.


Rabu, 01 Februari 2012

Rangkaian Kolom Kluster I/ 2012: Kapitalisme, Kewirausahaan, dan Kerakyatan

 

Kapitalisme, Kewirausahaan

dan

Kerakyatan

 

Harus diakui Adam Smith bukanlah orang pertama yang mengabdikan diri pada teori ekonomi, namun dialah pelaku utama yang mempersembahkan teori ekonomi yang sistematik dan mudah dicerna, serta telah memberikan landasan yang cukup kuat, sebagai titik tolak bagi kemajuan perkembangan ilmu ekonomi di masa-masa mendatang. Melalui bukunya yang monumental An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, memaparkan bahwa pasar bebas bergerak menurut mekanisme pasar yang secara otomatis akan menghasilkan macam dan jumlah barang dan/atau jasa yang paling dibutuhkan dan diminati masyarakat konsumen. Dengan kenaikan tingkat produksi maka kelangkaan barang di pasar akan dihindari, sementara biaya produksi dapat ditekan seefisien mungkin dan konsumen dapat memperoleh pilihan barang dan/atau jasa dengan harga yang  kompetitif dan berkualitas. Smith percaya pada perdagangan bebas dan menentang biaya tinggi, ia menentang hampir semua campur tangan pemerintah di bidang bisnis dan pasar bebas, yang kesemuanya akan mengakibatkan penurunan efisiensi ekonomi dan kenaikan harga. Perlu pula digaris bawahi, bahwa Smith sebetulnya penentang utama praktek monopoli ekonomi, sama kerasnya dengan penentangannya terhadap campur tangan pemerintah. Yang terpenting dari pandangan Smith, bahwa teorinya tidak terhenti hanya sebagai wacana dikalangan teoritikus semata – sebagaimana sering terjadi di negeri kita dalam debat dan diskusi -  namun pengaruhnya telah masuk kedalam garis kebijakan pemerintah di sepanjang abad ke 19, bahkan hingga sekarang pengaruhnya malah semakin terasa.

Hampir dapat dipastikan mengeliatnya  kegairahan yang muncul di kalangan pelaku bisnis dan wirausahawan kala itu , diantaranya adalah terpicu oleh pandangan Smith yang membuka lebar ruang kompetisi dan inovasi dalam mendorong pertumbuhan dan dinamika ekonomi. Hal ini sebetulnya sangat sejalan dengan fitrah manusia yang memiliki naluri dan kebutuhan akan hasrat-berprestasi, hasrat-berafiliasi/kolaborasi dan hasrat berkuasa sebagaimana diungkapkan psikolog David Mc Clelland, yakni hasrat akan perwujudan atau aktualisasi diri sebagaimana diungkap Abraham Maslow. Dengan demikian tidak mengherankan, bila munculnya para industrialis, pengusaha dan wirausahawan tangguh, awalnya tumbuh di negara-negara penganut faham kapitalis yang memang kondusif bagi tumbuh-kembangnya naluri-psikologis manusia yang asasi tersebut.

