.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Rabu, 26 Oktober 2011

MANUSIA BARU INDONESIA



WANTED
MANUSIA BARU INDONESIA

Belakangan ini kasus pengrusakan patung-patung penghias kota sebagai identitas budaya –terjadi di Purwakarta  -  telah ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi Indonesia dan bahkan juga di mancanegara. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai alasan seperti kecumburan sosial, kemarahan atas pemborosan anggaran Negara (APBN) atau korupsi yang kesemuanya berujung pada konflik horizontal antar dua atau lebih kelompok masa.
Konflik horisontal yang berbau sara dan ketimpangan sosial nyatanya masih menjadi ancaman yang cukup serius di tanah air kita tercinta, seperti kejadian di Tanjung Priuk, Purwakarta dan Ambon beberapa waktu lalu, meski secara cepat telah dipulihkan kembali oleh aparat keamanan setempat. Kejadian seperti ini mungkin akan terus berlangsung sepanjang para pengambil keputusan belum menemukan konsep pembangunan sosial kemasyarakat - tidak semata-mata hanyut dan terlalu asyik dengan agenda-agenda politik dan ekonomi.
Persoalan pengendalian perilaku manusia bukanlah hal yang sederhana. Para pakar di bidang ini telah banyak melakukan penelitian dan studi, namun hasil karya mereka jarang dimanfaatkan oleh kalangan pemerintahan, baik di tingkat pusat, lebih-lebih lagi di tingkat daerah. Apalagi kalau Walikota atau Bupati yang terpilih memiliki kualitas intelektual dan latarbelakang pendidikan yang jauh dari memadai, sehingga kata-kata “riset” atau “studi” kurang akrab di telinga mereka, dibenaknya hanyalah “uang” dan “kekuasaan” saja sebagai satu-satunya alat yang dapat menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan. Segala persoalan yang terjadi sering diselesaikan secara reaktif, pragmatik, dan bahkan simptomatik tanpa mau mengindahkan penyelesaian yang bersifat jangka-panjang dan konseptual, yang kesemuanya ini dikarenakan keterbatasan daya pikir mereka. Inilah salah satu ekses dari pemberlakuan sistem desentralisasi dan otonomi daerah dengan segala hiruk-pikuk pilkadanya, dimana masyarakat akhirnya sering memilih kucing dalam karung. Kekacauan di masyarakat juga sering diperparah lagi oleh penegakkan hukum yang lemah dan diskriminatif, baik secara preventif-persuasif apalagi proaktif. Gambaran muram pembangunan sosial kemasyarakatan di Indonesia memang telah masuk ke tingkat yang relatif mengkhawatirkan, apalagi jika hal ini terjadi di daerah yang menjadi kawasan kunjungan wisatawan mancanegara, situasi carut-marut tersebut sungguh sangat memprihatinkan dan tidak kondusif. Pemerintah lebih suka mengedepankan angka-angka pertumbuhan dan penguatan fondasi ekonomi daripada mengangkat tema “kualitas atau martabat hidup masyarakat”, “rehabilitasi sosial”, atau kualitas penanggulangan deviasi-sosial yang terjadi di setiap lapisan atau strata masyarakat. Meski adanya kesadaran diantara kita tentang sumber daya alam yang mulai terbatas, hal tersebut harus diimbangi dengan kemajuan di bidang pendidikan dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Tidak mungkin kita mendirikan negara yang kuat diatas masyarakat yang sakit. Perlu ada pemahaman ulang tentang siapakah sebenarnya manusia Indonesia yang akan kita bangun? Apakah manusia Indonesia yang sering digambarkan secara formal : bersikap ramah-tamah, murah senyum, saling-tolong-menolong dan gotong royong masih merupakan penggambaran yang tepat ?
Para pakar dibidang perilaku perlu mengkonstruksi teori perilaku atau kepribadian yang khas tentang manusia Indonesia. Dalam hal ini, mereka tidak dapat melepaskan setting sejarah dan sosio-budaya Indonesia ketika menyusun suatu konsep atau teori tersebut. Karena malas dalam melakukan penelitian dan studi, para pakar atau ilmuwan Indonesia lebih suka meng-copy-paste atau asal “comot” teori-teori yang berasal dari kepustakaan Barat untuk menggambarkan fenomena perilaku manusia Indonesia. Hal ini akan menimbulkan berbagai masalah, khususnya di bidang ilmu sosial atau behavioral science karena sejarah dan budaya lokal setempat akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam mengembangkan suatu hipotesis tersebut. Dalam hal ini, teori harus mengandung sekumpulan “asumsi-relevan” dalam arti berkaitan dengan peristiwa-peristiwa empiris yang menjadi pusat perhatian teori tersebut. Teoritikus yang mumpuni adalah mereka yang mampu merumuskan asumsi-asumsi yang berguna atau bersifat prediktif tentang peristiwa-peristiwa empiris dalam suatu ranah tertentu. Disini dituntut adanya aturan atau rules bagi interaksi sistemik antara asumsi dan konsep atau teori yang terkandung di dalamnya. Dalam arti teori harus memberikan peluang terjadinya keterpaduan temuan empiris tertentu ke dalam suatu kerangka logis dan bersifat konsisten. Jadi, suatu teori harus memberikan sumbangan pada disiplin empiris. Uraian sepintas ini, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prosedur pengembangan teori yang didasari atas fakta empiris, sehingga teori atau konsep tersebut memenuhi kriteria keilmuwan. Karenanya, pengembangan teori baru tentang ilmu sosial atau behavioral-science yang khas perlu ditunjang oleh fakta empiris manusia Indonesia, sebetulnya tidaklah terlalu sulit, apalagi Indonesia memiliki ketersediaan para ilmuwan yang telah jauh melangkah ke arah itu. Faktor kuncinya disini terletak pada kemampuan para ilmuwan tersebut untuk mampu berkomunikasi serta mengembangkan sistem renumerasi dengan para pihak pengambil keputusan atau kebijakan. Hal ini sangat penting jika Negara Indonesia benar-benar ingin membangun kualitas SDM-nya sebagai pengganti sumber daya alam (SDA) yang semakin terbatas. Dengan kata lain, sosok manusia Indonesia seperti apakah yang akan dibangun kualitasnya itu ?
Dari pengalaman di seantero dunia, bahwa dalam membangun kerangka teori, para ilmuwan dihadapkan pula pada realitas sejarah dan setting sosio-budaya serta keunikan perilaku individu, yang mana hal ini telah menimbulkan dialog dan diskusi yang memperkaya perspektif keilmuan. Sigmund Freud, misalnya, seorang pakar teori psikoanalisis, dalam membangun teori psikodinamika-nya sangat dipengaruhi oleh setting kemajuan ilmu pengetahuan alam abad ke-19 di Eropa, dengan doktrin penyimpanan energi sebagai sesuatu yang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun energi tidak dapat hilang maupun lenyap. Freud dalam menyoroti individu manusia sangat dipengaruhi oleh pola pemikiran seperti itu, menganggap organisme manusia sebagai suatu sistem energi yang kompleks. Dengan dipengaruhi filsafat determinisme, Freud pada saat itu berpendapat bahwa perilaku manusia lebih didorong oleh insting dan motif-motif seksual dan pendapat ini berakhir hingga muncul bantahan dari anak didiknya sendiri, Carl Gustav Jung dan disusul kemudian oleh generasi ilmuwan berikutnya. Kritik halus berasal dari Karen Horney yang mengatakan, “Orientasi-teoritis Freud sangatlah mekanistis dan biologis. Ia menyarankan teori psikoanalisis Freud haruslah mampu mengatasi berbagai keterbatasan yang diciptakannya sendiri”. Bahkan selaku psikolog bergender wanita, Horney agak tersinggung dengan teori penis envy, yang menggambarkan adanya inferioritas genital atau yang secara sadar iri kepada perbedaan penis. Selanjutnya ia menyatakan bahwa inferioritas psikologis wanita hanyalah karena kekurang-percayaan diri semata, akibat terlalu memberi tekanan yang berlebihan pada “hubungan-cinta”, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan anatomi organ seksnya. Hal ini bermakna subyektivitas, yaitu status dan identitas seseorang pun bisa juga mempengaruhi pola pikirnya dalam berteori, meski hal ini harus dikaji ulang dengan lebih seksama. Begitu pula dengan Carl Gustav Jung yang dibesarkan oleh seorang ayah pendeta Gereja Reformasi Swiss, serta ketertarikan dirinya pada penelitian bahasa kuno dan arkeologi, meski ia adalah murid dan pengagum Freud, akhirnya “membelot” dari pandangan guru-nya tentang manusia dan melihat kepribadian individu sebagai produk dan wadah sejarah leluhur. Menurut pendapatnya, manusia modern dibentuk dan dicetak ke dalam wujudnya yang sekarang ini oleh berbagai pengalaman kumulatif generasi masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai ke asal-usul manusia yang samar dan tidak diketahui. Oleh karena itu, Jung meneliti mitologi, agama, lambang dan upacara kuno, adat-istiadat dan kepercayaan serta mimpi dalam mencari akar dan perkembangan asal-usul ras dan evolusi kepribadian manusia. Beranjak dari situlah, Jung kemudian membangun teorinya tentang ego, ketidaksadaran-kolektif, arketipus, anima animus persona serta kekompleksannya. Dari metoda Jung inilah, bisa ditarik suatu pelajaran penting, bahwa para ilmuwan Indonesia dapat melakukan rekonstruksi-sejarah manusia Indonesia yang multi etnis, multi religi dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan keyakinan, agama, budaya dan mitologi. Dewasa ini, banyak ditemukan naskah kuno orisinal hasil ramuan para pujangga terdahulu yang berisi berbagai uraian menarik tentang falsafah dan pandangan hidup, yang dapat dijadikan landasan pengembangan teori tentang manusia Indonesia sesungguhnya, antara lain karya-karya Ronggowarsito, serat centini, uraian tentang martabat tujuh dari Abdul Muhyi Pamijahan dan Hamzah Fansyuri di Sumatra Barat. Begitu juga dalam perspektif agamis, karya-karya Imam Al Gazali, Ibnu Al-Arabi, dan Jalalluddin Rumi yang menjabarkan hakikat manusia secara universal. Kesemua kekayaan khasanah mereka merupakan landasan yang sangat kokoh dan utuh untuk membangun citra dan teori tentang manusia Indonesia. Bahkan, para Ilmuwan Indonesia sepatutnya harus bangga terhadap latar-belakang sejarah dan keluhuran budaya Nusantara, sehingga berani menyatakan telah lahir teori baru yang orisinal tentang manusia Indonesia.
Semoga semua uraian sederhana dan singkat ini, kiranya dapat memicu Rekan-rekan sejawat tercinta dalam mempelopori lahirnya teori-teori orisinal ke-Indonesiaan, melalui keterlibatannya dalam berbagai aktivitas penelitian dan studi di ranahnya masing-masing, baik yang berkenaan dengan ilmu sosial kemasyarakatan dan bahkan teknologi.

Jakarta, 27 Oktober 2011

Faisal Afiff

Kamis, 13 Oktober 2011

Refleksi Arah Ekonomi Indonesia


Refleksi Arah Ekonomi Indonesia
Dalam artikel terdahulu penulis mengangkat beberapa tema kepemimpinan yang dapat mengukuhkan postur kepemimpinan yang solid dan efektif, yang terbentuk oleh daya energi, kreatifitas dan inovasi, kepemimpinan yang berbekal falsafah dan integritas, sehingga pemimpin memilki kemampuan  untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dalam konteks tulisan ini, digambarkan sepintas tentang bagaimana kisah keberhasilan Jerman dalam mengelola perekonomiannya sehingga negara tersebut berhasil mencapai tingkat kemakmuran yang signifikan, berkat kepemimpinan yang konsisten, penuh integritas, pemanfaatan daya energi  yang  optimal berikut adanya terobosan yang kreatif dan inovatif. Setiap kebijakan ekonomi yang dirancang pemimpin negara tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Kepemimpinan seperti ini sangat diperlukan dalam era Indonesia dewasa ini, perdebatan sesengit apapun di Indonesia - tentang apa saja -  ternyata sering terhenti di tingkat wacana, diakibatkan pemimpin Indonesia sering tersandera oleh kepentingan-kepentingan pragmatis, yang memunculkan kesan kepemimpinan yang lamban, tidak tegas dan kompromistis. Indonesia memiliki landasan falsafah dan moral yang luhur, konstitusi dan undang-undang yang memihak pada kesejahteraan, namun semuanya seolah menjadi “tumpul” karena belum lahir kualitas kepemimpinan yang paripurna, apalagi menghadapi medan tantangan kedepan yang semakin berat, sebagaimana tergambar dalam refleksi arah ekonomi Indonesia berikut ini, dengan memetik pengalaman dari beberapa negara maju, seperti halnya Jerman.
Berkat dilaksanakannya Konsep Social Market Economy (Soziale Marktwirtschaft-Ekonomi Pasar Sosial), Republik Federasi Jerman dewasa ini boleh dikatakan sebagai salah satu negara termakmur di dunia. Sistem ekonomi ini telah befungsi dan teruji dengan sangat baik selama beberapa dekade. Hal yang menarik dalam konsep ini adalah merupakan kombinasi sektor material komersial berbasis pasar dan sektor sosial non komersial berbasis kemanusiaan.
Ekonomi pasar sosial bertujuan menyeimbangkan prinsip-prinsip pasar dan prinsip-prinsip sosial. Ordo-liberalism yakin bahwa hal ini penting untuk menciptakan mekanisme perlindungan sosial disamping kekuatan pasar yang dikendalikan negara. Tujuan lain yang ingin dicapai oleh ekonomi pasar sosial adalah menciptakan dan membangun tatanan ekonomi yang dapat diterima oleh berbagai ideologi sehingga berbagai kekuatan didalam masyarakat dapat terfokus pada tugas bersama menjamin kondisi kehidupan dasar dan membangun kembali perekonomian. Inilah sebabnya kita dapat melihat bahwa ekonomi pasar sosial merupakan kompromi pada masa-masa awal pemerintahan Republik Federasi Jerman.
Undang-undang mengenai Bank Federal Jerman (German Bundesbank) dan undang-undang larangan terhadap hambatan kompetisi adalah dua diantara undang-undang penting yang dibuat pada saat itu. Tahun 1950 dapat dikatakan sebagai tahun pencapaian sukses dari sistem ekonomi pasar sosial, dimana salah satu indikatornya adalah tersedianya lapangan kerja yang memadai.
Pada tahun 1970-an pemerintah Jerman berupaya untuk memainkan peran yang lebih penting dalam perekonomian. Selama tahun 1980 Kanselir Helmut Kohl mencoba mengurangi peran negara yang sebagian besar telah berhasil dengan baik, namun reunifikasi Jerman  membuat pemerintah Jerman kembali memperkuat peran negara dalam menata ekonomi mereka. Karenanya, kontradiksi antara istilah “sosial” dan “pasar” tetap menjadi faktor penting dalam dinamika perdebatan di negara tersebut.
Mengacu pada dualisme filosofis yang dianutnya, perekonomian Jerman sesungguhnya memiliki sifat konservatif sekaligus dinamis. Dikatakan konservatif dalam arti sistem tersebut dirancang berdasarkan tradisi Jerman yang memberikan porsi bagi peran negara dalam ekonomi dan sikap ke hati-hatian dalam menangani investasi dan pengambilan resiko. Dikatakan dinamis dalam arti sistem tersebut mengarah pada pertumbuhan, meskipun hal tersebut dinilai lambat dan kurang spektakuler. Inilah realita model kombinasi antara keunggulan suatu sistem pasar dengan keunggulan dari sistem kesejahteraan sosial.
Pada tahun 1982, diskusi tentang bagaimana ekonomi pasar sosial seharusnya berubah, dan hal ini mencakup tiga aspek; pada sisi kelompok Keynesian, mereka mempertahankan”Globalsteuerung” dan ekonomi pasar sosial; pada sisi kelompok Milton Friedman, mereka menyatakan kegagalan dari peran negara dan menginginkan pengurangan dari ”Globalsteuerung” serta ekonomi pasar sosial bersama-sama dengan penguatan kekuatan pasar; sedangkan pada posisi yang ketiga, kelompok kecil yang berfikir bahwa pasar telah gagal dan oleh karenanya mereka memilih perluasan sektor negara berikut intervensinya di sektor ekonomi.
Hasil perpaduan diskusi dari kelompok-kelompok tersebut dapat dijelaskan sebagai kombinasi antara Keynes dan Friedman. Pada tahun-tahun berikutnya perusahaan milik negara seperti Pos dan Telkom Jerman diswastanisasi dan kadar sosialnya pun diturunkan lebih ramping. Kemajuan ekonomi pada periode tersebut dapat dilihat sebagai hasil dari kombinasi kebijakan itu namun juga disebabkan oleh situasi positif ekonomi dunia serta keberhasilan dari integrasi Eropa, suatu masa yang diakhiri dengan reunifikasi Jerman.
Reunifikasi Jerman tercatat sebagai perubahan besar yang menarik bagi proses pembelajaran dan analisis dinamika sejarah pembangunan perekonomian Jerman, khususnya tentang bagaimana pemerintah Jerman mengambil kebijakan ekonomi dan sosial, tidak hanya berfokus pada reunifikasi tahun 1990 sebagai momentum yang penting, namun terlebih pada penyatuan ekonomi dan keuangan pada waktu sebelumnya. Hal ini terjadi pada situasi pertumbuhan ekonomi dan angka hutang negara yang rendah, yang pada awalnya diwarnai oleheuphoria unifikasi secara umum dan terbukanya pasar baru di Jerman bagian Timur dan Eropa.
Pertanyaan besar yang muncul: Apakah Model Ekonomi Pasar Sosial ala Jerman dapat diadopsi dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi tanah air untuk keberhasilan perekonomian di Indonesia?
Secara ideologis-konstitusional sebetulnya Indonesia memiliki undang-undang yang berpihak pada kemakmuran rakyatdimana negara lebih dituntut peranannya, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, suatu sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut tersirat betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal ini, dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan meliputi antara lain lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi; (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; dan (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Pertanyaan berikut, sejauh manakah ekonomi kerakyatan sebagai amanat konstitusi telah dilaksanakan di Indonesia. Bagaimana jalan keluar bagi perekonomian Indonesia agar tidakdidominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
Kita coba kembali berkaca pada keberhasilan sistem ekonomi pasar sosial yang diterapkan di Jerman. Pada awalnya, konsep “pasar” menjadi penting setelah pengalaman buruk yang dialami semasa rezim Nazi, sehingga masyarakat ingin agar ekonomi dibebaskan dari intervensi dan dominasi negara. Pada awal penerapan sistem ini di Jerman Barat, peran negara adalah memberikan perlindungan terhadap suasana kompetisi dari tendensi monopolistik danoligopolistik, termasuk yang mungkin akan muncul dari mekanisme kompetisi itu sendiri. Sementara itu, konsep “sosial” mendapat penekanan penting karena Jerman yang pada saat itu bernama Jerman Barat, menginginkan suatu sistem perekonomian yang mampu mendorong munculnya kemakmuran, akan tetapi juga dapat memberikan perlindungan terhadap kalangan buruh dan kelompok masyarakat lain yang mungkin tak mampu mengikuti tuntutan kompetisi yang berat didalam ekonomi pasar. Disamping itu situasi ekonomi sosial masyarakat Jerman yang hancur pasca Perang Dunia II memberikan andil terhadap pilihan konsep tersebut. Konsep“sosial” dipilih daripada konsep “sosialis” untuk membedakan sistem ini dari suatu sistem dimana negara memiliki hak untuk menentukan sistem perekonomian atau melakukan intervensi terhadapnya.
Ada suatu konsep lain yang memiliki keterkaitan erat dengan konsep ekonomi pasar sosial, suatu konsep di dalam tradisi pemikiran Jerman, yaitu ”Ordnung,” yang dapat diartikan sebagai ”tatanan”. Dalam pemahaman ini, ekonomi, masyarakat, dan politik, menjadi suatu kesatuan struktur pemerintahan, namun bukan dalam bentuk diktatorial. Dalam pemahaman ini, para pemimpin pemerintahan di Indonesia dituntut memiliki kemauan yang kuat untuk mampu memadukan sistem ekonomi, politik, hankam dan sosio-budaya kedalam kesatuan struktur yang kuat dan dinamis, sehingga dalam mengambil ide-ide pemikiran dari luar tidak dijiplak mentah-mentah saja, namun disaring oleh jiwa nasionalisme yang kuat, sehingga gagasan yang hidup di tanah air memiliki ciri-ciri khas ke-Indonesiaan.
Kita lihat, para penggagas konsep ekonomi pasar sosial melihat konsep tersebut dalam suatu sistem tatanan yang utuh, tidak seperti sistem ekonomi “campuran” yang seolah-olah berjalan masing-masing tanpa saling menyapa. Disamping itu, mereka juga berpijak pada konsep “Ordo-Liberalismus,” yang berarti konsep tersebut harus bebas memilih tatanannya, dan bukan suatu tatanan yang bersifat komando. Pada pasca perang Dunia II muncul berbagai argumen dan perdebatan mengenai bagaimana membangun kembali perekonomian Jerman yang terpuruk akibat perang. Kelompok politisi sosialis berpendapat tentang pentingnya sistem distribusi terpusat, perluasan kendali negara, serta nasionalisasi sektor perbankan dan industri lainnya. Penentang utama dari ide ini adalah Ludwig Erhard, seorang ekonom liberal yang menjabat sebagai kepala kantor urusan ekonomi di Bizone, yang kemudian menjadi menteri perekonomian dan seterusnya menjadi Kanselir Republik Federasi Jerman (1963-1966), menggantikan Konrad Adenauer. Ludwig Erhard tercatat dalam sejarah sebagai pencetus konsep ekonomi pasar sosial dan menerapkannya dalam sistem perekonomian Jerman Barat.
Pada awalnya, langkah tersebut bertujuan memungkinkan berbagai kekuatan bermain secara bebas di dalam pasar dengan meningkatkan kesempatan konsumen, memotivasi produsen untuk melakukan inovasi dan kemajuan teknik, dan pembagian pendapatan serta keuntungan berdasarkan pencapaian masing-masing individu. Diatas semua hal itu, terdapat pembatasan akumulasi yang berlebihan dari kekuatan pasar. Tugas negara adalah menciptakan mekanisme bagi berfungsinya kompetisi, disamping mempromosikan kesiapan dan kemampuan masyarakat untuk memiliki tanggung jawab dan kemandirian.
Konsepsi teori ekonomi pasar sosial mengacu pada pemikiran liberal klasik dengan sedikit perubahan. Kita dapat menyebutnya sebagai variasi pemikiran neo-liberal Jerman, namun biasanya disebut dengan Ordo-Liberalisme. Pemikiran ini dibangun sejak tahun 1940-an, terutama melalui aliran pemikiran kelompok Freiburg. Dua pemikir kelompok ini adalah Walter Eucken dan Andreas Muller-Armack, dan memberikan nama dengan sebutan Ekonomi Pasar Sosial. Dalam pemikiran ini aspek yang diperhatikan bukan hanya persoalan ekonomi semata, namun juga persoalan kebebasan dan keadilan sosial. Menurut Muller-Armack tanggung-jawab memerlukan kebebasan sebagai kondisi yang penting bagi seseorang untuk memilih tanggung-jawab diantara pilihan yang berbeda.
Konsep ekonomi pasar liberal memiliki tiga prinsip utama, yakni, pertama, Prinsip Individualitas: yang bertujuan pada ideal liberal bagi kebebasan individu. Kedua, Prinsip Solidaritas: yang mengacu pada ide bahwa setiap individu terikat dengan masyarakat yang saling tergantung sama lain dengan tujuan menghapus ketidakadilan. Ketiga, Prinsip Subsidiaritas:yang berarti sebuah tugas institusional bertujuan menajamkan hubungan antara individualitas dan solidaritas. Aturan tersebut harus memberikan jaminan hak individu dan menempatkannya sebagai prioritas utama, yang berarti apa yang mampu dilakukan oleh individu harus dilakukan oleh individu dan bukan oleh negara.
Hak-hak kebebasan dari setiap individu dan kebebasan ekonomi dapat dilihat sebagai kerangka dimana keadilan sosial dan solidaritas diterapkan. Ekonomi pasar sosial bertujuan menyeimbangkan prinsip-prinsip pasar dan prinsip-prinsip sosial. Ordo-liberalism percaya bahwa sistem ini penting untuk menciptakan mekanisme perlindungan sosial disamping kekuatan pasar, yang dikendalikan oleh negara. Tujuan lain yang ingin dicapai oleh ekonomi pasar sosial adalah menciptakan dan membangun tatanan ekonomi yang dapat diterima oleh berbagai ideologi sehingga berbagai kekuatan didalam masyarakat dapat terpusat pada tugas bersama untuk menjamin kondisi kehidupan dasar dan membangun kembali perekonomian. Inilah sebabnya kita dapat melihat bahwa ekonomi pasar sosial merupakan kompromi pada masa-masa awal pemerintahan  Republik Federasi Jerman.
            Semakin terlihat bahwa keberhasilan Jerman dengan ekonomi pasar sosialnya adalah adanya suatu keinginan moral yang kuat dari penyelenggara negara untuk mewujudkan sistem tersebut kedalam tatanan masyarakat, dengan melakukan langkah-langkah sistematis dan mampu mewujudkannya dengan konsekuen. Di Indonesia sendiri pernah terjadi polemik dan diskusi tentang arah ekonomi Indonesia ke depan, diantaranya dengan mencari landasan sistem perekonomian yang sesuai untuk Indonesia. Mengingat Pancasila sudah disepakati sebagai falsafah dasar yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bangsa, maka Pancasila telah menjadi moral kehidupan bangsa, menjadi Ideologi yang menjiwai perikehidupan bangsa di segala bidang, baik di bidang sosial budaya, sosial politik, hankam dan tentu saja di bidang sosial ekonomi. Moralitas Pancasila inilah yang seyogyanya menjadi landasan berpijak bagi tumbuh-kembangnya sistem perekonomian Indonesia. Jika moralitas teori ekonomi Adam Smith berbasis pada prinsip kebebasan (liberalisme) dan moralitas teori ekonomi Karl Marx berbasis pada prinsip mayoritas (kaum proletar), maka moralitas Ekonomi Pancasila harusnya dinafasi oleh prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Meskipun Ilmu Ekonomi atau teori Ekonomi Pancasila belum terwujud atau katakanlah sedang berproses, tetapi ilmuwan ekonomi Indonesia wajib percaya bahwa hal itu ada atau paling tidak, diyakini akan ada. Dan justru pengembangannya yang sungguh-sungguh akan bergantung pada keyakinan para pakar ekonomi bersama penyelenggara negara, dengan melakukan penelitian dan kajian serius bagi lahirnya teori ekonomi Pancasila yang utuh. Walaupun belakangan ini orang lebih menyukai dengan menggunakan istilah ekonomi kerakyatan, sebagai ketidakberdayaan atas kepungan dua faham dunia, yakni kapitalis-liberal dan sosialis-komunis, sehingga yang dimaksud dengan ekonomi Pancasila dalam prakteknya adalah “ekonomi campuran”, yang tidak berakar dalam filosofinya.
Kita bisa menarik pelajaran dari keberhasilan Jerman dalam mengimplementasikan moralitas teori ekonominya ke dalam praktek secara dinamis dan konsekuen, maka dengan moralitas Pancasila, Indonesia perlu belajar dari Jerman, yakni bagaimana menata dan mengimplementasikan teori ekonominya ke dalam tatanan praktis, sehingga kepentingan sosial masyarakat lebih dilindungi dalam menggapai kesejahteraan sosial.
Pertanyaan selanjutnya, sejauh manakah ekonomi kerakyatan atau Pancasila sebagai amanat konstitusi telah dilaksanakan di Indonesia? Bagaimana jalan keluar bagi perekonomian Indonesia agar tidak didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberalsebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?  Persoalannya, jika Jerman memiliki fakta empiris atas keberhasilan konsep ekonominya, fakta empiris tersebut sulit ditemukan dalam penerapan sistem ekonomi di Indonesia selama ini, karena moralitas yang diletakkan oleh para pendiri bangsa dalam membangun tatanan negara dijalankan dengan setengah hati – untuk tidak mengatakan diabaikan – khususnya dalam membangun tatanan di bidang ekonomi. Dalam sistem perekonomian di Indonesia, boleh dikatakan bahwa sistem bergulir lebih karena perjalanan sejarah secara “alami”, sejak pengambil-alihan usaha swasta Belanda oleh negara, dan seterusnya sektor swasta yang kuat kemudian diambil alih lagi oleh negara, kelihatannya bukan karena mau menerapkan UUD 1945 pasal 33 semata, tetapi karena memang sektor swasta nasional belum ada. Birokrat pemerintahan baik dari kalangan sipil maupun ABRI yang notabene nonprofesional dan kurang berbekal pengalaman ditugaskan untuk mengelola sektor perkebunan, manufaktur, perbankan dan perdagangan. Oleh karena itu, lumrah jika kepemimpinan ekonomi ini mengarah ke etatisme, khususnya pada periode 1959 – 1965.  Baru setelah masuk ke periode orde baru – dengan diberlakukannya UU PMA dan PMDN periode 1967-1968, struktur perekonomian Indonesia mulai berubah secara radikal. Periode 1973 -1980  merupakan periode pertumbuhan sektor swasta dan negara yang luar biasa. Kenaikan harga ekspor minyak bumi yang amat tinggi, yang menaikkan hasil devisa 23 kali lipat (dari US$ 913,1 juta menjadi 20.663,3 juta pada periode 1972 -1981) dengan laju kenaikkan 52% per tahun, telah memungkinkan  pemerintah menggelembungkan peranan sektor swasta. Singkatnya, baik sektor swasta maupun negara, keduanya berkembang dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah. Dalam konteks ini, belum terlihat adanya konsep teori ekonomi khas Indonesia yang akan dijadikan fondasi, meskipun wacana-wacana pembicaraan tentang ekonomi Pancasila mulai digelar. Adanya perbedaan pendapat tentang pengertian “adil” dan “makmur”, yakni, yang satu lebih menekankan aspek pertumbuhan, sementara yang lain lebih ke aspek pemerataan. Suatu kompetisi yang bersifat individual agaknya sulit disandingkan dengan kerjasama yang bersifat kekeluargaan. Sementara kinerja perusahaan negara (BUMN) dan koperasi (BUMK) pada akhirnya ternyata juga tidak lebih baik dari kinerja sektor swasta (BUMS), untuk tidak mengatakan ketiga pilar ekonomi itu bekerja dengan tidak efisien sehingga Indonesia rentan krisis dibarengi dengan maraknya praktek-praktek KKN pada waktu itu, akibatnya terdapat pertumbuhan dan kesejahteraan semu dalam penggambaran keberhasilan dengan permainan angka-angka statistik semata. Menjelang akhir kekuasaannya, mantan presiden Soeharto merasa perlu mengumpulkan para konglomerat swasta berkumpul di Tapos, mengantisipasi ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Dalam sistem ekonomi pasar sosial, persaingan bukanlah tujuan, melainkan merupakan alat untuk meraih kesejahteran sosial. Dalam hal ini, negara memberikan perlindungan dan jaminan kepada masyarakat melalui suatu peraturan hukum sosial yang jelas dan tegas. Sistem ekonomi pasar sosial memposisikan dirinya diantara sistem ekonomi “laisezz-faire” dan sistem ekonomi perencanaan dengan kerangka kerja regulasi yang jelas dan tegas oleh negara dalam kebijakan ekonominya, termasuk kebijakan moneter dan stabilitas mata uang. Tentu saja pemerintah akan melakukan intervensi sepanjang hal itu menghasilkan manfaat secara sosial. Terdapat perbedaan yang jelas antara persaingan di satu sisi, dan perlindungan sosial di sisi yang lain, dimana adanya pembedaan atau pemilahan yang tegas inilah yang menciptakan efek kesejahteraan yang optimal. Dengan dibangunnya model kerangka berfikir berupa kesinambungan antara aspek ekonomi, ekologi dan demografi; sistem keamanan sosial yang cocok, dalam bidang jaminan kesehatan dan perlindungan sosial lainnya, Jerman dapat memetik keberhasilan ekonomi yang substansial. Di Indonesia, perlindungan kepentingan orang banyak dan peningkatan kemakmuran rakyat sering masih dipertanyakan pemenuhannya. Baik karena pelayanan publik yang tidak efisisen maupun karena distribusi pendapatan dan kekayaan nasional yang tidak adil.
Suatu teori ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan – apapun namanya - hanya akan berhasil diwujudkan apabila para penyelenggara dan para pakar ekonomi benar-benar menghayati dan mencintai falsafah Pancasilanya, sehingga memiliki tekad yang kuat untuk melaksanakannya. Pengalaman sejarah telah membuktikan suatu teori ekonomi klasik lahir pada abad ke 18 dalam suasana  keinginan kuat akan adanya kebebasan (liberalisme) di dunia barat  yang kemudian terbukti menyebar-luas, sehingga Adam Smith kemudian dianggap sebagai pemimpin dan anak zaman kala itu. Ekonomi pasar sosial di Jerman mencoba menggabungkan ide tentang kebebasan dan persaingan pasar dengan sistem sosial beserta perangkat hukumnya, untuk mencapai kemakmuran bersama. Keberhasilannya didukung oleh kemauan dari pemerintahan yang kuat, ditunjang oleh kerangka kerja ekonomi yang jelas dan tegas dalam memberikan perlindungan, disamping membangun alat analisis yang adekuat guna mendeteksi sejumlah kelemahan terus-menerus sepanjang waktu, sambil menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi baru, suatu kebiasaan  yang harus diakui kurang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Meskipun faham ekonomi neoliberalisme  terus menerus dikritisi oleh masyarakat karena dianggap dapat melemahkan perekonomian masyarakat dan jebakan hutang bagi pemerintah terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Faktanya, kehadiran ekonomi ini tidak mudah dibendung, yang mana di Indonesia sendiri saat ini pengaruh neoliberalisasi ekonomi semakin sangat terasa. Namun demikian kita patut bersyukur karena ekonomi liberal di negara Indonesia masih dapat disaring dan aspek yang diliberalisasi hanyalah kegiatan ekonomi yang akan lebih efektif dan efesien jika ditangani oleh swasta. Privatisasi BUMN juga tak selamanya buruk, khususnya dalam konteks korporasi, swastanisasi justru dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas usaha BUMN, di tengah keterbatasan pemerintah untuk menyuntikkan tambahan modal. Dalam beberapa kasus, rakyat justru mendapatkan manfaat dari liberalisasi. Sebagai contoh, ketika sektor telekomunikasi belum diliberalisasikan, rakyat sangat dirugikan karena tarif telepon relatif mahal, akibat duopoli Telkom dan Indosat. Setelah diliberalisasikan dan banyak perusahaan yang masuk ke sektor telekomunikasi, kini tarif telepon menjadi lebih terjangkau. Jadi liberalisasi ekonomi tidak selamanya berdampak buruk tetapi juga bisa mendatangkan manfaat serta bisa merangsang jiwa usaha seseorang, dengan kewaspadaan dan kendali yang tetap terjaga oleh pemerintah, yang tidak mengarah pada persaingan sempurna yang sering dikhawatirkan banyak orang belakangan ini.  
Keberhasilan di Jerman bukanlah suatu keberhasilan suatu teori ekonomi yang dihasilkan secara spektakuler, melainkan bagaimana seluruh unsur masyarakat sepakat dan sungguh-sungguh dalam mewujudkan cita-cita ekonominya. Pemikir dan para ahli teori ekonomi Indonesia haruslah mampu untuk terus-menerus menggali berbagai pikiran orisinal tentang ekonomi Indonesia, dengan ragam kajian dan penelitian yang tekun, disertai komitmen pemimpin pemerintah Indonesia yang memang berjiwa nasionalis yang serius ingin mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa dalam mencapai masyarakat adil dan makmur.

Jakarta, 20 September 2011
Faisal Afiff

INTEGRITAS DAN KEPEMIMPINAN INOVATIF


INTEGRITAS
DAN
 KEPEMIMPINAN INOVATIF

“Pandanglah bintang-bintang di langit, tetapi jangan pernah melupakan  keberadaan berbagai bunga di bumi tempat kita berpijak “( Agnew Meek – Vice President 3M Company)

Terdapat tiga faktor utama yang dapat membentuk karakter kepemimpinan, yakni kreatifitas, energi dan wawasan filosofis. Perpaduan dari ketiga faktor tersebut dapat membangkitkan daya antusiasme pada diri pemimpin, sehingga ia senantiasa bergerak dinamis dan adaptif. Enthusiasm berasal dari akar kata bahasa Yunani entheos  yang berarti “dari roh yang bersemayam di dalam”. Antusiasme dalam kepemimpinan sering juga diartikan sebagai  daya adaptabilitas – kemampuan untuk menyesuaikan diri – terhadap perubahan situasi dan kondisi, regulasi dan tuntutan lainnya. Kendati banyak situasi dan kondisi yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya, pemimpin dengan penuh antusiasme memiliki kepandaian untuk mengubah  dan menemukan cara-cara baru, sehingga keputusan yang diambilnya berjalan efektif dan efisien ketika mengatasi perbagai persoalan. Daya adaptabilitas inilah yang membentuk ketangguhan, karakter, dan integritas kepemimpinan, yakni suatu sikap yang tidak mudah menyerah, teguh dan loyal pada prinsip, namun fleksibel  dan senantiasa mencari terobosan dalam menghadapi berbagai rintangan.
Rintangan merupakan suatu persoalan  yang tak terelakkan dalam suatu organisasi, terutama saat pemimpin akan mulai melakukan inovasi. Rintangan sering menjadi menghambat akselerasi terhadap perubahan, dan oleh karena itu untuk menghadapinya diperlukan  waktu dan energi. Rintangan sering menghadang ditengah-tengah laju kreatifitas dan terkadang menghentikan ide kreatif untuk melaksanakan inovasi dalam organisasi.   Terdapat dua rintangan yang biasanya kita temui, yakni: Pertama, rintangan yang menghambat secara individual, sehingga seseorang terpengaruh dan terhenti kreatifitasnya. Kedua, rintangan yang mempengaruhi organisasi sehingga terhenti menjadi organisasi yang inovatif.
Terdapat perbedaan mendasar antara kreasi dan inovasi. Kreasi lebih merupakan ide yang dihasilkan dari seorang individu (finding about newnest), sedangkan  inovasi  lebih melibatkan lebih dari satu individu atau bersifat kelompok(implementing about newnest). Ide berasal dari individu yang kreatif sebagai masukan untuk dapat dilakukannya inovasi,. Bagi seorang pemimpin yang tangguh dan penuh antusiasme, rintangan atau tantangan sesulit apapun – dari sudut pandang falsafahnya – dimaknai sebagai “laboratorium-hidup” untuk belajar secara langsung bagaimana menghadapi kesusahan, ketidak-nyamanan dan guncangan sebagai ujian terhadap ketangguhan kepribadian dan karakter dirinya, baik ketika pemimpin berhadapan dengan masyarakat umum atau ketika merenung sendirian. Seorang pemimpin akan menyadari sepenuhnya, bahwa keberhasilan organisasi di masa depan akan sangat ditentukan oleh kepemimpinannya, terutama dalam mengoptimalkan berbagai peluang, dengan senantiasa mendorong seluruh anggota organisasi untuk berpikir ke depan, dengan menumbuh-kembangkan kreatifitas dan inovasi.
Marilah kita menengok masa renaissance di Eropa Barat pada abad 14-15M. Dimana masa sebelumnya dunia barat dianggap sedang mengalami masa kegelapan (dark age) dan ketertinggalan dari dunia timur.  Tiba-tiba masyarakat disadarkan akan kedaulatan, otonomi dan kebebasan untuk melakukan sesuatu, yang tentunya dipicu oleh para inspiratornya. Pada saat itu masyarakat menganggap adanya kewenangan dan otoritas yang terlalu kuat dari pihak institusi agama untuk mendominasi kebenaran pada berbagai disiplin ilmu dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Karenanya gerakan “kelahiran-kembali” ditujukan untuk merealisasikan apa yang pernah hidup pada zaman Yunani kuno, yaitu titik-tolak kebebasan-berpikir yang bersumber pada manusia.
Pada belahan dunia manapun ketika kekuasaan totalitarian dan dogmatisme telah jauh menjalar ke dalam sendi-sendi kehidupan tatanan masyarakat dan melembaga menjadi norma-aturan dan hukum yang membelenggu, secara dialeketis akan menimbulkan  perlawanan dan tuntutan akan perubahan. Begitu juga yang terjadi di masa renaissance, faham teosentris begeser menjadi antroposentris, dengan paradigma baru yang menitik-beratkan pada pemikiran, pengembangan ilmu dan peradaban manusia sebagai pusatnya. Melalalui dialektika sejarah seperti itulah, terjadi perubahan asasi di dunia barat dengan tumbuh-suburnya pemikiran modern. Khususnya dalam bidang filsafat dan sains. Dengan tokoh-tokohnya, antara lain: Nikolaus Kopernikus, Yohanes Keple, Galileo-Galilei, Thomas Hobbes, dan Rene Descartes. Sementara di belahan dunia lain, terdapat bangsa yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, seperti bangsa Indian yang telah mengalami puncak kejayaan hampir seratus tahun di bagian tenggara Amerika Serikat, kemudian mengalami masa kemunduran. Selain itu, Kekhalifahan Turki  Utsmani yang telah mengalami puncak kejayaan sebagai negara adidaya selama berabad-abad kemudian lenyap di awal abad ke-20, begitu juga dengan menghilangnya negara Jerman Timur, Yugoslavia dan Uni Soviet.
Dalam skala yang lebih kecil,  di tempat  kita bekerja pun  semangat “pencerahan” semacam gerakan  renaissancetetap diperlukan, untuk menghindari  jebakan stagnasi, kelambanan, dan kebekuan. Namun era renaissance abad ke-21 yang kita harapkan, orang tidak hanya bicara tentang individualitas dan humanisme seperti di masa Kopernikus. Orang tidak hanya menuntut  daya rasio dan intelektualitas dalam mengembangkan peradaban manusia, akan tetapi mengoptimalkan potensinya sebagai manusia secara utuh dan otentik dalam berbagai kehidupan, lebih khusus dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan yang hanya menciptakan kemampuan yang hebat,  dengan mengabaikan faktor keutuhan manusia, saat ini dipandang sebagai pendidikan yang buruk. Sehinga seiring dengan itu masalah integritas acap menjadi tuntutan masa kini. Dalam praktek persaingan keorganisasian bisnis, seringkali integritas - yang dilandasi etika dan moral – harus dikalahkan demi memperoleh manfaat dan keuntungan materialistis.


 Integritas merupakan kesadaran terpadu yang diperoleh dari penghayatan mendalam akan suatu proses  yang pernah dialami, melampaui kreatifitas, nilai, intuisi, emosi dan daya analisis-rasional.  Integritas bisa memunculkan gema, medan gaya-energi, kreatifitas, kebanggaan dan dapat diinteraksikan kepada orang lain dalam hubungan individual, kelompok, dan organisasional. Integritas merupakan ciri watak manusia yang patuh pada prinsip-prinsip moral dan etika, dalam keadaannya yang menyeluruh, penuh dan utuh. Seorang pemimpin berintegritas adalah pemimpin yang membuat komitmen dan setia kepada komitmen itu sendiri, kendati Ia harus menanggung resiko.  
Pemimpin  yang memiliki integritas akan memancarkan keyakinan pada kita semua, bahwa Ia akan berbicara tentang keyakinan dan perasaan yang sesungguhnya, kendati hal ini akan membahayakan diri sendiri dan karirnya. Namun demikian cahaya tanpa kegelapan adalah menjadi tidak lengkap, oleh karena itu seorang pemimpin yang berintegritas dituntut untuk menghadapi, menerima dan memadukan sisi alami dan cemerlang yang ditampilkan  dengan sisi gelapnya yang tersembunyi. Sebagaimana diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, “setan paling bebahaya di dunia ini adalah setan yang selalu berada di sekitar hati kita. Disitulah tempat kita harus memerangi mereka”. Gandhi seolah mengajak kita terjun, dengan cara kita masing-masing, ke dalam kancah pertempuran yang diperlukan untuk tumbuh dan belajar.
                Dorongan perubahan untuk melakukan inovasi dalam organisasi bisa terjadi baik dari desakan internal maupun eksternal organisasi tersebut, atau muncul secara serempak. Dari sisi internal perubahan bisa saja terjadi  sebagai adanya revisi strategi organisasi oleh manajemen puncak untuk melakukan perubahan organisasi. Perubahan internal juga dapat terjadi oleh desakan  eksternal, seperti bergesernya nilai sosio-kultural dan adanya perubahan tata-cara pandang terhadap hakekat pekerjaan. Perubahan eksternal muncul dari desakan lingkungan umum organisasi seperti diberlakukannya peraturan baru yang berkenaan dengan aspek produksi, persaingan, politik, ekonomi, hukum, dan IPTEK.
Sejarah telah mengingatkan, selama perjalanan hidup pemimpin-pemimpin besar dan terkemuka telah menghadapi masa-masa yang paling sulit. Berulangkali mereka harus menghadapi rintangan-rintangan yang datang silih berganti, kemudian mereka bertahan ketika mengalami kegagalan-kegagalan dan kemunduran. Cara mereka menangani pengalaman-pengalaman tersebut sekaligus membentuk kepribadian dan kualitas integritas mereka. Kejayaan yang mereka raih, sering kali lahir  dari situasi berbahaya, dan mereka bersikap tidak kenal menyerah meski mereka telah mengalami pahitnya kesalahan dan kekalahan.
Bagi umat beragama pelaksanaan puasa di bulan ramadhan mengandung hikmah  penempaan diri, yaitu pengendalian dan penyucian diri, yang apabila mampu dilewati dengan baik, dapat disyukuri dengan perayaan Idul Fitri. Perayaan bukanlah pesta pora, melainkan memancangkan tonggak-baru integritas  pribadi dengan tekad dan niat tulus-suci (fitrah) untuk mendarmabaktikan  dirinya bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara dengan menanggalkan kepentingan ego kelompok. Semuanya pernah menngalami saat paling menyakitkan dan jatuh-bangun dalam memperjuangan prinsip yang diyakini, baik berhasil atau gagal, sampai tiba saatnya menyongsong masa-masa keemasan.

Jakarta, 13 September 2011
Faisal Afiff