.


Selasa, 20 Maret 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Disiplin Organisasi


DISIPLIN  ORGANISASI

Disiplin adalah tindakan para manajer untuk menegakkan standar organisasi, yang apabila para pekerja tidak mengetahui dan memahami standar tersebut, maka perilaku mereka akan tidak menentu dan cenderung salah arah. Sebagaimana diketahui, organisasi terdiri dari banyak pekerja yang masing-masing mungkin saja bergerak menuju arah yang berbeda dengan arah yang akan dituju organisasi, jika mereka tidak mengerti akan “rambu” organisasi. Sebagaimana di dalam perjalanan lalu-lintas, akan sangat bahaya jika kita semua mengabaikan lampu merah, yang apabila tidak mengindahkannya akan menghadapi risiko serius terjadinya tabrakan mobil. Pada dasarnya, seluruh proses perkembangan hidup manusia berusaha agar terhindar dari masalah dan kecelakaan, yang kesemuanya dipelajari tahap-demi tahap melalui peraturan atau standar. Dengan kata lain, kita mafhum bahwa akan banyak ditemui kesulitan jika kita sering mengabaikan peraturan. Maka salah satu cara untuk menjaga standar atau peraturan yang berlaku di dalam suatu organisasi adalah melalui pemberlakuan disiplin kerja.
Dalam konteks organisasi dikenal dua pendekatan umum didalam mempraktekkan disiplin, yaitu disiplin pereventif dan disiplin korektif. Disiplin preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mendorong para pekerja mentaati standar atau peraturan organisasi agar tidak terjadi pelanggaran. Pendekatan dengan cara ini dimaksudkan untuk mendorong para pekerja memiliki disiplin diri. Melalui cara ini para pekerja diharapkan menegakkan disiplin diri tanpa harus terlalu dipaksa oleh pemimpin mereka, maka tim kerja yang telah memilki disiplin diri secara sadar merupakan sumber kebanggaan bagi suatu organisasi. Dalam hal ini pemimpin tetap memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim organisasi dalam rangka pendisiplinan preventif, yaitu berusaha agar para pekerja mengetahui dan mematuhi standar dengan mengikut sertakan mereka dalam penyusunan standar atau peraturan organisasi. Dengan demikian para pekerja lebih mungkin mendukung standar atau peraturan yang turut mereka susun. Begitu juga para pekerja akan mengetahui alasan dibalik standar dan pengetahuan yang ditetapkan dimana hal tersebut masuk akal bagi mereka. Pada prinsipnya, pendisiplinan preventif adalah suatu sistem yang saling berkaitan, yang mana pemimpin melakukan suatu kerja sama dengan semua bagian dalam sistem untuk mengembangkan bentuk-bentuk pola pendisiplinan.
Adapun pendisiplinan korektif adalah tindakan yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran terhadap suatu peraturan atau standar. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut, sehingga tindakan dimasa yang akan datang akan sesuai dengan standar atau peraturan organisasi. Tindakan korektif dapat berupa jenis hukuman tertentu yang biasa disebut dengan tindakan disipliner. Misalnya adalah suatu bentuk surat peringatan sampai ke pengskoran tanpa dibayar upah, yang bertujuan memperbaiki perilaku pelanggar, mencegah orang lain melakukan tindakan yang serupa dan mempertahankan standar organisasi secara konsisten dan efektif. Tujuan tindakan disipliner tentunya adalah positif, yaitu memperbaiki perilaku dimasa yang akan datang dan tidak semata-mata menghukum perilaku masa lalu. Tindakan disipliner yang paling akhir adalah bentuk pemecatan, berupa pemberhentian pekerja dari organisasi karena alasan tertentu. Adanya proses pemecatan dalam organisasi tidak serta merta dianggap sebagai adanya kegagalan pemimpin dalam membina para pekerja. Secara realistik tidak ada pemimpin dan pekerja yang sempurna, artinya terdapat sejumlah masalah tertentu yang tidak selalu dapat ditanggulangi, betapapun pemimpin telah berusaha keras ke arah itu. Dalam hal ini, terdapat batasan dan toleransi dari organisasi untuk mempertahankan para pekerja yang berprestasi tidak baik, ada kalanya lebih baik para pekerja pindah kerja ke organisasi yang lain, disamping prestasi pekerja itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pekerja lainnya. Juga  timbulnya akibat sampingan yang tidak diinginkan seperti reaksi emosional, mangkir, dan pengunduran diri mendadak serta terpaksa bekerja dalam tekanan.
Dalam menerapkan kedua jenis disiplin tersebut, yaitu disiplin preventif dan korektif, seyogyanya para pemimpin harus pandai dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pekerja. Pada satu sisi pemimpin bisa saja memberi kesempatan bagi para pekerja untuk bekerja sendiri dengan memberikan delegasi, namun apabila diwaktu yang lain prestasi pekerja itu menurun maka pemimpin dapat menempuh gaya kepemimpinan partisipatif. Apabila pemimpin telah bersikap suportif dan tidak direktif, namun prestasi para pekerja menurun, maka seorang pemimpin perlu beralih ke cara yang lebih persuasif dengan komunikasi dua arah, meski tidak menginggalkan cara direktif sama sekali. Begitu juga para pemimpin yang tengah menerapkan tugas dengan gaya relasional, namun prestasi pekerja menurun, maka para pemimpin dapat menempuh cara pemberitahuan atau teguran dangan mengurangi sebagian perilaku suportif dan meningkatkan gaya arahan atau supervisi.
Yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana cara melakukan pendisiplinan secara efektif dengan melakukan intervensi, maka pedoman berikut dapat dijadikan sebagai acuan. Pertama, dalam melakukan intervensi pendisiplinan, para pemimpin seyogyanya tetap tenang dan menahan emosi dengan mengatur tekanan emosi sedemikian rupa untuk mendapat perhatian dari para pekerja, sehingga para pekerja menyadari akan adanya masalah namun tidak harus larut didalamnya. Kedua, pada waktu mendisiplinkan para pekerja, upayakan pemimpin tidak menyerang secara langsung harga diri pekerja yang bersangkutan sebagai manusia. Para pemimpin harus pandai memisahkan pribadi pekerja tersebut dengan perilakunya, dimana yang terkena peringatan atau sanksi bukan pribadi akan tetapi perilakunya. Ketiga, agar intervensi pendisiplinan dapat berjalan efektif, maka pemimpin harus memberi tahu kesalahan yang dilakukan para pekerja secara lebih spesifik berdasarkan fakta dan data atau laporan lainnya. Kata-kata seperti “saya tidak suka prestasi kamu belakangan ini” perlu diperhalus dengan kalimat faktual misalnya “produktivitas anda menurun dua puluh persen dari dua bulan sebelumnya, dan laporan anda terakhir harus dikoreksi dan disusun kembali”. Keempat, apabila suatu pendisiplinan tidak dilakukan segera setelah terjadinya perilaku atau prestasi yang tidak baik, maka hal tersebut berkurang kegunaannya dalam upaya mempengaruhi perilaku pekerja dimasa mendatang, atau dengan kata lain ketepatan waktu dalam melakukan intervensi adalah penting sekali. Demikian pula halnya, seorang pemimpin jangan sampai menumpuk dan menunda hal-hal yang hendak didisiplinkan, yaitu dengan menimbun hasil pengamatan atas cacat perilaku para pekerja dan kemudian didepan umum menumpahkan semua kesalahan dan kekesalan tersebut di atas meja. Adakalanya para pemimpin mengkoreksi kesalahan para pekerjanya diakhir tahun saat dilakukan peninjauan prestasi tahunan.  Hal ini sering menimbulkan perselisihan antara pemimpin dan para pekerja tentang fakta-fakta pelanggaran masa lalu yang sering diingkari para pekerja, dimana para pekerja sebenarnya tidak mau mendengar hal-hal jelek yang pernah dilakukannya. Namun apabila pemimpin telah melakukan intervensi lebih awal, tentunya ia akan dengan tenang menangani perilaku para pekerja satu demi satu, dimana para pekerja akan lebih siap dan bersedia mendengarkan umpan balik tersebut. Kelima, para pemimpin hendaknya menghindari pendisiplinan yang tidak konsisten terhadap para pekerja. Para pekerja tentu akan bingung apabila mereka ditegur karena prestasi jelek pada minggu lalu, namun tidak di tegur pada waktu yang lain pada saat melakukan prestasi jelek yang sama. Untuk itu pemimpin perlu bijaksana untuk tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap para pekerja, yaitu dengan tidak bersikap pilih kasih, dimana setiap insentif perlu diberikan kepada siapa saja pekerja berprestasi, siapapun orang itu. Keenam, seringkali para pemimpin dengan tegas mengatakan bahwa mereka akan mendisiplinkan para pekerja yang tetap berperilaku tidak diinginkan, namun ia tidak pernah mewujudkan pernyataan itu dalam suatu tindakan nyata. Apabila para pekerja menyadari bahwa hal itu hanya gertakan dan omong kosong belaka, maka para pekerja tidak akan mengindahkan dan menaruh perhatian terhadap ancaman seperti itu. Dalam hal ini, jangan sampai seorang pemimpin mewujudkan pernyataannya disaat ia tidak lagi dapat mengendalikan diri dan emosinya, sehingga pendisiplinan menjadi tidak proposional dan menjatuhkan sanksi keluar dari batas kepatutan. Pendeknya, dalam hal ini seyogyanya para pemimpin harus berpegang pada prinsip satu kata dengan perbuatan. Ketujuh, para pemimpin hendaknya perlu berhati-hati untuk tidak memberi hukuman yang lebih keras dari tingkat kesalahan yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Ada kalanya para pemimpin menjatuhkan hukuman yang lebih keras atas pelanggaran kecil ketimbang terhadap pelanggaran serius berkenaan dengan prestasi yang lebih besar. Adakalanya pula, sebetulnya para pekerja mengetahui hal yang diharapkan dari mereka, namun mereka sengaja tidak melakukannya, meski para pekerja siap menerima hukuman, dan bahkan mereka justru bingung apabila tidak mendapat hukuman. Namun sebaliknya, apabila hukuman yang diberikan tidak wajar dibandingkan dengan kesalahan yang mereka lakukan, maka mereka akan merasa tidak senang atas tindakan para pemimpinnya.
Dalam konteks paparan tersebut, tentu saja pendisiplinan tidak dimaksud untuk memperkuat perilaku yang jelek, mungkin adakalanya para pekerja berprilaku atau berprestasi jelek semata-mata untuk mendapat perhatian dari atasan. Pada prinsipnya, hukuman diberikan untuk mencegah terulangnya perilaku yang tidak diharapkan. Perlu juga para pemimpin berhati-hati dalam hal menggunakan hukuman, mengingat reaksi yang akan muncul  tidak selalu dapat diantisipasi dari para pekerja apabila mereka dikenai hukuman. Di sisi yang lain, hukuman juga hanya menunjukkan suatu yang tidak boleh dilakukan, akan tetapi belum tentu memberi tahu tentang apa yang perlu dilakukan. Dengan demikian, apabila intervensi telah dilakukan oleh para pemimpin, perlu juga diidentifikasi perilaku baru sebagai pengganti terhadap perilaku yang tidak diharapkan. Dengan cara demikian para pemimpin dapat memberikan penguatan positif agar perilaku baru yang diharapkan dapat terulang. Pada prinsipnya para pemimpin perlu berfikir terlebih dahulu sebelum mereka bertindak, karena sulit diketahui apakah suatu tindakan bersikap memperkuat atau memperlemah perilaku yang diharapkan. Namun demikian pendekatan yang telah diuraikan tadi dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin secara efektif untuk mencairkan perilaku yang tidak diinginkan, sehingga mereka dapat memulai memperkuat perilaku yang lebih diinginkan secara lebih positif. Dalam menggunakan hukuman untuk meniadakan perilaku yang tidak diharapkan, sebelumnya penting diketahui betul perilaku mana yang ingin kita ubah dengan mengkomunikasikan hal tersebut dengan cara spesifik terhadap pekerja yang bersangkutan. Untuk menentukan saat menggunakan hukuman dan meniadakan perilaku, maka para pemimpin perlu memperkirakan berapa lama perilaku atau kebiasaan itu sudah berlangsung, sehingga upaya meniadakan perilaku dapat membuahkan hasil dan pekerja yang bersangkutan terdorong untuk meninggalkan perilaku yang tidak diinginkan. Namun jika perilaku atau kebiasaan itu telah berlangsung cukup lama, pemimpin perlu menekankan bentuk hukuman tertentu sehingga terbuka kesempatan pembentukan perilaku yang diinginkan melalui penguatan positif guna menggantikan perilaku yang tidak diinginkan. Semakin lama pengalaman dan kebiasaan masa lampau yang dimiliki seorang pekerja tentang perilaku tertentu, maka akan semakin sukar untuk mengubahnya atau sulit melakukan intervensi awal sebelum penguatan positif dapat digunakan secara efektif untuk memperkuat perilaku baru.
Namun demikian banyak organisasi yang menerapkan kebijakan disiplin progresif, yaitu bahwa terhadap adanya pengulangan pelanggaran akan dijatuhkan hukuman yang lebih berat. Melalui disiplin progresif para pekerja diberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum terkena hukuman yang lebih serius. Pendisiplinan progresif memberikan waktu bagi pemimpin bekerja sama dengan para pekerja untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan, misalnya seperti mangkir tanpa alasan yang tidak dapat dibenarkan. Proses sanksi dijalankan secara bertahap, dimulai dari teguran lisan, teguran tertulis dengan mencantumkan catatan dalam arsip, sampai ke tindakan disipliner yang lebih keras yang berakhir dengan pemecatan. Sistem progresif memungkinkan pelanggaran kecil dihapus dari catatan kepegawaian setelah pekerja menunjukan kondite dan prestasi kerja yan lebih baik tanpa adanya pelanggaran, maka proses pendisiplinannya akan kembali dimulai lagi dari langkah pertama. Pelanggaran yang serius seperti pencurian dan perkelahian besar, tidak diselesaikan melalui sistem pendisiplinan progresif, seorang pekerja bisa saja langsung diberhentikan meskipun baru sekali melakukan perbuatan itu. Kebanyakan organisasi juga telah menggunakan penyuluhan atau konseling dalam kaitannya dengan pendisiplinan, malah pendekatan penyuluhan dilakukan dalam keseluruhan prosedur. Dalam pendekatan ini para pekerja yang melanggar diberi nasehat secara progresif dengan tidak diberikan hukuman. Fokus pendekatan penyuluhan adalah menghimpun fakta dan pembimbingan agar muncul perilaku yang diinginkan. Penekanannya lebih diarahkan pada apa yang harus dilakukan bukan pada apa yang jangan dilakukan, dengan harapan agar kehormatan pegawai dapat dipertahankan dan hubungan atasan-bawahan tetap koopratif dan konstruktif.
Baik disiplin preventif dan korektif keduanya penting, melalui disiplin preventif para pekerja didorong untuk mempertahankan disiplin dikalangan mereka sendiri, sementara disiplin korektif diterapkan apabila pekerja tidak memenuhi standar prestasi kerja yang diharapkan, yaitu berusaha memperbaiki para pekerja yang melanggar, mencegah yang lain agar tidak berbuat yang serupa serta dipertahankannya standar atau peraturan serta disiplin yang berlaku. Namun demikian, hubungan kekaryaan memiliki kewajiban dua arah, tidak hanya kewajiban organisasi terhadap individu saja, namun individu juga memiliki wewenang dan tanggung jawab kepada organisasi. Setiap pekerja memberikan kontribusi atas kehadirannya didalam organisasi dengan mengharapkan imbalan yang berharga dari organisasi. Sebaliknya, organisasi juga menginvestasikan sesuatu pada para pekerja, dimana organisasi pun mengharapkan imbalan yang menguntungkan dari kehadiran para pekerja. Maka transaksi sosial yang disebut dengan kekaryaan menimbulkan wewenang dan tanggung jawab timbal balik antara individu dengan organisasi. Dimana para pekerja mempertahankan hak atas keyakinan pribadi mereka masing-masing, meski tidak mendukung aktivitas melawan hukum atau aktivitas yang melanggar standar sosial atau hati nurani pekerja. Dalam hal ini apabila para pemimpin mengabaikan tuntutan internal organisasi dari para pekerja, maka para pekerja dapat mengekspose tindakan tidak benar para pemimpin organisasi  kepada pihak publik, sehingga diperoleh dukungan dari luar untuk menekan organisasi supaya penanggulangan terhadap permasalahn internal mereka segera dilakukan. Oleh karena itu kedua belah pihak seyogyanya memperoleh maslahat, karena melalui transaksi sosial diantara mereka akan menghasilkan nilai baru yang melebihi pengorbanan masing-masing.  
Last but not least, kembali kepada masing-masing peran kita di dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun publik, pemahaman berkenaan dengan aspek disiplin ini perlu mendapat perhatian yang luar biasa, hal ini mengingat kita tengah dilanda penggerusan sendi-sendi kedisiplinan hampir di segala sektor kegiatan ekonomi dan politik, serta sosio-budaya pada umumnya.
                                                                                                Jakarta, 21 Maret 2012
                                                                                                                        Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar