.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Senin, 12 Desember 2011

Kepemimpinan Politik Berkelas


KEPEMIMPINAN POLITIK BERKELAS
Nampaknya dalam dentingan waktu yang tidak lama lagi, di tahun 2014, masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia akan kembali melangsungkan pemilu untuk memilih salah seorang kandidat untuk menjadi presiden. Walaupun waktu sedemikian cepat berlalu, namun tentunya masih terbayangkan di benak  banyak  orang  suasana yang riang beberapa tahun ke belakang, taktala rakyat di negeri ini dengan rasa suka cita penuh canda beramai-ramai terjun berpesta pora demokrasi di negara ini mencoblos tanda gambar pilihannya sendiri.
Rasanya tidak pernah terbayangkan dibenak rakyat, jika kemudian hari, pemilu di zaman reformasi yang menggembirakan itu lambat laun hanya menyisakan kegalauan mendalam, karena memunculkan sosok para politisi yang memang cukup cerdas, namun dengan kapasitas kepemimpinan serba terbatas. Inilah mungkin dilema krusial Indonesia sekarang, dimana banyak tersedia para politisi pandai, juga kaya raya, berlalu lalang di seantero nusantara, namun minimalis kelas kepribadiannya.
Patut dihayati sepenuhnya, bahwa tumbuh kembangnya profil tokoh-tokoh politik yang berkelas atau bahkan tidak berkelaspun, biasanya sangat erat berkaitan dengan seting psikososial yang melatarbelakanginya, terutama pada saat pembentukan jatidiri para politisi ini sedari usia muda, ketika mereka mulai berkiprah empirikal terjun ke forum publicum menata karir pribadi berikut keorganisasian. Jika keluhan kritikal tadi, tertuju pada perihal kurang berkelasnya sepak terjang perilaku para pemimpin politik sekarang – khususnya mereka yang tengah memiliki posisi dan peran di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif – maka itu semua tidak bisa dilepaskan dari konteksnya dengan seting makro sosial zaman berkilaunya komunitas orde baru di panggung kekuasaan.
Seandainya dirunut sejenak ke belakang, akan muncullah jejak ingatan kolektif kita atas warna zaman orde baru yang telah berlalu, taktala pemimpin politik sekarang masih nampak marjinal sosoknya, dan bahkan disibukkan energinya untuk bersaing dengan rekan-rekan segenerasinya, berupaya mencari celah muncul ke pentas permukaan panggung politik nasional; mungkin demi partisipasi bawah sadar dirinya sendiri agar ikut menggapai cita-cita primadona sebagai slogan pembangunan “lepas landas” menetas dari atas yang waktu itu gencar  nian dikumandangkan dan dipraktekkan.
Teramat menarik untuk dikaji ulang lebih mendalam adalah seputar perbedaan nuansa corak warna zaman dalam proses kemunculan para pemimpin politik antara kelompok orde lama yang membanggakan dimensi politik sebagai panglima, dengan kelompok orde baru yang mengkampanyekan ekonomi sebagai primadona, bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Boleh dikatakan, di era orde lama para pemimpin politik banyak bermunculan tanpa diorbitkan, bergesekan dari bawah mengasah potensinya setapak demi setapak hingga mencuat menuju puncak.
Sedangkan di era orde baru, justru tersirat dan tersurat dinamika sebaliknya, dimana hampir sebahagian besar proses kemunculan para pemimpin, baik di kancah politik maupun nonpolitik, baik di jalur formal maupun nonformal, tidaklah terkristal secara normal. Pemerintah pada momen itu, senantiasa berperan serta mengupayakan suatu perekayasaan yang teramat canggih, langsung maupun terselubung dalam menentukan dan melapangkan jalan bagi naik daunnya figur-figur yang diminatinya agar sukses meraih popularitas melenggang ke permukaan menjadi insan-insan pemimpin di beragam komunitas atau organisasi, termasuk pula tentunya mengiringi lahirnya ketokohan sebagian besar para politisi sekarang yang kini kita sudah kenali kiprah kesehariannya di era reformasi ini. Jasa baik pemerintahan orde baru kala itu, dalam mengatur  kemunculan figur-figur para pemimpin politik tingkat provinsi maupun nasional, secara instan tanpa perjuangan yang proporsional, pada akhirnya justru memunculkan pemimpin yang cukup memiliki kecerdasan namun dengan struktur kepribadian yang timpang, sehingga acapkali menampakkan kekurangmatangan, kurang sabaran, kurang bertanggung jawab, dan kurang kepekaannya.
Berbeda dengan perilaku para pemimpin politik di dunia barat, yang rata-rata menempuh perjalanan karirnya dari bawah, melewati dinding-dinding terjal percaturan politik yang sarat intrik, mengasah sensitifitas sekaligus kematangan kepribadian dirinya untuk kelak menjadi seorang tokoh yang berkelas. Oleh karena itu, jarang dijumpai disana ada individu yang berkehendak menjadi pemimpin politik serba mendadak melalui jalur cepat, karena disadari sepenuhnya alam perpolitikan adalah jauh lebih sulit, elastis, dan rumit ketimbang dunia bisnis yang serba pragmatis, kemiliteran yang serba taktis, keagamaan yang serba etis, ataupun pendidikan yang serba filosofis.
Wajarlah kemudian, dengan memahami perbedaan seting makro sosial yang nampak bertolak belakang antara kelompok orba dan kelompok orla itu, jika kemudian sejarah dimasa “revolusi belum selesai” telah mencatat begitu banyak bermunculan figur-figur kepemimpinan di lingkaran elit komunitas politik, dimana sedari muda usia mereka sudah menunjukkan bakat dan totalitas kepribadian diri selaku individu yang cerdas dan berkelas, yang mana seringkali membuat pihak penjajah Belanda maupun Jepang terpana dan tak berkutik lagi taktala berhadapan muka dengan mereka.   
Dampak keorganisasian yang langsung terasakan dari hadirnya kepemimpinan politik yang kurang berkelas ini adalah pada tumbuh-kembangnya kerancuan langkah-langkah manajerial partai-partai politik yang lebih mengedepankan perilaku pemimpin taktikal ketimbang pemimpin strategikal, sehingga tidak mengherankan jika kemudian rakyat hanya disuguhi manuver-manuver politik gampangan dan terlalu transparan, yang dengan jelasnya terpampang tirai motivasi material semata, dibalik dendang skenario moralitas yang tengah didengungkan membahana di media massa. Semenjak reformasi bergulir, rasanya dipentas perpolitikan Indonesia tidak pernah sedikitpun disaksikan lahirnya pemimpin politik yang cantik, unik, dan berkelas. Yang nampak hanya titian langkah grasa-grusu diburu nafsu, saling menghujat seolah dirinyalah yang paling benar sendiri, berkomentar asal-asalan tanpa pemikiran mendalam, semena-mena menuding segala kesalahan terhujam pada pihak seberang, dan menurunnya genderang motivasi berprestasi seiring bergemuruhnya motivasi mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun juga. Kelalaian semacam ini tentu saja merupakan makanan empuk bagi para pemuja orba, untuk menanti kiprah insan-insan kepemimpinan politik reformasi sekarang ke gerbang kehancuran masa depan karier gemilangnya, dikarenakan dalam waktu yang tidak lama lagi masyarakat awam akan  menilai mereka sebagai pemimpin politik yang gagal dan bahkan lebih kurang berkelas ketimbang figur-figur kepemimpinan politik yang telah tenggelam.

Dan, wajar kiranya, jika “zaman normal” pembangunan lepas landas kembali terbetik di sanubari banyak orang dan dimimpikan segera datang mengusir kelelahan dan kecemasan, menunggu perbaikan kesejahteraan rakyat yang tak kunjung datang, terkecuali hanya pada segelintir orang di pentas kepemimpinan politik yang hinggap mendemonstrasikan gaya hidup berkecukupan ditengah-tengah membengkaknya pengangguran dan indeks pembangunan manusia (human development index) yang semakin menurun dan dianggap pandir oleh warga dunia. 
 Terlalu menyalahkan para pemimpin politik sekarang sebagai biang kegagalan bergulirnya arus reformasi zaman, tentunya bukanlah tindakan arif - bijaksana; karena perilaku merekapun yang egoistis seperti itu sesungguhnya lahir akibat olahan rekayasa psikososial zaman silam. Hal penting yang perlu dilakukan menjelang pemilu 2014 nanti adalah menyadarkan persepsi para pemimpin politik berikut organisasi politik yang menaunginya, agar mulai berbenah diri saling berintrospeksi, untuk menata kembali jati diri tatanan perilaku individualnya maupun kepribadian kolektifnya, sebelum kekecewaan masyarakat memuncak dengan menolak kesemena-menaan kehadiran mereka selaku pemimpin politik dan calon presiden pilihan yang didambakan, dan selain itu tanpa daya menginginkan kembali kepada komunitas faham otoritarian, yang telah menunggu momentum come back-nya mereka dengan melepas topeng kosmetika psikologikalnya.
Menyadarkan sepak terjang jagat pemimpin politik Indonesia, terutama dalam meneguhkan watak berkelasnya  -  dengan kembali merenung ulang jejak kesejarahannya menjelang pesta demokrasi yang di tahun 2014 kembali akan digelar - nampaknya patut dijadikan strategi dan program andalan bagi segenap pemimpin politik terkait dan yang merasa berkepentingan agar sang kandidat sanggup lolos mulus ke gerbang kepresidenan, memetik gemuruh simpati dan empati coblosan kartu pilihan suara yang melekat di hati nurani rakyat.
Untuk itu, perilaku kepemimpinan politik yang berkelas - dengan belajar dari para pemimpin politisi zaman normal dulu - lazimnya patut mengejawantahkan karakteristik individunya, yakni: sangat menyadari batas-batas potensi yang ada dalam dirinya, rendah hati, satunya kata dan perbuatan, menghargai kaum perempuan, memegang teguh komitmen lisan maupun tertulis, menghayati posisi dan peran apa yang layaknya akan dijalani secara proporsional, jujur, berdisiplin, bersahaja, pekerja keras, cerdas, dan berani berkorban tanpa beban.
Gelegar sang pemimpin politik yang berkelas yang teramat langka di negeri ini mudah-mudahan akan bersemi di antara ratusan juta jiwa anak bangsa, menuntun langkah insan nusantara tercinta menggapai cita-cita, bergegas melaju, bahu-membahu menjadi satu masyarakat yang bangga dan menghargai bangsa dan negaranya.
Jakarta, 12 Desember 2011
Faisal Afiff

Kamis, 08 Desember 2011

Kepemimpinan Empati


Kepemimpinan Empati

Diantara ribuan sukses Robert Eaton yang telah diraih,  maka langkah pertama yang diambil  ketika ia menggantikan Iacocca di perusahaan otomotif Chrysler, membentuk “Senior Management Behavior Team”, yakni suatu program yang dirancang untuk melatih para pejabat senior perusahaan tersebut agar mereka lebih mudah didekati, mau mendorong keterbukaan karyawannya, dan mau menyapa serta mendengarkan keluh kesah bawahannya. Robert Eaton sering dijuluki sebagai seorang pemimpin yang selalu mudah dihubungi, memiliki kemampuan intuitif, dan bersedia mendengar serta memberi petunjuk dengan empati. Bahkan, Ia sering menjawab sendiri telepon untuknya dan acap kali bercakap-cakap santai dengan para manajer dan karyawan Chrysler.
Para peneliti di Center for Creative Leadership menyatakan bahwa ketidakpekaan seseorang terhadap orang lain, merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan seorang eksekutif dan pemimpin. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kesediaan seseorang untuk memahami perspektif orang lain (empati), merupakan faktor keberhasilan yang signifikan dalam aspek kememimpinan. Konon, harus diakui adanya kekahawatiran di kalangan para eksekutif atau manajer, jika mereka terlalu dekat dengan karyawan atau bawahannya, maka kedekatan itu akan merusak sikap objektivitasnya. Oleh karena itu, seseorang enggan bersikap tulus dan terus-terang kepada orang lain, karena dihinggapi beberapa kekhawatiran yang sangat mendasar. Bahkan, tatkala berhadapan dan bertatap muka sekalipun, tidak sedikit orang yang tidak mengatakan apa yang sebenarnya, dikarenakan takut akan membuat lawan bicaranya marah.
Lewis E. Platt di perusahaan Hawlet-Packard (HP), identik melakukan apa yang pernah dilakukan Robert Eaton di perusahaan Chrysler, adalah dengan tetap berusaha menciptakan iklim kerja, dimana perasaan keakraban tetap hidup di perusahaannya. “Ngobrol” sambil minum kopi diadakan secara berkala oleh Platt yang diikuti dengan percakapan langsung, suasana empati, dan intuitif berupa dialog mendalam yang bertujuan mendengarkan langsung para karyawan, dan kemudian ditindak-lanjuti dengan memasukkan berbagai gagasan dan pemikiran mereka ke dalam proses inovasi dan operasional perusahaan secara berkesinambungan. Langkah seperti itu juga akan menciptakan perasaan memiliki dalam ikatan yang lebih meresap kedalam hati dan menjalar keseluruh denyut organisasi perusahaan HP yang ia pimpin. Hubungan keakraban dan empati yang demikian berpusat pada semangat saling berbagi, dimana keseluruhan jajaran kepersonaliaan saling memperoleh kegunaan dan manfaat, semakin sejahtera, tumbuh dan berkembang. Karenanya, kesadaran akan adanya ikatan ini membuat mereka menjadi lebih terbuka untuk belajar tentang perasaan dan pandangan baru, yang kesemuanya akan memicu kreativitas dan raihan terbaik bagi individu maupun kelompok atau tim kerja.
Sejalan dengan hal di atas, Robert Peterson, seorang profesor mata kuliah pemasaran dari University of Texas, , telah menemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan pelanggan dan kelangsungan organisasi bisnis, yakni perlu adanya hubungan empatik antara para pelanggan dengan barang dan/ atau jasa yang ditawarkan para pemasar. Menurut Robert Peterson, hal utama yang membuat pelanggan puas dan organisasi bisnis berkesinambungan bukanlah hanya sekedar faktor mutu, harga yang bersaing, dan sigapnya pelayanan saja namun yang lebih penting dibalik hal itu adalah adanya ikatan saling hubungan dan perasaan saling-memiliki terhadap arti hubungan pertukaran tersebut. Phil Quigley, CEO Pacific Bell, dengan tegas berpendapat bahwa ia tidak memandang kepemimpinan sebagai suatu keahlian, namun lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu hubungan. Bahkan Irwin Federman, pemimpin Advance Micro Devices lebih tegas lagi menyatakan: “seseorang sebaiknya peduli kepada orang lain bukan karena siapa mereka, namun peduli kepada orang lain karena mereka menggugah perasaannya”.
Penelusuran lebih lanjut perihal pembentukan kepribadian seorang pemimpin, sehingga ia dalam berhubungan dengan orang lain mampu memiliki kemampuan interrelasi yang memukau maka secara mendasar Alfred Adler, telah menelusuri hal tersebut pada diri manusia dini dalam suatu ikatan keluarga, antara anak sulung, anak tengah,  dan anak bungsu. Menurutnya, anak yang lahir pertama atau anak sulung mendapatkan banyak perhatian dari orang tuanya hingga tiba pada kelahiran anak kedua, dimana anak pertama kemudian diturunkan posisinya dan bahkan harus membagi kasih sayangnya dengan sang bayi yang baru lahir. Pengalaman menunjukkan bahwa anak sulung kemudian dapat melakukan berbagai macam tingkah laku, seperti membenci, menyangkal, berlindung diri dan ada kalanya mengenang masa lampau saat ia mendapat perhatian atau menjadi pusat perhatian keluarga. Hasil pengamatan penting Alfred Adler, bahwa manusia neurotik, penjahat, pemabuk, dan bahkan cacat moral dalam suatu masyarakat kebanyakan berasal dari anak sulung. Namun, apabila orang tua berhasil menangani fenomena ini secara bijaksana dengan mempersiapkan anak sulung menghadapi munculnya seorang pesaing, maka besar kemungkinan mereka akan berkembang menjadi seorang dengan pribadi yang bertanggung jawab dan melindungi. Beranjak dari hal tersebut, pada hakikatnya Alfred Adler ingin menggambarkan, bahwa kemampuan seseorang untuk mengembangkan relasi positif secara luas di masyarakat, juga ikut ditentukan oleh berbagai pola hubungan  yang terbentuk dalam suatu keluarga di usia dini. Anak dengan pola hubungan yang neurotik di dalam keluarganya, kelak dalam berhubungan dengan orang lain akan menjalani pola hubungan yang cenderung inter-manipulatif.
Adapun ciri anak kedua atau anak tengah adalah ambisius, dimana ia selalu berusaha melebihi kakaknya, cenderung memberontak atau bersikap iri hati, namun pada umumnya ia dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dibandingkan dengan kakak ataupun adiknya. Tidak demikian halnya dengan anak bungsu yang posisinya selalu dimanjakan dalam keluarga, seperti halnya anak sulung, memiliki kemungkinan besar mereka akan menjadi anak yang bermasalah dan bahkan dimungkinkan dapat menjadi orang dewasa neurotik yang kurang mampu menyesuaikan diri. Pada dasarnya, teori Alfred Adler merupakan salah satu sudut pandang teori psikologi yang mencoba melihat usia dini sebagai pembentukan awal kepribadian manusia, apakah kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi dengan kepercayaan diri dan mampu menjalin hubungan yang nyaman dengan orang lain. Secara prinsipil ia menemukan tiga faktor penting pembentuk kepribadian seseorang, pertama, anak yang memiliki inferiorita, kedua, anak yang dimanjakan, dan ketiga, anak yang terlantar. Anak dengan model pertama (inferiorita) biasanya dicirikan dengan memiliki kelemahan fisik dan jiwanya menanggung beban berat, yang kemungkinan di kemudian hari kurang mampu dalam menghadapi tugas-tugas kehidupan. Mereka seringkali menganggap dirinya sebagai manusia yang gagal. Namun, jika mereka memiliki orang tua yang cukup memahami dan mampu mendorong kepribadiannya, maka mereka bisa melakukan kompensasi berkenaan dengan perasaan inferioritanya dan kemudian mengubah kelemahannya menjadi suatu kekuatan. Sejalan dengan kasus ini, tidak sedikit orang terkemuka di dunia yang di awal hidupnya menderita suatu kelemahan organik yang kemudian berhasil dikompensasikan menjadi suatu kekuatan dalam diri mereka. Sementara anak yang dimanjakan akan kurang berhasil dalam mengembangkan perasaan sosial, dan adakalanya mereka menjadi manusia lalim yang mengharapkan orang-orang disekitarnya menyesuaikan diri dengan keinginan yang berpusat terhadap diri mereka. Sementara anak terlantar yang memperoleh perlakuan buruk pada masa kanak-kanak akan menjadi musuh masyarakat ketika mereka menjadi dewasa, dan bahkan kemudian bisa dikuasai oleh perasaan balas dendam. Ketiga kondisi pembentukan kepribadian tersebut diatas, yakni anak dengan kelemahan oganik dan kejiwaan, pemanjaan, dan penelantaran, akan menimbulkan konsepsi yang salah pada seseorang tentang dunia kehidupan dan bisa berakibat pada gaya hidup patologis. Di panggung sejarah, kita mengenal tokoh-tokoh kontroversial seperti Al Capone, Mussolini, Adolf Hitler, sebagai tokoh monster yang embrio pembibitannya terjadi di dalam keluarga. Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh seperti Mahathma Gandhi, Dalai Lama, Martin Luther King, John F. Kennedy atau Nelson Mandela. Perasaan bijak dan dewasa pada diri orang tua dalam mendidik dan membina anak dengan penuh sentuhan kasih sayang, kegembiraan, disiplin, dan optimisme dapat melahirkan pribadi-pribadi optimis dengan penuh kepercayaan diri dan berani menjalin hubungan yang terbuka, tulus, dan dewasa. Generasi anak masa kini banyak yang dilahirkan dalam suasana optimis dan penuh kehangatan, sehingga setelah dewasa mereka mampu menularkannya secara tulus ke dalam lingkungan kerja mereka, dan melahirkan suatu kesegaran dan pembaharuan yang signifikan kedalam lingkungan kerja bisnisnya. Mereka mampu melupakan masa suram dan pahit yang pernah dienyam oleh para pendahulu mereka.
Menurut Alfred Adler, suatu masa yang ditandai oleh lahirnya generasi kreatif, meski daya kreatif merupakan entitas yang sulit digambarkan dan tidak dapat dilihat pada diri manusia, namun akibatnya dapat dirasakan melalui pengaruh-pengaruhnya. Diri kreatif adalah ragi yang mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan berbagai fakta-fakta tersebut menjadi kepribadian yang bersifat subjektif, dinamik, padu, personal, dan unik. Diri kreatif memberikan arti pada kehidupan yang menciptakan tujuan, serta sarana atau prasarana untuk mencapainya. Untuk tumbuh kembangnya diri kreatif dan otentisitas pribadi manusia, Erich Fromm menentukan lima kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi dan dikembangkan agar mereka tidak terasing dari dunia kehidupannya. Pertama adalah kebutuhan akan keterhubungan, kedua adalah kebutuhan akan transendensi, ketiga adalah kebutuhan akan keterberakaran, keempat adalah kebutuhan akan identitas dan kelima adalah kebutuhan akan kerangka orientasi. Dalam kebutuhan akan keterhubungan, Erich Fromm menyebutnya sebagai cinta produktif yang mengandung perhatian, wewenang dan tanggung jawab, respek dan pemahaman timbal-balik. Begitu juga dengan dorongan transendensi, suatu kebutuhan untuk kreatif tidak hanya sebagai mahluk semata yang pasif.  Selanjutnya manusia butuh akan keterberakaran, atau ingin menjadi bagian integral dari kehidupan dunia, dan merasakan ikut memiliki bagian dari akar-akar alaminya. Dan akar yang paling memuaskan dan paling sehat adalah jalinan rasa persaudaraan dan kekeluargaan dengan pria dan wanita lain. Begitu juga seseorang membutuhkan akan rasa identitas sebagai pribadi dan individu yang unik, perasaan tersebut bisa terpenuhi dengan mengidentifikasikan dirinya  dengan tokoh atau kelompok lain, tetapi juga bisa dengan rasa memiliki seseorang. Pada akhirnya manusia membutuhkan kerangka acuan, yakni suatu cara yang stabil dan konsisten dalam memahami dan memandang dunia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut Erich Fromm tidak diciptakan oleh masyarakat, melainkan telah tertanam dalam kodrat manusia melalui proses evolusi. Para pemimpin masa kini perlu memahami dan memberikan rasa empatik terhadap berbagai kebutuhan alami dan kodrati manusia tersebut, sebagai suatu saling keterhubungan dan saling pengaruh timbal-balik dan bersifat konstruktif. Hasilnya dapat dirasakan oleh Robert Eaton ketika ia membentuk semacam kelompok diskusi lintas fungsi, tempat berkumpul semua orang yang terlibat dalam pembuatan kendaraan, dari gagasan, konsep, hingga ke pemasaran. Semua kebutuhan manusiawi setiap individu dihargai dan diberi tempat, dengan meningkatkan iklim komunikasi, perkembangan yang lebih efisien, berkurangnya pengeluaran dan pesatnya peningkatan produksi. Dari kelompok diskusi ini, salah satunya menghasilkan Chrysler Neon. Para pemimpin kelompok kerja mengumpulkan berbagai masukan dan saran dari para pemasok dan pihak-pihak lain yang awalnya tidak memiliki hubungan kerjasama, misalnya dengan United Auto Worker Union. Para pekerja dalam tahapan perakitan ternyata dapat menyumbangkan lebih dari 4000 masukan dan usulan perubahan untuk proyek tersebut. Hasilnya merupakan kejutan luar biasa dalam industri mobil, Neon berhasil menyaingi pabrik-pabrik pembuat  mobil kecil Jepang di pasaran Amerika Serikat. Toyota yang mengumumkan penelitian paling cermat terhadap kendaraan bermotor saingannya, mengakui bahwa Chrysler Neon menerapkan “design-in cost savings” yang belum pernah ada dalam sejarah industri otomotif Amerika Serikat. Chrysler Neon mempertahankan momentum ini terus berkembang, dengan melibatkan semua pekerja, manajer, pemasok dan para pemegang saham dalam menciptakan iklim kerjasama yang paling bijak, empatik dan paling tulus dalam industri manapun.
Tidak dapat dipungkiri disini jika faktor manusia dikelola dengan benar, dengan menempatkan dan memahami seluruh kebutuhan alami mereka secara tulus, maka akan muncul kekuatan dahsyat dari jalinan kerjasama raksasa yang konstruktif, sebagaimana dikatakan oleh Robert Grudin dalam On Dialog: “karena hidup dicirikan oleh interaksi terbuka yang saling timbal-balik, maka dialog adalah cara termudah yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mendapatkan daya hidup.”
Jakarta, 8 Desember 2011
Faisal Afiff

Kepemimpinan Paradigma


Kepemimpinan  Paradigma

Jangan menunggu datangnya pemimpin masa depan…pimpinlah apa yang bisa anda lakukan saat ini(David J.Wolpe)
Sebagaimana telah dikenal, bahwa paradigma atau pandangan merupakan serangkaian aturan yang digunakan untuk mengevaluasi informasi yang diterapkan dalam kehidupan seseorang. Setiap orang memiliki paradigma masing-masing didasarkan pada pengalaman hidup mereka serta  bermanfaat dalam banyak hal, namun dibalik itu bisa membatasi alam pikirannya. Sebagai misal,  paradigma dapat mengabaikan dan  bahkan luput dari peluang seseorang.
Sebagai ilustrasi kongkret, sebelumnya bangsa Swiss memiliki supremasi kepemimpinan dalam bidang pembuatan arloji. Namun hanya dalam satu dasawarsa saja, kepemimpinan Swiss merosot tajam sebagai pemain penting di dunia dalam bidang pembuatan arloji.  Gagasan arloji quartz pernah ditolak oleh pebisnis arloji di Swiss, karena dianggap tidak sesuai dengan cara kebiasaan mereka dalam pembuatan arloji. Bahkan para produsen arloji di negara tersebut tidak melihat peluang dibalik konsep teknologi arloji quartz sehingga mereka “lalai” untuk mematenkan dan mengembangkan gagasan tersebut.
Disisi lain, perusahaan arloji Seiko dan Texas Instrument justru menyambut baik gagasan teknologi quartz yang dipamerkan di salah satu pameran dagang dan kemudian telah menghasilkan keuntungan yang relatif besar bagi kedua perusahaan tersebut. Keterpakuan pada paradigma sendiri seperti  melihat dunia melalui jendela yang sama. Oleh karena itu, yang  mampu kita lihat dari dunia hanya sebagian kecil saja. Sebagai seorang pemimpin perlu melakukan pergeseran paradigma, atau seperti menemukan sebuah jendela baru secara tiba-tiba sehingga tampak “terang benderang”, begitu pula hal-hal yang lama dapat dilihat dengan sudut pandang yang berbeda dan baru. Dengan merubah paradigma kita untuk melihat jendela yang lain, kita akan lebih mudah berpikir di luar kebiasaan untuk memunculkan solusi baru yang inovatif.
Dalam bukunya dengan judul Developing a 21 st Century Mind, tokoh pendidik Marsha Sinetar memperkenalkan istilah “adaptasi kreatif” untuk lebih menggambarkan pergeseran paradigma diatas dalam ranah praktis. Adaptasi kreatif lebih merupakan permainan imajinatif yang mensinergiskan cara berpikir logis-sekuensial dengan kemampuan emosi-intuitif dimana hal tersebut melibatkan seluruh kemampuan akal untuk menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien. Suatu konsep yang belakangan ini sering kita dengar melalui istilah-istilah baru, sebagai cara melakukan proses penyelesaian masalah,  seperti berfikir vertikal, berfikir lateral, berfikir kritis, berfikir analitis, berfikir strategis, dan berfikir kreatif. Hal tersebut menunjukkan adanya keinginan manusia untuk menggunakan kemampuan  akalnya secara optimal, baik itu otak kiri atau otak kananmya.
Dalam praktek penyelesaian suatu masalah, penggunaan kedua fungsi otak  tersebut berlangsung secara berhubungan sebagai kombinasi pemikiran kreatif dan logis, sehingga pemecah masalah sejati acapkali menggunakan kombinasi dari semua proses itu. Mereka sering menggunakan 5 (lima) tahapan dalam mengalirkan proses berfikir kreatif, yakni dimulai dengan tahap persiapan, sebagai upaya dalam merumuskan masalah, penetapan tujuan dan mengenali tantangan. Selanjutnya masuk ke tahap inkubasi, yakni sebagai upaya mencerna fakta-fakta (fenomena dan isu) dan mengolahnya dalam alam pikiran mereka. Kemudian masuk tahap iluminasi, yakni memunculkan gagasan-gagasan baru yang disusul dengan tahap verifikasi, yakni upaya memastikan apakah solusi itu benar-benar memecahkan masalah. Dan terakhir memasuki tahap aplikasi, yakni upaya menindaklanjuti solusi-solusi yang telah diperoleh. Pada dasarnya, kelima tahapan ini merupakan kombinasi dari kelincahan penggunaan kedua fungsi otak secara maksimal, terpadu, dan efektif. Meskipun hal tersebut tidak terlepas kemungkinan dari munculnya antitesis.
Alur berfikir diatas dapat kita terapkan dalam aktivitas keorganisasian, yang merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen. Organisasi seperti halnya manajemen, yang terdiri dari dan melibatkan banyak individu, bisa saja masing-masing individu  memiliki tujuan yang berbeda dengan tujuan organisasi. Perbedaan tersebut pada hakikatnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan inovasi dalam organisasi melalui kemampuan berkreasi yang dimiliki setiap individu dalam organisasi. Jika seorang pemimpin dalam suatu organisasi menginginkan anggotanya memberikan andil secara sukarela dan menggunakan kreativitas alaminya, maka Ia selaku pemimpin harus mencontohkan  terlebih dahulu. Salah satu cara untuk memberikan contoh kepada bawahan dan atau rekan kerjanya adalah dengan menunjukkan kreativitas dan kepercayaan diri untuk berani mengambil risiko dengan harapan orang lain mau mengikutinya.

Pada hakikatnya terdapat berbagai tipe individu dalam organisasi. Ada individu yang berhasil dengan atau tanpa bantuan seorang pemimpin, mereka dapat bekerja mandiri dan tidak terlalu menghiraukan bagaimana atasan memperlakukannya, selain terus memberikan kontribusi optimal terhadap organisasi serta termotivasi sendiri secara internal. Di sisi lain mungkin kita menemukan tipe individu yang susah diatur dan memberikan kesan menentang. Individu tipe ini bisa saja untuk sementara waktu menjadi bagian dari organisasi, sampai pada saatnya mereka akan berlalu. Mereka bukan tidak dapat dikendalikan, namun tidak juga dibawah kendali pimpinannya.
Disamping kedua tipe diatas, terdapat pula tipe individu dalam organisasi yang tidak akan behasil jika tidak didorong oleh atasan kerjanya sehingga seorang pemimpin perlu mencurahkan perhatian secara khusus. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melihat, belajar, dan menikmati keberadaan mereka selagi bisa. Dalam suatu organisasi, sebagian besar yang biasa ditemui adalah kelompok individu yang berada di tengah-tengah, dimana sebagian dari kelompok individu ini mampu bekerja dengan bantuan seorang pemimpin, dan sebagian lagi  kreativitasnya muncul jika diberi lingkungan kerja yang tepat. Sebagai seorang pemimpin yang memiliki kewenangan  dan tanggung jawab perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.
Penciptaan kreativitas dimulai dengan memecahkan kebiasaan dan pola pikir yang sudah terbentuk dengan mengambil pandangan yang berbeda dan baru. Namun sebagian orang lagi berpendapat, lebih mudah mengubah lingkungan kerja  seseorang daripada mengubah kepribadian atau perilaku mereka untuk menyesuaikan dengan lingkungan kerjanya. Strategi yang terbaik adalah mengupayakan perubahan-perubahan tertentu pada gaya kepemimpinan dan memodifikasi situasi gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan harapan kelompok individu dalam organisasi.
Hal terpenting yang perlu dimiliki seorang pemimpin paradigma adalah senantiasa memiliki impian dan keinginan, sebagai alasan kuat untuk tetap menarik kelompok individu yang berada dibawahnya dan menggerakkan mereka agar tetap berbicara tentang masa depan, dan inilah yang disebut dengan tujuan dan tidak justru sebaliknya tersusul dan mengikuti arus.
Memiliki tujuan dalam artian objectives adalah mengetahui dengan jelas arah masa depan seperti apa yang diinginkan, dan hal ini berbeda dengan tujuan dalam artian goals yang lebih menekankan pada pencapaian sesuatu yang lebih spesifik. Hal tersebut dapat dianalogikan seperti, jika kita memiliki “tujuan” atau objectives  untuk mencapai puncak tertinggi di Indonesia, maka yang menjadi “tujuan” atau goals tahun ini adalah  mencapai puncak gunung kerinci. Yang lebih mendekati  tujuan  dalam artian objectives adalah visi, dan karenanya,  visi sering didefinisikan sebagai tujuan akhir atau titik akhir. Suatu visi cenderung berfokus pada menerangkan apa yang ingin dicapai oleh individu atau organisasi. Tujuan individu bisa saja sebagai suatu yang unik  dan tidak dimiliki orang lain, sementara tujuan organisasi adalah apa yang menjadi falsafahnya.
Formulasi tujuan dari kedua artian tersebut diatas nampak sederhana namun merupakan konsep yang memiki makna yang dalam. Tentunya tujuan adalah semua tentang masa depan dan apa yang dapat dikerjakan serta terus dapat dikerjakan. Tujuan memberikan arah kemana manusia akan pergi. Jadi prestasi dan capaian yang diraih di tengah perjalanan tidak mengalihkan tujuan, dan dalam hal ini  prestasi  hanya berfungsi sebagai penguat saja, sementara tujuan akan mengarahkan semua hal tentang sesuatu yang akan dituju. Inilah yang memungkinkan para pemimpin memusatkan energi dan perhatian secara penuh dan mencari sesuatu yang penting bagi mereka, dengan berpaling pada hal-hal yang tidak atau kurang relevan. Para pemimpin paradigma, yakni mereka yang yakin dengan tujuan dan tidak akan terlalu dipengaruhi oleh perubahan internal serta mampu mengelola perubahan eksternal secara lebih efektif. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seorang pemimpin paradigma senantiasa akan ditantang untuk melakukan “adaptasi-kreatif” terhadap perubahan yang terjadi, baik yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal, dan dalam memecahkan masalah mereka dapat  menggunakan 5 (lima) tahapan alur berfikir kreatif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dewasa ini akses mendapatkan informasi semakin mudah dan cepat. Semakin mudah dan cepat informasi diterima, maka semakin cepat orang menyerap, mengombinasikan dan merekombinasikannya untuk menciptakan konsep, teori, fakta, dan penemuan baru yang lebih banyak lagi. Kesemuanya ini menyebabkan perubahan lingkungan di dunia semakin bertambah cepat serta memiliki implikasi yang luar biasa besarnya bagi kehidupan manusia, baik selaku individu maupun kelompok individu, baik sebagai warga lokal maupun warga global, apapun profesinya.
Apabila manusia terpaku pada informasi lama dan beradaptasi secara pasif saja, maka mereka akan hanyut tertelan arus perubahan, baik internal maupun eksternal. Dengan demikian, seseorang harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan gelombang perubahan di era-informasi dewasa ini. Selain itu, manusia harus memiliki ketrampilan berfikir kreatif agar mampu mengasimilasikan informasi untuk kepentingan organisasi, baik organisasi bisnis maupun publik.
Dibalik derasnya gelombang informasi diatas, dalam mengatasi segala masalah, suatu solusi ataupun resolusi akan muncul dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang atau mengambil pendapat orang lain, sebagaimana dikatakan oleh William Shakespeare “tak ada yang baru di bawah matahari, yang ada hanyalah versi dan kombinasi baru”. Bahkan gagasan yang dianggap revolusioner pun berakar dari fondasi pengetahuan yang mapan. Melalui pergeseran paradigma, kreativitas seorang pemimpin akan mampu melakukan lompatan yang belum pernah dialami sebelumnya. Pemimpin paradigma harus yakin pada kemampuannya sendiri untuk mengeksplorasi dan memunculkan solusi-solusi baru bagi tantangan-tantangan yang lebih serius. Para pemimpin paradigma bisa saja menatap horison dalam lingkup global, namun tetap berbuat dalam lingkup pengaruhnya sendiri dengan cara yang bijaksana, kreatif dan melihat ke depan. Untuk melakukan hal ini, para pemimpin paradigma harus mampu menyerap dan memilah informasi dan tampil dengan solusi atau resolusi baru untuk berbagai tantangan.  Dalam konteks bisnis, William Ahmanson - Ketua Dewan Komisaris National American Life Insurance Company - menyatakan “tidak ada jalan lurus yang dapat anda tempuh dari tempat yang satu ke tempat yang lain”.

Jakarta, 30 November 2011

Faisal Afiff

Rabu, 23 November 2011

Kepemimpinan Pro-aktif


KEPEMIMPINAN PRO-AKTIF

Dalam dunia persepakbolaan, para bintang pemain muncul silih-berganti, nilai sang pemain bisa jutaan dolar, mereka sanggup menyihir para penonton dengan aksinya yang memikau para penggemar, namun ketika sinar sang bintang mulai meredup maka muncullah sinar bintang baru menggantikan yang lama, dan siklus ini terus berlangsung dengan intensitas persaingan yang semakin tajam. Begitulah masa keemasan Maradona, Ruud Gulit, Ronaldinho, David Bekcham, dan Zidane mulai meredup, dan masuklah era bintang-bintang baru yang bersinar seperti Messi, Ronaldo, De-Maria, Drogba, dan Adebayor dalam papan atas persepakbolaan. Mereka membawa angin baru dan terobosan tontonan kreatif, serta ikut mengubah pola, peta dan gaya permainan sepak-bola ke depan.
Seperti halnya dalam dunia persepakbolaan, begitu pula dalam dinamika dunia bisnis, sebelum Boeing ada Wilbur dan Orville Wright; sebelum AT&T ada Alexander Graham Bell; sebelum Microsoft ada Bill Gates dan Paul Allen; sebelum CNN ada Ted Turner; dan sebelum FedEx ada Fred Smith. Setiap industri atau sektor baru, barang baru, jasa baru, gagasan baru, dan gerakan baru pasti dibalik hal yang baru itu ada para pendiri yang kreatif. Pada gerakan pembaharuan di dunia, kita mengenal seperti Mahatma Gandhi di India, Martin Luther King di Amerika Serikat dan Lech Walessa di Polandia. Begitu juga ketika Archimedes meneriakkan “Eureka!” dan lari dalam keadaan telanjang dengan luapan kegembiraan menuju kota akibat temuannya yang brilian perihal teori pengapungan, suatu tema yang telah menguras konsentrasinya ketika hampir seluruh hidupnya telah ia abdikan untuk menyingkap rahasia berbagai ilmu pengetahuan. Dari hal ini dapat ditarik suatu pelajaran bahwa setiap orang yang mengerjakan segala sesuatu secara kreatif dan efektif dan dikerjakan dengan senang hati akan memberikan kesempatan kepada alam bawah sadar mereka untuk menemukan sesuatu yang benar-benar baru, dan bahkan bisa menjadi suatu terobosan baru yang mampu mengubah wajah sejarah. Dewasa ini, tidak sedikit orang yang menjalani kehidupan atau pekerjaan yang kurang mereka sukai, namun lebih untuk memenuhi harapan dan keinginan orang atau kelompok lain. Mungkin ia bisa bekerja dengan baik dan efisien di bidang tersebut, namun kecil kemungkinan ia bisa menghasilkan suatu karya-kreatif atau karya besar. Kerja pikiran seseorang sebagian besar disimpan dalam alam sadar, namun di sisi lain sebagian gagasan dan kreasinya yang cemerlang lahir dari kerja pemikiran-intuitif di alam bawah sadar. Itulah sebabnya orang sering memperoleh gagasan baru diluar kerja formal mereka, di saat tengah berlayar, jogging, mandi, memancing atau seperti yang dilakukan Archimedes, pada saat ia berendam diri.
Dalam kancah keorganisasian, tidak sedikit organisasi terjebak untuk bereaksi atas serangkaian kejadian, seperti menunggu saingannya menurunkan atau menaikkan harga sampai akhirnya mereka ikut menyesuaikan; menunggu pelanggan mengeluh sebelum mereka memperbaiki pelayanan; menunggu sampai kehilangan pangsa pasar sebelum mereka merespon; dan menunggu sampai nilai tukar dolar turun sebelum mereka menyadari harus menukarnya. Metode pendekatan seperti ini, yakni menunggu, melihat dan berekasi mungkin saja bisa berhasil di masa lalu, namun dewasa ini banyak sekali isu atau fenomena yang menghadang dan bahkan menjatuhkan suatu organisasi, dikarenakan dorongan lingkungan yang kuat dan tiba-tiba serta kekuranghati-hatian. Dengan kata lain, adanya persaingan yang sangat intens dan tajam, menuntut organisasi untuk menjaga kualitas tawaran dan pelayanan agar tetap tinggi, perlu adanya pengembangan struktur organisasi dan tempat kerja, serta mampu memenuhi tuntutan ekonomi dan tuntutan non-ekonomi lainnya. Banyak organisasi bisnis yang masuk peringkat teratas 5 (lima) tahun yang lalu, sekarang sudah tidak tercantum lagi. Lebih dari 75 persen organisasi bisnis yang termasuk dalam Fortune 500 pada akhir tahun 1980-an, sudah tidak tercantum dalam daftar lagi saat ini. Tersisihnya mereka umumnya dikarenakan tidak mampu atau terlambat mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga di saat ancaman datang mereka tak mampu mengatasinya.
Dengan mengacu pada analogi bahwa seorang anak yang tidak pernah mengayuh sepeda, ia tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Begitu pula seorang pekerja yang tidak pernah bekerja sepenuh hati, ia tidak akan pernah mengalami rasa memiliki organisasi dimana tempat ia bekerja. Hal ini berlaku juga bagi seorang pemimpin dan/ atau manajer yang daya antisipasinya tumpul, maka dalam bekerja ia akan selalu merasa di bawah tekanan. Begitupun suatu organisasi yang hanya menunggu segala sesuatu terjadi, pada akhirnya akan menjadi korban dari apa yang ditunggunya. Sebuah negara yang tidak memahami dan menghayati akan falsafahnya sendiri, tidak akan pernah mampu memimpin dunia. Dengan demikian, sebagai individu maupun organisasi perlu segera berhenti dari kebiasaan menggantungkan diri terhadap berbagai dorongan lingkungan yang ada. Mereka harus belajar mengayuh sendiri dan menyediakan kekuatan sumber dayanya sendiri untuk bergerak atau belajar agar lebih pro-aktif dengan menciptakan perubahan itu sendiri, tanpa harus menunggu dorongan berikutnya, sehingga tidak menjadi korban perubahan yang diciptakan oleh individu atau organisasi lainnya.
Kebiasaan untuk mencari kesalahan dengan menudingkan telunjuk keluar harus mulai dihilangkan, permasalahannya bukan “disana” melainkan “disini” di dalam diri individu atau organisasi. Situasi eksternal yang begitu kompleks dan banyak dikeluhkan oleh individu maupun organisasi, sesungguhnya kunci permasalahannya berada dalam faktor-faktor internal individu maupun organisasi itu sendiri. Padahal, pada hakikatnya setiap individu mapun organisasi adalah sumber dan sekaligus pengguna energi. Tidak sedikit para pemimpin dan/ atau manajer belum sepenuhnya memahami peran inti mereka sebagai sumber dan pencipta nilai, serta menerima sinyal–sinyal kecerdasan emosi dari kedalaman hati nuraninya.
Dewasa ini manusia tengah memasuki zaman yang serba cepat, suatu zaman yang menuntut jawaban yang cepat, seperti halnya lem yang cepat kering, makanan yang cepat saji, perkawinan kilat, dan pemecahan-pemecahan masalah lainnya yang dituntut serba cepat. Pemecahan masalah seketika yang sering muncul dari pemikiran refleks, seolah-olah hanya memberikan sedikit kesempatan pada aspek pertimbangan di dalamnya. Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian, hal itu banyak didorong oleh sumber tersembunyi berupa gerak hati dari intuisi. Hasil penelitian empirik menunjukkan banyak organisasi terkemuka di dunia, baik skala besar maupun kecil, telah berhasil mengubah kecepatan dan ketajaman intuisi mereka menjadi inovasi yang berhasil. Begitu pula terdapat sejumlah temuan yang didukung oleh banyak bukti penelitian bahwa keterampilan intuitif para eksekutif telah berhasil dan berperan besar dalam membuat perusahaan mereka berada di garis paling depan dan mampu bertahan dalam persaingan, dan sebaliknya para eksekutif yang mengabaikan intuisi mengakibatkan buruknya kinerja perusahaan mereka. Intuisi tiada lain adalah persepsi yang berada di luar kekuasaan indrawi manusia, namun berkaitan erat dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya. Dengan intuisi, seolah-olah manusia sudah memiliki gagasan yang akan berhasil, walaupun belum diuji coba. Konsep ini telah banyak diterapkan di lingkungan kerja perusahaan multinasional seperti Motorola dalam upaya meningkatkan kerjasama tim kerja dan melipatgandakan produktivitas (efisiensi dan efektivitas). Dengan ketajaman intuisi inilah sebenarnya para pemimpin dan/ atau manajer dapat melakukan prakarsa-prakarsa proaktif tanpa harus menunggu dorongan dari lingkungan. Dorongan suara hati dan kilatan intuisi dapat menjadi penghemat waktu dalam banyak situasi.
Perlu diyakini bahwa perubahan akan berlangsung dan terus berlangsung, dan tidak ada satupun cara yang dapat kita lakukan untuk menolaknya. Apa yang perlu dilakukan oleh individu atau organisasi saat ini adalah melakukan pendekatan terhadap perubahan dengan cara yang sangat berbeda.  Ia atau mereka tidak lagi harus bereaksi terhadap perubahan dan mencari cara untuk mengatasinya, namun lebih baik berperan mengambil inisiatif dan menjadi penyebab dari perubahan itu sendiri. Pada dasarnya individu ataupun organisasi memerlukan perubahan yang mereka prakarsai, mereka rancang, dan mereka pikirkan masak-masak, serta mampu mewujudkannya menjadi kenyataan. Dengan demikian, mereka harus memprakarsai perubahan yang mereka inginkan secara aktif dan tidaklah reaktif, yakni dari suatu pandangan  dunia lama ke arah pandangan dunia baru dan seterusnya menciptakan masa depan bagi mereka sendiri. Dengan intuisilah para individu ataupun organisasi dapat menciptakan inovasi. Dengan kata lain, inovasi adalah  melakukan terobosan bisnis dalam rentang perubahan itu sendiri, yakni berupa perubahan kreatif untuk mencapai tujuan masa depan, yaitu dunia baru, suatu organisasi baru dengan nilai baru.
Kita pernah mendengar kisah tentang Tadashi Kume, yang dewasa ini menjadi CEO dari perusahaan besar Honda. Cerita punya cerita ketika ia baru diterima di jenjang paling bawah di perusahaan tersebut, ia terlibat perdebatan sengit dengan salah seorang pendiri, yaitu Soichiro Honda. Dengan intuisinya, Tadashi Kume dengan nekat meyakinkan sang pendiri tentang keuntungan relatif dari penggunaan motor-motor berpendingin air dan udara. Ketika Soichiro Honda belum menangkap pokok-kreatif dari gagasan insinyur muda tersebut, Tadashi Kume menyatakan diri akan menyepi selama sebulan bertapa di kuil zen, sambil menunggu pertimbangan Soichiro Honda untuk menerima atau menolak gagasan pemuda pemberani tersebut. Ternyata, tidak sampai sebulan Soichiro Honda telah menerima gagasan Tadashi Kume, yang kedepan terbukti menguntungkan perusahaan Honda dalam jangka waktu panjang dan bahkan ia sendiri telah diangkat menjadi salah seorang CEO Honda. Pelajaran penting yang dapat ditarik  dari cerita Tadashi Kume bahwa ketidakpuasan konstruktif dalam suatu organisasi  dapat menjadi katalisator penting untuk menyalakan, membentuk, merefleksikan dan menyempurnakan suatu gagasan baru. Terutama lagi jika para pemimpin dan/ atau manajer sadar dan menganjurkan kepada anak buahnya untuk ambil-bagian, berbicara dan melibatkan diri dalam kegiatan organisasi, dan bahkan alangkah baiknya bila mereka bersedia menjadikan “organisasi untuk belajar”, dimana debat dan konflik merupakan katalisator yang sangat dihargai dan dibutuhkan, sebagai laboratorium belajar yang efektif.
Terpulang pada agama-agama “langit” yang sama-sama kita yakini, bahwa hati nurani menempati posisi sentral pada diri manusia, dan didalamnyalah bersemayam ruhul-qudus, yang membisikan berbagai kabar kebenaran serta kebajikan. Jika manusia memiliki kepekaan untuk mendengar bisikan tersebut, sesungguhnya substansi hati nurani merupakan pembimbing yang tulus dan setia dalam melayani dan mendampingi perjalanan hidup manusia. Oleh karena itu, segala perbuatan manusia tergantung dari niat atau itikad, dimana niat keberadaannya tersembunyi dalam hati nurani manusia itu sendiri. Sayangnya manusia jarang dan bahkan tidak mempercayai gerak hati nuraninya sendiri, sebagai kilatan cahaya kebenaran yang muncul mendahului argumentasi dan daya nalar manusia itu sendiri.
Last but not least, mari kita mengutip pendapat James Autri, mantan eksekutif  Fortune 500,Kita harus membiarkan kecerdasan emosi dan intuisi kita mengalir dari mata air (hati nurani) secara lebih efektif bersama bebagai tantangan yang silih berganti, mentransformasikan situasi-situasi yang sulit, dan melatih kepekaan akan adanya peluang dibaliknya, menjelajahi kawasan-kawasan yang belum terpetakan, mengubah aturan-aturan main dan menciptakan masa depan. Dimana saja dan kapan saja, kita harus terus berusaha menyatukan benang-benang kecerdasan emosi dan ketajaman intuisi dengan cara yang dapat membuat kerja dan hidup kita, serta hubungan dan tujuan hidup kita, dimana proses belajar sebagai warisan kita semakin berkembang”.

Jakarta, 23 November 2011

Faisal Afiff