Meski di saat kerajaan Sriwijaya, bangsa Indonesia pernah memiliki semacam “budaya-maritim” dengan ekspansi perdagangannya yang menembus Asia Tengah, Timur Tengah, Cina dan bahkan sampai ke Madagaskar. Namun di pulau Jawa yang lebih dipengaruhi budaya agraris dan feodal, masyarakatnya lebih memandang dan menghargai status kebangsawanan atau kepriyayian ketimbang status sebagai pedagang dan pengusaha, sehingga kekosongan ini diisi oleh para pendatang pedagang Cina dan Arab. Tidak heran sejak awal orde baru, bahkan mungkin hingga sekarang, mayoritas generasi muda lebih menginginkan lapangan kerja selaku pegawai negeri atau birokrasi yang lebih memberikan keamanan dan status. Sejalan dengan perspektif budaya Jawa yang mencari keseimbangan harmoni dan ketenangan. Namun dengan terjadinya ledakan penduduk, menciutnya lahan pertanian serta terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor pemerintahan dan birokrasi, demikian juga gencarnya terpaan budaya Barat, telah mengubah orientasi hidup sebagian besar angkatan muda pencari kerja di Indonesia. Dewasa ini tengah terjadi pergeseran makna status dari atribut feodal kepriyayian kearah atribut kekayaan atau uang. Dalam hal ini, yang mampu menciptakan lapangan kerja yang se luas-luasnya bagi angkatan kerja baru adalah sektor manufaktur swasta  yang lebih memicu prestasi dan kompetisi serta mempercepat proses pertumbuhan. Dari sisi ini rupanya kita akan sulit menolak kapitalisme yang posisinya bagai dua muka dari mata uang yang sama sejalan dengan peningkatan prestasi dan produktivitasnya. Bahkan dewas ini, sektor pemerintahan dan publik pun didesak agar mampu menciptakan efisiensi dengan menerapkan teknik-teknik manajemen yang diadopsi dari sektor bisnis swasta. Agaknya sulit mencari argumen untuk meniadakan pemikiran kapitalistik di dunia saat ini sebagai keniscayaan,  kecuali dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan keunikan struktur industri dan pasar yang sudah terbentuk sebelumnya di negara masing-masing, termasuk mengawinkannya dengan falsafah dan ideologi bangsa. Harapan pemerintah Indonesia pun saat ini lebih bertumpu dalam menciptakan lapangan kerja, dengan memicu pertumbuhan dunia bisnis dan terlebih lagi harapan akan  tumbuhnya para wirausahawan yang mampu menciptakan kreativitas dan inovasi, dengan skala risiko apapun dalam lingkup bisnis yang akan diciptakannya.

Baru-baru ini termuat di majalah tempo pernyataan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarief Hasan yang mengatakan:” agar sebuah negara maju dan sejahtera minimal harus memiliki 2 persen wirausahawan dari total penduduknya”. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, dibutuhkan wirausahawan minimal sebanyak  4,7 juta orang. “Namun kenyataannya, saat ini baru tercapai 592 ribu wirausahawan atau baru 0,24 persen.” Menurut Syarief Hasan saat menjadi pembicara dalam kuliah umum kewirausahaan di program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rabu, 14 Desember 2011, maka untuk hal itu harus ditumbuhkan setidaknya 4,1 juta wirausaha baru untuk memenuhi target minimal  sebesar 2 persen.  Namun untuk menuju target minimal tersebut dirasakan akan menghadapi berbagai hambatan serius. Dia mengutip hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 2010 yang  faktanya belum banyak berubah sampai saat ini. Kenyataannya sebanyak 83,18 persen lulusan perguruan tinggi tetap berharap menjadi karyawan. Sementara untuk lulusan sekolah menengah atas, sebanyak 60,87 persen menginginkan hal yang sama sebagai karyawan pula. Yang bercita-cita menjadi pengusaha, untuk lulusan perguruan tinggi hanya sebanyak 6,14 persen dan lulusan SMA hanya sebanyak 22,63 persen. Untuk maksud itu pemerintah telah meluncurkan gerakan kewirausahaan nasional pada tanggal  2 Februari 2011. Penumbuhan kewirausahaan dilakukan dengan media pembelajaran formal di sekolah dan di luar sekolah. Selain itu terdapat pula program mencetak 1.000 sarjana wirausaha yang diberi pelatihan bisnis dan keuangan.  Penumbuhan kewirausahaan juga dilakukan dengan perluasan sumber pembiayaan, kemitraan dan inkubator bisnis.

Syarief Hasan berharap agar anak-anak muda di Indonesia berminat menjadi wirausahawan baru, terutama bagi 8 juta pengangguran di Indonesia. Menurutnya penumbuhan kewirausahaan  mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi dan menciptakan nilai tambah sebuah produk melalui kreativitas dan inovasi. Banyaknya jumlah dan kualitas wirausaha di sebuah negara juga terbukti mampu meningkatkan pendapatan per kapita penduduknya. Misalnya di Singapura, jumlah wirausahawannya yang mencapai 7 persen dari jumlah penduduk membuat pendapatan per kapitanya mencapai 40.920 US $. Malaysia yang jumlah wirausahawannya 3 persen dari jumlah penduduk, pendapatan per kapitanya mencapai  7.900 US $. Sementara Indonesia dengan jumlah wirausahawan sebanyak 0,24 persen, namun pendapatan per kapitanya hanya  2.580 US $.

 Gerakan kewirausahaan di Indonesia seyogyanya harus terus digalakkan, karena ternyata rasio persentase keberadaannya masih jauh dan  tidak sebanding dengan besaran jumlah penduduk Indonesia. Ada baiknya pengertian dan ilmu tentang kewirausahaan ini secara konseptual juga lebih dijernihkan agar tidak terjadi salah pengertian. Termasuk tentang sejarah, perkembangan serta lingkup kegiatan yang merupakan cirikhas swakelolanya.  Istilah kewirausahaan (entrepreneurship) pada dasarnya memiliki definisi yang cukup beragam. Hal ini terutama berkaitan erat dengan perspektif pihak-pihak yang mendefinisikannya. Meskipun terjadi keragaman definisi, namun hal ini tampaknya tidak mengarah pada perdebatan  destruktif, karena ternyata masing-masing pihak mampu memberikan argumennya secara logis menurut perspektifnya masing-masing, misalnya perbedaan diantara perspektif  disiplin ekonomi dan manajemen. 

Dalam hubungan ini, para pakar telah mengemukakan definisi tentang  kewirausahaan  dalam rentang yang cukup luas, dan manakala dioperasionalkan, menghasilkan sejumlah langkah atau tindakan yang berbeda (Herbert dan Link, 1989). Kedua pakar tersebut telah mengidentifikasi dua tradisi intelektual yang berbeda dalam pengembangan literatur tentang kewirausahaan. Kedua tradisi ini dapat dicirikan sebagai tradisi Jerman (German Tradition), yang berlandaskan pada Von Thuenen dan Schumpeter dan tradisi Austria (Austrian Tradition) yang berlandaskan pada Von Mises, Kirzner, dan Shackle (Audtretsch, 2004).

Tradisi Shumpeterian telah memiliki dampak yang paling besar terhadap literatur kewirausahaan kontemporer. Ciri khas dari tradisi Schumpeterian, memandang kewirausahaan sebagai suatu fenomena ketidakseimbangan kekuatan (dis-equilibrating force). Dalam risalah klasiknya tahun 1911, Theorie der wirtschaftlichen Entwicklungen (Teori Pembangunan Ekonomi), Schumpeter mengusulkan sebuah teori tentang “creative destruction”. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan  baru dengan spirit kewirausahaan muncul dan menggantikan perusahaan lama yang kurang inovatif. Fenomena ini selanjutnya mengarahkan dinamika kehidupan dunia bisnis ke tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Dalam risalah klasiknya tahun 1942, Capitalism and Democracy, Schumpeter masih memperdebatkan bahwa kubu perusahaan berskala besar cenderung resistan terhadap perubahan, dan terus memaksa para wirausahawan untuk memulai mendirikan perusahaan baru dalam mewujudkan kegiatan inovatif. Dengan demikian fungsi para wirausahawan dan sekaligus usahawan adalah melakukan pembaruan atau merombak pola produksi dengan menggali suatu invensi (penemuan dan pendekatan benar-benar baru), atau secara lebih umum, menerapkan suatu teknologi yang belum pernah digunakan untuk menghasilkan  produk baru atau  produk lama melalui suatu cara yang baru. Pada umumnya untuk mengimplementasikan hal-hal baru  ini relatif sulit dan merupakan suatu fungsi ekonomi yang berbeda namun nyata. Pertama karena hal tersebut berada di luar tugas-tugas rutin, dan kedua melalui berbagai macam cara dimana lingkungan  adakalanya bersifat resistan.

