.


Rabu, 26 Oktober 2011

MANUSIA BARU INDONESIA



WANTED
MANUSIA BARU INDONESIA

Belakangan ini kasus pengrusakan patung-patung penghias kota sebagai identitas budaya –terjadi di Purwakarta  -  telah ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi Indonesia dan bahkan juga di mancanegara. Peristiwa ini dipicu oleh berbagai alasan seperti kecumburan sosial, kemarahan atas pemborosan anggaran Negara (APBN) atau korupsi yang kesemuanya berujung pada konflik horizontal antar dua atau lebih kelompok masa.
Konflik horisontal yang berbau sara dan ketimpangan sosial nyatanya masih menjadi ancaman yang cukup serius di tanah air kita tercinta, seperti kejadian di Tanjung Priuk, Purwakarta dan Ambon beberapa waktu lalu, meski secara cepat telah dipulihkan kembali oleh aparat keamanan setempat. Kejadian seperti ini mungkin akan terus berlangsung sepanjang para pengambil keputusan belum menemukan konsep pembangunan sosial kemasyarakat - tidak semata-mata hanyut dan terlalu asyik dengan agenda-agenda politik dan ekonomi.
Persoalan pengendalian perilaku manusia bukanlah hal yang sederhana. Para pakar di bidang ini telah banyak melakukan penelitian dan studi, namun hasil karya mereka jarang dimanfaatkan oleh kalangan pemerintahan, baik di tingkat pusat, lebih-lebih lagi di tingkat daerah. Apalagi kalau Walikota atau Bupati yang terpilih memiliki kualitas intelektual dan latarbelakang pendidikan yang jauh dari memadai, sehingga kata-kata “riset” atau “studi” kurang akrab di telinga mereka, dibenaknya hanyalah “uang” dan “kekuasaan” saja sebagai satu-satunya alat yang dapat menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan. Segala persoalan yang terjadi sering diselesaikan secara reaktif, pragmatik, dan bahkan simptomatik tanpa mau mengindahkan penyelesaian yang bersifat jangka-panjang dan konseptual, yang kesemuanya ini dikarenakan keterbatasan daya pikir mereka. Inilah salah satu ekses dari pemberlakuan sistem desentralisasi dan otonomi daerah dengan segala hiruk-pikuk pilkadanya, dimana masyarakat akhirnya sering memilih kucing dalam karung. Kekacauan di masyarakat juga sering diperparah lagi oleh penegakkan hukum yang lemah dan diskriminatif, baik secara preventif-persuasif apalagi proaktif. Gambaran muram pembangunan sosial kemasyarakatan di Indonesia memang telah masuk ke tingkat yang relatif mengkhawatirkan, apalagi jika hal ini terjadi di daerah yang menjadi kawasan kunjungan wisatawan mancanegara, situasi carut-marut tersebut sungguh sangat memprihatinkan dan tidak kondusif. Pemerintah lebih suka mengedepankan angka-angka pertumbuhan dan penguatan fondasi ekonomi daripada mengangkat tema “kualitas atau martabat hidup masyarakat”, “rehabilitasi sosial”, atau kualitas penanggulangan deviasi-sosial yang terjadi di setiap lapisan atau strata masyarakat. Meski adanya kesadaran diantara kita tentang sumber daya alam yang mulai terbatas, hal tersebut harus diimbangi dengan kemajuan di bidang pendidikan dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Tidak mungkin kita mendirikan negara yang kuat diatas masyarakat yang sakit. Perlu ada pemahaman ulang tentang siapakah sebenarnya manusia Indonesia yang akan kita bangun? Apakah manusia Indonesia yang sering digambarkan secara formal : bersikap ramah-tamah, murah senyum, saling-tolong-menolong dan gotong royong masih merupakan penggambaran yang tepat ?
Para pakar dibidang perilaku perlu mengkonstruksi teori perilaku atau kepribadian yang khas tentang manusia Indonesia. Dalam hal ini, mereka tidak dapat melepaskan setting sejarah dan sosio-budaya Indonesia ketika menyusun suatu konsep atau teori tersebut. Karena malas dalam melakukan penelitian dan studi, para pakar atau ilmuwan Indonesia lebih suka meng-copy-paste atau asal “comot” teori-teori yang berasal dari kepustakaan Barat untuk menggambarkan fenomena perilaku manusia Indonesia. Hal ini akan menimbulkan berbagai masalah, khususnya di bidang ilmu sosial atau behavioral science karena sejarah dan budaya lokal setempat akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam mengembangkan suatu hipotesis tersebut. Dalam hal ini, teori harus mengandung sekumpulan “asumsi-relevan” dalam arti berkaitan dengan peristiwa-peristiwa empiris yang menjadi pusat perhatian teori tersebut. Teoritikus yang mumpuni adalah mereka yang mampu merumuskan asumsi-asumsi yang berguna atau bersifat prediktif tentang peristiwa-peristiwa empiris dalam suatu ranah tertentu. Disini dituntut adanya aturan atau rules bagi interaksi sistemik antara asumsi dan konsep atau teori yang terkandung di dalamnya. Dalam arti teori harus memberikan peluang terjadinya keterpaduan temuan empiris tertentu ke dalam suatu kerangka logis dan bersifat konsisten. Jadi, suatu teori harus memberikan sumbangan pada disiplin empiris. Uraian sepintas ini, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prosedur pengembangan teori yang didasari atas fakta empiris, sehingga teori atau konsep tersebut memenuhi kriteria keilmuwan. Karenanya, pengembangan teori baru tentang ilmu sosial atau behavioral-science yang khas perlu ditunjang oleh fakta empiris manusia Indonesia, sebetulnya tidaklah terlalu sulit, apalagi Indonesia memiliki ketersediaan para ilmuwan yang telah jauh melangkah ke arah itu. Faktor kuncinya disini terletak pada kemampuan para ilmuwan tersebut untuk mampu berkomunikasi serta mengembangkan sistem renumerasi dengan para pihak pengambil keputusan atau kebijakan. Hal ini sangat penting jika Negara Indonesia benar-benar ingin membangun kualitas SDM-nya sebagai pengganti sumber daya alam (SDA) yang semakin terbatas. Dengan kata lain, sosok manusia Indonesia seperti apakah yang akan dibangun kualitasnya itu ?
Dari pengalaman di seantero dunia, bahwa dalam membangun kerangka teori, para ilmuwan dihadapkan pula pada realitas sejarah dan setting sosio-budaya serta keunikan perilaku individu, yang mana hal ini telah menimbulkan dialog dan diskusi yang memperkaya perspektif keilmuan. Sigmund Freud, misalnya, seorang pakar teori psikoanalisis, dalam membangun teori psikodinamika-nya sangat dipengaruhi oleh setting kemajuan ilmu pengetahuan alam abad ke-19 di Eropa, dengan doktrin penyimpanan energi sebagai sesuatu yang dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun energi tidak dapat hilang maupun lenyap. Freud dalam menyoroti individu manusia sangat dipengaruhi oleh pola pemikiran seperti itu, menganggap organisme manusia sebagai suatu sistem energi yang kompleks. Dengan dipengaruhi filsafat determinisme, Freud pada saat itu berpendapat bahwa perilaku manusia lebih didorong oleh insting dan motif-motif seksual dan pendapat ini berakhir hingga muncul bantahan dari anak didiknya sendiri, Carl Gustav Jung dan disusul kemudian oleh generasi ilmuwan berikutnya. Kritik halus berasal dari Karen Horney yang mengatakan, “Orientasi-teoritis Freud sangatlah mekanistis dan biologis. Ia menyarankan teori psikoanalisis Freud haruslah mampu mengatasi berbagai keterbatasan yang diciptakannya sendiri”. Bahkan selaku psikolog bergender wanita, Horney agak tersinggung dengan teori penis envy, yang menggambarkan adanya inferioritas genital atau yang secara sadar iri kepada perbedaan penis. Selanjutnya ia menyatakan bahwa inferioritas psikologis wanita hanyalah karena kekurang-percayaan diri semata, akibat terlalu memberi tekanan yang berlebihan pada “hubungan-cinta”, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan anatomi organ seksnya. Hal ini bermakna subyektivitas, yaitu status dan identitas seseorang pun bisa juga mempengaruhi pola pikirnya dalam berteori, meski hal ini harus dikaji ulang dengan lebih seksama. Begitu pula dengan Carl Gustav Jung yang dibesarkan oleh seorang ayah pendeta Gereja Reformasi Swiss, serta ketertarikan dirinya pada penelitian bahasa kuno dan arkeologi, meski ia adalah murid dan pengagum Freud, akhirnya “membelot” dari pandangan guru-nya tentang manusia dan melihat kepribadian individu sebagai produk dan wadah sejarah leluhur. Menurut pendapatnya, manusia modern dibentuk dan dicetak ke dalam wujudnya yang sekarang ini oleh berbagai pengalaman kumulatif generasi masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai ke asal-usul manusia yang samar dan tidak diketahui. Oleh karena itu, Jung meneliti mitologi, agama, lambang dan upacara kuno, adat-istiadat dan kepercayaan serta mimpi dalam mencari akar dan perkembangan asal-usul ras dan evolusi kepribadian manusia. Beranjak dari situlah, Jung kemudian membangun teorinya tentang ego, ketidaksadaran-kolektif, arketipus, anima animus persona serta kekompleksannya. Dari metoda Jung inilah, bisa ditarik suatu pelajaran penting, bahwa para ilmuwan Indonesia dapat melakukan rekonstruksi-sejarah manusia Indonesia yang multi etnis, multi religi dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan keyakinan, agama, budaya dan mitologi. Dewasa ini, banyak ditemukan naskah kuno orisinal hasil ramuan para pujangga terdahulu yang berisi berbagai uraian menarik tentang falsafah dan pandangan hidup, yang dapat dijadikan landasan pengembangan teori tentang manusia Indonesia sesungguhnya, antara lain karya-karya Ronggowarsito, serat centini, uraian tentang martabat tujuh dari Abdul Muhyi Pamijahan dan Hamzah Fansyuri di Sumatra Barat. Begitu juga dalam perspektif agamis, karya-karya Imam Al Gazali, Ibnu Al-Arabi, dan Jalalluddin Rumi yang menjabarkan hakikat manusia secara universal. Kesemua kekayaan khasanah mereka merupakan landasan yang sangat kokoh dan utuh untuk membangun citra dan teori tentang manusia Indonesia. Bahkan, para Ilmuwan Indonesia sepatutnya harus bangga terhadap latar-belakang sejarah dan keluhuran budaya Nusantara, sehingga berani menyatakan telah lahir teori baru yang orisinal tentang manusia Indonesia.
Semoga semua uraian sederhana dan singkat ini, kiranya dapat memicu Rekan-rekan sejawat tercinta dalam mempelopori lahirnya teori-teori orisinal ke-Indonesiaan, melalui keterlibatannya dalam berbagai aktivitas penelitian dan studi di ranahnya masing-masing, baik yang berkenaan dengan ilmu sosial kemasyarakatan dan bahkan teknologi.

Jakarta, 27 Oktober 2011

Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar