasal
dari program kemitraan antara universitas dengan industri maupun universitas
dengan pemerintah.
Dengan mengambil contoh model pengembangan universitas riset
di Korea Selatan, maka kekuatan terletak pada integrasinya dengan kebijakan
industri nasional serta sifatnya yang berkelanjutan melalui kemitraan
universitas-industri. Belajar dari pengalaman pengembangan universitas riset di
negara ini, terdapat dua pokok pendekatan strategis yang dapat kita pelajari.
Dua pendekatan ini kita sebut sebagai pendekatan promotif dan pendekatan
mutualisme-pasar.
Pendekatan promotif pemerintah perlu dilakukan dalam
berbagai bentuk mekanisme insentif dan alokasi atau relokasi anggaran yang
mendorong integrasi pengembangan universitas riset terhadap kebijakan industri
nasional.
Sayangnya, di era pasca reformasi perekonomian Indonesia di
tahun 2000 justru tidak nampak adanya arah kebijakan industri nasional seperti
halnya di Korea Selatan. Namun demikian perkembangan terakhir tentang
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
beserta penetapan enam koridor ekonomi nasional sampai saat ini belum dapat
diselaraskan dengan kebutuhan akan klaster-klaster riset dan industri regional
di tanah air. Begitu pula, promosi kemitraan bagi penguatan teknologi
agribisnis tepat guna di pedesaan dan inovasi industrial di tingkat usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) masih belum berhasil diwujudkan. Alokasi anggaran
pendidikan nasional sebesar 20% dari total belanja negara atau yang setara
dengan 4% PDB kiranya dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk
mewujudkan harapan-harapan tersebut.
Selanjutnya penguatan kerangka hukum dan kerjasama institusi
diperlukan agar kemitraan universitas-industri dapat berkelanjutan melalui
pendekatan mutualisme-pasar, dalam arti semua pihak yang terkait memperoleh
manfaat ekonomis dari kerjasama ini. Melalui kerangka kemitraan ini diharapkan
universitas akan belajar untuk memahami kebutuhan-kebutuhan riil dunia
industri, dan seiring dengan meningkatnya kapasitas dan produktivitasnya
sebagai institusi riset maka universitas akan dapat melakukan negosiasi dan
kerjasama mutualis dengan pihak industri. Hal ini secara langsung akan memberi
dampak bagi peningkatan produktivitas industri nasional serta mengurangi
ketergantungan terhadap insentif pemerintah. Kekhawatiran akan masalah
perlindungan aset intelektual, sebagaimana terungkap dalam pelbagai diskusi
dengan para pelaku industri seyogyanya segera dapat diatasi. Banyak perusahaan
nasional memahami manfaat kemitraan dengan perguruan tinggi, namun mereka tidak
menginginkan aset intelektualnya secara langsung ataupun tidak jatuh ke tangan pihak
pesaing, baik nasional maupun Internasional.
Adalah benar pendapat yang mengatakan bahwa daya saing
bangsa kita tidak lagi dapat ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan
tenaga kerjanya yang murah. Daya saing kita akan semakin ditentukan oleh
tingkat kemandirian dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan inovasi industrial.
Upaya membangun daya kompetitif bangsa ini harus dilaksanakan secara bersama
dan sinergis antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri. Program
Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (Rapid) Dikti yang telah bergulir
sejak tahun 2004 diharapkan dapat semakin berkembang dan memperkokoh kebutuhan
sinergis tersebut. Lebih lanjut pemerintah perlu melihat kembali keseimbangan
peran universitas dalam hal pengajaran dan penelitian. Ke depan kiranya akan
dibutuhkan perguruan-perguruan tinggi yang lebih berfokus pada bidang
penelitian (research based university), ketimbang pengajaran (teaching based university).
Harapan menuju universitas riset berkelas dunia hanya akan
menghasilkan menara gading, apabila tidak diabdikan bagi upaya peningkatan daya
saing dan percepatan pembangunan nasional. Dua pendekatan stategis di atas
dapat mengurai hambatan-hambatan terhadap upaya membumikan peran universitas
riset di Indonesia. Dalam konteks ini, telah terdapat fondasi ke arah tersebut,
namun aspek koordinasi, integrasi sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) merupakan
kata kuncinya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh pakar sosial-politik Juwono
Sudarsono, mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI, yang pernah menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang besar, namun
seringkali lemah dalam hal integrasi.
Saat ini, sedang
digodok di dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah mengenai Rancangan UU
tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai amanat dari UU Sistem Pendidikan
Nasional. Apakah paradigma ‘persaingan’ kembali menjadi salah satu semangat di
dalam RUU BHP atau tidak, tergantung kepada
pembahasan para wakil rakyat dan pemerintah. Meskipun demikian, dengan melihat
realitas yang ada, hendaknya mahasiswa
yang mengklaim dirinya sebagai lokomotif reformasi hendaknya segera kritis
bersikap, sebelum semuanya menjadi terlambat, karena saat ini nasib dunia pendidikan dari bangsa Indonesia sedang dipertaruhkan.
Tulisan ini diketengahkan sebagai
sumbangan pemikiran dalam rangka mengisi hari pendidikan nasional, sekaligus
termotivasi oleh masukan-masukan yang diperoleh dari Eksekutif Learning Series
– 2, dimana penulis turut serta berpartisipasi dalam pelatihan tersebut. Tentu
saja, tulisan dalam kolom ini masih jauh dari sempurna, masih banyak hal yang
perlu dielaborasi dan didalami, tiada gading yang tak retak, maka untuk itu
kami berharap agar semangat untuk penyempurnaannya dari para rekan sejawat
sangat dinantikan. Viva hari pendidikan nasional.
Jakarta, 2 Mei 2012
Faisal
Afiff
0 komentar:
Posting Komentar