Meskipun paham Schumpeterian menekankan proses pendirian sebuah perusahaan sebagai awal untuk menetapkan aktivitas yang berkenaan dengan kewirausahaan, ternyata tidak terdapat suatu definisi tentang kewirausahaan yang secara umum dapat diterima di negara-negara maju (OECD, 1998). Kegagalan tidak tersepakatinya  definisi tunggal tentang kewirausahaan, mencerminkan kenyataan bahwa kewirausahaan adalah sebuah konsep yang multidimensional. Definisi yang sebenarnya digunakan untuk meneliti atau mengklasifikasikan kegiatan kewirausahaan  tergambarkan dalam sebuah perspektif dengan penekanan khusus. Misalnya, terdapat keberagaman definisi tentang kewirausahaan   dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi dan manajemen walaupun kedua displin tersebut memiliki sasaran pengalaman yang sama.

Dari sudut pandang ekonomi, Herbert dan Link (1989) membedakan antara pasokan modal finansial (financial capital), inovasi, alokasi dan/atau relokasi sumberdaya diantara alternatif penggunaan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian seorang wirausahawan adalah seseorang yang mencakup keseluruhan spektrum fungsi-fungsi kewirausahaan. Wirausahawan adalah seseorang yang berspesialisasi dalam pengambilan tanggung Jawab dan membuat pertimbangan yang mempengaruhi lokasi, bentuk, dan penggunaan barang-barang, sumberdaya fisik atau non fisik lainnya (Herbert dan Link, 1989).

Dengan melakukan perbandingan, dari sudut pandang manajemen, Sahlman dan Stevenson (1991), membuat perbedaan arti antara wirausahawan dan menejer, yaitu:”kewirausahaan merupakan suatu cara mengelola yang mencakup mengejar peluang tanpa memperhatikan sumberdaya yang saat ini dimiliki. Para wirausahawan mengidentifikasi peluang-peluang, mengumpulkan sumberdaya yang diperlukan, menerapkan sebuah rencana tindakan yang dapat dilaksanakan dan memungut imbalan dalam waktu dan cara yang fleksibel.

Gambaran yang paling lazim mengenai kewirausahawan memfokuskan pada persepsi tentang peluang-peluang sosial-ekonomi dan pengenalan gagasan baru di pasar. Seperti dikemukakan Audretsch (1995), kewirausahawan adalah berkenaan dengan perubahan, sebagaimana diketahui bahwa para usahawan adalah agen perubahan (agent of change). Ringkasnya, kewirausahawan adalah dicirikan dengan proses perubahan. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan OECD, yaitu: “Wirausahawan adalah agen perubahan dan pertumbuhan di dalam sebuah pasar suatu sistem perekonomian dan dapat bertindak untuk mempercepat penciptaan, penyebaran dan penerapan gagasan-gagasan inovatif….Entrepreneurs not only seek out and identify potentially profitable economics opportunities but also willing to take risks to see if their hunches are right” (OECD, 1998).

Meskipun kesederhanaan dalam mendefinisikan kewirausahawan sebagai aktivitas pendorong perkembangan perubahan inovatif yang memiliki daya tarik, namun dibalik kesederhanaan seperti demikian terkandung pula muatan kompleksitasnya. Terselimutinya kompleksitas kewirausahawan  paling sedikit disebabkan oleh dua alasan. Alasan pertama muncul karena kewirausahawan merupakan suatu aktivitas lintas organisasi yang multi bentuk. Apakah kewirausahawan menunjukkan perubahan yang menyebabkan kegiatan  perorangan, kelompok perorangan seperti jaringan, proyek, perusahaan, dan bahkan keseluruhan industri, atau bahkan pula seluruh obyek observasi, seperti  kluster dan wilayah?

Bagian dari kerumitan yang tercakup dalam kewirausahawan, yaitu bahwa kewirausahawan ini mencakup keseluruhan bentuk organisasional. Tidak ada satu bentuk organisasi yang dapat mengklaim atau memonopoli kewirausahaan.

Sumber kompleksitas kedua, yaitu bahwa konsep perubahan adalah bersifat relatif untuk beberapa benchmark (Audretsch, 2002). Apa yang dipersepsikan sebagai perubahan bagi seseorang atau organisasi belum tentu mencakup sebuah praktik baru bagi industri. Atau hal itu merepresentasikan perubahan untuk industri domestik, tetapi bukan untuk industri internasional atau global. Oleh karena itu, konsep kewirausahaan melekat dalam cakupan lokal (local context). Pada waktu yang bersamaan, nilai kewirausahaan dibentuk pula oleh benchmark lainnya yang relevan. Aktivitas kewirausahaan yang dianggap ‘baru’ menurut seseorang, tetapi bisa saja ‘tidak baru’ bagi perusahaan atau industri , yang mana kesemua hal ini bisa membatasi nilai inovasinya.

Dengan demikian, salah satu ciri yang menonjol dari konsep kewirausahaan, yaitu lintas analisis terhadap sejumlah unit yang  penting. Pada satu tahap, kewirausahaan mencakup berbagai keputusan dan tindakan perorangan. Individu secara perorangan ini bisa bertindak sendiri atau di dalam konteks sebuah kelompok. Pada tahap yang lain, kewirausahaan mencakup unit analisis pada tingkat indutri, juga dapat pada tingkatan  yang lebih lebar, seperti kota, kabupaten, propinsi  dan negara. Walaupun paradigma prinsip Ekonomi Kerakyatan sering dihadapkan dengan faham kapitalisme atau yang belakangan sering disebut dengan istilah neoliberalisme. Perlu disadari, bahwa kita perlu belajar banyak tentang semangat, kegairahan dan pencapaian prestasi yang dicapai para pelaku usaha di negara kapitalis. Apalagi dalam prakteknya dewasa ini , terbuka ruang pembentukan harga pasar yang melibatkan regulasi pemerintah, tidak lagi dibiarkan terbentuk secara alami seperti cita-cita awal Adam Smith, hal ini acapkali  dikemas dalam sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari regulasi pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut,yakni: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002). Sedangkan Ekonomi Kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar Ekonomi Kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting  dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem Ekonomi Kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34 UUD 45 peran negara dalam sistem Ekonomi Kerakyatan antara lain meliputi lima hal penting sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (BUMK) (2) mengembangkan BUMN/ BUMD; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; dan (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Pada ahirnya, terpulang kepada para pengambil kebijakan di sektor pemerintahan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru yang lebih komprehensif dan terpadu, agar dinamika ekonomi kapitalis atau neoliberalisme ini tidak selalu harus ditabrakan dengan gerakan Ekonomi Kerakyatan yang dipesankan oleh undang-undang dasar bangsa dan negara kita. Paling tidak nafas dan semangat berusaha dan profesionalisme dari dunia bisnis merupakan faktor pembelajaran yang berharga bagi para pelaku  di sektor Ekonomi Kerakyatan.  Sementara hakekat dan substansi dari undang-undang dasar, perlu diberi tafsir dan kerangka baru yang lebih fleksibel dan memiliki daya ketahanan, serta tidak berkutat dalam sentimen dan pemahaman semata-mata undang-undangnya saja, namun perlu dibarengi dengan pembentukan ketangguhan dan daya juang para pelaku dan pengambil kebijakan ekonomi Indonesia.
                                                                                                    Jakarta, 02 Februari 2012
                                                                                                                 Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar