.


Jumat, 02 September 2011

Urgensi Falsafah


Urgensi Falsafah dalam
Perspektif Manajemen dan Kepemimpinan

Manusia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut ‘alam semesta’, manusia mengalami dirinya sendiri, pikiran, dan perasaannya, sebagai sesuatu yang terisolasi - semacam delusi optik - dari alam sadarnya. Delusi itu menjadi semacam penjara baginya, menghalangi manusia akan pemenuhan hasrat pribadinya, juga kasih sayang terhadap orang-orang disekitarnya. Tugas utama manusia adalah membebaskan dirinya sendiri dari penjara  dengan memperbesar lingkaran kepedulian dan rasa kasih sayang kepada sesama mahluk hidup dan seluruh alam semesta dalam bingkai keindahannya” (Albert Einstein)
Baru beberapa hari yang lalu, bangsa Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66. Dari peristiwa yang memiliki nostalgia bersejarah ini dapat dipetik berbagai hikmah dari perjalanan para pendiri dan pendahulu dalam meletakkan dasar filosofi bagi berdirinya negara RI tercinta. Dilatari susana yang mencekam, akan ancaman konflik-internal dan eksternal, para pendiri dan pendahulu bangsa dengan teguh dan sungguh-sungguh serta tekad yang kuat berkeinginan membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara yang besar dan luas, yang diabadikan dalam lagu “dari Sabang sampai Merauke” dengan diwarnai beraneka ragam budaya, etnis, suku dan bahasa daerah yang kaya serta sumber daya alam yang melimpah, maka dicantumkanlah lima sila dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang kesemuanya terangkai dalam falsafah Pancasila sebagai landasan idiil dan sekaligus ideologi negara, dimana kelima silanya dijadikan philosophical way of thinking or system landasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Pancasila sebagai falsafah terbuka saat itu, berfungsi sebagai rujukan, inspirasi dan jiwa dalam menata tujuan hidup bersama, terutama dalam administrasi negara. Harus diakui oleh bangsa Indonesia bahwa falsafah Pancasila telah menjadi alat perekat yang ampuh mempersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka NKRI, dan bahkan beberapa negara lain di dunia mengagumi akan kokohnya persatuan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Untuk tidak berpretensi terhadap segala pasang surut perjalanannya, falsafah Pancasila masih terus dipertahankan sebagai landasan idiil dan ideologi negara, yang membuka ruang interpretasi sesuai dengan tuntutan perubahan, baik sebagai tuntutan orde reformasi maupun tuntutan kekinian zaman secara lebih luas. 

Terlepas dari pembicaraan kesemua tadi, dalam derap kemajuan zaman, serta dalam era revolusi teknologi digital dewasa ini, masih relevankah kita membicarakan dimensi falsafah dari perspektif manajemen dan kepemimpinan? Lebih spesifik lagi pada sektor keorganisasian bisnis? Dapatkah falsafah negara diabaikan dalam membangun dan mengembangkan keorganisasian bisnis? Atau apakah sebaiknya keorganisasian bisnis menyelaraskan budaya bisnisnya dengan nilai dan tujuan luhur yang hendak dicapai suatu negara? Yang menjadi permasalahan disini adalah kita sudah berada di tengah-tengah konstelasi pergaulan dan interaksi dunia, dimana sekat-sekat budaya, dan tradisi negara semakin samar dan seolah-olah menyatu dalam kesatuan dunia tanpa negara (The Borderless World).

Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen disinyalir Peter Drucker, sebagai salah satu disiplin ilmu yang paling berkembang pesat, dimana dalam kurun waktu sekitar 150 tahun telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi “peradaban manusia”. Bahkan dewasa ini, manajemen diabdikan dalam mengelola sumber daya manusia yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dalam usaha mencapai tujuan jangka panjang, ke masa depan kebudayaan manusia serta memiliki pengaruh yang luas dan menjalar ke seluruh dunia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia melalui ilmu manajemen inilah kita dapat mempekerjakan orang-orang yang bukan hanya “pekerja-keras” tetapi juga “pekerja-cerdas” untuk melakukan kegiatan yang bersifat produktif dan juga kadang kala spekulatif dalam mewujudkan tujuan bersama.

Pada tahun 1996, Bill Gates, seorang usahawan ternama di dunia melalui perusahaan Microsoftnya, telah berhasil merekrut 4.600 ilmuwan dengan menghabiskan biaya 1 miliar dollar yang bekerja dalam “kelompok platform”,  mencakup windows, explorer, dan aplikasi internet lainnya, serta 1.800 ilmuwan lainnya dengan menghabiskan 400 juta dollar yang bekerja untuk mengembangkan berbagai aplikasi desktop yang akhir-akhir ini meraup banyak laba. Ia berkeyakinan, semakin besar bandwidth (kapasitas intelektual) SDM yang dimiliki dan semakin banyak kecerdasan kolektif yang terkumpul, maka akan semakin memperkuat posisi organisasi bisnisnya. 

Selanjutnya, pengembangan knowledge-management ini perlu dibarengi dengan pengembangan Digital Nervous System (DNS), yakni suatu proses digital yang memungkinkan suatu organisasi dapat melihat dan bereaksi terhadap lingkungannya, merasakan tantangan pesaing, serta merasakan kebutuhan pelanggan dengan cepat dan tanggap. Tentunya, kesemua hal ini diperlukan untuk menjawab tantangan konsumen yang menuntut pelayanan yang lebih cepat, hubungan personal yang lebih kuat, dan web-work-style manajemen yang menjadi suatu keharusan dewasa ini. Sekelumit gambaran di atas tentang perubahan fundamental kedudukan dan fungsi manusia di dalam manajemen, sebagai dampak ekonomis dari teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet dimana kedudukan kapasitas intelektual dan kreativitas semakin sentral, sebagai adanya “potensi-potensi” tersembunyi yang perlu dikenali dan dikembangkan.

Kembali kepada pertanyaan semula tentang relevansi dimensi filosofi dalam perspektif manajemen dan kepemimpinan, seringkali para praktisi di bidang manajemen kurang memberikan perhatian khusus untuk melihat manfaatnya bagi kebutuhan praktek sehari-hari. Sejak menduduki bangku kuliah, kebanyakan mahasiswa sudah apriori terhadap pelajaran filsafat yang dianggap sebagai mata kuliah yang rumit dan kurang diminati dan bahkan bersifat abstrak dan “mengawang dilangit”. Bertolak belakang dengan ilmu manajemen yang pada hakikatnya bersifat praktis dan aplikatif, yang berorientasi pada tindakan dan implementasi nyata di dalam ruang kesibukan pekerjaan dan keorganisasian. Tidak berbeda pula dalam dunia administrasi pemerintahan dan juga di lingkungan organisasi bisnis, perbincangan tentang filsafat ini hampir jarang terdengar, dan bahkan kurang menarik untuk dibicarakan terkecuali hal-hal yang berkenaan dengan raihan laba atau keuntungan. Rupanya dalam praktek keseharian bisnis di Indonesia dewasa ini, pendekatan praktis-pragmatis lebih mengemuka dan dianggap lebih bermanfaat ketimbang “filosofi-utopis”.

Dari perspektif manajemen dan kepemimpinan, sebaliknya Peter Drucker berpendapat bahwa dengan memprioritaskan keuntungan ekonomis – manajemen dan kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari dimensi falsafah, bahkan tidak akan memiliki fondasi keilmuan yang kuat. Ia yakin bahwa praktek-praktek manajemen dan kepemimpinan memiliki  beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis, terutama karena adanya keberadaan manusia didalamnya. Manusia haruslah dipandang sebagai sosok tujuan yang melekat pada dirinya, dan bukanlah alat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Aspek kemanusiaan haruslah dijadikan prinsip utama, dan tanpa aspek itu, manajemen dan kepemimpinan dapat tergelincir pada eksploitasi dan bahkan dijadikan alat pembenaran bagi penindasan, atau selubung untuk menutupi ketidakadilan. Untuk itulah manajemen dan kepemimpinan perlu memiliki wawasan filosofis, khususnya berkenaan dengan manusia yang memiliki kedudukan dan peran yang semakin sentral. Melalui dimensi falsafah inilah, terjadi perubahan cara pandang terhadap kedudukan manusia, sebagaimana sebelumnya orang telah mengkritisi Frederick Winslow Taylor, seorang pakar keilmuan manajemen yang memandang manusia sebagai alat dan mesin yang dapat dimanipulasi para investor kapitalis. 

Suatu manajemen dan kepemimpinan yang dipisahkan dari relasi kemanusiaan dan emosi, maka buruhlah yang harus menyesuaikan diri dengan manajemen dan kepemimpinan dan bukanlah sebaliknya. Elton Mayo beberapa tahun kemudian, membawa angin segar dengan menggantikan teori terdahulunya melalui keterampilan relasi-kemanusiaan, yang dapat memudahkan pencapaian tujuan keorganisasian secara lebih kooperatif, dan juga tersedianya kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan individual. Teori atau pendekatan ini terus berlanjut dimana berbagai model perilaku-organisasi dan gaya kepemimpinan dikembangkan untuk mampu menampung aspirasi, kebutuhan, dan aktualisasi diri manusia dengan segala keunikan dan otentisitas dirinya dalam meraih kinerja yang prima. Manusia yang memiliki integritas, komitmen terhadap tujuan, selaras dengan budaya keorganisasian, akan menyesuaikan diri dan memiliki tanggung jawab terhadap organisasi dan konsumen. Ratusan kajian penelitian dan laporan kesuksesan perihal keberhasilan manajemen dan kepemimpinan terus dikembangkan untuk memberikan dukungan dan umpan balik tentang adanya wilayah-wilayah yang belum tersentuh dalam diri manusia, termasuk keberadaan kecerdasan emosi-spiritual yang memberikan manfaat yang besar pada proses manajemen dan kepemimpinan, pengambilan keputusan, terobosan teknik-strategik, komunikasi, teamwork, loyalitas, kreatifitas dan inovasi.

Dimensi filsafat dalam manajemen dan kepemimpinan, sepertinya dapat diintegrasikan ke dalam dua faktor, pertama untuk memperkokoh dimensi keilmuan bagi perkembangan dan kesinambungan disiplin ilmu manajemen dan kepemimpinan itu sendiri. Kedua, dalam tataran praktis, falsafah - manajemen dan kepemimpinan dapat memberikan daya hidup terhadap organisasi, yang diletakkan sebagai budaya keorganisasian baik bisnis maupun publik yang dapat menumbuhkan rasa identitas dan jatidiri organisasi itu sendiri, setia “berkomitmen” terhadap falsafah yang dianutnya, kemudian dijalankan dalam tata-hubungan dan tata-kelola organisasi sehingga menjiwai setiap perilaku dalam bekerja dan mengabdi di dalamnya.

Berpulang kembali pada pembicaraan semula, Negara Republik Indonesia telah berdiri 66 tahun, para pendiri dan pendahulu telah meletakkan dasar-dasar falsafah negara yang konon digali dari akar sejarah jati-diri bangsa Indonesia, dalam perjalanannya mengalami ujian dan pasang-surut termasuk pengaruh arus globalisasi dan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet yang telah banyak menjungkir-balikkan tatanan hidup manusia. Dunia bisnis masih memiliki ketergantungan terhadap peran negara dan demikian juga sebaliknya, dimana masing-masing pihak dapat mengadopsi nilai-nilai positif dari falsafah – masyarakat, bangsa dan negara-, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. 

Burung Garuda masih bertengger gagah didepan atas gedung wakil rakyat, dengan segala “kegaduhan” yang ditimbulkan oleh “pesta-demokrasi” dan yang tak berkesudahan, sejarah telah mencatat dan akan terus mencatat tentang sejauh mana suatu falsafah Pancasila masih diakui dan dibanggakan, dan “kesaktiannya” tidak lekang ditelan jaman. Apalagi karena ada dua kata yang memiliki nilai sakral dalam falsafah Pancasila, yakni “Tuhan” dan “Kemanusiaan”, sebagai awal dan akhir perjalanan fitrah manusia dimanapun, diakui atau tidak. Dirgahayu Republik Indonesia.

29 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar