.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Senin, 27 Februari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Organisasi Inovatif


ORGANISASI INOVATIF

Dalam masyarakat modern dan dinamis tempat dimana suatu organisasi berada, pertanyaan tentang apakah perubahan organisasi perlu dilakukan menjadi tidak relevan lagi. Mungkin pertanyaan yang lebih relevan adalah bagaimana cara para manajer atau pemimpin mengatasi desakan perubahan yang tidak dapat dielakkan serta menghadang  aktivitas kerja mereka sehari-hari dalam upaya mempertahankan organisasi agar tetap aktif dan mutakhir. Meskipun perubahan merupakan suatu realitas, seorang pemimpin tentu tidak lagi dapat membiarkan perubahan terjadi sebagaimana apa adanya terutama apabila ia ingin membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang dianggap efektif. Dengan kata lain, mereka harus pandai menyusun strategi untuk merencanakan, mengarahkan, dan mengendalikan perubahan. Bagaimanapun perubahan merupakan cara pandang dan cara hidup yang diperlukan yang  mengiringi dan terjadi disekeliling kita dan senantiasa menawarkan berbagai pengalaman baru bagi setiap orang.
Organisasi dapat mencapai keseimbangan dalam struktur sosialnya jika ia dapat mengembangkan hubungan yang mapan dengan lingkungan, dalam hal ini para pekerja dapat menyesuaikan diri dengan keseimbangan yang terwujud. Sebaliknya, apabila timbul perubahan dalam organisasi maka para pekerja harus melakukan penyesuaian baru pada saat organisasi mencari keseimbangan baru, sebagai suatu siklus perubahan yang terus-menerus. Salah satu tugas pemimpin adalah memperhatikan  para pekerja yang terimbas oleh suatu perubahan, yaitu dengan memperbaiki dan menjaga keseimbangan kelompok serta menata dan menyesuaikan kembali pribadi-pribadi para pekerja yang merasa terganggu oleh terjadinya perubahan. Dalam prinsip homeostatis, untuk menjaga keseimbangan, suatu kelompok dapat memberikan respon yang dipandang terbaik apabila terjadi perubahan, setiap tekanan akan meimbulkan tekanan balik dari dalam kelompok. Oleh karena itu diperlukan mekanisme ketahanan “dari dalam”, yaitu menghimpun energi untuk memperbaiki keseimbangan apabila perubahan merupakan sumber ancaman. Karakteristik organisasi yang memiliki mekanisme memperbaiki diri sendiri ini disebut homeostatis, yaitu para pelaku di dalam organisasi bertindak untuk menciptakan keadaan dimana kebutuhan mereka tetap terpenuhi dan secara otomatis melindungi mereka dari gangguan terhadap keseimbangan itu.
Para pemimpin yang bermaksud melakukan perubahan dalam tim kerja atau organisasi perlu membekali dirinya dengan ketrampilan atau paling sedikit memiliki dua hal, yakni daya diagnosa dan kemampuan menerapkan perubahan. Yang dimaksud daya diagnosa adalah suatu kecakapan untuk mengajukan pertanyaan, sensasi atau kepekaan terhadap lingkungan organisasi, menetapkan metoda observasi dan pengumpulan data yang efektif serta menyusun cara mengolah dan menafsirkan data.
Dalam melakukan diagnosa, para pemimpin perlu mengetahui tentang apa yang aktual sedang terjadi sekarang, apa yang mungkin sedang terjadi, apa perubahan yang diinginkan oleh organisasi agar terjadi secara ideal, serta apa saja kendala yang menghambat gerak-laju dari keadaan aktual ke ideal. Untuk menerapkan perubahan para pemimpin harus mampu menerjemahkan data diagnosa kedalam tujuan dan rencana, strategi dan prosedur perubahan. Pertanyaan yang perlu diajukan dalam perubahan ini adalah, bagaimana melakukan perubahan dalam tim kerja atau organisasi serta bagaimana setiap individu sebagai komponen organisasi dapat menerima perubahan. Disamping itu, apa saja yang mendukung dan menghambat perubahan dalam lingkungan. Ketika kita melakukan diagnosa paling tidak ada tiga langkah yang harus dilakukan, pertama, mengidentifikasi sudut pandang, kedua, mengidentifikasi masalah, dan ketiga, melakukan analisis. Sebelum melakukan upaya diagnosa dalam organisasi, perlu ada kejelasan dari sudut pandang mana situasi akan diamati, apakah dari sudut pandang kita sendiri, atasan kita, rekan kerja kita, konsultan dari luar organisasi, atau sudut pandang lain. Idealnya sedapat mungkin kita mengkaji seluruh situasi dari sudut pandang banyak pihak yang  akan terkena oleh dampak perubahan itu. Meskipun adakalanya realitas menghambat perspektif luas seperti itu, sehingga perlu dipahami benar kerangka acuan yang kita pergunakan dari sejak awal. Melalui identifikasi masalah, adalah sejauh mana kita dapat mendeteksi kesenjangan antara apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang diinginkan untuk terjadi. Sebagaimana diketahui suatu perubahan dilakukan untuk memperkecil kesenjangan antara kenyataan (aktual) dengan apa yang diinginkan (ideal). Boleh jadi setelah dilakukan diagnosa, disadari bahwa keinginan kita selama ini tidak realistis yang karenanya perlu disepadankan dengan hal-hal yang sesungguhnya terjadi.
 Melalui analisis, apabila kesenjangan dapat diidentifikasi maka tujuan analisis adalah menentukan ihwal mengapa suatu masalah timbul. Tentu saja pemisahan antara identifikasi dan analisis masalah tidak selalu jelas, karena mengidentifikasi bidang-bidang kesenjangan seringkali merupakan pekerjaan menganalisis. Apabila kesenjangan telah dapat diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan variabel kausal atau variabel bebas yang dapat diubah oleh para pemimpin, apakah gaya kepemimpinan atau gaya manajemen, struktur organisasi, visi dan misi ataupun tujuan organisasi serta aspek lainnya.
Dalam menerapkan perubahan, perlu diidentifikasi alternatif pemecahan dan strategi penerapan yang tepat untuk mengurangi kesenjangan. Disamping itu perlu mengantisipasi konsekuensi yang akan muncul dari penerapan masing-masing strategi alternatif, yang pada akhirnya perlu memilih strategi spesifik yang cocok untuk diterapkan, berbarengan dengan penentuan alternatif pemecahan masalah. Sebelum kita menerapkan suatu strategi perubahan perlu juga ditentukan hal-hal apa saja yang perlu kita miliki (sebagai faktor pendukung) untuk melakukan upaya perubahan dan hal-hal apa yang merintanginya (sebagai faktor penghambat). Berdasarkan pengalaman, bahwa apabila pemimpin mulai menerapkan strategi perubahan tanpa melakukan langkah analisis terlebih dahulu, mereka dapat dihadapkan pada berbagai kesukaran tanpa mengetahui apa penyebabnya. Untuk memanfaatkan teknik analisis dalam menyusun strategi perubahan, ada beberapa pedoman yang dapat dipergunakan. Pertama, apabila kekuatan dan frekuensi faktor pendukung jauh melebihi bobot faktor penghambat dalam situasi perubahan, maka pemimpin dapat bergerak lebih jauh mengatasi faktor penghambat untuk mendorong terjadinya perubahan yang dikehendaki. Kedua, apabila terjadi keadaan sebaliknya dimana faktor penghambat jauh lebih kuat dari pada faktor pendukung. maka pemimpin akan dihadapkan kepada beberapa pilihan, yaitu menghentikan upaya perubahan dengan menyadari akan kesukarannya jika hal tersebut dipaksakan, atau mengubah setiap faktor penghambat satu demi satu menjadi faktor pendukung dengan tetap mempertahankan kekuatan faktor-faktor pendukung. Ketiga, apabila faktor pendukung dan faktor penghambat memiliki kekuatan yang sama, para pemimpin dapat lebih memperkuat faktor pendukung, sekaligus pada saat yang sama mengubah atau memperkecil kekuatan, baik sebagian atau seluruh faktor penghambat. Khusus dalam upaya mengubah faktor perilaku manusia dalam organisasi, terdapat gradasi tingkat kesulitan untuk melakukan perubahan. Apabila perilaku individual cukup sulit untuk diubah, maka akan jauh lebih sulit apabila kita berupaya hendak mengubah perilaku suatu tim kerja atau organisasi.
Terhadap perubahan perilaku manusia ini kita dapat membaginya kedalam empat tingkat perubahan, yaitu perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku individual dan perubahan prestasi tim kerja atau organisasi. Perubahan pengetahuan sebagai aspek kognitif mungkin lebih mudah dilakukan, cukup dengan meminta membaca buku, artikel, atau kolom ataupun dengan mendengar ceramah dari para pakar yang mereka percayai. Adapun struktur sikap berbeda dengan struktur pengetahuan, dimana dalam struktur sikap telah melibatkan evaluasi emosional dari individu untuk memberikan penilaian positif atau negatif yang stereotipe terhadap suatu hal. Bertambahnya kedalaman emosi seringkali lebih menyulitkan untuk melakukan perubahan sikap dibandingkan dengan mengubah pengetahuan seseorang, disebabkan telah terbentuknya predisposisi rasa suka dan tidak suka terhadap sesuatu hal. Begitu pula untuk mengubah perilaku seseorang akan memerlukan tingkat kesukaran dan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apabila kita mengubah sikap dan pengetahuan seseorang. Jika perilaku individual sulit untuk diubah, maka upaya akan jauh lebih sulit apabila perubahan hendak dilakukan terhadap perilaku tim kerja atau organisasi. Mengubah gaya kepemimpinan satu atau dua orang manajer atasan mungkin akan berjalan efektif, namun ambisi mengubah partisipasi manajer bawahan secara drastis merupakan proses yang dapat menyita banyak waktu. Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa pada dasarnya kita tengah mengubah kebiasaan, adat istiadat, dan tradisi yang telah berkembang sekian lama.
Namun demikian dengan menyadari hal tersebut, perubahan tetap bisa dilakukan dengan mengkaji dua daur perubahan yang berbeda. Pertama, daur perubahan partisipatif, dengan asumsi apabila telah tersedia pengetahuan yang kondusif dari tim kerja atau organisasi untuk menerima perubahan, maka sikap dan sinerjitas positif dapat diarahkan terhadap perubahan yang diinginkan. Strategi yang efektif adalah dengan melibatkan setiap individu, tim kerja atau organisasi secara langsung dalam upaya membantu atau memilih dan melembagakan metoda-metoda baru dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan dan  ikut serta dalam memecahkan permasalahan. Strategi lain yang efekif adalah mengidentifikasi beberapa pemimpin informal dan formal yang memiliki pengaruh di dalam tim kerja atau organisasi yang mudah memperoleh dukungan dari bawahan untuk terlaksananya perubahan yang diinginkan. Dengan demikian daur perubahan partisipatif biasanya mengikuti alur yang dimulai dari perubahan pengetahuan, sikap, perilaku individual, tim kerja atau organisasi. Yang kedua adalah daur perubahan direktif, yang mana daur perubahan ini dimulai dengan perubahan yang dilakukan terhadap organisasi secara keseluruhan oleh kekuatan atau faktor eksternal, seperti otoritas kekuasaan pemimpin yang lebih tinggi, kekuatan tuntutan masyarakat dan peraturan perundang-undangan baru. Proses perubahan seperti ini cenderung berlangsung melalui saling pengaruh antara jaringan interaksi pada tingkat individual. Hubungan dan pola perilaku ini menciptakan pengetahuan baru yang membentuk predisposisi sikap untuk mendukung atau resistensi terhadap perubahan tersebut. Daur perubahan yang berlangsung dalam konteks ini berjalan sebaliknya dari perubahan partisipatif, disebabkan karena adanya kewenangan otoritas kekuasaan, maka sentuhan perubahan dapat dimulai dari perilaku organisasi atau tim kerja, individual, sikap,  dan pengetahuan.
Tentu saja tidak ada strategi terbaik untuk menerapkan suatu perubahan, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mengadaptasikan strategi dengan tuntutan masing-masing. Daur perubahan pertisipatif bukanlah perubahan yang lebih baik dari daur perubahan direktif dan begitu juga sebaliknya. Strategi yang tepat bergantung kepada situasi atau kondisi dimana masing-masing strategi memilki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Daur perubahan partisipatif lebih sesuai diterapkan terhadap para pekerja atau tim kerja yang termotivasi untuk berprestasi, bersedia mencari wewenang dan tanggung jawab lebih besar, serta memiliki kemampuan dan pengalaman yang cukup untuk mengembangkan cara-cara baru dalam melaksanakan tugas. Apabila perubahan dimulai maka pekerja tipe ini jauh lebih mampu untuk memikul wewenang dan tanggung jawab dalam melaksanakan perubahan yang diinginkan, mereka mampu memotivasi diri sendiri dan aktif berkonsultasi dalam keseluruhan proses perubahan tersebut.
