.


Selasa, 08 Mei 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Reorientasi Strategi Perguruan Tinggi

REORIENTASI  STRATEGI PERGURUAN TINGGI
Terdapat substansi dari tujuan dunia pendidikan, yang agaknya dari dulu hingga kini secara normatif relatif tidak berubah, yakni bertujuan membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai upaya sistematik dan empirik untuk mencari kebenaran. Adalah Plato filsuf besar Yunani  - dalam bukunya Republik - yang jauh hari telah merumuskan makna pendidikan sebagai “tugas membebaskan dan memperbaharui manusia dari belenggu ketidak-tahuan dan ketidak benaran”, yang tidak lain sasaran akhirnya dalam rangka perwujudan negara yang Ideal. Menurutnya, pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi, yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Tokoh lain adalah Aristoteles, sebagai murid Plato, ia mempunyai konsep pemikiran tentang pendidikan yang hampir sejalan  dengan Plato. Namun Aristoteles lebih tegas mengaitkan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara, dalam hal ini segala upaya pembuatan dan penyusunan hukum, begitu pula pembentukan konstitusi, harus dinafasi oleh semangat dan idealisme dunia pendidikan, sehingga dapat tercapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berbahagia (eudaimonia).
Pada periode selanjutnya, khususnya di Eropa, idealisme itu kembali bergema, yakni sejak abad ke-14, secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuan universitas adalah mencari kebenaran. Istilah universitas pada zaman itu dipakai dalam arti yang khusus, yaitu menunjuk pada sekelompok guru atau pendidik dan para mahasiswa, atau entitas yang tidak dicampuri atau diganggu kepentingan pihak luar atau oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan lain-lainnya. Entitas ini mempunyai ciri yang khas berupa partisipasi mahasiswa dari seluruh benua Eropa. Universitas berdiri sebagai suatu lembaga yang bebas dari politik dan mengatasi posisi negara. Pada masa abad pertengahan sampai revolusi industri misalnya, muncul universitas-universitas seperti Bologna di Italia, Oxford dan Cambridge di Inggris, Heidelberg di Jerman, Universitas Paris di Prancis, Harvard, Yale, dan Columbia di Amerika Serikat. Institusi-institusi ini terpisah dari dunia sekuler dan sering disebut sebagai menara gading, yakni tempat berkumpulnya kaum ilmuwan dan elite untuk mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
 Di benua lain, khususnya di universitas-unversitas Amerika Serikat, berprinsip bahwa mencari kebenaran itulah citra yang dapat kita pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Meskipun, mata kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa universitas itu adalah untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.
Mungkin yang agak berbeda adalah apa yang  terjadi di Jepang, khsususnya pada masa Restorasi Meiji. Dimana tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara, atau dengan perkataan lain, suatu  pendidikan dirancang tidak lain adalah untuk kepentingan negara. Motif dari reformasi pendidikan yang dimotori oleh arsitek pendidikan Jepang seperti Mori Arino pada era Restorasi Meiji adalah mempertahankan negara. Semua kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan diambil demi kepentingan negara. Logika sistem pendidikannya adalah demi menjamin  agar Jepang sukses bersaing dengan negara-negara besar lainnya. Kebijakan pendidikannya mempunyai tujuan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuatan negara dengan maksud untuk menempatkan Jepang pada kedudukan yang sama tinggi dalam waktu sesingkat mungkin dengan negara-negara besar lainnya. Jadi, tujuan pendidikan di Jepang bukan untuk mencari kebenaran seperti yang terjadi di universitas-universitas tertua di barat, namun yang terpenting adalah mencari hal yang berguna bagi kepentingan negara.
Mori berpendapat bahwa kegairahan dalam menuntut ilmu seharusnya mengutamakan penerapan daya guna daripada mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Dalam pidatonya ia menjelaskan pandangannya, "Melulu mengkhotbahkan prinsip-prinsip berbagai ajaran dan melulu menjunjung tinggi perilaku-perilaku mulia adalah jauh dari kehidupan nyata di dunia ini. Membaca buku dan menulis esei tidaklah bermanfaat bagi tindakan nyata. Mereka yang asyik dalam melakukan hal-hal demikian itu bukanlah termasuk yang mempunyai kecakapan. Dalam masa persaingan dengan negara-negara barat seperti sekarang ini, orang-orang yang acuh tak acuh macam itu tidak mungkin memenuhi kebutuhan mendesak negara kita”.
Itulah gambaran singkat tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah dunia, yang bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk merancang tujuan pendidikan di negara kita. Di negara kita sendiri, yakni pada awal sejarah kebangkitan nasional Indonesia, yang berakar pada kesadaran akan pentingnya rasa kebangsaan dan pemerataan pendidikan. Hal ini tercermin dari berbagai pemikiran banyak tokoh utama dimasa itu maupun orientasi organisasi masa dan pemuda yang ada. Ternyata bahwa pada awal kebangkitan nasional Indonesia, tema pembicaraan pengembangan sumber daya manusia Indonesia sering mengemuka dan menjadi salah satu faktor bahasan utama. Hal ini menarik jika kita simak pernyataan para tokoh utama masa itu, seperti dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo, dimana beliau melihat bahwa faktor pemerataan pendidikan khususnya berkenaan melalui baca-tulis menjadi media yang sangat strategis. Langkah ini sangat menguntungkan ditinjau dari produktivitas proses pemerataan informasi untuk menunjang proses belajar mengajar terutama mengingat sumber daya pendidik atau guru yang terbatas saat itu.
Di masa  pemerintahan orde baru, di mana Indonesia telah banyak mengalihkan fokus pembangunan negara pada masalah fisik dengan mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, tetapi tetap tergambar dalam GBHN (1993)  pemerintah saat itu  menaruh perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan, yakni diantaranya telah dicanangkannya program wajib belajar 9 tahun pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei 1994 dengan fokus utama pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah bahkan tidak tanggung-tanggung dalam melaksanakan hal ini dengan mengambil sebagian besar formasi pegawai negeri yang ada untuk membuka peluang  menjadi guru. Jelas bahwa tenaga pendidik atau guru yang ada dan jumlahnya sangat  terbatas dibandingkan  dengan jumlah siswa atau calon siswa yang membutuhkan uluran pendidikan di seluruh tanah air.
Namun demikian Indonesia kini tengah memasuki era reformasi yang terus bergulir, yang memunculkan semangat untuk melakukan berbagai perubahan di berbagai sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah sektor pendidikan. Untuk menjadikan sektor pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, para wakil rakyat telah mengamandemen pasal-pasal UUD tahun 1945 yang mengatur mengenai pendidikan, misalnya dengan mengamanatkan bahwa 20% dari anggaran negara adalah untuk sektor pendidikan, selain itu berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menunjang perbaikan sektor pendidikan. Tidak ketinggalan pula di dalam berbagai pembentukan peraturan perundang-undangan, juga dimasukkan berbagai konsep-konsep liberal sebagai penyikapan terhadap era globalisasi yang penuh dengan persaingan.
Logika yang saat itu dipakai, adalah apabila kita tidak siap dalam menghadapi persaingan, maka Indonesia tidak akan mampu bertahan di dalam era globalisasi. Apabila mencermati peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan berdirinya Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka terlihat dengan jelas bahwa salah satu landasan utamanya adalah dalam rangka untuk menghadapi persaingan di era globalisasi pendidikan. Sebagai contoh dapat dilihat pada Pasal 3 PP Nomor 152 tahun 2000 Tentang Penetapan Universitas Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara, yang disebutkan bahwa  “Universitas diselenggarakan berdasarkan asas-asas yang dilandasi oleh:
a.      Kemandirian moral untuk membangun perguruan tinggi sebagai kekuatan moral dalam pembangunan masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing secara global; dan
b.      Wawasan global, guna mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni.”

Secara eksplisit dapat kita lihat bahwa Badan Hukum Milik Negara (BHMN) memang diciptakan secara filosofis untuk menghadapi tantangan globalisasi, dengan mengadopsi nilai-nilai globalisasi yang saat ini identik dengan nilai-nilai liberalisasi. Paradigma persaingan di dalam konsep PTN BHMN dianggap sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian, meskipun persaingan memiliki segi-segi positif, sebaliknya ia juga memiliki segi-segi negatif, di dalam konsep persaingan biasanya yang kuatlah yang bertahan, sementara pihak yang lemah akan tersingkir. Maka tidak heran apabila di dalam realitasnya golongan yang lemah secara ekonomi akan terkena imbas pertama kali. Inilah yang terjadi apabila logika ‘persaingan’ dimaknai dalam kacamata yang sempit. Padahal dalam buku  Blue Ocean Strategy (2005), yang ditulis W. Chan Kim dan Renee Mauborgne telah mengembangkan pandangan baru di bidang strategi yang selama ini lebih banyak di pengaruhi doktrin militer. Sebagai contoh, bahasa strategi dalam kemiliteran yang sering diadopsi itu adalah seperti “officers” (perwira) atau “headquarter” (markas), armada atau lini depan. Dalam strategi militer, upaya strategis lebih menggambarkan bagaimana cara bertempur dan memenangkan peperangan melawan musuh untuk memperebutkan sepetak tanah yang terbatas dengan pasukan dan persenjataan yang terbatas pula, yang mengalirkan pertumpahan darah, yang hal ini oleh W. Chan Kim dan rekan, disinonimkan sebagai  Red Ocean Strategy. Sebaliknya strategi dalam konsep “samudra biru” yang diperkenalkannya, W. Chan Kim mengajak untuk menjelajahi ruang pasar baru, dengan menciptakan permintaan dan ruang pertumbuhan yang sangat menguntungkan dengan membentuk aturan main baru. Dalam paradigma persaingan, dapat terjadi proses komoditasi barang dan/atau jasa yang semakin cepat, perang harga yang semakin panas, dan bahkan marjin keuntungan yang semakin menyusut. Ketika suatu merek dari suatu barang dan/atau suatu jasa dimana sesama atribut yang saling bersaing  menjadi semakin mirip atau serupa, maka konsumen akan semakin cenderung melakukan pilihan berdasarkan harga. Konsumen tidak akan lagi loyal secara kukuh bahwa deterjen mereka haruslah bermerek rinso, atau fanatik membeli silet dengan merek goal. Begitu pula dalam dunia pendidikan tinggi, logika tersebut berlaku seakan-akan pendidikan tinggi saat ini telah menjadi suatu komoditas yang sudah hampir mirip antara lembaga pendidikan yang satu dengan lainnya . Hal ini kemudian menjadi tanda tanya apakah paradigma ‘persaingan’ yang mengarahkan tawaran pendidikan sebagai komoditas bisnis sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Untuk keluar dari kondisi status quo, maka perlu dirumuskan suatu strategi masa depan yang menekankan pada penciptaan ruang pasar yang belum ada atau sedikit pesaingnya, dan berfokus pada permintaan serta menjauhi arena kompetisi dengan memaksimalkan peluang dan meminimalkan ancaman. Diantaranya adalah dengan mengatasi berbagai rintangan organisasional,  yang mencakup rintangan kognitif, sumber daya yang relatif terbatas, motivasional dan politik.
Berdasarkan Global Competitiveness Report 2010-2011, kemitraan universitas-industri kita berada pada peringkat ke-26 dari 139 negara. Hal ini turut memberi andil bagi naiknya indeks daya saing global Indonesia ke posisi 44 setelah berada di peringkat ke-54 pada tahun sebelumnya (Kompas 29 April 2011), sebuah pencapaian yang cukup memberi harapan. Kendatipun demikian, di sisi lain pengembangan universitas riset di tanah air nampaknya belum memberi kontribusi signifikan bagi pembangunan nasional.
Setelah lebih dari empat dasawarsa pembangunan industri, Indonesia masih tergolong sebagai negara pengimpor teknologi maju, yakni melalui mekanisme lisensi teknis, waralaba, investasi langsung asing, impor barang modal dan perdagangan internasional. Tak heran bila ditinjau lebih lanjut berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi, daya saing negara kita berada jauh di posisi ke-91. Kondisi ini jauh berbeda dengan Korea Selatan yang juga mengembangkan industrialisasinya dalam kurun waktu yang sama. Korea Selatan dengan indeks daya saing global di posisi ke-22, berada pada peringkat ke-19 berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi. Saat ini Korea Selatan telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama dunia dan termasuk dalam negara industri maju. Kepemimpinan Korea Selatan dalam beberapa sektor industri seperti semikonduktor, elektronik dan teknologi informasi telah diakui dunia.
Hal tersebut merupakan hasil dari investasi di berbagai bidang inovasi industrial yang dikembangkan sejak tiga dekade terakhir. Salah satu faktor kunci pengembangan inovasi industrial di Korea Selatan adalah keterlibatan perguruan tinggi dalam wujud peran universitas riset. Bercermin dari keberhasilan pengalaman Korea Selatan, maka beberapa pendekatan strategis mereka dapat dicontoh untuk mendorong efektivitas peran perguruan tinggi dalam proses percepatan pembangunan nasional Indonesia.
Studi-studi bidang ekonomika menjelaskan kontribusi penting penemuan (invention) dan inovasi industrial (industrial innovation) terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pencapaian dalam penemuan dan inovasi industrial adalah suatu proses sistematis yang dibentuk oleh akumulasi riset-riset ilmiah (R&D). Penjelasan teoritis dan bukti-bukti empiris mengenai hal ini dapat kita peroleh misalnya dalam Grossman dan Helpman (1992) serta Guellec dan Potterie (2001) yang memaparkan hasil-hasil studinya terhadap negara-negara industrialis yang tergabung dalam OECD.
Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Grossman dan Helpman (1992), faktor inovasi industrial memiliki relevansi yang rendah terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Hal ini merupakan lingkaran persoalan di negara-negara berkembang. Negara-negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah umumnya mengalami keterbatasan pada ketersediaan sumber daya manusia (SDM) terdidik, investasi modal, kewirausahaan serta iklim usaha yang menunjang, seperti perijinan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Pelbagai keterbatasan tersebut lebih lanjut akan menjadi kendala bagi kegiatan-kegiatan R&D yang berorientasi komersial. Akibatnya, harapan akan dihasilkannya penemuan dan inovasi industrial menjadi rendah dan pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Tak pelak kesenjangan pembangunan antara negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang pun semakin lebar. Pertanyaannya, adakah jalan keluar terhadap lingkaran persoalan ini?
Solusi komprehensif terhadap persoalan di atas adalah kompleks, namun langkah prioritas dapat dilakukan dengan memutus mata rantai persoalan melalui intervensi kebijakan pemerintah. Kebijakan dimaksud adalah dalam bentuk tersedianya kerangka hukum, mekanisme insentif dan alokasi anggaran yang mendorong tumbuhnya penemuan dan inovasi industrial. Model pengembangan strategisnya adalah pelibatan peran aktif tiga unsur utama, yakni pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi. Tanpa mengenyampingkan keberadaan institusi riset publik (LIPI), peran perguruan tinggi adalah penting karena merupakan pusat bagi pelatihan tenaga-tenaga riset yang mendukung berkembangnya kreativitas dan inovasi ilmiah. Potensinya yang besar  paling tidak tampak dari profil perguruan tinggi di Indonesia yang di tahun 2005 berjumlah 2.300-an institusi, terdiri dari 86 PTN dan sekitar 2.200-an PTS, dan mendidik lebih dari 3,5 juta mahasiswa.
Sekalipun penemuan dan inovasi industrial di negara-negara maju didominasi oleh peran korporasi, namun pemerintah dan perguruan tinggi juga memiliki peran yang signifikan. Berdasarkan hasil survei tahun 2005, negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD rata-rata mengalokasikan dukungan sebesar 78,1% dari total anggaran riset perguruan tinggi. Negara-negara industri maju melihat dengan jelas peran perguruan tinggi dalam membentuk masa kritis (critical mass) yang dibutuhkan bagi penemuan dan inovasi industrial (Weber dan Duderstadt,  2004). Dengan demikian peran universitas riset sebenarnya memiliki aspek yang penting bagi pembangunan di negara-negara maju.
Lebih jauh, persoalan khusus bagi negara-negara maju saat ini adalah melihat kembali keseimbangan dua peran penting perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat, yakni peran pengajaran dan penelitian. Salah satu studi kasus yang menjadi rujukan adalah  perkembangan perguruan tinggi di Eropa (Bologna Process, 1999), yakni sejak dua dasawarsa terakhir yang menyadari kebutuhan untuk memisahkan program studi umum dan program studi di tingkat pascasarjana. Perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas riset perlu lebih banyak mengalokasikan sumber dayanya dalam kegiatan-kegiatan penelitian multidisipliner di tingkat pascasarjana, dimana sebagai konsekuensinya akan mengurangi kegiatan pengajaran di tingkat sarjana. Di sisi lain, perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas pengajaran akan lebih berfokus pada proses pendidikan di tingkat sarjana atau pendidikan profesi. Jelas sesuai pertimbangan ini tidak semua perguruan tinggi akan mencapai status perguruan tinggi kelas dunia (world-class university). Sebuah sistem pendidikan nasional yang matang diperlukan untuk menciptakan iklim yang sehat bagi keseimbangan peran pengajaran dan penelitian.
Secara konseptual, ekosistem pengembangan inovasi industrial terdiri dari berbagai unsur, yaitu penyedia SDM, penyedia modal, penyedia pengetahuan dan teknologi, serta pembuat kebijakan. Interaksi berkelanjutan diantara pihak-pihak tersebut akan menghasilkan peneliti-peneliti dan produk-produk R&D yang berkualitas. Produk R&D dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu penemuan ilmiah dasar dan inovasi industrial yang bersifat terapan. Pemanfaatan penemuan-penemuan ilmiah dasar menjadi inovasi industrial yang memiliki manfaat ekonomis seringkali merupakan proses panjang yang membutuhkan investasi waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang relatif besar.
Sebuah ekosistem yang berkelanjutan akan terwujud ketika setiap pihak memperoleh manfaat. Ketika berinvestasi dalam kegiatan R&D, perusahaan cenderung memikirkan aspek komersial dari produk R&D tersebut. Sementara itu, para peneliti universitas seringkali tidak melihat secara konkrit aspek komersial dari hasil penelitian mereka. Para akademisi cenderung memperlakukan produk penelitiannya sebagai karya intelektual. Telah disinggung di atas bahwa sebagian besar penemuan ilmiah tidaklah bersifat aplikatif. Bahkan seringkali penerapannya adalah bersifat khusus bagi perusahaan atau sektor-sektor industri tertentu. Karenanya universitas dan pihak industri harus memiliki kerangka kemitraan jangka panjang agar mampu mengakumulasikan penemuan ilmiah tersebut secara dinamis. Pemerintah, dengan memperhatikan kemanfaatannya bagi pembangunan nasional, perlu membuat kebijakan dan insentif yang mendorong terciptanya kemitraan yang berkelanjutan tersebut.
Korea Selatan saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi utama dunia. Di kancah global negara ini tercatat sebagai pengekspor terbesar keenam. Kekuatan ekonominya terutama dibangun oleh daya saing di bidang manufaktur, khususnya di sektor industri semikonduktor, peralatan telekomunikasi, elektronik, otomotif, petrokimia, komputer, perkapalan dan baja. Beberapa permasalahan khas negara berkembang pernah dialami negara ini, namun berkat pendekatan kebijakan pemerintah yang efektif upaya tersebut menunjukkan keberhasilan. Dalam kaitan ini salah satu hal yang menonjol adalah integrasi pengembangan universitas riset dengan kebijakan industri nasional.
Industrialisasi di Korea Selatan yang dimulai sejak awal periode 1960-an bermula dari industri pengolahan bahan baku biji besi, hingga bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi lagi. Namun sejak 1970-an mulai berkembang sektor-sektor industri baru yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis. Dalam dua dekade awal industrialisasi ini, para industriawan Korea Selatan belum menaruh perhatian pada kegiatan pengembangan teknologi baru. Upaya mereka lebih berfokus pada upaya mengejar ketertinggalan teknologi melalui proses  imitasi dan adaptasi.
Periode kedua industrialisasi pada 1980-1990an merupakan periode yang menentukan, dimana akumulasi modal dan tingkat penguasaan teknologi telah memungkinkan bagi penyerapan dan pengembangan teknologi yang lebih tinggi. Industri petrokimia, perkapalan, otomotif dan konstruksi menjadi penggerak utama perekonomian nasional Korea Selatan. Dalam periode inilah pemerintah Korea Selatan secara intensif mendorong peran universitas riset sebagai salah satu faktor kunci pembangunan ekonominya. Pasca krisis keuangan periode 1997-1999, sektor-sektor industri berteknologi tinggi pun mulai mendominasi perekonomian negara tersebut. Saat ini Korea Selatan terus meningkatkan daya saingnya dalam memasuki era perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy).
Studi Yang (2009), menjelaskan tiga tahapan periodisasi kebijakan pemerintah yang mendukung kemitraan universitas-industri. Pada tahap awal di tahun 1963-1997 beberapa kebijakan diluncurkan, misalnya Industrial Education and Industrial-Academic Cooperation Promotion Act pada tahun 1963. Kebijakan-kebijakan ini lebih menekankan pada aspek pendidikan dan pelatihan yang mendukung ketersediaan tenaga kerja industri. Beberapa proyek penelitian nasional telah diperkenalkan pada tahun 1982. Seiring dengan geliat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tahapan industrialisasinya, pada periode kedua (1998-2003) pemerintah Korea Selatan mengeluarkan serangkaian mekanisme insentif dan pembangunan infrastruktur guna mendorong kemitraan universitas-industri dalam kegiatan-kegiatan riset. Selanjutnya, sejak tahun 2004 pemerintah berupaya memanfaatkan lebih lanjut kerjasama-kerjasama yang telah terbentuk untuk menopang sistem inovasi industri regional.
 Berikut ini dipaparkan secara singkat tiga kebijakan pemerintah yang berdampak langsung dalam terbentuknya sistem kerjasama tripartit antara pemerintah, kalangan industri dan perguruan tinggi. Ketiga kebijakan itu adalah: (1) reformasi mekanisme insentif perguruan tinggi, (2) pembangunan sistem dan infrastruktur pendukung, dan (3) pengembangan kompetensi riset.
Kebijakan reformasi mekanisme insentif perguruan tinggi didasari oleh pemahaman bahwa universitas secara tradisional adalah institusi pendidikan. Beberapa kritik mempertanyakan seberapa jauh kurikulum dan kegiatan pendidikan di perguruan tinggi memiliki relevansi dengan upaya peningkatan daya saing nasional. Karenanya sejak tahun 1994, pemerintah mulai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan pendidikan tinggi. Evaluasi tersebut meliputi manajemen inovasi universitas, kualitas pendidikan, kapasitas tenaga pendidik, sistem pendukung mahasiswa, infrastruktur, kemitraan universitas-industri, dan pengembangan spesialisasi strategis. Sejalan dengan evaluasi ini pemerintah menyediakan berbagai program insentif bagi kegiatan R&D dan pengembangan SDM universitas. Pada tahun 2005 misalnya, pemerintah Korea Selatan mengeluarkan dana sebesar 4.488 miliar won yang setara dengan 2,29% total anggaran belanja negara atau sebesar 0,56% PDB Korea Selatan. Pola kemitraan universitas-industri juga mencakup kerjasama dengan usaha kecil dan menengah melalui Kibo Technology Funds.
Reformasi juga dilakukan terhadap sistem evaluasi kapasitas tenaga pendidik di universitas. Sistem evaluasi ini menyoroti jumlah dana penelitian, paten dan kerjasama dengan perusahaan. Insentif untuk publikasi  di berbagai jurnal ilmiah juga mendapat proporsi yang besar. Selanjutnya di tahun 1997 pemerintah membuka peluang bagi universitas untuk menyediakan fasilitas bagi kerjasama bisnis, dimana tenaga pendidik dapat terlibat langsung dalam kegiatan bisnis tersebut.
Kebijakan pembangunan sistem dan infrastuktur pendukung meliputi pembangunan wilayah industri yang terintegrasi dengan pengembangan SDM industri. Kebijakan ini dilakukan di bawah National Science and Technology Council yang berdiri di tahun 1999. Badan ini merupakan institusi tertinggi dalam perencanaan dan pengembangan teknologi strategis di tingkat nasional yang dipimpin langsung oleh presiden. Dengan demikian pembangunan sistem dan infrastruktur pengembangan teknologi dapat berjalan selaras dengan strategi dan kebijakan industri nasional. Melalui Korea Science and Engineering Foundation (KOSEF) dan Korea Research Foundation (KRF), berbagai kerjasama riset universitas-industri memperoleh dukungan penuh. Beberapa infrastruktur klaster riset dan industri dibangun dalam bentuk Science Park Development Program, Techno Park Building Program dan Industrial Complex Innovation Cluster Program. Demikian pula pembangunan institusi riset publik maupun universitas berbasis riset, seperti Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST).
Kebijakan pengembangan kompetensi riset bertujuan untuk meningkatkan kompetensi akademik di bidang pendidikan dan penelitian. Salah satu bentuknya adalah dengan mengevaluasi jumlah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dan kerjasama institusional antara universitas dan perusahaan. Selain itu, pada perode tahun 2004-2008 telah diperkenalkan pelbagai proyek untuk menciptakan sinergi antara pengembangan spesialisasi kompetensi universitas dengan kebutuhan industri-industri yang berkembang di wilayahnya. Pada tahun 2006 saja pemerintah menyediakan anggaran sebesar 260 juta USD bagi kebutuhan proyek-proyek ini.
Sejak tahun 1999 diperkenalkan proyek Brain Korea 21. Untuk proyek ini pemerintah Korea Selatan telah mengalokasikan 290 juta USD pada tahun 2006. Tujuan proyek ini adalah untuk: (a) menumbuhkan 10 besar universitas berorientasi riset di beberapa bidang iptek kunci; (b) mendorong universitas-universitas di Korea Selatan untuk masuk dalam 10 besar publikasi jurnal ilmiah; dan (c) menjadi salah satu dari 10 negara terbesar dalam hal transfer teknologi dari universitas ke industri di dunia, yakni dari 10% di tahun 2004,  meningkat ke 20% di tahun 2012.
Dalam hal ini patut dicatat bahwa berbagai upaya terobosan kebijakan pemerintah tersebut telah menimbulkan iklim kemitraan universitas-industri yang sehat dan berkelanjutan. Keberadaan mahasiswa-mahasiswa asing di Korea Selatan yang umumnya berasal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia, maka sejak awal tahun 2000-an sebagian besar adalah berasal dari dukungan beasiswa proyek-proyek kemitraan R&D di universitas-universitas Korea Selatan. Mahasiswa-mahasiswa di tingkat pascasarjana tersebut dibutuhkan sebagai tenaga-tenaga riset untuk mengerjakan proyek-proyek kemitraan tersebut. Proyek-proyek R&D tersebut adalah berasal dari program kemitraan antara universitas dengan industri maupun universitas dengan pemerintah.
Dengan mengambil contoh model pengembangan universitas riset di Korea Selatan, maka kekuatan terletak pada integrasinya dengan kebijakan industri nasional serta sifatnya yang berkelanjutan melalui kemitraan universitas-industri. Belajar dari pengalaman pengembangan universitas riset di negara ini, terdapat dua pokok pendekatan strategis yang dapat kita pelajari. Dua pendekatan ini kita sebut sebagai pendekatan promotif dan pendekatan mutualisme-pasar.
Pendekatan promotif pemerintah perlu dilakukan dalam berbagai bentuk mekanisme insentif dan alokasi atau relokasi anggaran yang mendorong integrasi pengembangan universitas riset terhadap kebijakan industri nasional.
Sayangnya, di era pasca reformasi perekonomian Indonesia di tahun 2000 justru tidak nampak adanya arah kebijakan industri nasional seperti halnya di Korea Selatan. Namun demikian perkembangan terakhir tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia (MP3EI) beserta penetapan enam koridor ekonomi nasional sampai saat ini belum dapat diselaraskan dengan kebutuhan akan klaster-klaster riset dan industri regional di tanah air. Begitu pula, promosi kemitraan bagi penguatan teknologi agribisnis tepat guna di pedesaan dan inovasi industrial di tingkat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masih belum berhasil diwujudkan. Alokasi anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari total belanja negara atau yang setara dengan 4% PDB kiranya dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut.
Selanjutnya penguatan kerangka hukum dan kerjasama institusi diperlukan agar kemitraan universitas-industri dapat berkelanjutan melalui pendekatan mutualisme-pasar, dalam arti semua pihak yang terkait memperoleh manfaat ekonomis dari kerjasama ini. Melalui kerangka kemitraan ini diharapkan universitas akan belajar untuk memahami kebutuhan-kebutuhan riil dunia industri, dan seiring dengan meningkatnya kapasitas dan produktivitasnya sebagai institusi riset maka universitas akan dapat melakukan negosiasi dan kerjasama mutualis dengan pihak industri. Hal ini secara langsung akan memberi dampak bagi peningkatan produktivitas industri nasional serta mengurangi ketergantungan terhadap insentif pemerintah. Kekhawatiran akan masalah perlindungan aset intelektual, sebagaimana terungkap dalam pelbagai diskusi dengan para pelaku industri seyogyanya segera dapat diatasi. Banyak perusahaan nasional memahami manfaat kemitraan dengan perguruan tinggi, namun mereka tidak menginginkan aset intelektualnya secara langsung ataupun tidak jatuh ke tangan pihak pesaing, baik nasional maupun Internasional.
Adalah benar pendapat yang mengatakan bahwa daya saing bangsa kita tidak lagi dapat ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerjanya yang murah. Daya saing kita akan semakin ditentukan oleh tingkat kemandirian dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan inovasi industrial. Upaya membangun daya kompetitif bangsa ini harus dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri. Program Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (Rapid) Dikti yang telah bergulir sejak tahun 2004 diharapkan dapat semakin berkembang dan memperkokoh kebutuhan sinergis tersebut. Lebih lanjut pemerintah perlu melihat kembali keseimbangan peran universitas dalam hal pengajaran dan penelitian. Ke depan kiranya akan dibutuhkan perguruan-perguruan tinggi yang lebih berfokus pada bidang penelitian (research based university), ketimbang pengajaran (teaching based university).
Harapan menuju universitas riset berkelas dunia hanya akan menghasilkan menara gading, apabila tidak diabdikan bagi upaya peningkatan daya saing dan percepatan pembangunan nasional. Dua pendekatan stategis di atas dapat mengurai hambatan-hambatan terhadap upaya membumikan peran universitas riset di Indonesia. Dalam konteks ini, telah terdapat fondasi ke arah tersebut, namun aspek koordinasi, integrasi sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) merupakan kata kuncinya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh pakar sosial-politik Juwono Sudarsono,  mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang pernah menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang besar, namun seringkali lemah dalam hal integrasi.
Saat ini, sedang digodok di dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah mengenai Rancangan UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai amanat dari UU Sistem Pendidikan Nasional. Apakah paradigma ‘persaingan’ kembali menjadi salah satu semangat di dalam RUU BHP atau tidak, tergantung kepada pembahasan para wakil rakyat dan pemerintah. Meskipun demikian, dengan melihat realitas yang ada, hendaknya mahasiswa yang mengklaim dirinya sebagai lokomotif reformasi hendaknya segera kritis bersikap, sebelum semuanya menjadi terlambat, karena saat ini nasib dunia pendidikan dari bangsa Indonesia sedang dipertaruhkan.   Tulisan ini diketengahkan sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka mengisi hari pendidikan nasional, sekaligus termotivasi oleh masukan-masukan yang diperoleh dari Eksekutif Learning Series – 2, dimana penulis turut serta berpartisipasi dalam pelatihan tersebut.  Tentu saja, tulisan dalam kolom ini masih jauh dari sempurna, masih banyak hal yang perlu dielaborasi dan didalami, tiada gading yang tak retak, maka untuk itu kami berharap agar semangat untuk penyempurnaannya dari para rekan sejawat sangat dinantikan. Viva hari pendidikan nasional.

                                                                                                                Jakarta, 2 Mei 2012
                                                                                    Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar