.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Jumat, 16 September 2011

Dehumanisasi

Dehumanisasi Praktik Manajemen Indonesia

Beberapa waktu berselang diberitakan ada sekitar 600 orang pimpinan (CEO) perusahaan berskala global telah mengikuti konferensi UN Global Compact di Geneva, Swiss, untuk bertukar pikiran mengenai standardisasi perilaku moral dan etika praktik manajemen korporasi. Motivasi mereka berkumpul tak lain untuk merumuskan pijakan humanisasi organisasi bisnis yang lebih kokoh bagi peningkatan program pertanggungjawaban sosial perusahaan (Corporate Social Rresponsibility), sehingga praktik manajemen mereka yang lazimnya berorientasi profit semata, semakin bergeser menjadi “memanusiakan manusia”. Wujud partisipasi konkritnya bisa mencakup upaya-upaya bersama untuk mengurangi kesenjangan kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan, menegakkan hak asasi manusia dan bahkan ikut aktif mengurangi wabah korupsi, terutama di belahan dunia Timur yang mayoritas warga masyarakatnya masih berkubang nestapa.

Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa para industrialis Barat belakangan ini semakin punya “hati” terhadap masyarakat Timur yang masih serba kekurangan. Agaknya mereka menyadari bahwa kerakusan meraup profit di belahan Timur lambat laun malah ikut menabur kemiskinan dan menebar kesenjangan materi antara Timur dan Barat, yang kemudian beresultante melahirkan perlawanan terselubung, berupa tumbuh kembangnya aksi-aksi terorisme global menentang hagemoni ekonomi dan bisnis Barat. Hal seperti itu jusru kontra produktif bagi kelanggengan dan kenyamanan usaha para industrialis Barat, dikarenakan dunia menjadi tidak aman lagi, serba rawan akan tindakan sabotase serta terorisme yang semakin marak, kian kuat militansinya, dan semakin rapih pengorganisasiannya.

Jangan dilupakan bahwa jika kini praktik manajemen di lahan kaum kapitalis Barat bisa sukses berkembang tanpa limit, justru dikarenakan pelaksanaannya sangat mengedepankan nuansa kemanusiaan. Refleksi praktik tersebut dapat terlihat antara lain dari terpeliharanya pelayanan publik secara prima, terhormatnya hukum sebagai panglima kebenaran, ternistanya korupsi, terjaganya kelestarian lingkungan, terawasinya mutu produk manufaktur, terlaksananya standardisasi upah pekerja yang memadai, terlindunginya hak konsumen, terciptanya keadilan sosial, teraktualisasinya demokrasi yang adil dan merata, terpeliharanya kesehatan masyarakat, dan terjaganya kualitas pendidikan yang unggul. Semangat kemanusiaan atau humanisasi di balik praktik manajemen ini secara konsisten dievaluasi, diperbaharui, dan disempurnakan seirama perkembangan zaman. Sayangnya hal-hal demikian acapkali luput dari perhatian para pengkritik faham kapitalisme.

Managing people

Pada mulanya, penerapan konsepsi ilmiah mengenai praktik manajemen yang pertama kali dirintis dan diaplikasikan di dunia bisnis Barat, seiring gelora revolusi industri di abad ke-18, sangatlah berorientasi pada upaya mengejar keuntungan semata. Unsur manusia (buruh dan/atau karyawan) hanya diposisikan “sejajar” dengan perangkat mesin di pabrik. Perang Dunia II yang terjadi akibat petualangan, persaingan, dan kerakusan mengejar profit – terutama di kalangan para politisi dan industrialis – telah menyadarkan bangsa Barat akan pentingnya mengedepankan semangat kemanusiaan di balik tirai praktik manajemen bisnis mereka. Kemudian timbul kesadaran kolektif bahwa lunturnya kemanusiaan hanya berujung meletupkan berbagai konflik sosial yang parah di tengah masyarakat, bahkan sanggup memicu agresi liar peperangan yang memporak-porandakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdampak menyengsarakan semua pihak, baik kaum papa maupun kaum berpunya.

Tak heran jika seusai Perang Dunia II, para akademisi berbagai perguruan tinggi di Barat, terutama di Eropa, mulai aktif mensosialisasikan dan mengingatkan masyarakatnya bahwa esensi dari praktik manajemen adalah humanisasi: managing people. Bukan lagi hanya mengelola angka-angka, uang, teknologi, administrasi, ataupun tumpukan kertas, tetapi mengelola manusia yang punya eksistensi, cinta, rasa, dan martabat diri. Pada era inilah praktik manajemen versi idiologi kapitalisme mulai mengedepankan corak kemanusiaannya, khususnya yang diterapkan di negeri mereka sendiri. Hasilnya memang menakjubkan. Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Barat pun lantas menanjak pesat, peradaban bersinar, serta ilmu dan teknologi melejit tak alang kepalang, hingga detik ini.

Berbekal semangat humanisasi kapitalisme inilah mengalir paradigma mengenai orientasi praktik manajemen yang “memanusiakan manusia”, di mana gaungnya pun seringkali kita dengar di tanah air, seperti diperkenalkannya konsep manajemen altruistik (a social behavior carried out by an individual or organization to benefit another without anticipation of rewards from external sources), yang belakangan popular disebut sebagai manajemen berbasis pemangku kepentingan (stake holders). Konsep inilah yang kemudian menginspirasi munculnya aktivitas  Corporate Social Responsibility (CSR) oleh para industrialis di Indonesia. Menurut Winwin Yadiati, CSR didefinisikan sebagai “komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat luas” (PR, 2007). CSR mengilhami pula hadirnya gagasan maupun program filantropi global – MDGs (Millennium Development Goals) – yang diprakarsai para pelaku sektor publik, yang notabene disponsori dunia Barat.

Target penting yang dicanangkan program MDGs adalah untuk mengurangi kemiskinan global dengan terlebih dahulu menghilangkan permasalahan buta huruf, kemudian menjamin kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak di seluruh pelosok dunia. Program ini bertujuan pula memperluas pelayanan kesehatan bagi kaum papa, menegakkan kesetaraan jender dengan meningkatkan pemberdayaan kaum wanita, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta menghilangkan perdagangan dan perbudakan manusia. Kesemua sasaran tersebut diharapkan dapat dicapai selambat-lambatnya pada tahun 2015.

Dehumanisasi

Sayangnya di era reformasi ini, tren humanisasi praktik manajemen tak lantas diadopsi tulus hati oleh para pengambil keputusan di tanah air. Jika ada pejabat publik ataupun pebisnis kita yang berbicara kemanusiaan, rasanya “sulit dipercaya”, sebab faktanya hanya menjadi jargon pemanis belaka: lain di mulut lain di hati. Belum tegas terlihat motivasi kuat untuk menghadirkan semangat humanisasi di balik tirai praktik manajemen yang dicanangkannya itu. Malah yang nampak kasat mata setelah sekitar 14 tahun mengarungi samudera reformasi, justru menguatnya tren dehumanisasi praktik manajemen di bumi nusantara tercinta ini. Fenomenanya bisa nampak pada kenaikan drastis harga bensin demi mengurangi subsidi, tertatih-tatihnya penanganan korban Lumpur Lapindo, perubahan tarif jalan tol demi investasi baru, pemaksaan penggunaan kompor bertabung gas menggantikan minyak tanah, komersialisasi pendidikan demi peningkatan kualitas, standardisasi pengupahan yang masih pas-pasan, melonjaknya penghasilan pejabat publik tanpa diimbangi prestasi, karut-marut dan rawannya pelayanan publik, maraknya bunuh diri tanpa ada yang mau peduli, membumbungnya harga barang kebutuhan pokok sehari-hari, kerusakan lingkungan yang menggelindingkan bencana alam, minimnya perlindungan terhadap TKW penghasil devisa, serta hampanya penanganan gelombang kemiskinan maupun PHK yang kelak akan menjadi “bom waktu”.

Biasanya, dalam tren dehumanisasi praktik manajemen seperti itu, orang akan berkecenderungan menanggalkan pula etika dan moralita kerjanya. Narsisme dan egosentrisme akan menguat. Agama pun tergadaikan sebatas formalisme ritualitas belaka. Tujuan dari semua tingkah laku kolektif pun akhirnya direduksi menjadi satu kata: uang atau “profit”. Sepintas, perjalanan situasi ke-Indonesia-an saat ini boleh dibilang hampir identik dengan siklus sosial Eropa yang pernah mengagung-agungkan profit semenjak era revolusi industri hingga titik klimaks saat pecahnya Perang Dunia ke II. Tidak hanya itu, sejarah sebelum era itu pun senantiasa mengajarkan bahwa ketika area humanisasi suatu bangsa mengecil sehingga lokasi dehumanisasinya membesar, maka yang akan terjadi kemudian adalah konflik sosial berdarah, chaos, disintegrasi, atau bahkan kepunahan. Hal ini yang patut direnungkan dan dicermati bersama.

Walaupun hakekat reformasi adalah humanisasi di segala bidang kehidupan demi kemerdekaan jiwa dari tirani berpuluh-puluh tahun oleh bangsa sendiri, namun dalam kenyataannya reformasi belum juga berkesanggupan meredusir dehumanisasi praktik manajemen warisan Orla dan Orba. Bahkan demokrasi di era Orde Reformasi yang kita banggakan, hanya menghasilkan antrian panjang rakyat yang berebut sembako, atau berpanas-panas menunggu antrian zakat. Penyempitan ruang humanisasi praktik manajemen seperti itu, bisa diprediksikan semakin memperlemah survival anak bangsa untuk bisa lolos dari krisis multi-dimensi hasil warisan dosa-dosa kesejarahan masa lalu. Hal tersebut jauh berbeda dengan masyarakat Barat, semisal Eropa, yang sukses meloloskan diri dari jerat dehumanisasi atas dosa-dosa kolektif dari jejak kekeliruan nurani masa lalunya. Fasilitas publik terus disempurnakan, terutama bagi para penyandang cacat, yang merefleksikan tanda-tanda semakin humanisnya praktik manajemen di sana. Gelimang kemakmuran tidak lantas membuat Uni Eropa takabur menyepelekan spirit humanisasi, justru sebaliknya semakin diperkokoh memperkaya peradaban mereka.

Dalam napak tilas pribadi, penulis bersyukur memperoleh kesempatan melakukan observasi empiris mempelajari dinamika Uni Eropa saat ini dengan menyusuri daratan Amsterdam-Brussels-Paris, menjelajahi kota hingga ke pelosok desa, berjumpa para petani, pengusaha, hingga kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi. Hal yang mengejutkan, umumnya orang di sana lebih antusias membahas perkembangan di Vietnam atau Malaysia. Bila berbicara mengenai Indonesia mereka lebih tertarik mempertanyakan permasalahan yang tengah dihadapi negara kita. Sungguh kontras dibandingkan dengan perjalanan yang sama era tahun 70-an, di mana penulis seringkali kewalahan menjawab pertanyaan tentang ketertarikan masyarakat Eropa akan eksotisme Indonesia.

Memang, Indonesia adalah negeri cantik yang tengah terbenam dalam pusaran arus beban permasalahan makro-sosial dan mikro-ekonomi yang datang secara bersamaan. Dalam situasi demikian tidak ada resep solusi teoritikal “mujarab” yang bisa diterapkan. Satu-satunya jalan terang yang terbuka hanyalah dengan kesadaran kolektif untuk menolak setiap langkah yang beraroma dehumanisasi sekaligus berkeberanian meng-humanisasi-kan praktik manajemen di negeri ini. Meletakkan kebijakan pondasi “memanusiakan manusia” di atas tirai perhitungan angka-angka persentase profit ataupun sederetan perhitungan statistik pertumbuhan ekonomi yang kerap meninabobokkan realitas kemanusiaan di lapangan. Semoga di bulan syawal yang sarat pesan empati sosial ini, nuansa kemanusiaan kita pun perlahan-lahan beranjak mekar, meneduhkan zaman yang katanya sudah bertambah edan.

6 September 2011

Jumat, 02 September 2011

Urgensi Falsafah


Urgensi Falsafah dalam
Perspektif Manajemen dan Kepemimpinan

Manusia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut ‘alam semesta’, manusia mengalami dirinya sendiri, pikiran, dan perasaannya, sebagai sesuatu yang terisolasi - semacam delusi optik - dari alam sadarnya. Delusi itu menjadi semacam penjara baginya, menghalangi manusia akan pemenuhan hasrat pribadinya, juga kasih sayang terhadap orang-orang disekitarnya. Tugas utama manusia adalah membebaskan dirinya sendiri dari penjara  dengan memperbesar lingkaran kepedulian dan rasa kasih sayang kepada sesama mahluk hidup dan seluruh alam semesta dalam bingkai keindahannya” (Albert Einstein)
Baru beberapa hari yang lalu, bangsa Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66. Dari peristiwa yang memiliki nostalgia bersejarah ini dapat dipetik berbagai hikmah dari perjalanan para pendiri dan pendahulu dalam meletakkan dasar filosofi bagi berdirinya negara RI tercinta. Dilatari susana yang mencekam, akan ancaman konflik-internal dan eksternal, para pendiri dan pendahulu bangsa dengan teguh dan sungguh-sungguh serta tekad yang kuat berkeinginan membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara yang besar dan luas, yang diabadikan dalam lagu “dari Sabang sampai Merauke” dengan diwarnai beraneka ragam budaya, etnis, suku dan bahasa daerah yang kaya serta sumber daya alam yang melimpah, maka dicantumkanlah lima sila dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang kesemuanya terangkai dalam falsafah Pancasila sebagai landasan idiil dan sekaligus ideologi negara, dimana kelima silanya dijadikan philosophical way of thinking or system landasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Pancasila sebagai falsafah terbuka saat itu, berfungsi sebagai rujukan, inspirasi dan jiwa dalam menata tujuan hidup bersama, terutama dalam administrasi negara. Harus diakui oleh bangsa Indonesia bahwa falsafah Pancasila telah menjadi alat perekat yang ampuh mempersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka NKRI, dan bahkan beberapa negara lain di dunia mengagumi akan kokohnya persatuan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Untuk tidak berpretensi terhadap segala pasang surut perjalanannya, falsafah Pancasila masih terus dipertahankan sebagai landasan idiil dan ideologi negara, yang membuka ruang interpretasi sesuai dengan tuntutan perubahan, baik sebagai tuntutan orde reformasi maupun tuntutan kekinian zaman secara lebih luas. 

Terlepas dari pembicaraan kesemua tadi, dalam derap kemajuan zaman, serta dalam era revolusi teknologi digital dewasa ini, masih relevankah kita membicarakan dimensi falsafah dari perspektif manajemen dan kepemimpinan? Lebih spesifik lagi pada sektor keorganisasian bisnis? Dapatkah falsafah negara diabaikan dalam membangun dan mengembangkan keorganisasian bisnis? Atau apakah sebaiknya keorganisasian bisnis menyelaraskan budaya bisnisnya dengan nilai dan tujuan luhur yang hendak dicapai suatu negara? Yang menjadi permasalahan disini adalah kita sudah berada di tengah-tengah konstelasi pergaulan dan interaksi dunia, dimana sekat-sekat budaya, dan tradisi negara semakin samar dan seolah-olah menyatu dalam kesatuan dunia tanpa negara (The Borderless World).

Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen disinyalir Peter Drucker, sebagai salah satu disiplin ilmu yang paling berkembang pesat, dimana dalam kurun waktu sekitar 150 tahun telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi “peradaban manusia”. Bahkan dewasa ini, manajemen diabdikan dalam mengelola sumber daya manusia yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dalam usaha mencapai tujuan jangka panjang, ke masa depan kebudayaan manusia serta memiliki pengaruh yang luas dan menjalar ke seluruh dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia melalui ilmu manajemen inilah kita dapat mempekerjakan orang-orang yang bukan hanya “pekerja-keras” tetapi juga “pekerja-cerdas” untuk melakukan kegiatan yang bersifat produktif dan juga kadang kala spekulatif dalam mewujudkan tujuan bersama.

Pada tahun 1996, Bill Gates, seorang usahawan ternama di dunia melalui perusahaan Microsoftnya, telah berhasil merekrut 4.600 ilmuwan dengan menghabiskan biaya 1 miliar dollar yang bekerja dalam “kelompok platform”,  mencakup windows, explorer, dan aplikasi internet lainnya, serta 1.800 ilmuwan lainnya dengan menghabiskan 400 juta dollar yang bekerja untuk mengembangkan berbagai aplikasi desktop yang akhir-akhir ini meraup banyak laba. Ia berkeyakinan, semakin besar bandwidth (kapasitas intelektual) SDM yang dimiliki dan semakin banyak kecerdasan kolektif yang terkumpul, maka akan semakin memperkuat posisi organisasi bisnisnya. 

Selanjutnya, pengembangan knowledge-management ini perlu dibarengi dengan pengembangan Digital Nervous System (DNS), yakni suatu proses digital yang memungkinkan suatu organisasi dapat melihat dan bereaksi terhadap lingkungannya, merasakan tantangan pesaing, serta merasakan kebutuhan pelanggan dengan cepat dan tanggap. Tentunya, kesemua hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan konsumen yang menuntut pelayanan yang lebih cepat, hubungan personal yang lebih kuat, dan web-work-style manajemen yang menjadi suatu keharusan dewasa ini. Sekelumit gambaran di atas tentang perubahan fundamental kedudukan dan fungsi manusia di dalam manajemen, sebagai dampak ekonomis dari teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet dimana kedudukan kapasitas intelektual dan kreativitas semakin sentral, sebagai adanya “potensi-potensi” tersembunyi yang perlu dikenali dan dikembangkan.

Kembali kepada pertanyaan semula tentang relevansi dimensi filosofi dalam perspektif manajemen dan kepemimpinan, seringkali para praktisi di bidang manajemen kurang memberikan perhatian khusus untuk melihat manfaatnya bagi kebutuhan praktek sehari-hari. Sejak menduduki bangku kuliah, kebanyakan mahasiswa sudah apriori terhadap pelajaran filsafat yang dianggap sebagai mata kuliah yang rumit dan kurang diminati dan bahkan bersifat abstrak dan “mengawang dilangit”. Bertolak belakang dengan ilmu manajemen yang pada hakikatnya bersifat praktis dan aplikatif, yang berorientasi pada tindakan dan implementasi nyata di dalam ruang kesibukan pekerjaan dan keorganisasian. Tidak berbeda pula dalam dunia administrasi pemerintahan dan juga di lingkungan organisasi bisnis, perbincangan tentang filsafat ini hampir jarang terdengar, dan bahkan kurang menarik untuk dibicarakan terkecuali hal-hal yang berkenaan dengan raihan laba atau keuntungan. Rupanya dalam praktek keseharian bisnis di Indonesia dewasa ini, pendekatan praktis-pragmatis lebih mengemuka dan dianggap lebih bermanfaat ketimbang “filosofi-utopis”.

Dari perspektif manajemen dan kepemimpinan, sebaliknya Peter Drucker berpendapat bahwa dengan memprioritaskan keuntungan ekonomis – manajemen dan kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari dimensi falsafah, bahkan tidak akan memiliki fondasi keilmuan yang kuat. Ia yakin bahwa praktek-praktek manajemen dan kepemimpinan memiliki  beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis, terutama karena adanya keberadaan manusia didalamnya. Manusia haruslah dipandang sebagai sosok tujuan yang melekat pada dirinya, dan bukanlah alat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Aspek kemanusiaan haruslah dijadikan prinsip utama, dan tanpa aspek itu, manajemen dan kepemimpinan dapat tergelincir pada eksploitasi dan bahkan dijadikan alat pembenaran bagi penindasan, atau selubung untuk menutupi ketidakadilan. Untuk itulah manajemen dan kepemimpinan perlu memiliki wawasan filosofis, khususnya berkenaan dengan manusia yang memiliki kedudukan dan peran yang semakin sentral. Melalui dimensi falsafah inilah, terjadi perubahan cara pandang terhadap kedudukan manusia, sebagaimana sebelumnya orang telah mengkritisi Frederick Winslow Taylor, seorang pakar keilmuan manajemen yang memandang manusia sebagai alat dan mesin yang dapat dimanipulasi para investor kapitalis. 

Suatu manajemen dan kepemimpinan yang dipisahkan dari relasi kemanusiaan dan emosi, maka buruhlah yang harus menyesuaikan diri dengan manajemen dan kepemimpinan dan bukanlah sebaliknya. Elton Mayo beberapa tahun kemudian, membawa angin segar dengan menggantikan teori terdahulunya melalui keterampilan relasi-kemanusiaan, yang dapat memudahkan pencapaian tujuan keorganisasian secara lebih kooperatif, dan juga tersedianya kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan individual. Teori atau pendekatan ini terus berlanjut dimana berbagai model perilaku-organisasi dan gaya kepemimpinan dikembangkan untuk mampu menampung aspirasi, kebutuhan, dan aktualisasi diri manusia dengan segala keunikan dan otentisitas dirinya dalam meraih kinerja yang prima. Manusia yang memiliki integritas, komitmen terhadap tujuan, selaras dengan budaya keorganisasian, akan menyesuaikan diri dan memiliki tanggung jawab terhadap organisasi dan konsumen. Ratusan kajian penelitian dan laporan kesuksesan perihal keberhasilan manajemen dan kepemimpinan terus dikembangkan untuk memberikan dukungan dan umpan balik tentang adanya wilayah-wilayah yang belum tersentuh dalam diri manusia, termasuk keberadaan kecerdasan emosi-spiritual yang memberikan manfaat yang besar pada proses manajemen dan kepemimpinan, pengambilan keputusan, terobosan teknik-strategik, komunikasi, teamwork, loyalitas, kreatifitas dan inovasi.

Dimensi filsafat dalam manajemen dan kepemimpinan, sepertinya dapat diintegrasikan ke dalam dua faktor, pertama untuk memperkokoh dimensi keilmuan bagi perkembangan dan kesinambungan disiplin ilmu manajemen dan kepemimpinan itu sendiri. Kedua, dalam tataran praktis, falsafah - manajemen dan kepemimpinan dapat memberikan daya hidup terhadap organisasi, yang diletakkan sebagai budaya keorganisasian baik bisnis maupun publik yang dapat menumbuhkan rasa identitas dan jatidiri organisasi itu sendiri, setia “berkomitmen” terhadap falsafah yang dianutnya, kemudian dijalankan dalam tata-hubungan dan tata-kelola organisasi sehingga menjiwai setiap perilaku dalam bekerja dan mengabdi di dalamnya.

Berpulang kembali pada pembicaraan semula, Negara Republik Indonesia telah berdiri 66 tahun, para pendiri dan pendahulu telah meletakkan dasar-dasar falsafah negara yang konon digali dari akar sejarah jati-diri bangsa Indonesia, dalam perjalanannya mengalami ujian dan pasang-surut termasuk pengaruh arus globalisasi dan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet yang telah banyak menjungkir-balikkan tatanan hidup manusia. Dunia bisnis masih memiliki ketergantungan terhadap peran negara dan demikian juga sebaliknya, dimana masing-masing pihak dapat mengadopsi nilai-nilai positif dari falsafah – masyarakat, bangsa dan negara-, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. 

Burung Garuda masih bertengger gagah didepan atas gedung wakil rakyat, dengan segala “kegaduhan” yang ditimbulkan oleh “pesta-demokrasi” dan yang tak berkesudahan, sejarah telah mencatat dan akan terus mencatat tentang sejauh mana suatu falsafah Pancasila masih diakui dan dibanggakan, dan “kesaktiannya” tidak lekang ditelan jaman. Apalagi karena ada dua kata yang memiliki nilai sakral dalam falsafah Pancasila, yakni “Tuhan” dan “Kemanusiaan”, sebagai awal dan akhir perjalanan fitrah manusia dimanapun, diakui atau tidak. Dirgahayu Republik Indonesia.

29 Agustus 2011

Energi Kepemimpinan


ENERGI KEPEMIMPINAN
“Tugas manusia yang pertama dan paling utama sebagai seorang pemimpin,
adalah mengendalikan  energi dirinya sendiri, dan kemudian membantu
menyelaraskan energi  rekan-rekan kerja yang ada disekitarnya” (Peter F. Drucker)

Faktor kreatifitas sebagai salah satu kunci kebehasilan kepemimpinan, dan juga faktor energi sebagai “amunisi” penggerak aktivitas dan kreativitas kepemimpinan, telah digarisbawahi pada tulisan terdahulu. Khususnya berkenaan dengan faktor “energi”, perlu mendapat perhatian khusus. Mengingat, bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat bekerja secara akseleratif dan berkesinambungan, jika kepribadiannya tidak stabil, mudah drop, berkeluh-kesah, dan tidak tahan dengan tekanan (stress) kerja, meski ia memiliki kualitas kecerdasan yang memadai.
Sigmund Freud yang terilhami oleh para pakar ilmu alam abad ke-19, secara serius memfokuskan studinya berkenaan dengan “energi psikis” sebagai penggerak motivasi atau drive perilaku manusia. Energi psikis atau kepribadian ini menurutnya dapat diubah menjadi energi fisiologis atau tubuh dan sebaliknya. Titik temu antara kedua energi ini terletak pada apa yang ia sebut sebagai “id” beserta insting-instingnya. Insting adalah seberkas atau sebutir energi psikis yang dibutuhkan seseorang pada saat beraktivitas. Terpengaruh oleh faham determinisme dan positivisme, Freud melihat organ manusia sebagai suatu sistem energi yang kompleks. Dimana, dinamika dan stabilitas kepribadian manusia akan sangat ditentukan oleh sejauh mana energi psikisnya disalurkan dan dikendalikan dengan baik, sehingga perilaku manusia tersebut akan menjadi efektif. Freud menyoroti struktur kepribadian manusia sebagai sesuatu yang terlibat dalam pengendalian energi ke dalam unsur unsur yang disebut id, ego dan super-ego. Karenanya efektif atau tidaknya perilaku seseorang, akan tergantung pada cara kerja ketiga unsur tersebut dalam mengendalikan energi manusia. Dalam hal ini, Freud menekankan adanya dominasi energi libidinal atau seksual sebagai motif utama penggerak orang berperilaku, sebagai energi dasar alami manusia sejak lahir yang cenderung pada pemuasan akan kesenangan jika energi-libidinalnya terlampiaskan. Pemahaman akan hal ini masih cukup relevan, dikarenakan tidak sedikit “simtom-simtom” penyimpangan perilaku terjadi di kalangan pemimpin keorganisasian dikarenakan gagal dalam mengendalikan energi sejenis itu.
Dewasa ini, para ahli berusaha mencari potensi energi penyeimbang “yang lebih luhur”, yang dapat meningkatkan martabat manusia, semacam apa yang disebut “energi emosional-spiritual”. Sehingga energi alami-instingtif yang dimiliki manusia tadi perlu diselaraskan dengan energi-fitrah yang bersumber dari ketulusan hati manusia itu sendiri.
Pemahaman akan keberadaan energi kepemimpinan dirasakan semakin penting di era millenium abad ke-21 ini. Adanya keterkaitan  antara “energi inti” dan kepemimpinan terlihat nyata dalam berbagai kegiatan organisasional baik bisnis maupun publik akhir-akhir ini, seperti yang diungkapkan oleh  Herman Simon - CEO Simon, Kucher & Partner -  yang mengatakan: ”…..ciri keberhasilan suatu organisasi bisnis terletak pada pundak para pemimpinnya yang memiliki energi, stamina, semangat, dan kegigihan yang berlimpah dan tidak ada habisnya untuk mendorong kemajuan organisasinya”.
Sejalan dengan hal itu, Robert E. Thayer, salah seorang Profesor dari State California University, mensinyalir adanya 4 (empat) kondisi energi utama yang berkenaan dengan manusia. Pertama, yang disebut dengan Tense-Energy atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik dan energi yang tinggi, dimana manusia terdorong untuk bersemangat mencapai sasaran demi sasaran hampir tanpa henti-hentinya, sampai melupakan waktu untuk beristirahat dan merenung.  Jika kondisi ini berlangsung terus tanpa terkendali bisa menghantarkan ke tepi jurang kehancuran, karena ia terkuras dan kehabisan tenaga yang pada akhirnya akan mengacaukan prioritas dan efektivitas kerjanya.
Kedua, yang disebut dengan Tense-tiredness atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik namun dengan energi yang rendah, dimana hal yang paling tidak diinginkan oleh manusia, dicirikan oleh suasana hati dan kondisi fisik yang lelah secara menyeluruh yang bercampur dengan ketegangan, kegugupan, dan kecemasan. Jika kondisi ini berlangsung terus, manusia dapat terkena depresi, bahkan terseret dalam penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol. Kondisi seperti ini merupakan situasi terburuk dari pudarnya stamina, vitalitas, dan konsentrasi seseorang.
Ketiga, yang disebut dengan Calm-Tiredness atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik dan energi yang rendah, atau suatu kondisi dengan perasaan yang nyaman dan santai, terbebas dari berbagai permasalahan besar diseputar pekerjaannya. Kondisi yang ketiga ini sehat untuk membebaskan diri seseorang dari desakan skedul dan batas waktu kerja, namun suasana yang mirip dengan liburan ini tidak bisa dipertahankan secara terus menerus, khususnya ketika seseorang didesak menyelesaikan target-target pekerjaannya. Perlu diperhatikan, kondisi ini boleh diciptakan untuk sementara waktu saja, demi melonggarkan otot-otot dan ketegangan psikis manusia.
Terakhir, kondisi yang mendekati ideal, yaitu Calm-energi atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik yang rendah dan energy yang tinggi, dimana kondisi ini sangat tentram dan terkendali, dan hanya sebagian kecil dari manusia yang pernah mengalami hal seperti ini. Perlu diperhatikan, kondisi ini dapat menggantikan kondisi tense-energy, sehingga pikiran dapat lebih waspada, optimis, perasaan tubuh yang damai dan menyenangkan, dibarengi dengan stamina dan kesehatan fisik terbaik. Dalam kondisi seperti ini, cadangan energi mental dan fisik manusia relatif tinggi, serta memiliki kesehatan tubuh dan kecerdasan kreatif yang terbaik dan meningkat. Suatu kondisi mental-emotional overdrive ini dapat dikatakan sebagai suatu sistem pengaturan dan pengendalian upaya yang terencana untuk menghasilkan kinerja yang optimal, sehingga penggunaan energinya berjalan efektif dan efisien.
Pada hakekatnya, manusia perlu memiliki energi yang tinggi, namun bersamaan dengan hal itu, manusia juga perlu merasakan ketenangan, pemahaman yang baik tentang diri sendiri dan dunia sekitarnya, yang sangat berbeda ketika ia tengah lelah dan tegang. Jika manusia dihadapi suatu ketegangan maka jadikan hal itu sebagai ketegangan-kreatif, yaitu suatu keadaan memuncaknya energi yang dirasakan ketika manusia terlibat sepenuh hati dalam suatu pekerjaan.
Oleh karena itu, adanya energi alami-instingtif yang berpadu dengan energi inti yang bersifat spiritual, bila keduanya didampingkan secara dinamis-harmonis, selaras dan seimbang dapat menghasilkan energi kreatif yang sangat dahsyat, dan hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menjalankan roda kepemimpinan.
Energi inti yang tesembunyi dan bersifat spiritual tersebut, menjadi sangat penting sekali untuk dihadirkan ke ruang kerja seseorang, sebagaimana dikemukakan oleh David Whyte,agar membuat jiwa manusia menjadi lebih bahagia dan kreatif, maka perlu menghadirkan unsur-unsur tersembunyi pada diri seseorang ke tempat kerjanya, meskipun hal itu tampak berupa sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan yang tengah dihadapinya ”.
Disadari, sebersit penggugah pendek ini, belum menyentuh aspek-aspek penting lainnya secara lebih mendalam, namun paling tidak bisa mengingatkan kita bersama, - Staf Pimpinan dan Tenaga Pendidik - agar tidak terjebak dengan berbagai sindroma serta iklim dan kondisi kerja yang tidak kondusif, dimana ketegangan meninggi dan bersifat destruktif terhadap upaya pencapaian kinerja kita bersama.

22 Agustus 2011

Kepemimpinan Kreatif


KEPEMIMPINAN KREATIF
“Keberanian diperlukan untuk tampil dan angkat bicara,
keberanian  juga diperlukan  untuk duduk dan mendengarkan
(Winston Churchill)

Kesadaran masyarakat produktif akan pentingnya faktor sumber daya manusia (SDM) menjadi wacana yang perlu terus dikembangkan dalam dasawarsa akhir-akhir ini. Dalam upaya mengembangkan wacana tersebut, jika keliru dalam menentukan pilihan strategisnya akan berakibat fatal terhadap rencana keorganisasian yang akan diimplemantasikan. 

Orang mulai sadar bahwa masa depan adalah ketidakpastian, dan begitu juga orang menyadari bahwa kepastian itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Oleh karena itu, organisasi bisnis berskala besar seperti halnya Microsoft sudah tidak lagi melihat, kemana arah perubahan akan berjalan, melainkan bagaimana mereka menciptakan “arah perubahan” itu sendiri yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kesinambungan bisnisnya. Kemampuan dalam menciptakan arah perubahan atau trend ini tentunya dibutuhkan para aktor produktif berkaliber handal beserta teamwork-nya yang memiliki kemampuan diatas rata-rata dalam aspek potensi, fungsi dan kompetensi atau dengan rumus satu kata, kreatifitas-nya.

Dewasa ini, para pakar behavioral-sciences, banyak membicarakan perihal otak kanan dan otak kiri, Emotional Quotient (EQ) sampai ke Emotional Spiritual Quotient (ESQ) melalui berbagai program seminar dan pelatihan untuk berusaha menggali ke kedalaman inti kekuatan manusia. Sebagai respon atas stimulus di atas, berbagai organisasi dan institusi mengirimkan para pimpinan dan stafnya dengan suatu harapan yang besar, kreatifitas dapat dicetak di berbagai seminar dan pelatihan dengan tema-tema seperti itu. Padahal para pesaing yang berada di luar negeri, telah terlebih dahulu meneliti, merencanakan dan melaksanakan program serupa secara evaluatif dan akseleratif terhadap kemampuan-kemampuan yang ingin digali dari tema-tema tersebut, atau dengan kata lain pola pikir kita masih terjebak pada pola pikir mengikuti trend, dan belum pada menciptakan trend. Jadi, ketika orang lain sudah melangkah dua tiga tahap, kita baru masuk ke tahap persiapan, terus demikian puas dengan hanya menjadi “ekor naga” tidak sebagai “kepala”nya, padahal kata kreatif itu sendiri dalam implementasinya perlu dipicu oleh energi, keberanian, dan inisiatif, dimana kesemuanya ini dibutuhkan pengalaman bertarung dalam “medan tempur” yang sebenarnya, tidak melulu berkutat di berbagai forum wacana dan ruang simulasi. 

Meminjam anekdot dari Mark Twain, “orang yang belajar menangkap kucing dengan menarik ekornya berarti belajar kira-kira 44% lebih cepat daripada yang hanya menonton”.  Dengan kata lain, ruang pembelajaran kita terjadi dalam ruang sepanjang hidup kita, tidak terikat atau tersekat-sekat dan meloncat dari satu event ke event  lain, meski hal seperti ini tidaklah buruk, namun dalam situasi keorganisasian saat ini terlalu banyak jebakan yang tidak selalu dapat kita tolerir, dan hanya membuang waktu saja. Sikap dan perilaku manusia tidak dapat dicetak dalam waktu yang singkat, kita mungkin merasa berhasil dengan menawarkan sejumlah aktivitas keorganisasian, baik formal maupun informal yang berhasil menarik perhatian publik. Namun yang terjadi justru bisa sebaliknya dimana hasil yang kita dapatkan bukanlah pioneer-pioneer kreatif, akan tetapi yang  didapat  adalah individu-individu “pseudo-kreatif” yang mungkin fasih dengan pekik “salam super-nya”, dimana ketika persoalan menerpa individu-individu tersebut, mereka kembali menjadi gagap dan panik-reaktif serta defensif terhadap serbuan berbagai kritikan dan persoalan yang datang silih-berganti.

Pada hakekatnya, keberanian untuk menata faktor SDM sendiri untuk mengatasi persoalan yang khas menjadi sangat penting, karena kita tidak ingin selalu menjadi pengekor, melainkan bagaimana kita bisa berdiri di depan menatap jurang dan ngarai, lembah dan hutan, serta gedung pencakar langit, untuk kemudian bergerak cepat menempuh dan mengarungi “tantangan ke depan” sebagai individu-individu yang tangguh, penuh impresi dan daya energi yang tak habis-habisnya mantap-kuat menatap ke depan.

Ada suatu cerita dari Bert Decker, seorang peneliti dan pakar konsultan komunikasi, perihal betapa kekuatan energi pada diri individu dapat menjadi magnet penggerak yang dahsyat dalam memotivasi orang lain. Ketika presiden Kennedy telah melampaui masa kampanye yang panjang dan melelahkan, dan harus kembali tampil di mimbar depan kantor gubernur California di Sacramento, nampak Ia sudah amat letih. Decker mengira Kennedy akan nanar dan tumbang, dan ia berkata dalam hati bahwa pidato Kennedy tak akan berhasil.  Diluar dugaan, keajaiban terjadi, Decker terpana, ”Kennedy menatap mata semua yang hadir, berdiri tegak dan bicara dengan intonasi dan semangat berapi-api. Inilah pidato yang paling memukau dan efektif selama yang saya lihat, penuh gairah, daya dan energi. Penggunaan energi pribadinya yang menyeluruh membuatnya mampu menjalin hubungan emosi dengan para pendengarnya. Ada energi pada suaranya, dalam wajah, mata, dan bahasa tubuhnya. Daya yang terpancar melalui suara dan penampilan tokoh ini yang tersampaikan pada jutaan orang yang melihatnya, baik yang secara langsung maupun lewat televisi menunjukkan bahwa ia orang yang yakin dengan yang diucapkannya”, demikian kesan Decker.

Dengan demikian, energi yang dikendalikan oleh hati dan semangat tulus inilah yang mulai menjadi perhatian dan kunci sukses di abad ke-21 ini, untuk kembali pada keutuhan SDM. Banyak pembicara di bidang kepemimpinan dan kreativitas yang pandai mengolah kata-kata, akan tetapi tidak mampu menggugah serangan rasa kantuk kita, dan bahkan pirsawan televisi di rumah memindahkan channel siaran televisinya.

Saat ini, masyarakat produktif mulai menyadari nilai individu serta kontribusi yang diberikan melalui kreativitasnya. Meskipun kreatifitas dimulai dari individu, namun mengubah ide kreatif ke dalam inovasi atau implementasi kreatif ke dalam kegiatan keorganisasian perlu melibatkan lebih banyak individu. Dengan kata lain, kreativitas telah menjadi bagian dari cara kita beroperasi secara alami.

Bill Gates didalam organisasi bisnis Microsoft-nya, mengembangkan apa yang disebut soft-management, yakni dengan memberikan ruang yang luas terhadap berbagai gagasan kreatif, dengan mendorong atmosfer kerja yang bebas dan santai, menciptakan struktur datar dan hirarki yang tidak banyak, membangun organisasi bisnisnya menjadi kelompok-kelompok kecil, kemudian diberi tugas yang terdefinisi dengan jelas dan mereka bertanggung jawab secara penuh terhadap tugas tersebut. Mendorong diskusi dan perdebatan, termasuk dengan menggunakan e-mail serta mengakui dan menghargai kesuksesan kelompok ataupun individu. Selain itu melalui pendekatan hard-managementnya, Bill Gates telah menerapkan implementasi kontrol yang tepat dari atas, dimana semua kelompok ataupun individu harus mengetahui siapa yang berwenang dan bertanggung jawab dalam masing-masing tugas organisasi bisnisnya, menyangkut pertanyaan-pertanyaan: siapa yang berkuasa, siapa yang akan mengambil keputusan, siapa yang akan membangun brand dan siapa yang akan merumuskan strategi, dan seterusnya adalah mendelegasikan kepemimpinan dan pemberian otonomi. Kesemuanya ini dikenal dengan menerapkan prinsip 5 E, yakni Empower, Egalitarian, Emphasis, E-mail dan Enrich; atau dengan kata lain memberikan kewenangan kepada individu yang lebih kompeten, mengadopsi  sikap-interaksi egalitarian, memberikan penekanan yang tegas dalam hal kinerja, mengirim dan menerima pesan-pesan dari dan untuk orang lain secara konstruktif, memberikan imbalan dan pengakuan atas keberhasilan individu atau kelompok.

Terciptanya iklim sirkulasi pusaran energi yang sehat dan tak terbatas dalam keorganisasian dapat menghasilkan individu-individu dengan personal excellence, yang mampu menggunakan ide-ide baru dan segar dari semua sumber yang dimiliki, mampu menganilisis sebab-sebab terjadinya kemunduran, dan segera mampu mengubah rencana sehingga aktivitas keorganisasian berjalan dengan baik dan lancar, percaya dengan keunggulan diri sendiri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus.

Secara fenomenal, saat ini keorganisasian merupakan struktur yang lepas dari unit-unit yang saling bergantungan, maka aspek kepemimpinan menjadi hal yang vital. Di satu pihak, setiap unit harus memiliki tipe kepemimpinan yang dapat memaksimalkan kinerja individual, dan di lain pihak setiap unit harus tetap bergabung dengan unit-unit yang lainnya, maka disinilah dibutuhkan kepemimpinan yang kreatif (creative leadership), yaitu individu yang memiliki komitmen terhadap pemikiran kreatif, percaya dan menggunakan teknik berfikir kreatif milik sendiri, mendorong proses kepemimpinan kreatif dengan menyalakan semangat, menggabungkan, memberi kepercayaan dan kewenangan, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan bebas, juga mengakui pentingnya faktor kegagalan.

Dari kesemua refleksi tersebut di atas, tempat dimana kita mengabdi dan berkreasi bersama, perlu diciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu mempunyai kesempatan untuk mencapai dan melampaui potensinya. Setidaknya hal ini perlu dijadikan tujuan atau sasaran kita bersama, dan inovasi adalah salah satu cara untuk mengimplementasikannya. Suatu tempat dimana kreatifitas individu diubah menjadi inovasi keorganisasian. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang intelektual ternama di bidang pengembangan PC, Alan Kay, bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya, dan dalam menciptakan hal itu dibutuhkan energi, imajinasi, kreativitas dan determinasi.

15 Agustus 2011

Kaidah-Kaidah Manajemen


KAIDAH-KAIDAH UTAMA MANAJEMEN

Untuk mengingatkan atau mengulang kembali kaedah-kaedah manajemen yang sering terungkap (utama) dalam pembahasan konsep-konsep dasar manajemen, maka dengan penuh kerendahan hati kami memaparkan sekelumit butir-butir bahasan berikut ini.
  • Kaidah-kaidah utama manajemen memadukan topik-topik mutakhir dan tradisional serta mengorganisirnya disekitar pendekatan fungsional, atau proses manajemen. Meskipun pendekatan lain telah dikembangkan, pendekatan fungsional atau proses ini tetap merupakan sebuah kerangka kerja yang bersifat umum, dan fleksibel untuk menggabungkan berbagai sudut pandang berkenaan dengan kaedah-kaedah utama manajemen.
  • Kaedah-kaedah utama manajemen ini ditujukan bagi para manajer pemula dan berpengalaman yang berusaha mencari informasi termutakhir berikut tinjauan yang melandasinya. Selain itu, hal ini ditujukan pula bagi para profesional termasuk pendidik dan teknikal yang bekerjasama dengan kalangan manajer dan/ atau perlu melaksanakan aktivitas manajemen.
Pemaparan berkenaan dengan kaedah-kaedah utama manajemen, kami bagi ke dalam enam butir yang riciannya seperti berikut ini,

Butir I. Pengantar Manajemen, yang mencakup:
  • Manager Jobs: Menjelaskan sifat dari aktivitas manajerial dengan suatu penekanan khusus pada fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab manajerial.
  • International Management and Cultural Diversity: Menjelaskan cara kerja para manajer dan profesional lainnya di dalam lingkungan keragaman kebudayaan.
  • Information Technology and the Internet: Menjelaskan bagaimana teknologi informasi dan komunikasi (ICT), termasuk Internet dan e-commerce, mempengaruhi aktivitas seorang manajer.
  • Ethics and Social Responsibility: Menjelaskan berbagai aspek moral dan etika dalam ruang lingkup manajemen, yang mencakup pula cyber-ethics dan netiquette, atau perilaku yang dapat diterima dalam penggunaan Internet dan e-mail pada khususnya.
 Butir II. Perencanaan, yang mencakup:
  • Essential of Planning: Menjelaskan kerangka kerja umum dalam aktivitas perencanaan seorang manajer, termasuk pula bagaimana memadukan Internet kedalam aktivitas tersebut.
  • Problem Solving and Decision Making: Menjelaskan dasar-dasar pengambilan keputusan, dengan suatu penekanan pada kreativitas dan aspek-aspek keperilakuan lainnya.
  • Quantitative Techniques for Planning and Decision Making: Menjelaskan berbagai teknik kuantitatif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, seperti analisis titik impas, PERT, dan metode penjadualan produksi barang dan/ atau jasa.
 Butir III. Pengorganisasian, yang mencakup:
  • Job Design and Work Schedules: Menjelaskan bagaimana berbagai aktivitas dipersiapkan, disusun, dan dijadualkan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kepuasan pelanggan.
  • Organization Structure, Culture, and Change: Menjelaskan bagaimana berbagai aktivitas dituangkan dalam suatu struktur organisasi, bagaimana membangun budaya organisasi, serta bagaimana mendinamisasikannya terhadap perubahan-perubahan lingkungan eksternal.
  • Staffing and Human Resource Management: Menjelaskan berbagai metode dalam merekrut sumber daya manusia ke dalam organisasi, untuk kemudian dilatih, dan dievaluasi; dan akhir-akhir ini termasuk pula bagaimana intervensinya, seperti hak tunjangan, dalam rangka mempertahankan dan mengikat sumber daya manusia (retensi).
Butir IV. Pengarahan, yang mencakup:
  • Leadership: Menjelaskan berbagai pendekatan yang berkenaan dengan aspek kepemimpinan yang perlu dimiliki bagi seorang manajer, termasuk bermacam keterampilan dan karakteristik pribadi yang dapat memberikan kontribusi pada efektifitas kepemimpinan.
  • Motivation: Menjelaskan tentang apa yang dapat dilakukan seorang manajer untuk meningkatkan bawahannya kearah pencapaian sasaran kerja.
  • Communication: Menjelaskan tentang kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penyampaian dan penerimaan pesan yang akurat; termasuk pula hambatan-hambatan dalam berkomunikasi seperti percakapan yang tidak jujur, dan tidak efektif di tingkat global.
  • Teams, Groups, and Teamwork: Menjelaskan berbagai karakteristik yang perlu dimiliki pada kerja tim (beregu) dan bagaimana mengembangkan anggota tim untuk bekerja secara kooperatif.
Butir V. Pengendalian, yang mecakup:
  • Essential of Control: Menjelaskan suatu tinjauan atas pengukuran dan pengendalian kinerja organisasi; termasuk disini bagaimana seorang manajer memonitor kinerja tersebut melalui serangkaian rasio-rasio keuangan.
  • Managing Ineffective Performers: Menjelaskan berbagai pendekatan berkenaan dengan penanganan kinerja manajer yang tidak atau kurang efektif agar dapat diperbaiki dan/ atau ditingkatkan.

Butir VI. Mengelola Kesuksesan Individu, yang mencakup:
  • Enhancing Personal Productivity and Managing Stress.
Butir terakhir ini menjelaskan bagaimana kesuksesan individu dapat dipertahankan dan/ atau ditingkatkan melalui pengembangan deskripsi dan tata kerja, serta penerapan manajemen waktu dan last but not least bagaimana mencegah dan mengendalikan stress atau tekanan kerja.
05 Agustus 2011

Back to Human Being


Back to Human Being?

Saat ini organisasi apapun memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap stakeholder internal maupun eksternal, baik dalam cakupan lokal, internasional bahkan cakupan dunia secara keseluruhan. Setiap keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan muncul, pada gilirannya akan menimbulkan  “ledakan” sebelum waktunya, yang dapat “melukai”  kita dan orang lain. 

Dalam dekade terakhir ini, agaknya semua orang setuju dan sepakat untuk memodernisir semua lini keorganisasian dan manajemennya untuk memiliki kemampuan di bidang IT, disertai kelengkapan jaringan perangkat keras dan lunaknya, dengan teknologi yang paling mutakhir sekalipun. Terlebih di dunia Perguruan Tinggi,  perlombaan terjadi untuk berdiri paling depan dalam membawa panji-panji abad informatika dan teknologi informasi. Relasi dan komunikasi personal mulai teredusir dan digantikan menjadi impersonal; wajah-wajah dengan kening mengkerut dan kacamata minus, menjadi pemandangan keseharian individual dibalik  layar komputer. Fenomena yang sudah merata dalam lapisan strata pendidikan, baik ia sebagai dosen, mahasiswa dan tenaga kependidikan dimanapun,  diam-diam telah membuat kita kagum, bahwa pendidikan di negara kita ternyata telah melangkah cukup jauh memasuki era ini.

Dibalik decak kagum akan kemajuan tersebut, terbersit pertanyaan dimanakah wajah-wajah sejati dibalik wajah dingin para peselancar dunia maya ini? Pertanyaan ini menjadi penting, khususnya bagi kita yang sudah lama bergumul dengan dunia pendidikan tinggi.

Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan pada hakikatnya adalah sama sebagai manusia utuh yang masing-masing memiliki keunikan, dan butuh mengekspresikan hasrat manusiawinya. Memang kebutuhan relasi sosial seolah-olah telah dapat diatasi oleh teknologi inter dan intra net dengan menjamurnya penggemar facebook atau twitter di segala lapisan masyarakat. Duduk berjam-jam dibalik layar komputer mungkin dapat mengaktivasi fikiran seseorang sehingga wawasan pengetahuannya bertambah, namun apakah itu terjadi pula terhadap fungsi mental, rasa, emosi, dan intuisi sebagai kesadaran sumber inspirasi kreatif dan daya inovasinya?

Mahasiswa adalah juga manusia biasa, yang tumbuh kembangnya - baik fisik, mental, kepribadian dan wataknya - mengikuti pola umum generasi seusianya, dimana hukum alam mengaturnya sebagai fitrah yang tidak boleh dinafikan. Dari sisi usia, mahasiswa dapat dikategorikan dalam fase transisi, yaitu peralihan dari akhir masa pubertas ke masa dewasa, dimana sebagian turbulensi kepribadiannya mampu diatasi dan sebagian lagi mungkin belum, pencarian identitas dirinya terus berlangsung untuk menemukan format yang pas akan eksistensi jatidirinya sebagai insan yang akan memasuki dunia dewasa.

Perguruan tinggi yang membina manusia-manusia unggul nusantara, jika ingin berhasil dengan baik, patut mencermati dan mempertimbangkan tumbuh-kembang alami mahasiswa sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu ketika ingin mencapai target ambisi prestasi tertinggi, berbagai hal yang berkaitan dengan pembentukan tumbuh-kembang pribadi mahasiswa tidak boleh terabaikan. Selain faktor kognitif-intelektual, secara simultan faktor afektif/ emosi dan psikomotorik mahasiswanya perlu ditumbuhkembangkan secara serasi dan seimbang, begitu pula pembentukan watak kepribadian dan spiritualnya sebagai mahluk homo-religious.

Keseimbangan dan keutuhan  dalam mengembangkan berbagai faktor individual mahasiswa, akan melahirhan manusia unggul yang tidak hanya pintar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi  juga tumbuh pribadi-pribadi dengan jatidiri yang dewasa dan matang yang memiliki jiwa kepemimpinan, dengan prakarsa-prakarsa orisinal dan kreatif. Karena karya yang orisinal akan muncul dari originalitas dan otentisitas kepribadiannya. Oleh karena itu, berbagai faktor yang nampaknya non-kurikuler perlu dipadukan menjadi bagian yang tak terpisahkan kedalam kurikulum secara utuh. Memaksa mahasiswa untuk cepat beralih menjadi manusia tangguh atau unggul, tanpa memberi tempat  bagi persemaian dan perkembangan alami pribadinya, lambat laun akan menjadi ledakan dini yang mencelakakan dirinya, dan melukai orang-orang disekelilingnya. Walaupun kita tengah asik dengan kemajuan teknologi robotik yang akan memudahkan kerja manusia, namun jangan sekali-kali punya gagasan ingin mengubah manusia menjadi robot, yang tentunya bertentangan dengan kodrat, martabat dan fitrah manusia itu sendiri. 

Sebagai sosok manusia yang cacat secara watak dan integritasnya, akan menjadi predator yang saling memangsa satu sama lain, yang tidak peduli dengan kerugian pihak lain. Perbuatannya itu sangat mungkin tidak tersadari oleh dirinya, karena ia hidup di sekat-sekat sempit ruang egonya, sebagai individu teralienasi yang mengalami autis sosial. Di dunia perguruan tinggi, sadar tidak sadar, secara laten kita tengah mengerami benih predator tersebut. Bukankah petaka yang tengah berlangsung di nusantara tercinta ini, adalah salah satu buah dari salahnya penerapan konsep dan perencanaan sistem pendidikan di setiap jenjang?

Last but not least, perlu diingat Rekan akademisi bersama bahwa hal ini hanyalah sekelumit renungan yang dituntut adanya suatu penelitian untuk ditelanjangi kebenarannya. Quo Vadis perguruan tinggi Indonesia?

29 Juli 2011