 Adapun perubahan direktif mungkin akan lebih tepat dan produktif apabila diterapkan terhadap para pekerja atau tim kerja yang kurang ambisius, yaitu mereka yang selalu bergantung kepada orang lain dan menghindari wewenang dan tanggung jawab baru, kecuali apabila mereka terpaksa melakukannya. Para pekerja tipe ini mungkin lebih menyukai instruksi atau arahan serta komando dari pemimpin mereka disebabkan mereka belum cukup berpengalaman dalam pengambilan keputusan yang diperlukan. Sekali lagi perlu diingatkan bahwa dalam hal ini diagnosa sangatlah penting. Strategi perubahan partisipatif tidak dapat diterapkan terhadap para pekerja yang tidak pernah diberikan kesempatan memikul suatu wewenang dan tanggung jawab, dan sudah terbiasa dengan arahan dari atasan. Demikan juga sebaliknya suatu tugas tidak dapat dipaksakan terhadap para pekerja yang telah siap dan bersedia melakukan perubahan dan memikul wewenang dan tanggung jawab. Daur perubahan partisipatif cenderung efektif jika diterapkan oleh para pemimpin yang memiliki kuasa pribadi, yaitu mereka yang memiliki basis kuasa prestasi, informasi dan keahlian. Sedangkan daur perubahan direktif memerlukan seorang pemimpin dengan kuasa posisi yang signifikan dengan basis kuasa paksaan, koneksi, ganjaran dan legitimasi. Dalam hal ini apabila pemimpin ingin melakukan perubahan yang otokratis, maka harus memperoleh dukungan yang kuat dan legitim dari atasan dan sumber kuasa lainnya. Perubahan melalui daur partisipatif lebih bermanfaat apabila ide perubahan diterima secara menyeluruh, maka hal itu cenderung akan bertahan dalam waktu yang lama, mengingat semua pekerja telah dilibatkan dalam perencanaan perubahan sehingga mereka harus berwenang dan bertanggung jawab untuk mempertahankannya.
 Kelemahan strategi partisipatif adalah cenderung lamban dan evolusioner untuk terjadinya perubahan yang signifikan. Sebaliknya melalui strategi perubahan direktif, dengan menggunakan kekuasaan, perubahan dapat berlangsung cepat namun hanya dapat dipertahankan selama pemimpin yang berkuasa memiliki kuasa posisi untuk membuat perubahan itu tetap tegak. Dalam kasus ekstrim, strategi ini cenderung rawan, karena sering mengakibatkan sikap apatis, permusuhan, dan perilaku merusak untuk menjatuhkan seorang pemimpin yang tidak disukai. Dengan demikian, menggabungkan kedua strategi tersebut secara tepat akan menghasilkan tingkat perubahan yang diinginkan sesuai dengan tujuan perubahan organisasi. Pada akhirnya, kita perlu menghilangkan rintangan-rintangan yang resisten terhadap suatu perubahan, dan membuka ruang organisasi kita terhadap kreativitas individu. Hanya dengan melakukan itu semua, yang memungkinkan kita mengubah suatu organisasi menjadi inovatif. Organisasi inovatif yang kita impikan baru dapat terwujud, jika adanya kemauan keras dari semua kalangan stakeholder, baik internal dan eksternal, yang aktif maupun pasif.

                                                                                                Jakarta, 28 Februari 2012
                                                                                                            Faisal Afiff

Selasa, 21 Februari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Manajemen Berbasis Kompetensi


MANAJEMEN BERBASIS KOMPETENSI

Belakangan ini kata manajemen menjadi kata yang sedemikian populer diperbincangkan di mana-mana, mulai di ruang perkuliahan, forum seminar, media masa, forum bisnis, dan bahkan di sidang kabinet hingga percakapan di teras-teras kafe.
Demam mengenai topik manajemen, baik sebagai bahan diskusi formal atau sekedar snobisme pribadi tengah melanda kehidupan kita. Dari hari ke hari, semua kalangan di Indonesia mulai terbiasa membicarakan manajemen dengan masing-masing pemaknaannya, walaupun disadari ataupun tidak, mis-manajemen masih tetap merebak dimana-mana. Sebagai ilustrasi, mendiang Peter Drucker  pernah melontarkan keluhan dirinya mengenai keganjilan dan kegagalan manajemen yang ditemuinya diberbagai negara dikarenakan para manajer tidak bertindak, berfikir, dan memahami manajemen sebagaimana yang semestinya.
Berbeda halnya, bagi kalangan yang lebih terdidik, manajemen lazimnya akan cenderung dipersepsikan dan diasosiasikan dengan kepemimpinan. Respon seperti ini tentu saja wajar, karena pada dasarnya kepemimpinan merupakan materi bahasan yang acap kali menyita porsi terbesar dari setiap ulasan yang menyangkut aspek manajemen.
Disamping itu, akan terungkap pula nuansa lain, yang juga cukup menarik untuk direnungkan ketika kita tengah memperbincangkan manajemen, yakni pada sisi kontroversialnya. Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah manajemen itu sudah patut disebut sebagai sebuah ilmu, atau lebih praktis jika diberi predikat sebagai sebuah seni, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Diskusi dan perdebatan pemikiran yang demikian, sesungguhnya telah berlangsung di belahan dunia barat sejak berpuluh-puluh tahun lampau, dan hingga detik ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, walaupun sudah begitu banyak buku dan jurnal manajemen diterbitkan.
Awal dari diskusi dan perdebatan tadi sesungguhnya bersumber dari pertanyaan filosofis yang berakar pada dimensi kepemimpinan sebagai salah satu bagian terpenting dari manajemen. Apakah deskripsi akademis maupun praktis tentang kepemimpinan itu sudah layak dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan ataukah untuk sementara waktu ini lebih proporsional jika diberi predikat sebagai seni keterampilan?. Dalam hal ini masih tersirat adanya keraguan para pakar dan praktisi manajemen untuk memutuskan silang pendapat tersebut agar terumuskan aksiomatik baku mengenai aspek kepemimpinan.
Terdapat anggapan dari sebagian kalangan pakar dan praktisi manajemen, bahwa faktor determinan seseorang agar dapat diprediksikan memiliki kapasitas pribadi untuk memimpin, jika telah melekat setumpuk bakat bawaan pada dirinya sejak lahir. Pada sisi lain, terbuka suatu anggapan, bahwa munculnya kemampuan untuk memimpin, terutama lebih ditentukan oleh faktor keuletan individu dalam meraih berbagai pendidikan, pelatihan serta pengalaman memimpin secara bertahap dan berkesinambungan akan menempa karakter dirinya sendiri untuk menjadi seorang pemimpin.
Berbagai upaya merenungkan dan mencari jawaban dari pertanyaan filosofis-kontroversial, mau tidak mau akan menggiring kita untuk meneropong dimensi manajemen dan kepemimpinan yang lebih kompleks, yakni sumber daya manusia .
Secara historis, pemahaman terhadap sumber daya manusia itu sendiri, yang secara spesifik berkaitan dengan kajian perilaku organisasi dan yang secara keseluruhan berada pada ruang lingkup perilaku manusia, kesemuanya adalah merupakan faktor penentu yang memegang peranan kunci bagi keberhasilan pengejawantahan manajemen dan kepemimpinan dalam suatu sistem keorganisasian terpadu untuk meraih tujuan tertentu.
Oleh karenanya, wajarlah jika dari waktu ke waktu terdengar keluhan dan kesulitan dari banyak kalangan terdidik dalam bidang manajemen untuk mencoba menerapkan pengetahuan teoritikalnya, sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari di bangku kuliah yang bersumber dari berbagai kepustakaan barat. Bahkan tidak jarang dijumpai dampak yang kontra-produktif ketika mereka mencoba menerapkan kaidah-kaidah manajemen yang bersifat altruistik dan  profesional diberbagai tingkatan organisasi.
Berdasarkan berbagai pengalaman maupun kontemplasi pribadi di kancah dunia manajemen, baik yang berkaitan dengan aspek strategikal maupun aspek taktikal operasional, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa keberhasilan manajerial tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan teori manajemen melulu yang bersifat rasional, namun perlu juga dibarengi seni keterampilan memimpin yang mengandalkan pada ketajaman intuitif-emosional dan politis-situasional.
Hal ini berarti kegigihan kita semua, untuk mendalami ilmu pengetahuan manajemen secara akademik yang mumpuni, tentunya bukanlah sesuatu yang sia-sia dan tanpa arti belaka. Namun demikian, patut pula diingat kembali, bahwa hal itu tidak mungkin menjamin adanya pemahaman yang utuh mengenai dinamika manajemen pada sebuah organisasi yang kita pimpin di Indonesia, dengan sumber daya manusianya yang sejak awal sudah terbiasa dengan  kaidah moral ketimuran dan latar belakang identitas budaya etnikal pada masing-masing daerah yang khas dan unik.
Perlu kita sadari bersama, bahwa berbicara mengenai sumber daya manusia selaku manajer di berbagai organisasi, khususnya di belahan timur seperti di Indonesia, baik pada posisi dirinya selaku pekerja, rekan kerja, pemimpin kerja maupun anggota keluarga, seringkali perilaku dan motivasi kerja mereka tidak selalu bergerak mengikuti pola pikir linier-mekanistis, dan juga tidak semata-mata ditentukan oleh kompensasi yang bersifat material-finansial sejalan dengan kaidah-kaidah manajemen nalar-rasional pada umumnya. Namun sangat dipengaruhi pula oleh pola hubungan-humanis dan sistem kompensasi yang memperhatikan sisi lain kemanusiaan yang bersifat immaterial-afeksional, seperti penghargaan, jenjang karir, pujian dan suasana kerja yang hirarkis-struktural.
Dengan adanya aspek kultural-empiris demikian, kita semua menyadari bahwa di dalam menerapkan kaidah-kaidah manajemen yang bersifat nalar-rasional, disamping perlu dibekali kompetensi, perlu juga diimbangi dengan keberaniaan berimprovisasi, sebagaimana batasan dasar manajemen yang seringkali diungkapkan sebagai berikut: “Management is getting things done through and with other people”; yang menegaskan bahwa menjalin ketrampilan hubungan antar manusia menduduki peran yang teramat penting, disamping ketrampilan konseptual maupun teknikal.
Sekali lagi, sebagaimana diketahui bersama, bahwa baik secara teoritikal keilmuan maupun seni praktikal, manajemen tidak pernah menawarkan sebuah langkah solutif universal untuk memecahkan berbagai permasalahan organisasi dalam upaya mencapai tujuannya. Sejalan dengan hal ini perlu disadari, dinamika lingkungan organisasi akan sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan manajerial, lebih-lebih di dalam keputusan yang memiliki muatan strategikal.
Oleh karenanya, kondisi demikian memberikan implikasi bagi kita, bahwa penerapan manajemen yang efektif senantiasa bersifat situasional-kondisional, termasuk pula di dalamnya seting lingkungan keorganisasian dimana sumberdaya manusia berkiprah. Dengan demikian, pembahasan mengenai kompleksitas organisasi yang terkait di dalamnya, yaitu aspek keberagaman sumber daya manusia, meliputi antara lain tingkat pendapatan, latar belakang budaya, agama, etnis, dan gender, belakangan ini telah menjadi perbincangan yang hangat di kalangan manajer menengah atas.
Disamping itu, arus globalisasi yang merebak ke seluruh penjuru dunia sejak dekade 1980-an, dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesatnya, telah pula merubah kompleksitas dan dinamika lingkungan, yang mendorong semakin meningkatnya besaran intensitas persaingan antar organisasi, sejalan dengan tumbuhnya kesadaran baru di kalangan manajemen perihal pentingnya aspek kompetensi manajerial. Bahkan keunggulan bersaing tradisional yang dimiliki suatu negara, seperti biaya tenaga kerja, dimana modal dan bahan baku tidak akan efektif lagi untuk terus menerus dipertahankan, mengingat manfaat ataupun nilai tambah yang diciptakan oleh keunggulan tersebut belakangan ini sudah dapat disubstitusikan melalui strategi outsourcing global. Oleh karenanya, muncullah keyakinan dan kebulatan tekad, bahwa di tengah-tengah situasi pasar yang sangat kompetitif pada abad ke 21 ini, penerapan manajemen yang berbasis kompetensi merupakan hal yang bersifat conditie sini qua non bagi suatu organisasi yang berambisi menciptakan keunggulan bersaing secara berkelanjutan, baik yang ingin diraihnya melalui strategi kepeloporan biaya, diferensiasi, maupun fokus.
Berbicara mengenai aspek kompetensi, sesungguhnya hal ini bukanlah merupakan konsep baru, bahkan hal ini sudah ada sejak tahun 1970-an di Amerika Serikat. Namun demikian, untuk lebih memahami kompetensi ini, ada baiknya jika kita terlebih dahulu memilah pengertian sumberdaya dan kapabilitas selaku determinan penting kompetensi pada suatu organisasi.
Sumberdaya itu sendiri sesungguhnya merupakan input produktif dalam proses manajemen dimana ketersediaan, kualitas, kebaruan dan nilai sinergitasnya akan mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu organisasi. Sebagaimana yang telah kita ketahui, hal ini dapat dibedakan ke dalam aktiva nyata, yakni yang merupakan keseluruhan alat-alat fisik yang digunakan suatu organisasi dalam menyuguhkan nilai tambah bagi pelanggannya; dan aktiva tidak nyata, yakni yang merupakan sekumpulan aktiva yang pada dasarnya tidak dapat diraba atau dilihat oleh indera mata, seperti halnya merek produk yang dikenal dan terpercaya. Juga halnya reputasi organisasi yang baik, pekerja yang kreatif dan berpengalaman, serta kesatuan budaya organisasi yang telah dihayati secara utuh.
Berbicara mengenai kompetensi, maka sumberdaya manusia memainkan peranan yang substansial dan esensial, dikarenakan di satu sisi merupakan human capital dan active agent bagi pengembangan suatu organisasi, dan di sisi lain merupakan faktor determinan kapabilitas yang merupakan sekumpulan keahlian dan keterampilan didalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan serangkaian sumber daya yang ada dalam suatu sistem keorganisasian, sehingga melahirkan serangkaian kompetensi yang kemudian secara sinerjik akan membentuk kompetensi inti atau sering diistilahkan pula sebagai kompetensi distingtif, yakni serangkaian kekuatan unik yang memungkinkan suatu organisasi meraih tingkat efisiensi, kualitas, inovasi, atau pun tanggapan pelanggan; yang kesemuanya mampu menciptakan nilai superior dan keunggulan bersaing.
Dalam konteks manajemen pada umumnya, belakangan ini kompetensi merupakan suatu kajian yang sangat menarik dan diminati para ilmuwan dan praktisi untuk mendiskusikan secara intens di berbagai seminar dan forum-forum ilmiah. Meskipun mereka telah bersepakat mendeskripsikan kompetensi sebagai sekumpulan kompleksitas unsur-unsur produktif serta keahlian dan keterampilan, yang mana suatu organisasi - baik yang bermotifkan laba atau nirlaba - dapat memposisikan dirinya berbeda dari pesaingnya; namun dalam bahasa sederhana kata kompetensi sering disimbolkan dengan: ”the ability to perform.”
Ketersediaan dukungan, disiplin, komitmen serta kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri, kesemuanya akan mampu melahirkan kinerja organisasi dalam upayanya menciptakan kompetensi-kompetensi baru secara berkelanjutan. Dengan demikian, kemampuan organisasi untuk terus menerus belajar dan berubah pada gilirannya akan mampu mengasah kompetensi inti yang dimilikinya. Dalam konteks ini, secara ilustratif dan konseptual kompetensi dapat dikonfigurasikan ke dalam unsur-unsurnya yang bersifat dinamis, sistematis, kognitif dan holistik. Pemahaman dan penghayatan yang mendalam terhadap keempat unsur tersebut akan memicu dan memacu manajemen untuk senantiasa menciptakan dan sekaligus secara sistematik menumbuh-kembangkan kapabilitas dan fleksibilitas serta meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi (KISS) berbagai sumberdaya yang dimiliki suatu organisasi hingga merupakan suatu kesatuan dinamis dan mengalir dimana komponen-komponen dan unsur-unsurnya tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Tentunya, keempat unsur tersebut di atas, akan membingkai organisasi pada terbentuknya logika stratejik sebagai arahan manajemen berbasis kompetensi dalam mengidentifikasi, mengendalikan dan memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya. Khususnya yang berkenaan dengan strategi pengembangan sumberdaya manusia, maka hal ini secara langsung akan terkait dengan karakteristik kompetensi, baik yang kasat mata, seperti halnya ketrampilan teknikal; dan yang bersifat lebih tersembunyi, seperti: konsep diri; sifat, dan juga motif.
Tentunya, kesadaran terhadap komitmen untuk terus melanggengkan kompetensi-kompetensi baru secara konsisten, akan mengarah pada terbentuknya keunggulan bersaing organisasi yang berkelanjutan. Jika perpaduan antara sumberdaya dan kapabilitas mampu memenuhi keempat kriteria, yakni bernilai tinggi, langka, membutuhkan biaya yang relatif besar untuk menirunya dan terorganisir dengan baik. Organisasi yang telah maju terus mengembangkan pelbagai program kompensasi yang lebih komprehensif untuk mendorong komitmen para pekerja meningkatkan kompetensinya, dengan memperlakukan  mereka sebagai mitra dalam bisnis, diantaranya dengan menyusun suatu rencana imbalan dengan menawarkan berbagai besaran upah diatas rata-rata yang dikombinasikan dengan insentif dan tunjangan ekstensif. Dalam hal ini, termasuk juga memberikan bagian laba di saat organisasi bisnis mengalami lonjakan pendapatan dan “berbagi rasa” pada saat mereka mengalami tahun-tahun penurunan pendapatan. Disamping itu memberikan suatu paket tunjangan guna memperjelas bahwa para pekerja dipandang sebagai investasi jangka panjang. Bentuk pembayaran upah yang langsung, yakni gaji, insentif, komisi  dan bonus; sementara yang tidak langsung adalah bentuk tunjangan, seperti asuransi, perawatan dan masa cuti. Upah berbasis kompetensi akan diberikan dengan berpegang pada kisaran, kedalaman, dan jenis ketrampilan serta pengetahuan yang mampu ditunjukkan melampaui jabatan yang diembannya. Tentu dalam hal ini, perlu dibedakan antara upah berdasarkan kompetensi  dan upah berdasarkan jabatan. Khusus untuk upah berdasarkan kompetensi para pekerja diberi sertifikat  kompeten dalam bidang pekerjaan yang dituntut oleh jabatannya.
Berpijak pada kriteria di atas, maka posisi tawar suatu organisasi yang didukung oleh kompetensi yang bernilai superior tentunya akan mampu menerobos peluang dan sekaligus mengelak dari ancaman yang dihadapi, apalagi dengan didukung oleh penguasaan kompetensi yang langka, akan diperlukan pengorbanan yang relatif besar supaya dapat terhindar dari suasana intimidatif, serta terorganisir secara prima, yang mana kesemuanya ini akan mewujudkan keunggulan bersaing dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan.
Last but not least, dalam memasuki era Indonesia baru, yang dicirikan tidak hanya oleh kepentingan dan tuntutan nasional atau lokal semata, namun juga tuntutan internasional atau global;  agar diperoleh kemampuan bersaing yang berkesinambungan, maka organisasi bisnis perlu dibekali manajemen berbasis kompetensi, tanpa mengabaikan terpenuhinya ketiga karakteristik dasar, yakni mampu melahirkan nilai superior bagi si pelanggan, terbedakan secara jelas dan unik dari para pesaingnya, serta dimilikinya potensi untuk terus ditumbuhkembangkan.
                                                 
Jakarta, 22 Februari 2012
           Faisal Afiff

                                                                                                

Rabu, 15 Februari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I/ 2012: Manajemen Situasional


MANAJEMEN SITUASIONAL

Walaupun suatu organisasi bisnis telah memiliki seperangkat instrumen untuk mengendalikan perilaku sumber daya manusia di dalamnya - baik antara lain melalui deskripsi tugas (wewenang dan tanggung jawab), analisis dan spesifikasi tugas, SOP, sistem imbalan maupun tunjangan lainnya - namun tidak serta merta perilaku tersebut akan mengarah pada tujuan yang diharapkan, baik dalam pencapaian produktivitas maupun kinerja. Sudah sejak lama para pakar maupun praktisi manajemen tertarik pada teori hirarki kebutuhan yang diajukan oleh Abraham Maslow, yang dalam klasifikasi lebih sederhana dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu  kebutuhan tingkat rendah dan kebutuhan tingkat tinggi. Kebutuhan pertama lazim disebut sebagai kebutuhan untuk kelangsungan hidup (pangan, sandang, papan dan seks), rasa aman dan keterjaminan. Sementara kebutuhan kedua lazim dibagi lagi menjadi tiga aspek, yaitu kebutuhan rasa memiliki dan sosial, penghargaan dan status, serta aktualisasi diri. Dalam memenuhi kebutuhan tingkat tinggi pada aspek pertama, maka sebagian dari kebutuhan tersebut dapat diperoleh dalam lingkup pekerjaan dan sebagian lagi dapat dipenuhi diluar lingkup pekerjaan. Adapun yang berkenaan dengan aspek kedua, yaitu kebutuhan akan penghargaan dan status, hal ini merupakan harapan manusia untuk mendapat pengakuan akan harkatnya sebagai insan manusia sekaligus penghargaan akan status sosialnya. Adapun yang berkenaan dengan aspek ke tiga, yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan manusia untuk mewujudkan segala kemampuan dan potensi dirinya menjadi suatu kenyataan  guna mencapai kepuasan.
Dewasa ini organisasi bisnis terus menyesuaikan model dan cara beroperasi mereka untuk menerima kenyataan bahwa aspek-aspek kebutuhan tersebut perlu diakomodir kedalam struktur organisasi. Organisasi tidak lagi hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan tingkat rendah saja tetapi sekaligus juga perlu memperhatikan kebutuhan tingkat tinggi manusia. Meskipun demikian teori Abraham Maslow tidak kebal dari sejumlah kritikan, diantaranya adalah bahwa kebutuhan yang sudah terpenuhi belum tentu lebih memotivasi dibandingkan dengan kebutuhan yang belum terpenuhi. Sebagian para kritikus mengatakan, para pekerja jauh lebih termotivasi oleh hal-hal yang ingin mereka miliki ketimbang oleh hal-hal yang telah mereka peroleh. Mungkin saja para pekerja mempertahankan hal-hal yang telah mereka peroleh, namun mereka akan lebih antusias untuk mendapatkan sesuatu yang belum mereka miliki. walaupun demikian, harus diakui Abraham Maslow telah menyadarkan pentingnya pengetahuan perihal berbagai aspek kebutuhan manusia yang dapat mempengaruhi prestasi dan kepuasan kerja. Meski informasi lain menunjukkan bahwa kebutuhan manusia tidak selalu mengikuti alur hirarki yang ada, bisa saja seseorang dengan rasa aman yang belum terpenuhi tidak selalu berusaha mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Dalam rangka penyesuaian struktur organisasi dengan aspek-aspek kebutuhan manusia didalam lingkup kerja, maka model perilaku organisasi dapat terus dikembangkan dalam rangka pengembangan pengetahuan dibidang manajemen. Model yang dianut biasanya mengikuti asumsi tertentu tentang manusia dalam kaitannya dengan situasi dimana mereka hidup dan bekerja. Keempat model berikut ini paling tidak mewakili evolusi sejarah praktek manajemen selama seratus tahun terakhir, yang dialektikanya secara alami mengikuti pola-pikir alur hirarki kebutuhan yang diasumsikan Abraham Maslow. Evolusi tersebut tergambarkan didalam model perilaku organisasi yang secara umum dikenal sebagai: model otokratis, model kustodial, model suportif, dan model kolegial. Model otokratis merupakan model yang sangat berakar didalam sejarah praktek keorganisasian. Dalam model otokratis ini orientasi pekerja tentunya lebih patuh kepada sang bos, bukan kepada manajer sebagai pemangku jabatan hirarkis-fungsional. Dampak psikologisnya para pekerja lebih bergantung kepada atasan, karena kekuasaan yang dimilikinya untuk mengangkat, memberhentikan, memindahkan dan memerintah adalah merupakan hal yang mutlak dari kekuasaan yang dimiliki sang bos. Meski model ini kurang manusiawi, namun melalui adanya kepatuhan para pekerja terhadap atasannya, fakta menunjukkan bahwa telah berhasil dibangun fasilitas jaringan jalan kereta api yang luas, pengoperasian pabrik-pabrik baja raksasa dan tak kalah penting terbangunnya peradaban industri yang berkembang dan dinamis di Amerika Serikat. Meski model ini telah membuahkan hasil yang fenomenal, namun kelemahannya adalah telah terjadi biaya sosial yang tidak sedikit, antara lain para pekerja sering dibebani rasa tidak aman, perilaku frustrasi dan agresi, dengan melontarakan kekesalan mereka kepada keluarga dan tetangga, akibat tidak dapat melampiaskan perasaan itu secara langsung kepada atasan mereka. Pendekatan kedua adalah model kustodial yang bertumpu pada pendekatan sumberdaya ekonomi. Orientasi manajemen dalam pendekatan ini terletak pada faktor  uang sebagai alat untuk membayar upah dan tunjangan. Karena kebutuhan fisik para pekerja telah terpenuhi, maka para atasan merasa perlu untuk beralih ke pemenuhan kebutuhan rasa aman sebagai kekuatan memotivasi. Melalui pendekatan kustodial  ini kebergantungan para pekerja beralih dari otoritas kekuasaan atasan ke sistem keorganisasian, sehingga tidak lagi berharap kepada atasan mereka untuk memperoleh imbalan. Organisasilah yang menyediakan jaminan dan kesejahteraan. Para pekerja dalam lingkungan kustodial secara psikologis tentunya semakin asik dengan imbalan dan maslahat ekonomi yang mereka peroleh. Hasil dari pendekatan ini para pekerja memang terbina dengan baik, merasa gembira dan puas namun  bekerja tidak dengan motivasi  tinggi, mereka bekerja cukup hanya dengan kerja sama secara pasif saja. Maslahat utamanya, model kustodial menimbulkan rasa aman dan kepuasan bagi para pekerja, namun mereka umumnnya kurang termotivasi, atau tidak berusaha keras untuk berkembang mencapai kemampuan yang lebih baik yang dapat mereka lakukan. Pendekatan yang ketiga adalah model suportif, dimana model ini lebih bergantung pada aspek kepemimpinan ketimbang kepada kekuasaan atau uang. Melalui kepemimpinan, para manajer berusaha menciptakan iklim untuk membantu para pekerja agar dapat tumbuh dan mencapai hal-hal yang dapat mereka lakukan bagi kepentingan organisasi. Pemimpim berasumsi bahwa pekerja pada hakikatnya tidak pasif atau sengaja mengabaikan kebutuhan organisasi, adapun jika mereka bersikap agak negatif terhadap kebutuhan organisasi, lebih  dikarenakan  iklim kerja yang tidak cukup mendukung dan kondusif. Pada dasarnya mereka mau melaksanakan tugas, memberi kontribusi, dan meningkatkan kemampuan diri sendiri apabila kesempatan disediakan oleh atasan kerja mereka. Melalui model suportif ini manajer dapat mendukung prestasi kerja bawahan,  tidak hanya melalui upah dan tunjangan semata sebagaimana terdapat dalam pendekatan kustodial. Oleh karena itu dampak psikologis yang timbul  adalah munculnya perasaan keikutsertaan dan keterlibatan tugas dalam organisasi. Para pekerja jauh lebih termotivasi diakibatkan oleh terpenuhinya kebutuhan akan status dan pengakuan dari organisasi yang memunculkan kesadaran untuk bekerja secara produktif. Pendekatan ini bergantung pada gaya kepemimpinan ditempat kerja, yaitu bagaimana cara atasan berhubungan dengan bawahan atau mitra kerja. Dalam hal ini sejauh mana para manajer dapat membantu para pekerja dalam menanggulangi masalah dan penyelesaian pekerjaan. Sebuah survei di Amerika Serikat terhadap para manajer menengah melaporkan, bahwa 90% mereka setuju terhadap gagasan pokok pendekatan suportif dalam mengelola perilaku organisasi. Model suportif cenderung lebih efektif diterapkan di negara-negara berkembang yang telah mulai menerapkan  teknologi canggih ketimbang di negara-negara yang kurang berkembang, dan hal ini dikarenakan adanya perbedaan kebutuhan dan kondisi sosial yang berbeda di masing-masing negara tersebut. Adapun model keempat, yaitu pendekatan model kolegial lebih mendasarkan pada sebuah “konsep tim-kerja”  yang lebih terasa manfaatnya  dalam situasi kerja tertentu, seperti pada kegiatan litbang  dan dunia perkuliahan di  perguruan tinggi. Peran atasan dipandang lebih setara sebagai pekerja, rekan kerja, dan pemimpin kerja ketimbang sebagai seorang pemberi perintah kerja atau selaku bos. Maka fungsi atasan disini adalah pendamping yang membentuk tim kerja solid serta melakukan pembagian kerja, dengan demikian mereka bekerja atas dasar dorongan kewajiban dari dalam diri sendiri untuk mempersembahkan kualitas pekerjaan yang terbaik bagi orang lain, apakah hal itu diawasi atau tidak. Para pekerja terdorong oleh kewajiban untuk memenuhi standar kualitas kerja yang akan menimbulkan penghargaan bagi pekerjaan dan organisasi mereka. Dampak psikologis yang dihasilkan melalui pendekatan kolegial adalah terbentuknya “disiplin diri” dari para pekerja. Para pekerja menertibkan diri mereka sendiri untuk berprestasi dalam suatu tim-kerja, seperti yang dilakukan oleh para pemain sepak bola yang berusaha mematuhi standar pelatihan dan aturan permainan. Maka dalam lingkungan situasi kerja ini, para pekerja biasanya merasakan adanya pemenuhan kebutuhan, kontribusi, penghargaan, dan perwujudan diri (self actualization). Agaknya evolusi sejarah praktek-praktek manajemen tersebut secara substansial ternyata  berlangsung mengikuti pola tahapan alur hirarki kebutuhan teori Maslow. Tentu saja kita tidak boleh apriori bahwa model tertentu merupakan yang terbaik dalam jangka panjang. Dengan perkataan lain tidak ada model yang secara permanen merupakan model terbaik. Sedangkan yang terbaik adalah pengetahuan dan pemahaman seorang pemimpin secara aktual terhadap perilaku manusia dalam lingkungan yang bersangkuan dimana mereka bekerja. Maka yang terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi model yang diterapkan dengan kesungguhan, yang kemudian dilakukan penilaian  dan mengukur  keefektivannya. Dalam hal ini para manajer tentunya memilik dua tugas pokok, pertama mengidentifikasi seperangkat nilai baru pada saat model dikembangkan, yang kedua adalah mempelajari dan menerapkan keterampilan perilaku yang konsisten dengan nilai-nlai tersebut. Dalam era kemajuan pesat di bidang ICT dan sistem informasi manajemen, khususnya bagi para manajer tingkat atasan dalam suatu organisasi raksasa yang rumit, tidak mungkin lagi mereka dapat bertindak secara otokratis dalam artian tradisional untuk mencapai kinerja prima. Masalahnya para manajer tidak mungkin lagi mengetahui seluruh hal dan proses yang terjadi didalam organisasinya. Keempat model ini mungkin masih dapat dimanfaatkan sesuai dengan tuntutan  situasi  kontijensial, namun disaat kemajuan pengetahuan ilmu manajemen terus meningkat dan berkembang maka penerapan model yang lebih mutakhir akan lebih banyak dipergunakan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Fiedler, “tampaknya akan lebih memenuhi harapan apabila kita senantiasa belajar mengetahui situasi dimana kita dapat menunjukkan prestasi terbaik, yaitu dengan memodifikasi situasi untuk menyesuaikan gaya kepemimpinan kita”. Oleh karena itu Fiedler tertarik untuk mengembangkan falsafah perekayasaan organisasi (organizational engineering) didalam manajemen, dengan prinsip “lebih mudah mengubah lingkungan kerja seseorang ketimbang mengubah kepribadian atau gaya seseorang dalam berhubungan dengan orang lain”. Menurut hemat penulis perubahan kedua arah perlu dilakukan, baik terhadap individu maupun terhadap lingkungan dengan mengupayakan perubahan-perubahan tertentu atas gaya kepemimpinan dimana aspek-aspek situasiasional secara interaktif juga berubah. Namun kita setuju dengan pendapat Fiedler bahwa aspek-aspek situasional yang dihadapi para manajer tersebut dapat dimodifikasi agar sesuai dengan gaya kepemimpinan yang dikehendaki. Menurut pendapat Fiedler keberhasilan dalam hal ini akan bergantung pada pelatihan kepemimpinan, yaitu sejauh mana mereka dapat mendiagnosis gaya kepemimpinan mereka sendiri berikut aspek-aspek situsional  lainnya. Jika para manajer telah mampu mengidentifikasi dan menafsirkan aspek-aspek tersebut secara akurat maka mereka dapat menentukan apakah perubahan dapat dilakukan atau tidak. Selanjutnya dalam mendiagnosis situasi, hubungan antara atasan dengan bawahan merupakan faktor kunci yang perlu diperhatikan. Masalahnya apabila bawahan telah memutuskan untuk tidak bersedia mengikuti keinginan seorang atasan, apapun yang dipikirkannya, keputusan-keputusan atasan tersebut  akan menjadi tidak efektif jika faktor kunci tadi kurang diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Edgar H. Schein “manajer yang berhasil haruslah seorang pendiagnosis yang baik dan dapat menghargai semangat pengkajian”. Dengan kata lain, seorang pemimpin haruslah memiliki keluwesan pribadi dan kualifikasi kemampuan yang diperlukan untuk mengimprovisasi dirinya sendiri, terutama apabila kebutuhan dan motif bawahannya berbeda-beda maka hendaknya mereka harus diperlakukan secara berbeda-beda pula. Bagaimanapun para bawahan adalah vital dalam situasi apapun, tidak hanya karena secara individual mereka menerima atau menolak gaya kepemimpinannya, tetapi juga  sebagai kelompok secara aktual mereka ikut menentukan pembentukan “kuasa pribadi” (personal power) yang dapat dimiliki atasan. Dengan demikian meskipun semua aspek situasional  adalah penting dalam kepemimpian, penekanan tetap perlu  diletakan pada peran perilaku atasan dalam hubungannya dengan bawahan dalam konteks interaksi yang saling timbal balik. Oleh karena itu kunci penerapan kepemimpinan situasional adalah adanya pemahamam yang akurat terhadap tingkat kematangan yang berkenaan dengan kompetensi dan kedewasaan pribadi bawahan.  Sebaliknya jika bawahan cenderung tidak matang, maka gaya memimpin dengan adanya arahan berikut ketegasan instruksi atau tugas adalah lebih tepat untuk mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan. Bagi para pekerja yang belum mencapai tingkat kematangan yang baik, seyogyanya diimbali oleh penguatan positif (reinforcement) dan dukungan sosio-emosional atau empati untuk meningkatkan motivasi para pekerja. Tentu berbeda halnya dengan para pekerja yang telah mencapai tingkat kematangan yang tinggi, para manajer dapat menurunkan kadar pengendalian terhadap aktivitas para pekerja dan begitu juga menurunkan kadar pengendalian dukungan sosio-emosional atau empati. Dengan demikian terhadap para pekerja yang sudah sangat matang dapat diberi keleluasaan untuk dapat bekerja secara mandiri. Oleh karenanya dalam kepemimpinan situasional, partisipasi pemimpin sebagai suatu pendekatan teknik manajerial memiliki peluang keberhasilan yang lebih besar, khususnya ketika orang bergerak dari tingkat kematangan yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi,  yang pada gilirannya mencapai tahap efektif dan stabil pada saat bawahan mencapai puncak kematangan dalam pelaksanaan tugas mereka. Apabila para pekerja mulai menyimpang dan berperilaku kurang matang dibandingakan dengan yang pernah mereka tunjukkan sebelumnya, maka para pemimpin dapat melakukan intervensi sebagai upaya meningkatkan kembali kematangan tugas para pekerja, baik secara individual maupun secara tim kerja, sebagai akibat adanya fluktuasi kematangan tugas ketika mereka berada dalam situasi tertekan atau kejenuhan di lingkungan tempat mereka bekerja. Maka gaya kepemimpinan situasional dan tingkat kematangan para pekerja merupakan suatu hal yang bergerak secara dinamis, dimana berbagai penyesuaian dan intervensi perlu dilakukan sebagai suatu seni dalam memotivasi, dalam upaya menjaga kinerja bisnis dan stamina  pekerja secara keseluruhan.
Sebagai pamungkas dari paparan diatas, sejauh mana kita telah memperhatikan kaidah-kaidah tersebut pada organisasi dimana kita bekerja dan mengabdi.
                                                                                               
Jakarta, 15 Februari 2012 
Faisal Afiff