.


Rabu, 23 November 2011

Kepemimpinan Pro-aktif


KEPEMIMPINAN PRO-AKTIF

Dalam dunia persepakbolaan, para bintang pemain muncul silih-berganti, nilai sang pemain bisa jutaan dolar, mereka sanggup menyihir para penonton dengan aksinya yang memikau para penggemar, namun ketika sinar sang bintang mulai meredup maka muncullah sinar bintang baru menggantikan yang lama, dan siklus ini terus berlangsung dengan intensitas persaingan yang semakin tajam. Begitulah masa keemasan Maradona, Ruud Gulit, Ronaldinho, David Bekcham, dan Zidane mulai meredup, dan masuklah era bintang-bintang baru yang bersinar seperti Messi, Ronaldo, De-Maria, Drogba, dan Adebayor dalam papan atas persepakbolaan. Mereka membawa angin baru dan terobosan tontonan kreatif, serta ikut mengubah pola, peta dan gaya permainan sepak-bola ke depan.
Seperti halnya dalam dunia persepakbolaan, begitu pula dalam dinamika dunia bisnis, sebelum Boeing ada Wilbur dan Orville Wright; sebelum AT&T ada Alexander Graham Bell; sebelum Microsoft ada Bill Gates dan Paul Allen; sebelum CNN ada Ted Turner; dan sebelum FedEx ada Fred Smith. Setiap industri atau sektor baru, barang baru, jasa baru, gagasan baru, dan gerakan baru pasti dibalik hal yang baru itu ada para pendiri yang kreatif. Pada gerakan pembaharuan di dunia, kita mengenal seperti Mahatma Gandhi di India, Martin Luther King di Amerika Serikat dan Lech Walessa di Polandia. Begitu juga ketika Archimedes meneriakkan “Eureka!” dan lari dalam keadaan telanjang dengan luapan kegembiraan menuju kota akibat temuannya yang brilian perihal teori pengapungan, suatu tema yang telah menguras konsentrasinya ketika hampir seluruh hidupnya telah ia abdikan untuk menyingkap rahasia berbagai ilmu pengetahuan. Dari hal ini dapat ditarik suatu pelajaran bahwa setiap orang yang mengerjakan segala sesuatu secara kreatif dan efektif dan dikerjakan dengan senang hati akan memberikan kesempatan kepada alam bawah sadar mereka untuk menemukan sesuatu yang benar-benar baru, dan bahkan bisa menjadi suatu terobosan baru yang mampu mengubah wajah sejarah. Dewasa ini, tidak sedikit orang yang menjalani kehidupan atau pekerjaan yang kurang mereka sukai, namun lebih untuk memenuhi harapan dan keinginan orang atau kelompok lain. Mungkin ia bisa bekerja dengan baik dan efisien di bidang tersebut, namun kecil kemungkinan ia bisa menghasilkan suatu karya-kreatif atau karya besar. Kerja pikiran seseorang sebagian besar disimpan dalam alam sadar, namun di sisi lain sebagian gagasan dan kreasinya yang cemerlang lahir dari kerja pemikiran-intuitif di alam bawah sadar. Itulah sebabnya orang sering memperoleh gagasan baru diluar kerja formal mereka, di saat tengah berlayar, jogging, mandi, memancing atau seperti yang dilakukan Archimedes, pada saat ia berendam diri.
Dalam kancah keorganisasian, tidak sedikit organisasi terjebak untuk bereaksi atas serangkaian kejadian, seperti menunggu saingannya menurunkan atau menaikkan harga sampai akhirnya mereka ikut menyesuaikan; menunggu pelanggan mengeluh sebelum mereka memperbaiki pelayanan; menunggu sampai kehilangan pangsa pasar sebelum mereka merespon; dan menunggu sampai nilai tukar dolar turun sebelum mereka menyadari harus menukarnya. Metode pendekatan seperti ini, yakni menunggu, melihat dan berekasi mungkin saja bisa berhasil di masa lalu, namun dewasa ini banyak sekali isu atau fenomena yang menghadang dan bahkan menjatuhkan suatu organisasi, dikarenakan dorongan lingkungan yang kuat dan tiba-tiba serta kekuranghati-hatian. Dengan kata lain, adanya persaingan yang sangat intens dan tajam, menuntut organisasi untuk menjaga kualitas tawaran dan pelayanan agar tetap tinggi, perlu adanya pengembangan struktur organisasi dan tempat kerja, serta mampu memenuhi tuntutan ekonomi dan tuntutan non-ekonomi lainnya. Banyak organisasi bisnis yang masuk peringkat teratas 5 (lima) tahun yang lalu, sekarang sudah tidak tercantum lagi. Lebih dari 75 persen organisasi bisnis yang termasuk dalam Fortune 500 pada akhir tahun 1980-an, sudah tidak tercantum dalam daftar lagi saat ini. Tersisihnya mereka umumnya dikarenakan tidak mampu atau terlambat mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga di saat ancaman datang mereka tak mampu mengatasinya.
Dengan mengacu pada analogi bahwa seorang anak yang tidak pernah mengayuh sepeda, ia tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Begitu pula seorang pekerja yang tidak pernah bekerja sepenuh hati, ia tidak akan pernah mengalami rasa memiliki organisasi dimana tempat ia bekerja. Hal ini berlaku juga bagi seorang pemimpin dan/ atau manajer yang daya antisipasinya tumpul, maka dalam bekerja ia akan selalu merasa di bawah tekanan. Begitupun suatu organisasi yang hanya menunggu segala sesuatu terjadi, pada akhirnya akan menjadi korban dari apa yang ditunggunya. Sebuah negara yang tidak memahami dan menghayati akan falsafahnya sendiri, tidak akan pernah mampu memimpin dunia. Dengan demikian, sebagai individu maupun organisasi perlu segera berhenti dari kebiasaan menggantungkan diri terhadap berbagai dorongan lingkungan yang ada. Mereka harus belajar mengayuh sendiri dan menyediakan kekuatan sumber dayanya sendiri untuk bergerak atau belajar agar lebih pro-aktif dengan menciptakan perubahan itu sendiri, tanpa harus menunggu dorongan berikutnya, sehingga tidak menjadi korban perubahan yang diciptakan oleh individu atau organisasi lainnya.
Kebiasaan untuk mencari kesalahan dengan menudingkan telunjuk keluar harus mulai dihilangkan, permasalahannya bukan “disana” melainkan “disini” di dalam diri individu atau organisasi. Situasi eksternal yang begitu kompleks dan banyak dikeluhkan oleh individu maupun organisasi, sesungguhnya kunci permasalahannya berada dalam faktor-faktor internal individu maupun organisasi itu sendiri. Padahal, pada hakikatnya setiap individu mapun organisasi adalah sumber dan sekaligus pengguna energi. Tidak sedikit para pemimpin dan/ atau manajer belum sepenuhnya memahami peran inti mereka sebagai sumber dan pencipta nilai, serta menerima sinyal–sinyal kecerdasan emosi dari kedalaman hati nuraninya.
Dewasa ini manusia tengah memasuki zaman yang serba cepat, suatu zaman yang menuntut jawaban yang cepat, seperti halnya lem yang cepat kering, makanan yang cepat saji, perkawinan kilat, dan pemecahan-pemecahan masalah lainnya yang dituntut serba cepat. Pemecahan masalah seketika yang sering muncul dari pemikiran refleks, seolah-olah hanya memberikan sedikit kesempatan pada aspek pertimbangan di dalamnya. Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian, hal itu banyak didorong oleh sumber tersembunyi berupa gerak hati dari intuisi. Hasil penelitian empirik menunjukkan banyak organisasi terkemuka di dunia, baik skala besar maupun kecil, telah berhasil mengubah kecepatan dan ketajaman intuisi mereka menjadi inovasi yang berhasil. Begitu pula terdapat sejumlah temuan yang didukung oleh banyak bukti penelitian bahwa keterampilan intuitif para eksekutif telah berhasil dan berperan besar dalam membuat perusahaan mereka berada di garis paling depan dan mampu bertahan dalam persaingan, dan sebaliknya para eksekutif yang mengabaikan intuisi mengakibatkan buruknya kinerja perusahaan mereka. Intuisi tiada lain adalah persepsi yang berada di luar kekuasaan indrawi manusia, namun berkaitan erat dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya. Dengan intuisi, seolah-olah manusia sudah memiliki gagasan yang akan berhasil, walaupun belum diuji coba. Konsep ini telah banyak diterapkan di lingkungan kerja perusahaan multinasional seperti Motorola dalam upaya meningkatkan kerjasama tim kerja dan melipatgandakan produktivitas (efisiensi dan efektivitas). Dengan ketajaman intuisi inilah sebenarnya para pemimpin dan/ atau manajer dapat melakukan prakarsa-prakarsa proaktif tanpa harus menunggu dorongan dari lingkungan. Dorongan suara hati dan kilatan intuisi dapat menjadi penghemat waktu dalam banyak situasi.
Perlu diyakini bahwa perubahan akan berlangsung dan terus berlangsung, dan tidak ada satupun cara yang dapat kita lakukan untuk menolaknya. Apa yang perlu dilakukan oleh individu atau organisasi saat ini adalah melakukan pendekatan terhadap perubahan dengan cara yang sangat berbeda.  Ia atau mereka tidak lagi harus bereaksi terhadap perubahan dan mencari cara untuk mengatasinya, namun lebih baik berperan mengambil inisiatif dan menjadi penyebab dari perubahan itu sendiri. Pada dasarnya individu ataupun organisasi memerlukan perubahan yang mereka prakarsai, mereka rancang, dan mereka pikirkan masak-masak, serta mampu mewujudkannya menjadi kenyataan. Dengan demikian, mereka harus memprakarsai perubahan yang mereka inginkan secara aktif dan tidaklah reaktif, yakni dari suatu pandangan  dunia lama ke arah pandangan dunia baru dan seterusnya menciptakan masa depan bagi mereka sendiri. Dengan intuisilah para individu ataupun organisasi dapat menciptakan inovasi. Dengan kata lain, inovasi adalah  melakukan terobosan bisnis dalam rentang perubahan itu sendiri, yakni berupa perubahan kreatif untuk mencapai tujuan masa depan, yaitu dunia baru, suatu organisasi baru dengan nilai baru.
Kita pernah mendengar kisah tentang Tadashi Kume, yang dewasa ini menjadi CEO dari perusahaan besar Honda. Cerita punya cerita ketika ia baru diterima di jenjang paling bawah di perusahaan tersebut, ia terlibat perdebatan sengit dengan salah seorang pendiri, yaitu Soichiro Honda. Dengan intuisinya, Tadashi Kume dengan nekat meyakinkan sang pendiri tentang keuntungan relatif dari penggunaan motor-motor berpendingin air dan udara. Ketika Soichiro Honda belum menangkap pokok-kreatif dari gagasan insinyur muda tersebut, Tadashi Kume menyatakan diri akan menyepi selama sebulan bertapa di kuil zen, sambil menunggu pertimbangan Soichiro Honda untuk menerima atau menolak gagasan pemuda pemberani tersebut. Ternyata, tidak sampai sebulan Soichiro Honda telah menerima gagasan Tadashi Kume, yang kedepan terbukti menguntungkan perusahaan Honda dalam jangka waktu panjang dan bahkan ia sendiri telah diangkat menjadi salah seorang CEO Honda. Pelajaran penting yang dapat ditarik  dari cerita Tadashi Kume bahwa ketidakpuasan konstruktif dalam suatu organisasi  dapat menjadi katalisator penting untuk menyalakan, membentuk, merefleksikan dan menyempurnakan suatu gagasan baru. Terutama lagi jika para pemimpin dan/ atau manajer sadar dan menganjurkan kepada anak buahnya untuk ambil-bagian, berbicara dan melibatkan diri dalam kegiatan organisasi, dan bahkan alangkah baiknya bila mereka bersedia menjadikan “organisasi untuk belajar”, dimana debat dan konflik merupakan katalisator yang sangat dihargai dan dibutuhkan, sebagai laboratorium belajar yang efektif.
Terpulang pada agama-agama “langit” yang sama-sama kita yakini, bahwa hati nurani menempati posisi sentral pada diri manusia, dan didalamnyalah bersemayam ruhul-qudus, yang membisikan berbagai kabar kebenaran serta kebajikan. Jika manusia memiliki kepekaan untuk mendengar bisikan tersebut, sesungguhnya substansi hati nurani merupakan pembimbing yang tulus dan setia dalam melayani dan mendampingi perjalanan hidup manusia. Oleh karena itu, segala perbuatan manusia tergantung dari niat atau itikad, dimana niat keberadaannya tersembunyi dalam hati nurani manusia itu sendiri. Sayangnya manusia jarang dan bahkan tidak mempercayai gerak hati nuraninya sendiri, sebagai kilatan cahaya kebenaran yang muncul mendahului argumentasi dan daya nalar manusia itu sendiri.
Last but not least, mari kita mengutip pendapat James Autri, mantan eksekutif  Fortune 500,Kita harus membiarkan kecerdasan emosi dan intuisi kita mengalir dari mata air (hati nurani) secara lebih efektif bersama bebagai tantangan yang silih berganti, mentransformasikan situasi-situasi yang sulit, dan melatih kepekaan akan adanya peluang dibaliknya, menjelajahi kawasan-kawasan yang belum terpetakan, mengubah aturan-aturan main dan menciptakan masa depan. Dimana saja dan kapan saja, kita harus terus berusaha menyatukan benang-benang kecerdasan emosi dan ketajaman intuisi dengan cara yang dapat membuat kerja dan hidup kita, serta hubungan dan tujuan hidup kita, dimana proses belajar sebagai warisan kita semakin berkembang”.

Jakarta, 23 November 2011

Faisal Afiff


0 komentar:

Posting Komentar