.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Selasa, 27 Maret 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Kualitas Organisasi


KUALITAS ORGANISASI

“Quality is never an accident, it is always the result of high intention, sincere effort, intelligent direction, and skillfull execution”. William A. Foster

Organisasi adalah strategi besar yang diciptakan manusia dalam upaya mengatur para pekerja untuk saling bekerja-sama dalam suatu tim. Dengan organisasi timbul hubungan yang dapat diperkirakan dan disusun keterkaitan  antara manusia, teknologi, pekerjaan, dan sumber daya lainnya. Untuk itu jika sejumlah manusia bergabung dalam melakukan upaya bersama maka diperlukan organisasi sebagai wadah untuk memperoleh hasil yang produktif. Sebagian besar organisasi masih terpengaruh oleh teori organisasi klasik dalam membangun struktur organisasi, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur lembaga, kuasa, wewenang dan tanggung jawab, pembagian kerja, spesialisasi, dan saling ketergantungan antar semua bagian. Namun demikian disain pekerjaan tradisional seperti itu cenderung mengarah pada spesialisasi yang membawa maslahat bagi para pekerja di satu sisi, sedang disisi yang lain terdapat kerugian manusiawi yang tak terelakkan. Kesadaran akan adanya kerugian manusiawi tersebut telah mendorong perhatian para pakar dan praktisi organisasi untuk mengembangkan desain kerja yang dapat membuahkan hasil yang efektif bagi para pekerja sejalan dengan hasil kerja-teknisnya. Beberapa upaya pendekatan telah dilakukan untuk menciptakan pekerjaan yang lebih manusiawi yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas dan harkat kehidupan  yang lebih baik.
Kualitas kerja bertujuan mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif,  baik bagi para pekerja itu sendiri maupun dalam keberlangsungan proses produksi. Adanya konsep kualitas kerja merupakan langkah terobosan guna menghasilkan kualitas kerja yang lebih menusiawi dengan memenuhi kebutuhan hidup tingkat tinggi para pekerja berdampingan dengan kebutuhan pokok mereka. Melalui pendekatan ini organisasi berusaha untuk mendaya-gunakan keterampilan dan keahlian para pekerja sebagai sumber daya manusia, yang perlu dikembangkan bukan hanya sekedar digunakan atau dimanfaatkan, namun dengan menyediakan lingkungan kerja yang kondusif untuk meningkatkan produktivitas mereka. Dalam disain tradisional dan manajemen keilmuan yang dianut pada periode waktu sebelumnya, fokus pengorganisasian lebih diarahkan pada spesialisasi dan efisiensi dimana setiap pekerja melaksanakan tugas yang sempit dengan bekal keahlian yang sederhana dan terbatas. Gagasan dasar manajemen keilmuan untuk melakukan lingkup kerja kecil saja dari unsur-unsur pekerjaan, dengan hirarki organisasi yang kaku dan standarisasi pekerjaan guna mencapai tujuan efisiensi. Disain klasik atau manajemen keilmuan ini dianggap kurang memperhatikan kualitas  kerja, dan hanya terfokus pada memperkecil pengeluaran atau biaya, yakni dengan memanfaatkan tenaga kerja kurang terampil dengan keahlian repetitif, sehingga dapat dilatih dengan mudah dan berdampak pada kerugian manusiawi. Dengan dilakukan pembagian kerja secara berlebihan dimana para pekerja sangat bergantung dan terikat pada peraturan, prosedur, dan hirarki. Dengan kata lain, secara sosial para pekerja yang terspesialisasi menjadi terisolasi dari rekan kerja mereka, yang pada akhirnya dapat memperlemah vitalitas, akselerasi, sinergitas dan bahkan kepentingan produktivitas secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, pelaksanaan kerja dikendalikan oleh hirarki yang besar dan sangat mengutamakan hanya pada satu cara kerja terbaik saja untuk mencapai prestasi kerja secara teknis. Sebaliknya, banyak para pekerja yang merosot ketrampilannya akibat kehilangan makna dan perasaan bangga terhadap pekerjaan mereka, yang ditandai oleh tingginya tingkat turn-over dan kemangkiran para pekerja. Situasi yang lebih buruk lagi, sementara kualitas kerja menurun, di lain pihak para pekerja semakin merasa terkucil, dan hal ini rawan bagi tumbuhnya konflik pada saat dilakukan upaya perbaikan dan perubahan terhadap kondisi kerja mereka. Sayangnya banyak reaksi para pemimpin menghadapi situasi para pekerja tersebut justru dengan memperkuat pengendalian, mengetatkan penyeliaan dan mengorganisasikan dengan lebih kaku. Meski tujuannya adalah memperbaiki situasi, namun yang terjadi dapat membuat kondisi menjadi lebih parah, karena disaat yang sama secara tidak disadari justru memperburuk aspek manusia dalam pekerjaan, dengan menempuh jalan pintas, yakni hanya mengatasi fenomena dan isu semata (remedial) tanpa menukik ke sumber masalah. Padahal sebab sesungguhnya adalah bahwa dalam banyak hal para pekerja sendiri sudah merasa tidak puas dan bosan, semakin lama mereka bekerja semakin berkurang kepuasan kerjanya sehingga motivasi bekerja mereka menurun.
Yang kurang disadari oleh para pemimpin - khususnya dalam menghadapi para pekerja terdidik - bahwa tuntutan mereka sedang berubah, yaitu ingin mencapai pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar memperoleh sesuap nasi. Mungkin organisasi klasik lebih cocok untuk tenaga kerja yang miskin, tidak atau kurang trampil atau bahkan terdidik,  namun disain kerja tersebut agaknya tidak sesuai bagi angkatan kerja baru yang trampil dan terdidik serta tengah berubah aspirasinya. Oleh karena itu disain kerja organisasi secara terus menerus harus dapat mengimbangi perubahan aspirasi dan sikap para pekerja. Terdapat empat pilihan bagi para pemimpin dalam menanggulangi situasi tersebut, pertama, mempertahankan situasi sebagaimana adanya, dengan hanya mempekerjakan para pekerja yang senang dengan lingkungan kerja yang demikian, yang dalam hal ini tidak semua para pekerja menolak bentuk pekerjaan yang kaku dan terspesialisasi serta repetitif, bahkan sebagian dari mereka mungkin masih menyukai standar kerja seperti itu untuk pemenuhan rasa aman dan dukungan tugas yang tersedia. Kedua, mempertahankan situasi sebagaimana adanya namun dengan memberi para pekerja tambahan gaji agar mereka mau menerima situasi demikian. Mengingat disain organisasi klasik biasanya memberikan manfaat ekonomis, maka para pemimpin bersedia mengupayakan berbagi manfaat dengan para pekerja mereka. Ketiga, dengan adanya mekanisasi dan otomatisasi pekerjaan yang bersifat rutin, maka para pekerja tidak lagi menyukai  pekerjaan tersebut dan bahkan mereka merasa tersingkir atau tidak diperlukan lagi dan terlebih lagi tugas mereka  tergantikan  oleh robot industri. Keempat, mendisain ulang pekerjaan dan organisasi yang diinginkan dan disukai para pekerja, dalam upaya meningkatkan kualitas  kerja mereka.
Pada dasarnya organisasi klasik berupaya mendisain pekerjaan agar sesuai dengan tuntutan persyaratan teknologis, yaitu mendisain pekerjaan yang menekankan pada tuntutan fungsi teknologi dan kurang memperhatikan kriteria non teknologis  lainnya. Di sisi lain, pendekatan organisasi modern berupaya menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan tuntutan teknologi. Dalam hal ini lingkungan kerja organisasi dan semua aspek kerja yang tercakup didalamnya,  harus sesuai dengan kebutuhan dan harapan para pekerja serta teknologi pendukungnya. Kesempatan berprestasi tentunya akan diberikan kepada para pekerja dengan  tantangan yang lebih besar, tugas yang menyeluruh, keterampilan yang lebih tinggi, dan  yang mampu menyumbangkan gagasan baru. Dalam aspek yang lebih luas lagi, seyogyanya pekerjaan tidak menjadi penghalang bagi para pekerja untuk memainkan peran kehidupan lainnya di luar pekerjaan, apakah perannya sebagai abdi negara, suami istri, atau orang tua, sehingga organisasi turut menyumbang terhadap kemajuan sosial secara umum. Asumsi dasar dari pemanusiaan pekerjaan, bahwa pekerjaan dianggap bermanfaat apabila dapat menyediakan ‘titik kesesuaian terbaik’ diantara para pekerja, pekerjaannya itu sendiri, teknologi dan lingkungannya. Maka disain terbaik akan berbeda-beda sebagai upaya penyesuaian dengan tatanan yang berbeda dari semua unsur yang ada dalam organisasi tersebut, sehingga penyesuaian tidak hanya dilakukan satu kali saja seolah ke depan tidak akan berubah untuk selamanya.
Para pemimpin biasanya mampu segera memberikan jawaban apabila ditanya tentang apa yang akan mereka lakukan jika tiba-tiba mereka kehilangan sebagian dari aset organisasi, misalnya bangunan pabrik, peralatan atau bahkan harta non fisiknya. Asuransi atau pinjaman sering kali menjadi jawaban pertama untuk mengganti atau menambah bangunan pabrik, peralatan dan asset lainnya. Namun jika mereka ditanya tentang apa yang akan dilakukan jika tiba-tiba organisasi kehilangan separuh dari sumberdaya manusia yang tersedia, tentunya akan sulit didapat jawaban yang mantap dan akurat, dikarenakan tidak ada satupun asuransi yang menanggung kerugian sumber daya manusia. Upaya perekrutan, pelatihan, dan pengembangan para pekerja baru dalam jumlah yang besar dan menjadikannya suatu kelompok kerja yang solid memerlukan waktu bertahun-tahun. Organisasi mulai menyadari bahwa harta mereka yang paling penting adalah sumberdaya manusia dan karenanya pengelolaan dan pengembangan sumberdaya tersebut merupakan salah satu tugas pemimpin yang paling krusial. Sejalan dengan hal itu organisasi perlu digerakkan dari asumsi teori X (pekerja malas) ke asumsi teori Y (pekerja dipercaya) sebagaimana terungkap dalam teori  Mc Gregor, yaitu membina perilaku yang tidak dewasa kearah pengembangan perilaku yang lebih dewasa, dan tidak hanya menekankan pada peran iklim kerja organisasi semata, akan tetapi juga mengakui adanya faktor motivasional pada mereka.
Oleh karena itu dalam gaya manajemenpun perlu dilakukan pendekatan yang berbeda untuk mencari kesesuaian antara organisasi dan para pekerja. Dalam hal ini dapat dikembangkan empat sistem kontinum dalam memperaktekkan gaya manajemen, yaitu, sistem pertama, pemimpin dianggap tidak meyakini dan mempercayai para pekerja dan karenanya jarang melibatkan mereka kedalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dan penyusunan tujuan organisasi hanya dilakukan pada elit tingkat atas manajemen dan para pekerja hanya menerima pengumuman dari atas melalui garis komando. Para pekerja terpaksa bekerja dalam suasana rasa takut, ancaman, serta ganjaran temporer sebagai pemenuhan akan kebutuhan pada tingkat fisiologis dan rasa aman semata. Interaksi antara atasan-bawahan biasanya terjadi diwarnai oleh suasana rasa tertekan dan saling tidak percaya. Dalam situasi ini dapat berkembang pula munculnya organisasi informal yang sering bertentangan dengan tujuan organisasi formal. Sistem kedua, peran para pekerja hampir mirip dengan sistem pertama, dimana peran para pemimpin masih dominan, namun demikian beberapa pengambilan keputusan sudah melibatkan manajemen tingkat yang lebih bawah. Dalam hal ini ganjaran dan hukuman sudah mulai dilakukan untuk memotivasi para pekerja.  Interaksi atasan dan bawahan masih bersifat tidak setara dimana atasan lebih bersikap memandang rendah terhadap para pekerja di bawahnya, dan sebaliknya para pekerja  di bawahnya lebih menunjukkan sikap rasa takut dan berhati-hati kepada atasannya. Namun demikian proses pengendalian masih dipusatkan pada pemimpin teras atas, meski sebagian telah dilimpahkan ke tingkat menengah dan tingkat bawah para pekerja. Organisasi informal juga muncul, namun tidak selalu menentang tujuan organisasi formal. Sistem ketiga, pemimpin telah menaruh keyakinan dan kepercayaan terhadap para pekerja meski  belum sepenuhnya. Kebijakan dan keputusan umum tetap diambil pada tingkat teras atas organisasi tetapi para pekerja di bawahnya diperkenankan untuk mengambil keputusan khusus bagi tingkat kesulitan pekerjaannya. Arus komunikasi berlangsung melalui alur keatas dan kebawah secara hirarkis. Ganjaran, hukuman, dan keterlibatan tetentu dipergunakan untuk memotivasi para pekerja. Dengan adanya jumlah jalinan interaksi yang moderat antara atasan dan bawahan telah cukup memupuk rasa yakin dan saling kepercayaan diantara mereka. Aspek-aspek pengendalian yang signifikan dilimpahkan kebawah disertai dengan rasa wewenang dan tanggung jawab baik ditingkat atas maupun ditingkat bawah. Organisasi informal tetap berkembang, namun lebih banyak mendukung ketimbang menentang terhadap tujuan organisasi formal. Sistem keempat, pemimpin dianggap telah memiliki rasa keyakinan dan kepercayaaan penuh terhadap bawahan. Pengambilan keputusan disebar luaskan keseluruh tingkatan organisasi dan dipadukan dengan baik, sementara arus komunikasi tidak hanya hirarkis dari atas ke bawah dan sebaliknya, akan tetapi juga berlangsung horisontal dan diagonal. Para pekerja termotivasi dengan adanya keterlibatan partisipatif untuk menetapkan ganjaran ekonomis, penyusunan tujuan, perbaikan metoda, dan penilaian kemajuan kinerja kearah pencapaian tujuan. Pada sisi yang lain, terjalin interaksi yang ekstensif dan bersahabat antara atasan dan bawahan yang dilandasi oleh saling kepercayaan yang tinggi. Wewenang dan tanggung jawab proses pengendalian tersebar diantara para pekerja organisasi dengan adanya keterlibatan penuh tim dan unit-unit kerja yang ada pada tingkat dibawahnya. Adanya organisasi  formal dan informal seringkali menjadi padu dan dinamis serta tak terpisahkan, atau dengan perkataan lain, semua kekuatan sosial mendukung upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pada sistem pertama, lebih berorientasi pada tugas dengan gaya manajemen otoriter yang sangat terstruktur, berseberangan dengan sistem ke empat yang menerapkan gaya manajemen lebih berorientasi pada relasi dan tim serta unit-unit kerja dengan tingkat saling kepercayaan yang tinggi. Adapun sistem ke-dua dan ke-tiga dapat ditempatkan pada tahap menengah diantara kutub sistem satu dan empat, dengan lebih berorientasi lebih dekat pada teori X dan teori Y dari teori MC.Gregor.
Cara lain untuk meningkatkan kualitas kerja adalah dengan pengkayaan pekerjaan, yaitu dicangkokan motivator tambahan yang diintegrasikan kedalam pekerjaan agar membuat para pekerja lebih merasa berarti dalam upaya memanusiakan pekerjaan mereka. Pengkayaan pekerjaan adalah perluasan dari konsep pemekaran pekerjaan, yang berusaha menciptakan keragaman tugas yang luas bagi para pekerja untuk mengurangi kemonotonan kerja rutin. Perbedaan antara pemekaran dan pengkayaan pekerjaan adalah bahwa pengkayaan pekerjaan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi, sedangkan pemekaran pekerjaan berfokus memberikan tugas tambahan kedalam tugas pokok para pekerja untuk memperbesar keragaman. Tentunya kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan, yaitu dengan memperbanyak jumlah tugas dan menambahkan faktor motivator untuk peningkatan kepuasan kerja. Maslahat dari pengkayaan pekerjaan dapat mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri, sehingga pekerjaan dapat dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan timbulnya motivasi intrinsik. Dengan adanya motivasi yang meningkat,  prestasi seyogyanya diharapkan juga meningkat, sedangkan hal-hal negatif seperti keluh-kesah, tidak memenuhi jam kerja seharusnya, mangkir dan turn-over pekerja dapat dikurangi. Jika pekerjaan lebih menantang kesempatan untuk tumbuh terbuka, adanya wewenang dan tanggung jawab yang membesar, serta kemungkinan untuk maju lebih luas, pada gilirannya dapat mendorong prestasi kerja seseorang. Salah satu upaya untuk memelihara prestasi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan praktek bagi hasil, yaitu para pekerja menerima bagian dari upaya penghematan pengeluaran atau biaya yang berhasil dilakukan, sejalan dengan meningkatnya pekerjaan mereka dengan memberikan berbagai sistem insentif yang menarik.
Faktor lain yang perlu diidentifikasi dari pengkayaan pekerjaan adalah adanya dimensi inti pekerjaan yang dapat mempertinggi motivasi, kepuasan dan kualitas kerja. Pertama, adalah keragaman tugas, yaitu adanya kemungkinan para pekerja untuk melaksanakan tugas berbeda yang juga mengharuskan dimilikinya  keterampilan yang berbeda pula. Pekerjaan yang sangat beragam dipandang para pekerja lebih menantang karena menuntut beberapa jenis keterampilan. Pekerjaan seperti ini juga dianggap dapat meniadakan kemonotonan dari setiap aktivitas yang selalu berulang. Apabila pekerjaan itu bersifat fisik, maka bidang-bidang otot yang berbeda akan digunakan secara proporsional dalam kesempatan waktu yang lain, tidak hanya memforsir bagian otot tertentu saja pada setiap waktu. Keragaman dapat menimbulkan perasaan kompeten yang lebih besar bagi para pekerja, karena mereka dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara yang  berbeda.
Kedua, adalah identitas tugas, yaitu dimungkinkannya para pekerja untuk melaksanakan sebuah pekerjaan seutuhnya. Mereka akan lebih termotivasi karena memiliki rasa kewenangan dan  tanggung jawab serta penyelesaian pengerjaan sebuah produk secara keseluruhan. Apabila tugas diperluas untuk menghasilkan sebuah produk secara keseluruhan dan komponen-komponennya dapat diidentifikasi, maka telah terbentuk identitas tugas. Misalnya seorang pekerja yang merakit perangkat keras komputer yang dilakukannya dari awal sampai akhir yang menghasilkan produk secara utuh.
Ketiga, adalah signifikansi tugas, yaitu tumbuhnya perasaan dalam diri para pekerja bahwa mereka tengah mengarjakan suatu yang penting dalam organisasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya saja seorang pekerja merasa tengah melakukan tugas pokok dalam proses kerja yang berdampak luas kepada masyarakat dengan mengerjakan suatu alat kedokteran yang vital dalam menyelamatkan jiwa manusia.
Keempat, adalah otonomi, dimana organisasi memberikan kebijakan dan kendali tertentu bagi para pekerja atas keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, yang mana otonomi tersebut merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa wewenang dan tanggung jawab didalam diri para pekerja. Praktik manajemen berdasarkan sasaran (MBO) merupakan salah satu cara untuk menimbulkan otonomi yang lebih luas, dengan memberi tugas yang lebih besar bagi para pekerja dalam menetapkan tujuan dan merumuskan rencana dalam pencapaian tujuannya. Dengan kata lain, otonomi adalah langkah tambahan yang penting dalam pemenuhan skala kebutuhan bagi para pekerja.
Kelima, adalah umpan balik, yaitu adanya suatu mekanisme yang mengacu pada  informasi yang memberi tahu tentang seberapa baik prestasi para pekerja, yang muncul dari pekerjaan itu sendiri, dari pemimpin, dan dari para pekerja lainnya. Dalam hal ini para pekerja tidak hanya mau menerima umpan balik formal secara bulanan saja, mereka juga menuntut umpan balik kapan saja mereka memerlukan, untuk mengetahui seberapa baik prestasi kerja mereka karena mereka merasa telah menginvestasikan bagian yang substansial, yaitu bagian hidup mereka kedalam lingkup pekerjaan.
Dari uraian diatas perlu disadari bahwa pengkayaan pekerjaan tidak selalu berlaku bagi semua jenis situasi pekerjaan. Pendekatan ini mungkin lebih mudah diterapkan bagi para pekerja pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang bagi para pekerja tingkat rendahan, terutama apabila tingkat pekerjaannya dipengaruhi oleh faktor proses teknologi. Bagi organisasi yang sudah menginvestasikan dana dalam peralatan teknologi, adakalanya mereka merasa tidak perlu untuk melakukan pengkayaan pekerjaan kecuali apabila ada penggantian peralatan. Jika teknologi stabil dan sangat otomatis, biaya pengkayaan pekerjaan mungkin dianggap terlalu besar dibanding dengan manfaat yang akan diperoleh. Dengan kata lain, pengkayaan pekerjaan lebih sesuai dalam situasi tertentu ketimbang situasi lainnya, bahkan dalam situasi lain lagi, pendekatan ini mungkin tidak sesuai sama sekali. Ada sebagian para pekerja yang tidak menginginkan peningkatan wewenang dan tanggung-jawab, sementara para pekerja lain juga tidak terbiasa dengan interaksi antar tim kerja secara intensif, maka pengkayaan pekerjaan tergantung pada sikap dan kemampuan para pekerja untuk melaksanakan tugas yang akan diperkaya. Oleh karena itu para pekerja tidak hanya menerima pengkayaan pekerjaan hanya karena pendekatan itu secara apriori dianggap baik semata, namun yang lebih penting adanya kesadaran dan pemahaman dari para pekerja bahwa nilai-nilai manusiawi diakui dan dihormati secara individual dan perbedaan yang ada diantara para pekerja. Karena pada prinsipnya kualitas kerja mengacu pada terciptanya keadaan yang menyenangkan dilingkungan para pekerja. Diperlukan banyak waktu dan pengalaman sebelum mempraktekan kualitas kerja secara efektif dimana manfaatnya dapat diidentifikasi serta diterapkan dengan tingkat kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi.
            Apakah manfaat ini juga dapat dipetik untuk kepentingan kemajuan kualitas organisasi kita, perlu dilakukan langkah-langkah pemetaan terlebih dahulu, sejalan dengan langkah inventarisasi potensi, analisis, dan diagnosa kerja terhadap seluruh  SDM yang tersedia, sehingga peningkatan kualitas kerja organisasi kita secara mendesak perlu dilakukan?

                                                                                                            Jakarta, 27 Maret 2012
                                                                                                                       
Faisal Afiff

Selasa, 20 Maret 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Disiplin Organisasi


DISIPLIN  ORGANISASI

Disiplin adalah tindakan para manajer untuk menegakkan standar organisasi, yang apabila para pekerja tidak mengetahui dan memahami standar tersebut, maka perilaku mereka akan tidak menentu dan cenderung salah arah. Sebagaimana diketahui, organisasi terdiri dari banyak pekerja yang masing-masing mungkin saja bergerak menuju arah yang berbeda dengan arah yang akan dituju organisasi, jika mereka tidak mengerti akan “rambu” organisasi. Sebagaimana di dalam perjalanan lalu-lintas, akan sangat bahaya jika kita semua mengabaikan lampu merah, yang apabila tidak mengindahkannya akan menghadapi risiko serius terjadinya tabrakan mobil. Pada dasarnya, seluruh proses perkembangan hidup manusia berusaha agar terhindar dari masalah dan kecelakaan, yang kesemuanya dipelajari tahap-demi tahap melalui peraturan atau standar. Dengan kata lain, kita mafhum bahwa akan banyak ditemui kesulitan jika kita sering mengabaikan peraturan. Maka salah satu cara untuk menjaga standar atau peraturan yang berlaku di dalam suatu organisasi adalah melalui pemberlakuan disiplin kerja.
Dalam konteks organisasi dikenal dua pendekatan umum didalam mempraktekkan disiplin, yaitu disiplin pereventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mendorong para pekerja mentaati standar atau peraturan organisasi agar tidak terjadi pelanggaran. Pendekatan dengan cara ini dimaksudkan untuk mendorong para pekerja memiliki disiplin diri. Melalui cara ini para pekerja diharapkan menegakkan disiplin diri tanpa harus terlalu dipaksa oleh pemimpin mereka, maka tim kerja yang telah memilki disiplin diri secara sadar merupakan sumber kebanggaan bagi suatu organisasi. Dalam hal ini pemimpin tetap memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim organisasi dalam rangka pendisiplinan preventif, yaitu berusaha agar para pekerja mengetahui dan mematuhi standar dengan mengikut sertakan mereka dalam penyusunan standar atau peraturan organisasi. Dengan demikian para pekerja lebih mungkin mendukung standar atau peraturan yang turut mereka susun. Begitu juga para pekerja akan mengetahui alasan dibalik standar dan pengetahuan yang ditetapkan dimana hal tersebut masuk akal bagi mereka. Pada prinsipnya, pendisiplinan preventif adalah suatu sistem yang saling berkaitan, yang mana pemimpin melakukan suatu kerja sama dengan semua bagian dalam sistem untuk mengembangkan bentuk-bentuk pola pendisiplinan.
Adapun pendisiplinan korektif adalah tindakan yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran terhadap suatu peraturan atau standar. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut, sehingga tindakan dimasa yang akan datang akan sesuai dengan standar atau peraturan organisasi. Tindakan korektif dapat berupa jenis hukuman tertentu yang biasa disebut dengan tindakan disipliner. Misalnya adalah suatu bentuk surat peringatan sampai ke pengskoran tanpa dibayar upah, yang bertujuan memperbaiki perilaku pelanggar, mencegah orang lain melakukan tindakan yang serupa dan mempertahankan standar organisasi secara konsisten dan efektif. Tujuan tindakan disipliner tentunya adalah positif, yaitu memperbaiki perilaku dimasa yang akan datang dan tidak semata-mata menghukum perilaku masa lalu. Tindakan disipliner yang paling akhir adalah bentuk pemecatan, berupa pemberhentian pekerja dari organisasi karena alasan tertentu. Adanya proses pemecatan dalam organisasi tidak serta merta dianggap sebagai adanya kegagalan pemimpin dalam membina para pekerja. Secara realistik tidak ada pemimpin dan pekerja yang sempurna, artinya terdapat sejumlah masalah tertentu yang tidak selalu dapat ditanggulangi, betapapun pemimpin telah berusaha keras ke arah itu. Dalam hal ini, terdapat batasan dan toleransi dari organisasi untuk mempertahankan para pekerja yang berprestasi tidak baik, ada kalanya lebih baik para pekerja pindah kerja ke organisasi yang lain, disamping prestasi pekerja itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pekerja lainnya. Juga  timbulnya akibat sampingan yang tidak diinginkan seperti reaksi emosional, mangkir, dan pengunduran diri mendadak serta terpaksa bekerja dalam tekanan.
Dalam menerapkan kedua jenis disiplin tersebut, yaitu disiplin preventif dan korektif, seyogyanya para pemimpin harus pandai dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pekerja. Pada satu sisi pemimpin bisa saja memberi kesempatan bagi para pekerja untuk bekerja sendiri dengan memberikan delegasi, namun apabila diwaktu yang lain prestasi pekerja itu menurun maka pemimpin dapat menempuh gaya kepemimpinan partisipatif. Apabila pemimpin telah bersikap suportif dan tidak direktif, namun prestasi para pekerja menurun, maka seorang pemimpin perlu beralih ke cara yang lebih persuasif dengan komunikasi dua arah, meski tidak menginggalkan cara direktif sama sekali. Begitu juga para pemimpin yang tengah menerapkan tugas dengan gaya relasional, namun prestasi pekerja menurun, maka para pemimpin dapat menempuh cara pemberitahuan atau teguran dangan mengurangi sebagian perilaku suportif dan meningkatkan gaya arahan atau supervisi.
Yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana cara melakukan pendisiplinan secara efektif dengan melakukan intervensi, maka pedoman berikut dapat dijadikan sebagai acuan. Pertama, dalam melakukan intervensi pendisiplinan, para pemimpin seyogyanya tetap tenang dan menahan emosi dengan mengatur tekanan emosi sedemikian rupa untuk mendapat perhatian dari para pekerja, sehingga para pekerja menyadari akan adanya masalah namun tidak harus larut didalamnya. Kedua, pada waktu mendisiplinkan para pekerja, upayakan pemimpin tidak menyerang secara langsung harga diri pekerja yang bersangkutan sebagai manusia. Para pemimpin harus pandai memisahkan pribadi pekerja tersebut dengan perilakunya, dimana yang terkena peringatan atau sanksi bukan pribadi akan tetapi perilakunya. Ketiga, agar intervensi pendisiplinan dapat berjalan efektif, maka pemimpin harus memberi tahu kesalahan yang dilakukan para pekerja secara lebih spesifik berdasarkan fakta dan data atau laporan lainnya. Kata-kata seperti “saya tidak suka prestasi kamu belakangan ini” perlu diperhalus dengan kalimat faktual misalnya “produktivitas anda menurun dua puluh persen dari dua bulan sebelumnya, dan laporan anda terakhir harus dikoreksi dan disusun kembali”. Keempat, apabila suatu pendisiplinan tidak dilakukan segera setelah terjadinya perilaku atau prestasi yang tidak baik, maka hal tersebut berkurang kegunaannya dalam upaya mempengaruhi perilaku pekerja dimasa mendatang, atau dengan kata lain ketepatan waktu dalam melakukan intervensi adalah penting sekali. Demikian pula halnya, seorang pemimpin jangan sampai menumpuk dan menunda hal-hal yang hendak didisiplinkan, yaitu dengan menimbun hasil pengamatan atas cacat perilaku para pekerja dan kemudian didepan umum menumpahkan semua kesalahan dan kekesalan tersebut di atas meja. Adakalanya para pemimpin mengkoreksi kesalahan para pekerjanya diakhir tahun saat dilakukan peninjauan prestasi tahunan.  Hal ini sering menimbulkan perselisihan antara pemimpin dan para pekerja tentang fakta-fakta pelanggaran masa lalu yang sering diingkari para pekerja, dimana para pekerja sebenarnya tidak mau mendengar hal-hal jelek yang pernah dilakukannya. Namun apabila pemimpin telah melakukan intervensi lebih awal, tentunya ia akan dengan tenang menangani perilaku para pekerja satu demi satu, dimana para pekerja akan lebih siap dan bersedia mendengarkan umpan balik tersebut. Kelima, para pemimpin hendaknya menghindari pendisiplinan yang tidak konsisten terhadap para pekerja. Para pekerja tentu akan bingung apabila mereka ditegur karena prestasi jelek pada minggu lalu, namun tidak di tegur pada waktu yang lain pada saat melakukan prestasi jelek yang sama. Untuk itu pemimpin perlu bijaksana untuk tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap para pekerja, yaitu dengan tidak bersikap pilih kasih, dimana setiap insentif perlu diberikan kepada siapa saja pekerja berprestasi, siapapun orang itu. Keenam, seringkali para pemimpin dengan tegas mengatakan bahwa mereka akan mendisiplinkan para pekerja yang tetap berperilaku tidak diinginkan, namun ia tidak pernah mewujudkan pernyataan itu dalam suatu tindakan nyata. Apabila para pekerja menyadari bahwa hal itu hanya gertakan dan omong kosong belaka, maka para pekerja tidak akan mengindahkan dan menaruh perhatian terhadap ancaman seperti itu. Dalam hal ini, jangan sampai seorang pemimpin mewujudkan pernyataannya disaat ia tidak lagi dapat mengendalikan diri dan emosinya, sehingga pendisiplinan menjadi tidak proposional dan menjatuhkan sanksi keluar dari batas kepatutan. Pendeknya, dalam hal ini seyogyanya para pemimpin harus berpegang pada prinsip satu kata dengan perbuatan. Ketujuh, para pemimpin hendaknya perlu berhati-hati untuk tidak memberi hukuman yang lebih keras dari tingkat kesalahan yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Ada kalanya para pemimpin menjatuhkan hukuman yang lebih keras atas pelanggaran kecil ketimbang terhadap pelanggaran serius berkenaan dengan prestasi yang lebih besar. Adakalanya pula, sebetulnya para pekerja mengetahui hal yang diharapkan dari mereka, namun mereka sengaja tidak melakukannya, meski para pekerja siap menerima hukuman, dan bahkan mereka justru bingung apabila tidak mendapat hukuman. Namun sebaliknya, apabila hukuman yang diberikan tidak wajar dibandingkan dengan kesalahan yang mereka lakukan, maka mereka akan merasa tidak senang atas tindakan para pemimpinnya.
Dalam konteks paparan tersebut, tentu saja pendisiplinan tidak dimaksud untuk memperkuat perilaku yang jelek, mungkin adakalanya para pekerja berprilaku atau berprestasi jelek semata-mata untuk mendapat perhatian dari atasan. Pada prinsipnya, hukuman diberikan untuk mencegah terulangnya perilaku yang tidak diharapkan. Perlu juga para pemimpin berhati-hati dalam hal menggunakan hukuman, mengingat reaksi yang akan muncul  tidak selalu dapat diantisipasi dari para pekerja apabila mereka dikenai hukuman. Di sisi yang lain, hukuman juga hanya menunjukkan suatu yang tidak boleh dilakukan, akan tetapi belum tentu memberi tahu tentang apa yang perlu dilakukan. Dengan demikian, apabila intervensi telah dilakukan oleh para pemimpin, perlu juga diidentifikasi perilaku baru sebagai pengganti terhadap perilaku yang tidak diharapkan. Dengan cara demikian para pemimpin dapat memberikan penguatan positif agar perilaku baru yang diharapkan dapat terulang. Pada prinsipnya para pemimpin perlu berfikir terlebih dahulu sebelum mereka bertindak, karena sulit diketahui apakah suatu tindakan bersikap memperkuat atau memperlemah perilaku yang diharapkan. Namun demikian pendekatan yang telah diuraikan tadi dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin secara efektif untuk mencairkan perilaku yang tidak diinginkan, sehingga mereka dapat memulai memperkuat perilaku yang lebih diinginkan secara lebih positif. Dalam menggunakan hukuman untuk meniadakan perilaku yang tidak diharapkan, sebelumnya penting diketahui betul perilaku mana yang ingin kita ubah dengan mengkomunikasikan hal tersebut dengan cara spesifik terhadap pekerja yang bersangkutan. Untuk menentukan saat menggunakan hukuman dan meniadakan perilaku, maka para pemimpin perlu memperkirakan berapa lama perilaku atau kebiasaan itu sudah berlangsung, sehingga upaya meniadakan perilaku dapat membuahkan hasil dan pekerja yang bersangkutan terdorong untuk meninggalkan perilaku yang tidak diinginkan. Namun jika perilaku atau kebiasaan itu telah berlangsung cukup lama, pemimpin perlu menekankan bentuk hukuman tertentu sehingga terbuka kesempatan pembentukan perilaku yang diinginkan melalui penguatan positif guna menggantikan perilaku yang tidak diinginkan. Semakin lama pengalaman dan kebiasaan masa lampau yang dimiliki seorang pekerja tentang perilaku tertentu, maka akan semakin sukar untuk mengubahnya atau sulit melakukan intervensi awal sebelum penguatan positif dapat digunakan secara efektif untuk memperkuat perilaku baru.
Namun demikian banyak organisasi yang menerapkan kebijakan disiplin progresif, yaitu bahwa terhadap adanya pengulangan pelanggaran akan dijatuhkan hukuman yang lebih berat. Melalui disiplin progresif para pekerja diberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum terkena hukuman yang lebih serius. Pendisiplinan progresif memberikan waktu bagi pemimpin bekerja sama dengan para pekerja untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan, misalnya seperti mangkir tanpa alasan yang tidak dapat dibenarkan. Proses sanksi dijalankan secara bertahap, dimulai dari teguran lisan, teguran tertulis dengan mencantumkan catatan dalam arsip, sampai ke tindakan disipliner yang lebih keras yang berakhir dengan pemecatan. Sistem progresif memungkinkan pelanggaran kecil dihapus dari catatan kepegawaian setelah pekerja menunjukan kondite dan prestasi kerja yan lebih baik tanpa adanya pelanggaran, maka proses pendisiplinannya akan kembali dimulai lagi dari langkah pertama. Pelanggaran yang serius seperti pencurian dan perkelahian besar, tidak diselesaikan melalui sistem pendisiplinan progresif, seorang pekerja bisa saja langsung diberhentikan meskipun baru sekali melakukan perbuatan itu. Kebanyakan organisasi juga telah menggunakan penyuluhan atau konseling dalam kaitannya dengan pendisiplinan, malah pendekatan penyuluhan dilakukan dalam keseluruhan prosedur. Dalam pendekatan ini para pekerja yang melanggar diberi nasehat secara progresif dengan tidak diberikan hukuman. Fokus pendekatan penyuluhan adalah menghimpun fakta dan pembimbingan agar muncul perilaku yang diinginkan. Penekanannya lebih diarahkan pada apa yang harus dilakukan bukan pada apa yang jangan dilakukan, dengan harapan agar kehormatan pegawai dapat dipertahankan dan hubungan atasan-bawahan tetap koopratif dan konstruktif.
Baik disiplin preventif dan korektif keduanya penting, melalui disiplin preventif para pekerja didorong untuk mempertahankan disiplin dikalangan mereka sendiri, sementara disiplin korektif diterapkan apabila pekerja tidak memenuhi standar prestasi kerja yang diharapkan, yaitu berusaha memperbaiki para pekerja yang melanggar, mencegah yang lain agar tidak berbuat yang serupa serta dipertahankannya standar atau peraturan serta disiplin yang berlaku. Namun demikian, hubungan kekaryaan memiliki kewajiban dua arah, tidak hanya kewajiban organisasi terhadap individu saja, namun individu juga memiliki wewenang dan tanggung jawab kepada organisasi. Setiap pekerja memberikan kontribusi atas kehadirannya didalam organisasi dengan mengharapkan imbalan yang berharga dari organisasi. Sebaliknya, organisasi juga menginvestasikan sesuatu pada para pekerja, dimana organisasi pun mengharapkan imbalan yang menguntungkan dari kehadiran para pekerja. Maka transaksi sosial yang disebut dengan kekaryaan menimbulkan wewenang dan tanggung jawab timbal balik antara individu dengan organisasi. Dimana para pekerja mempertahankan hak atas keyakinan pribadi mereka masing-masing, meski tidak mendukung aktivitas melawan hukum atau aktivitas yang melanggar standar sosial atau hati nurani pekerja. Dalam hal ini apabila para pemimpin mengabaikan tuntutan internal organisasi dari para pekerja, maka para pekerja dapat mengekspose tindakan tidak benar para pemimpin organisasi  kepada pihak publik, sehingga diperoleh dukungan dari luar untuk menekan organisasi supaya penanggulangan terhadap permasalahn internal mereka segera dilakukan. Oleh karena itu kedua belah pihak seyogyanya memperoleh maslahat, karena melalui transaksi sosial diantara mereka akan menghasilkan nilai baru yang melebihi pengorbanan masing-masing.  
Last but not least, kembali kepada masing-masing peran kita di dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun publik, pemahaman berkenaan dengan aspek disiplin ini perlu mendapat perhatian yang luar biasa, hal ini mengingat kita tengah dilanda penggerusan sendi-sendi kedisiplinan hampir di segala sektor kegiatan ekonomi dan politik, serta sosio-budaya pada umumnya.
                                                                                                Jakarta, 21 Maret 2012
                                                                                                                        Faisal Afiff

Selasa, 13 Maret 2012

Rangkain Kolom Kluster I: Iklim Organisasi


IKLIM ORGANISASI

Sebuah mesin memiliki batas kapasitas yang tidak dapat dilampaui berapapun besaran jumlah energi yang diberikan pada alat itu. Mesin hanya dapat menghasilkan produk dalam batas yang telah ditentukan dan tidak dapat lebih, sementara  manusia dapat menghasilkan produktivitas yang tidak terbatas melalui gagasan-gagasan kreatif dan inovatif yang lebih baik. Dengan perilaku organisasi harapan akan dihasilkan prestasi yang lebih baik dapat dicapai dengan memotivasi dan menggerakkan para pekerja, tidak seperti lazimnya menggerakkan sebuah mesin mekanik.
Pikiran dan perasaan manusia didorong untuk lebih kreatif yang dipicu oleh motivasi-positif dapat bergerak secara unik dan menyeluruh, yang tidak serupa dengan cara bekerjanya energi fisik dalam mesin. Kemampuan manusia tidak terbatas sepanjang mereka termotivasi untuk menggunakan potensinya menghasilkan gagasan baru yang lebih baik, yaitu dengan bekerja lebih pintar dan tidak selalu harus berkerja dengan lebih keras. Oleh karena itu kita perlu melihat perubahan perilaku organisasi yang dikelola dalam sistem organisasi secara menyeluruh. Dengan demikian, apa yang diperlukan dalam organisasi adalah memperkaya keseluruhan sistem “sosio-teknis” secara bertahap agar sesuai dengan kebutuhan dan harapan manusia didalam organisasi tersebut.
Tidak semua organisasi membutuhkan kadar partisipasi, komunikasi terbuka atau kondisi lain yang sama  dengan organisasi sejenis lainnya agar menjadi lebih efektif. Perilaku organisasi yang paling efektif cenderung bervariasi sesuai dengan kekhasan lingkungan organisasi yang bersangkutan secara menyeluruh. Prinsipnya baik organisasi yang stabil maupun yang berubah-ubah memerlukan lingkungan yang lebih manusiawi. Dalam hal ini, faktor lingkungan dapat merupakan pengaruh yang paling signifikan terhadap para pekerja tentang bagaimana cara mereka berfikir dan merasakan. Oleh karena itu seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan pertimbangannya  kepada aspek “mikromotivasi” internal semata, melainkan juga harus menerapkan fungsi “makromotivasi” eksternal. Dalam hal ini seorang pemimpin perlu juga berfokus pada kondisi lingkungan diluar organisasi yang mempengaruhi prestasi kerja, yang disebut sebagai faktor “makromotivasi” tersebut, baik yang berkenaan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, organisasi serikat pekerja, maupun persepsi masyarakat umum tentang makna status,  prestasi  dan upah kerja.  Dengan adanya dua faktor,  yaitu lingkungan “mikromotivasi” dan “makromotivasi” yang mempengaruhi motivasi kerja maka efektivitas kedua faktor tersebut perlu ditingkatkan untuk memicu motivasi kerja yang tinggi. Jika kondisi lingkungan kerja tidak kondusif terhadap prestasi kerja yang lebih baik, maka mikromotivasi internal dapat cenderung melemah, sekalipun kondisi kerja di internal para pekerja menyenangkan dan demikian juga sebaliknya.
Tentu saja perhatian terhadap aspek manusia dalam dunia kerja tidak perlu menjadi terlalu berlebihan sehingga mengabaikan tujuan yang lebih utama.  Perilaku organisasi  yang efektif dapat membantu pencapaian tujuan orrganisasi bukan dengan cara menggantikannnya. Dengan demikian perilaku organisasi yang efektif adalah mengakui sistem sosial dimana banyak jenis kebutuhan manusia dilayani dengan banyak cara. Filosofinya adalah dengan menyadari perilaku organisasi sebagai pendorong yang berorientasi kepada sumberdaya manusia dengan cara memperbaiki lingkungan manusia dan membantu para pekerja didalamnya untuk mengembangkan potensi sesungguhnya. Namun demikian, perlu diwaspadai bahwa apa yang kita ketahui dan fahami tentang perilaku organisasi tidak dipergunakan untuk memanipulasi para pekerja. Oleh karena itu dalam mengelola para pekerja para pemimpin perlu memiliki etika dan integritas moral yang tinggi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa adanya etika dalam kepemimpinan, pengetahuan canggih tentang perilaku manusia dapat menjadi sarana yang berbahaya yang bisa disalahgunakan. Dengan demikan kepemimpinan dengan etika adalah adanya tanggung jawab sosial serta terjalinnya komunikasi terbuka guna mencapai kemaslahatan bersama. Apabila seorang pekerja memahami apa yang sedang terjadi dan memiliki kebebasan substansial untuk melakukan pilihannya sendiri, maka mereka boleh dikatakan tidak sedang dimanipulasi. Akan tetapi apabila secara tidak sadar mereka diarahkan dalam situasi yang tidak bebas memilih, mereka boleh dikatakan sedang dimanipulasi. Namun sebaliknya apabila para pemimpin secara etikal tidak didukung oleh para pekerja, maka proses memotivasi secara tulus menjadi kecil untuk berhasil. Oleh karena itu dalam memotivasi para pekerja agar tidak terjalin hubungan yang inter-manipulatif, para atasan perlu mengkaitkan faktor-faktor prestasi  dan produktivitas yang ingin dicapai dengan faktor yang terkandung didalam kepuasan kerja.
Sebagaimana dimaklumi, ketika para pekerja bergabung  dalam suatu organisasi, mereka membawa seperangkat kebutuhan, keinginan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk apa yang disebut dengan “harapan kerja”. Dengan demikian, kepuasan kerja adalah kesesuaian antara harapan kerja dengan imbalan yang diperoleh dari pekerjaan, karenanya kepuasan kerja juga berkaitan erat dengan teori keadilan dan kontrak psikologis. Kepuasan kerja memiliki banyak dimensi, disatu pihak dapat mewakili sikap secara menyeluruh atau hanya mengacu pada bagian tertentu saja pada lingkup pekerjaan seseorang. Bisa saja kepuasan seorang pekerja tinggi terhadap promosi yang dia dapatkan, namun ia bisa saja tidak puas terhadap jadwal cuti dan liburannya. Sebagai muatan dari sekumpulan perasaan, kepuasan kerja lebih bersifat dinamis dan dapat menurun secepat timbulnya, yang mengharuskan para atasan memperhartikannya setiap saat, dengan mempertimbangkan bahwa pada dasarnya kepuasan kerja merupakan bagian dari kepuasan hidup.
Sifat lingkungan seseorang diluar pekerjaan mempengaruhi perasaan seseorang didalam pekerjaan, sebaliknya pekerjaan merupakan bagian penting bagi kehidupan yang pada gilirannya kepuasan kerja akan mempengaruhi kepuasan hidup seseorang. Dalam hal ini kita pun tidak boleh cepat mengambil kesimpulan yang sederhana, yaitu berasumsi bahwa kepuasan kerja yang tinggi selalu akan menimbulkan prestasi kerja yang tinggi pula. Dari beberapa bukti empiris ternyata pekerja dengan kepuasan kerja yang tinggi tetap menunjukkan variasi tingkat produktivitas dari tingkatan yang tinggi, sedang, dan rendah, hal ini terus sinambung mempertahankan tingkat prestasi yang menimbulkan kepuasan kerja bagi mereka. Oleh karena itu, kesimpulan sederhana bahwa “kepuasan menimbulkan prestasi kerja” perlu dikesampingkan terlebih dahulu.  Yang terjadi justru sebaliknya, yakni bahwa prestasi kerja yang tinggi dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja yang tinggi pula. Dengan asumsi bahwa prestasi yang lebih baik secara lazim akan menimbulkan imbalan ekonomi, sosial, dan psikologis yang lebih baik pula. Apabila imbalan itu dipandang pantas dan adil, maka akan timbul kepuasan yang lebih besar karena para pekerja merasa bahwa mereka menerima imbalan yang sesuai dengan prestasi kerjanya. Sebaliknya apabila imbalan dipandang tidak sesuai dengan tingkat prestasi kerjanya, maka ketidakpuasan cenderung muncul, akibatnya terdapat lingkaran hubungan yang terus menerus antara prestasi kerja dan kepuasan kerja.
Yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah kepuasan kerja para atasan atau manajer sebagai pengambil keputusan, baik dalam upaya mencegah maupun dalam hal menanggulangi berbagai masalah para pekerja. Para atasan atau manajer juga memiliki kebutuhan manusiawi sama halnya dengan para pekerja dibawahnya. Malah dampaknya bisa menjadi lebih luas, yaitu jika mereka dihinggapi ketidakpuasan maka pengaruh tersebut dapat menyebar keseluruh departemen dikarenakan rentang kendali manajemen mereka yang luas. Perasaan mereka mungkin merembes kedalam lingkungan masyarakat pekerja melalui keluarga dan hubungan kemasyarakatan lainnya diluar organisasi. Oleh karena itu, iklim yang menggabungkan faktor mikromotivasi internal dan makromotivasi eksternal yang terintegrasi ke dalam sistem organisasi menjadi sangat penting.
Sebenarnya dalam istilah “iklim organisasi” didalamnya terkandung pula pengertian sebuah konsep sistem organisasi yang dinamis. Walaupun kita tidak dapat melihat dan menyentuh iklim organisasi, kehadirannya bagaikan udara didalam ruangan yang mengitari dan mempengaruhi segala sesuatu yang terjadi didalam organisasi. Begitu juga secara timbal balik, iklim organisasi dipengaruhi oleh hampir semua hal yang terjadi di dalam suatu organisasi. Masing-masing organisasi memiliki budaya, tradisi dan suatu metoda penanggulangan sendiri yang secara umum dan keseluruhan menciptakan iklim organisasi. Sebagai gambaran nyata, bisa saja sebagian organisasi nampak sibuk dan efisien, sementara yang lainnya nampak terkesan santai dan permisif. Dalam hal ini, suatu organisasi dapat saja merekrut dan mempertahankan orang-orang yang sesuai dengan iklim organisasi untuk mempertahankan tingkat dan pola iklimnya agar berjalan sinambung dan langgeng. Begitu juga sebaliknya, seorang pekerja dapat memilih iklim organisasi yang disukainya sebagaimana seseorang memilih iklim geografis tertentu, seperti pantai, pegunungan, atau padang pasir dalam hal mana mereka memilih iklim organisasi yang disukai.
Iklim organisasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja para pekerja didalam organisasi, baik posisinya sebagai atasan maupun bawahan. Iklim organisasi akan mempengaruhi hal tersebut dengan memberi harapan terhadap para pekerja akan konsekuensi yang akan timbul dari berbagai keputusan yang diambil. Dalam hal ini para pekerja mengharapkan imbalan dan kepuasan atau bahkan merasa frustrasi atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organisasinya. Maka iklim organisasi yang sehat adalah sebuah  rencana jangka panjang yang melihat dan mempersepsi iklim organisasi sebagai aset organisasi. Sebagai contoh pendisiplinan yang tidak bijaksana dapat menjadi sumber tekanan bagi para pekerja yang pada gilirannya memang bisa saja menghasilkan prestasi kerja yang lebih baik secara temporer, namun secara jangka panjang dapat mengorbankan iklim organisasi secara keseluruhan. Iklim organisasi dapat bergerak pada suatu garis yang kontinum beranjak dari yang paling menyenangkan, ketingkat yang netral sampai ketingkat yang paling tidak menyenangkan. Baik atasan maupun para pekerja menginginkan iklim yang lebih menyenangkan untuk memicu prestasi dan kepuasan kerja mereka.
Beberapa faktor sebagai menyumbang terhadap pembentukan iklim organisasi yang menyenangkan diantaranya adalah, pertama, bahwa iklim organisasi dianggap menyenangkan apabila para pekerja diberi kesempatan melakukan sesuatu yang bermanfaat yang menimbulkan perasaan berharga dan diakui. Kedua, bahwa iklim organisasi dianggap menyenangkan apabila para pekerja diberi pekerjaan yang menantang yang secara intrinsik memuaskan. Ketiga, bahwa iklim organisasi dianggap menyenangkan jika para pekerja diberi tanggung jawab dan kesempatan yang lebih leluasa untuk mencapai keberhasilan. Keempat, bahwa iklim organisasi dianggap menyenangkan apabila pendapat para pekerja didengar dan mereka diperlakukan sebagai orang yang bernilai dan bermartabat. Dengan demikian iklim organisasi adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi, yang apabila hal itu dikelola dan ditingkatkan dengan baik kedalam suatu rencana jangka panjang kemungkinan besar tercapai peningkatan prestasi kerja yang dapat diukur.
Iklim organisasi dapat juga diartikan sebagai falsafah dan tujuan para pekerja yang saling bekerja sama sehingga terciptanya iklim organisasi tersebut. Filsafat dan tujuan para pekerja yang secara fungsional diterapkan dalam kepemimpinan yang berjalan  melalui alur organisasi formal dan informal, dimana organisasi formal dan informal menyediakan struktur untuk mengikat organisasi menjadi suatu tim kerja. Implementasi dalam kaitan hubungan kepemimpinan dan interaksi kerja antara atasan dan bawahan dapat dituangkan kedalam kesepakatan kontrak tujuan dan sasaran kerja tertentu bagi para bawahan yang pada gilirannya dapat dilakukan melalui negosiasi serta disepakatinya gaya kepemimpinan yang diinginkan untuk membantu bawahan mencapai sasaran kerja. Dalam bidang-bidang dimana bawahan pernah berpengalaman dan berhasil mencapai  sasaran prestasi kerja yang serupa, maka kontrak kepemimpinan yang dinegosiasikan adalah memberikan kewenangan dan tanggung jawab agar bawahan dapat bekerja mandiri. Dalam hal ini peranan atasan lebih terfokus untuk memastikan tersedianya sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan serta mengkoordinasikan kinerja yang berada dibawah supervisinya. Begitu juga sebaliknya yang berkaitan dengan tujuan lain, dimana bawahan belum memiliki pengalaman dan prestasi kerja dalam mengerjakan tugas baru, antara bawahan dan atasan dapat dinegosiasikan struktur, arahan, dan supervisi yang lebih signifikan agar bawahan memahami tugas tersebut dengan baik. Apabila bawahan tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau juga atasan tidak menerapkan gaya kepemimpinan yang disepakati, maka hal ini akan menjadi bagian dari bahan evaluasi bagi kedua belah pihak.
Dengan diterapkannya konsep interaksi kepemimpinan ini dalam kegiatan sehari-hari, maka secara terstruktur dan terus-menerus mereka terpicu untuk mencari cara-cara baru agar tercapai suatu titik optimum kepuasan kerja sebagai hasil interaksi gaya kepemimpinan atasan dan harapan bawahan sehingga tercipta suasana iklim organisasi yang kondusif bagi pencapaian prestasi dan kepuasan kerja. Sebagai penutup dari perbincangan ini, sudah sejauh manakah pengetahuan yang berkenaan dengan perilaku organisasi, mampu membekali kita dalam upaya membangun “world class organization”?
Jakarta, 14 Maret 2012
                                                                                                       Faisal Afiff

Rangkaian Kolom Kluster I: Konflik Organisasi


KONFLIK  ORGANISASI

Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan terdiri atas individu dan/atau tim kerja. Sebelum membahas persoalan konflik ini lebih jauh, ada baiknya kita menyinggung kembali sepintas tentang inovasi organisasi dari sisi yang lain. Dalam melakukan upaya perubahan organisasi dapat diidentifikasi tiga tahap proses perubahan, yakni proses pemanasan atau pencairan (unfreezing), proses pengubahan (changing), dan proses pembekuan kembali (refreezing). Tujuan proses pemanasan adalah memotivasi dan mengkondisikan individu dan/atau tim kerja agar siap melakukan perubahan. Tahap ini merupakan proses pencairan, dengan melakukan pengaturan kembali faktor-faktor yang mempengaruhi individu dan/atau tim kerja sehingga mereka dapat melihat adanya kebutuhan untuk berubah. Untuk melakukan proses pencairan ini dapat ditempuh langkah sebagai berikut, pertama, memindahkan pekerja yang hendak diubah dari kebiasaan rutinitasnya. Yang kedua, yaitu mengubah sumber informasi dan hubungan sosial antar individu dan/ atau tim kerja, dan ketiga adalah mengecilkan arti pengalaman masa lalu dengan mengubah pandangan para pekerja bahwa sikap dan perilaku lama mereka sebagai hal yang tidak bermanfaat dan karenanya perlu untuk diubah. keempat, secara konsisten mengaitkan ganjaran (insentif) dengan keinginan untuk berubah dan menerapkan hukuman bagi penolakan untuk berubah. Ringkasnya, tahap pemanasan adalah upaya pencairan kebiasaan dan tradisi lama para pekerja untuk dapat menerima alternatif baru. Dalam kaitan dengan tulisan terdahulu, tentang teknik analisis untuk melakukan strategi perubahan, proses pemanasan dapat dilakukan apabila faktor-faktor pendukung diperkuat dan faktor penghambat diperkecil.
Selanjutnya dalam proses pengubahan dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari dua mekanisme berikut, yaitu proses identifikasi dan internalisasi. Identifikasi terjadi apabila disediakan situasi atau model didalam lingkungan kerja, dimana para pekerja dapat mempelajari pola perilaku baru melalui model-model yang ditampilkan dengan mengidentifikasi dan bahkan menyukai model-model tersebut. Adapun melalui proses internalisasi, para pekerja ditempatkan dalam situasi dimana mereka dituntut untuk menunjukkan perilaku baru jika mereka ingin berhasil dalam situasi baru tersebut. Mereka mempelajari pola perilaku baru bukan hanya sekedar untuk bertahan, akan tetapi juga terdorong oleh kebutuhan yang kuat mengikuti perilaku baru itu. Proses identifikasi dan internalisasi bukanlah proses yang berdiri sendiri, dimana perubahan yang efektif dapat terjadi sebagai hasil dari pengkombinasian kedua proses tersebut didalam melakukan strategi perubahan. Sedangkan proses pemaksaan melalui mekanisme ganjaran dan hukuman lebih tepat digunakan dalam proses pemanasan bukan sebagai alat pengubahan.
Apabila perilaku baru telah diinternalisasi melalui proses yang dipelajari maka secara otomatis hal tersebut mengarah kepada proses pembekuan kembali, yang secara alamiah telah disesuaikan dengan kepribadian seseorang. Maka proses pembekuan kembali adalah suatu pembentukan perilaku baru sebagai perilaku terpola kedalam kepribadian seseorang yang secara emosional berlangsung terus secara signifikan. Namun demikian perilaku baru melalui proses identifikasi tidak dapat bertahan lama apabila tidak diperkuat oleh dukungan dan penguatan sosial oleh lingkungan dimana ia bekerja untuk mengungkapkan sikap baru tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, betapa pentingnya bagi para pekerja yang terlibat dalam proses perubahan untuk berada dalam lingkungan yang secara terus-menerus memperkuat perubahan yang diinginkan. Kebanyakan program pelatihan tidak berdampak lama apabila para pekerja kembali ke “habitat” yang tidak  memperkuat pola baru, apalagi jika habitat itu tidak bersahabat dengan pola baru yang akan diterapkan.
Yang perlu ditekankan dalam proses pembekuan kembali,  adalah bagaimana agar perilaku baru yang telah termodifikasi tidak sirna. Untuk itu perlu dilakukan dua pendekatan, pertama, melalui penguatan berkelanjutan agar para pekerja dapat mempelajari hal baru dan memodifikasi perilakunya dengan cepat. Kedua, melalui penguatan berselang-seling, dimana para pekerja dikondisikan untuk bertahan lebih lama dalam pola perilaku barunya tanpa harus sering diperkuat, yaitu dengan peroses belajar dengan penerapan jadwal berkala penguatan berkelanjutan dan konsisten. Jika para pekerja telah mempelajari pola baru, maka peralihan ke penguatan berselang-seling dapat menjamin perubahan dalam jangka panjang. Strategi perubahan direktif yang bersifat paksaan tidak akan efektif untuk diterapkan, jika tidak dilakukan terlebih dahulu proses pemanasan yang signifikan, yaitu dengan memperlemah faktor-faktor penghambat untuk ditransformasikan menjadi faktor pendukung. Sementara strategi perubahan partisipatif akan lebih tepat digunakan dengan memperlunak faktor-faktor penghambat melalui penyampaian informasi baru yang tidak bermuatan ancaman – melalui komunikasi dua arah - yang mengarah pada upaya mengubah sikap dan pada akhirnya mengubah perilaku para pekerja.
Dengan demikian, melalui pemanasan atau pencairan megandung tujuan agar gagasan atau praktek lama dalam suatu organisasi perlu disisihkan supaya gagasan atau praktek baru dapat segera dipelajari. Namun demikian perlu disadari, bahwa meniadakan praktek dan kebiasaan lama sama sulitnya dengan mempelajari dan mempraktekan gagasan baru. Sementara pengubahan adalah langkah mempelajari gagasan dan praktek baru agar para pekerja dapat berfikir dan berprestasi dengan cara yang baru. Pembekuan kembali adalah memadukan hal-hal yang telah dipelajari kedalam praktek yang sesungguhnya. Dengan kata lain, hal yang telah dipelajari seyogyanya tidak hanya sekedar diketahui, namun akan lebih bermakna jika dilakukan oleh para pekerja, sehingga suatu praktek yang berhasil merupakan tujuan akhir dari langkah pembekuan kembali.
Ketika individu dan/ atau tim kerja mulai lebih kompak dan padu (cohesive), sementara perbedaan internal dapat dikesampingkan maka loyalitas para pekerja kepada tim kerja dan pemimpin semakin menguat. Dalam konteks ini suasana tim kerja lebih berorientasi pada tugas dan keberhasilan kelompok menjadi prioritas yang paling penting. Pada saat tim kerja lebih toleran terhadap pemimpin, maka pemimpin dapat mulai mengubah gaya kepemimpinannya kearah yang lebih otokratis, sehingga tim kerja lebih terorganisasi dan lebih terstruktur, dimana setiap anggota tim kerja dituntut untuk lebih loyal dan bersatu guna menciptakan benteng yang tangguh. Namun ekses dari munculnya ego kelompok, dapat menimbulkan persaingan antar tim kerja, dimana tim kerja yang satu mulai memandang tim kerja yang lain sebagai “musuh”, yaitu hanya mengakui kekuatan tim kerjanya sendiri dan mengecilkan kekuatan tim kerja yang lain. Adanya pertikaian antara tim kerja yang meningkat, sementara frekuensi komunikasi menurun dapat menyebabkan tumbuhnya perasaan negatif dan persepsi yang keliru. Apabila antar tim kerja dipaksa untuk berinteraksi, biasanya masing-masing enggan menyimak pendapat pihak tim kerja lain dan biasanya hanya bersedia menyimak hal yang mendukung argumentasi masing-masing. Meskipun persaingan dan reaksi yang timbul mungkin akan bermanfaat bagi internal tim kerja untuk motivasi berprestasi dan efektifitas bekerja, namun konsekuensi negatif dapat muncul pada interaksi dan kerja sama antar tim kerja. Situasi akan lebih sulit lagi, apabila antar tim kerja terjadi konfrontasi menang-kalah yang meskipun akhirnya akan muncul pemenang, begitu pula pihak yang kalah biasanya tidak merasa dikalahkan dan tegangan antar kelompok dan/ atau tim kerja akan semakin tinggi dari sebelum dimulainya persaingan. Lebih jauh lagi pihak pemenang seringkali lupa daratan dan merasa puas, sehingga acapkali mengabaikan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Sementara pihak yang kalah cenderung mengembangkan konflik internal dan pada saat yang sama berusaha mencari sebab-sebab kekalahan dengan mengkambing hitamkan seseorang. Apabila konsekuensi negatif dari terjadinya konflik antar tim kerja melebihi manfaatnya, maka tugas para pemimpin seyogyanya berupaya mencari jalan mengurangi tensi persaingan antar kelompok. Mengingat lebih sukar mengurangi konflik antar tim kerja apabila itu sudah terjadi, maka perlu diupayakan langkah preventif untuk mencegahnya. Pertama, pemimpin perlu menekankan pada kontribusi prestasi seluruh tim kerja terhadap pencapaian tujuan organisasi, tidak pada pencapaian tujuan parsial salah satu unit tim kerja saja. Kedua, dilakukan upaya peningkatan frekuensi komunikasi dan interaksi antar tim kerja dan mengadakan sistem insentif bagi tim kerja yang saling membantu satu dengan lainnya. Ketiga, jika dimungkinkan setiap individu dari tim kerja secara periodik dapat dirotasi untuk mengenyam pengalaman kerja didalam tim kerja yang lain guna memperluas dasar empati dan saling pengertian atas masalah-masalah organisasi secara keseluruhan. Pada sisi yang lain, persaingan yang dicirikan dalam situasi konfrontasi menang-kalah, dimana konflik kurang terbuka, kurangnya interaksi total antar tim kerja,  dan tidak adanya kesediaan memberikan sumberdaya dan informasi kepada tim kerja lain, akan memperlemah potensi efektifitas organisasi secara keseluruhan. Secara umum, strategi dasar untuk mengurangi konflik antar tim kerja adalah dengan menetapkan tujuan yang mengacu pada visi dan misi yang disepakati bersama oleh semua tim kerja dalam organisasi, menciptakan strategi perundingan yang memicu interaksi antar tim kerja dan bilamana perlu menetapkan musuh bersama.
Ada tiga situasi dan posisi konflik dalam kaitannya dengan konflik antar tim kerja, yakni, pertama, suatu konflik tidak dapat dihindarkan dan “rujuk” tidak dimungkinkan, kedua, konflik dapat dihindarkan dan rujuk tidak dimungkinkan, dan ketiga, meskipun ada konflik namun rujuk dapat diupayakan. Untuk konteks yang pertama, apabila tidak terjadi pertaruhan yang mengancam terhadap keberadaan status para pekerja, maka reaksi mereka cenderung pasif dan membiarkan nasib yang menyelesaikan konflik tersebut. Apabila tingkat taruhannya sedang-sedang saja, maka mereka akan memperkenankan campur tangan pihak ketiga untuk memutuskan penyelesaian  konflik tersebut. Namun apabila tingkat pertaruhannya sangat tinggi, para pekerja akan melibatkan diri secara aktif dalam konfrontasi menang-kalah dan bahkan berjuang untuk memperebutkan kekuasaan. Untuk konteks yang kedua, para pekerja akan bersikap pasif dan masa bodoh jika keberadaan konflik itu tingkat pertaruhannya rendah, apabila tingkat pertaruhannya sedang, mereka akan menghindar dari situasi konflik seperti itu. Namun jika tingkat pertaruhannya tinggi, mereka akan terlibat secara aktif dan jika kalah akhirnya akan mengundurkan diri. Konteks ketiga, jika konflik tetap ada dan rujuk masih dimungkinkan maka para pekerja akan bersifat pasif dan berupaya memperlunak siituasi apabila tingkat pertaruhannya rendah. Begitu pula para pekerja akan bernegosiasi dan menempuh bentuk perundingan apabila tingkat pertaruhannya sedang saja. Namun apabila tingkat pertaruhannya tinggi, mereka akan melakukan upaya pemecahan konflik secara aktif.
Dalam mengelola konflik, dengan mengetahui potensi konflik dan tingkat pertaruhan konflik itu bagi para pekerja, maka kita dapat memprediksi kemungkinan perilaku yang akan muncul dan sebaliknya. Kita juga dapat memprediksi persepsi para pekerja tentang konflik dalam situasi konflik tersebut. Apabila kita melihat tim kerja terlibat dalam pertarungan kekuasaan secara aktif, maka kita dapat memprediksi bahwa tingkat pertaruhan konflik tersebut sangat tinggi dan kecil kemungkinan rujuk dapat dicapai dalam waktu dekat. Pada saat yang sama ketika konflik tersebut tidak dapat dihindarkan, sementara rujuk pun sulit dicapai dengan taruhan yang sangat tinggi, maka dapat diprediksi bahwa konflik akan mengarah pada situasi perebutan kekuasaan yang bersifat “hidup atau mati” atau terciptanya situasi kheos. Jika konflik sudah mencapai tingkat kritis seperti ini, intervensi pihak ketiga perlu segera dilakukan untuk memperendah tingkat pertaruhan sehingga pihak yang bertikai bersedia untuk lebih jauh menerima intervensi pihak ketiga. Dengan diterimanya campur tangan pihak ketiga, maka upaya dapat diarahkan untuk mengubah persepsi dan asumsi setiap pelaku yang terlibat dalam konflik untuk ikut menanggulangi masalah yang dihadapi secara aktif, sehingga rujuk dapat dimungkinkan.
Pada hakikatnya, adanya konflik dalam suatu organisasi tidak harus selalu dipandang sebagai faktor yang merugikan, sebaliknya maslahat dapat dipetik khususnya guna menstimulasi para pekerja untuk aktif mencari pendekatan baru dalam pekerjaan. Maslahat lain yang dapat dipetik adalah masalah yang tadinya tersembunyi secara laten dapat diangkat kepermukaan untuk segera dapat ditanggulangi, sejalan dengan itu dapat berfungsi mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat berkenaan dengan konflik tersebut. Sementara kerugiannya sering kita rasakan bersama, dimana kekompakan kerjasama antar tim kerja yang sudah terjalin menjadi terganggu bahkan rusak sama sekali, akibat tidak adanya saling kepercayaan, saling mengalahkan, serta kelelahan yang berkepanjangan yang dapat menurunkan motivasi kerja.  Situasi konflik dapat menimbulkan empat akibat, pertama, adalah situasi ‘kalah-kalah’, dimana para pekerja dalam situasi ini ingin agar konflik dapat merusak kedua-belah pihak yang berakibat destruktif. Akibat yang kedua, adalah situasi ‘menang-kalah’, dimana para pekerja berpikiran akan memperoleh keuntungan jika mereka dapat mengalahkan rivalnya dan beranggapan kemenangan hanya akan dicapai dengan mengalahkan pihak yang lainnya. Terakhir atau ketiga, adalah situasi ‘menang-menang’, dimana dalam situasi ini dapat dicarikan pemecahan kreatif yang menguntungkan kedua belah pihak, dengan tujuan mencari titik temu terpadunya kebutuhan kedua belah pihak, melalui dialog, kolaborasi, solusi dan kompromi yang konstruktif.
Dengan demikian, seorang pemimpin dalam melaksanakan tahapan perubahan melalui proses pemanasan, pengubahan, dan pembekuan kembali, perlu dilakukan secara hati-hati dan sistematis, sehingga munculnya konflik yang tidak perlu dapat terantisipasi dan dihindari. Maka tujuan umum seorang pemimpin dalam memandang aspek manusia dalam organisasi, yakni memperbaiki dan menjaga keseimbangan antar tim kerja di dalam organiasi, dengan membantu penyesuaian diri pribadi-pribadi yang berada dalam tim kerja pada saat mereka merasa terganggu oleh adanya suatu perubahan yang memicu timbulnya konflik. Last but not least, dengan memahami paparan topik ini diharapkan kita lebih memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai konflik, baik yang masih bersifat laten maupun konflik terbuka, serta dilengkapi kesadaran bahwa fenomena konflik memiliki nuansa beragam dan spesifik, yang perlu didekati dengan cara yang spesifik pula, dan hindarilah simplifikasi dan generalisasi.

                                                                                                Jakarta, 7 Maret 2012
                                                                                                            Faisal Afiff