.


Rabu, 09 November 2011

KARISMA KEPEMIMPINAN

KARISMA KEPEMIMPINAN

Manusia di bumi ini diciptakan Tuhan dengan berbagai keanekaragaman suku bangsa, agama dan budaya. Terlepas dari perbedaan tingkat kecerdasan atau tingkat kesuksesan yang diraih masing-masing orang, pada hakekatnya secara struktur anatomi, organ tubuh, dan fisiologis manusia memiliki susunan yang sama, bahkan seperti yang dimiliki pemikir besar, Einstein atau seorang fasis kawakan, Adolf Hitler. Berangkat dari fenomena ini, pada hakekatnya masing-masing individu di dunia memiliki peluang yang sama untuk mencapai keberhasilan sebagaimana tokoh-tokoh terkenal tersebut. Hal ini bermakna, keberhasilan mereka dapat dijadikan model dalam mengatur pola pikir dan sikap hidup kita. Pendekatan ini lazim dikenal para ilmuwan dan peneliti dengan sebutan perilaku modeling.
Seseorang yang merasa bertanggung jawab pada kehidupan pribadinya, akan melakukan sesuatu agar ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dan tidak membiarkannya lewat begitu saja. Karenanya, manusia dapat melakukan proses belajar secara aktif dengan ikut terlibat dalam kehidupan nyata, dan tidak membiarkannya terombang-ambing. Tokoh atlit Inggris terkenal,  Roger Bannister adalah contoh klasik dan konkret dari orang yang berhasil menjalankan pendekatan belajar aktif melalui pendekatan modeling, dengan prestasi sebagai orang pertama yang berhasil lari sejauh satu mil dalam waktu kurang dari empat menit yang hal ini mustahil dilakukan oleh seorang manusia.  Bahkan seorang dokter berpendapat, jika manusia berlari terlalu cepat maka jantungnya bisa pecah karena terlalu dipaksakan. Roger termasuk manusia langka yang tidak percaya pada ramalan para ahli tersebut. Setelah puluhan tahun ribuan atlit berlatih tanpa mampu memecahkan rekor empat menit, maka ia mampu melakukannya dan memukau dunia dengan rekor waktu 3 menit 59,4 detik. Meskipun keberhasilan rekor tersebut telah disahkan dan diakui pihak terkait, masih banyak khalayak ramai yang menyangsikannya. Mereka berpendapat bahwa keberhasilan tersebut merupakan faktor kebetulan saja, dan tidak dapat diulangi lagi atau bahkan melampauinya. Namun beberapa waktu berselang, rekornya dipatahkan oleh seorang pelari Australia bernama John Landy yang kemudian diikuti banyak atlit lainnya dengan prestasi berlari 1 mil kurang dari empat menit, dan bahkan semakin hari waktunya semakin singkat.
Kesemua fakta di atas melahirkan pertanyaan di benak diri manusia, bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Kespontanan khalayak ramai untuk menokohkan seseorang menjadi model bagi mereka, untuk menirunya dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang memiliki potensi yang sama untuk menerobos suatu keyakinan yang sempit, serta menyingkap potensinya yang luar biasa yang ada pada diri mereka. Proses pembelajaran yang dilengkapi dengan berbagai contoh kasus dan praktik-praktik yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah melahirkan karya yang berkualitas, akan sangatlah efektif. Jika seseorang berhasil mencapai prestasinya maka akan tumbuh suatu keyakinan, dan hal itu dapat ditularkan dengan mengajarkan keyakinan tersebut terhadap orang lain, baik individual maupun kelompok. Faktor kuncinya terletak pada kemampuan untuk menemukan orang yang dapat mewujudkan impiannya dan menjadikannya sebagai model, dan seterusnya belajar dan tirulah perilaku mental dan fisik model tersebut, dan yakinlah keberhasilan akan menjadi milik mereka bersama. Dengan menemukan model yang dianggap telah mencapai cita-cita yang kita inginkan, maka waktu dan energi yang dibutuhkan akan sangatlah efisien dengan dibarengi bebagai upaya yang efektif.
Perilaku modeling perlu diikuti dengan proses pembelajaran yang berkenaan dengan lubuk hati seseorang, berkomitmen untuk mengakui keberadaannya, serta mendeteksi bagian-bagian atau “sisi gelap” dari pribadi seseorang yang bisa disingkap, direnungkan, berdasarkan komentar-komentar kritis dari orang lain. Belajar dengan meniru keberhasilan orang lain dapat mempersingkat waktu, sehingga orang tidak perlu terlalu lama meniru kegagalannya atau trial and error mereka. Keunikan dan “sisi-gelap” potensi kepribadian seseorang adalah kekuatan tersendiri sebagai ciri yang khas sehingga ia bukanlah duplikasi dari orang lain. Seseorang haruslah berani meyelidiki sisi gelapnya dan sama halnya ia berani menggali sisi terangnya. Sebagaimana dikatakan John Gardner, “…kita sering membuat diri kita begitu sibuk, mengisi hidup kita dengan bermacam-macam kegiatan, memenuhi kepala kita dengan begitu banyak pengetahuan, bergaul dengan begitu banyak orang dan pergi ke begitu banyak tempat, sehingga kita hampir tidak punya waktu untuk menyelidiki dunia yang menakutkan sekaligus menakjubkan  dalam diri kita… kebanyakan dari kita justru berhasil melarikan diri dari diri kita sendiri.” Hal ini bermakna bahwa medali emas itu pertama-tama harus ditemukan dalam diri sendiri yang sering dikatakan sebagai sisi gelap atau wilayah yang hampir jarang dikunjungi, atau meminjam kata-kata Carl Gustav Jung bahwa dalam kegelapan itulah terdapat emas murni.
Dalam dunia bisnis, seseorang tidak dapat menuntun orang lain, jika ia tidak dapat menuntun dirinya sendiri. Ada sesuatu di dalam diri seseorang, yang bekerja di luar kesadarannya, bereaksi lebih cepat merintangi upaya-upaya kreatif dalam pencapaian prestasinya. Disinilah mengapa seseorang perlu menyediakan waktu untuk “hening” sejenak, menyingkap segala misteri dalam dirinya, mengangkat simtom-simtom yang selama ini menghalangi ekspresi-ekspresi hati dan jiwanya. Jika ia telah berhasil mengangkat sisi gelapnya ke arah yang lebih terang berarti ia telah mengakui dan belajar dari sisi gelapnya. Sisi gelap dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, dorongan-dorongan sesaat, kontradiksi-kontradiksi, perasaan ragu, mengasihani diri sendiri, keserakahan, cemburu, iri hati, dusta, murka, benci, sesal, dan sebagainya. Makin besar seseorang menerima cacat-cacat dan kekurangannya, maka sejalan dengan hal itu ia juga dapat mendengar kilasan bisikan-bisikan yang menasihati dan memperingatkan yang muncul dari balik kegelapan secara bijaksana, tulus dan ikhlas. Deena Metzger, psikolog asal Los Angeles berpendapat: “kita perlu mengakui sisi gelap diri kita sebagai sambungan dan sisi wajah kita yang lain”.
Disela-sela kehidupan kerja rutin sehari-hari, sesibuk apapun itu, sebaiknya setiap orang membuat suatu program atau agenda kecil dengan menerapkan semacam “Integrity time agreement”, yang bertujuan untuk memberikan perhatian yang lebih seksama kepada kehidupannya yang lebih mendalam, dengan menjelajahi perasaan-perasaan yang luas sedalam mungkin, baik sisi yang terang maupun sisi yang gelap. Merasakan kedalaman kesadaran batiniah yang telah membentuk perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dilakukannya. Setiap orang perlu berkomitmen  untuk berkontemplasi menyelami kedalaman hidup mereka sebelum memulai kegiatan rutin sehari-hari, paling tidak 15 menit setiap pagi. Integrity time ini perlu diterapkan untuk merenungkan diri sendiri dan mengeksplorasi kedalaman kecerdasan emosi dan spiritual manusia, baik sisi gelap maupun sisi terangnya di dalam jiwa mereka, dengan menyadari bahwa masing-masing adalah bagian yang integral dari peran dan jalan hidup  yang tengah mereka lalui. Berilah tanggal dan tandatangani pada setiap perjanjian yang dibuat, dan kemudian sertakan sebagai bagian dari jadwal kerjanya sehari-hari.
Beranjak dari pengalaman hidup yang mendalam, potensi unik, dan tujuan hidup seseorang yang didukung oleh komitmen untuk menjalankan semacam program atau agenda kecil di atas, akan menumbuhkan semacam “pengaruh” murni yang muncul dari pribadi seseorang. Bila dilaksanakan tanpa paksaan maka pengaruh tersebut dapat menjadi sumber energi potensial yang sangat diperlukan untuk mewujudkan impian dan tercapainya prestasi seseorang di dunia nyata. Melalui dampak inilah, membuat kehadiran seseorang di dunia masa kini, keterlibatannya dengan orang lain, berbagai permasalahan, alternatif kemungkinan, menjadi saling terhubung dan terasa dimana ia menjadi bagian di dalamnya. Ujung-ujungnya seseorang akan berhasil dalam kehidupan dan pekerjaannya, belajar mengerahkan pengaruh mereka dengan cara kreatif dan terhormat, tanpa harus berlindung dibalik pangkat, jabatan, hak istimewa dan  bahkan otoritas orang lain.
Fokus manajemen, selama lebih dari dari dua ratus tahun, terpusat secara murni pada daya analisis, kekuatan yang berasal dari luar dan rasionalitas teknik. Kesemua hal ini menyebabkan tertutupnya sebagian besar sisi karakteristik manusiawi lainnya, seperti semangat, emosi, intuisi dan pengalaman. John Ralston Saul sebagai seorang eksekutif mengingatkan kepada kita bahwa rasionalitas dan nalar manusia tidak lebih dari struktur. Dan struktur paling cocok bagi mereka yang berbakat dalam manipulasi. Pada kinerjanya yang prima, kecerdasan yang muncul dari kesadaran kedalaman tadi- atau katakanlah sebagai kecerdasan emosi, muncul berupa pengaruh tanpa manipulasi dan otoritas, hal ini berhubungan dengan penghayatan, belajar, bergaul, berinovasi dan bertindak dengan berbagai cara yang memperhitungkan valensi emosi, tidak sekedar hanya mengandalkan logika, intelektual, ataupun analisis teknis. Emosi manusia, sebagaimana tubuh dan pikirannya, juga mencatat sejarah, pengalaman, pemahaman dan berbagai hubungan dalam kehidupan mereka. Emosi mencakup perasaan tentang siapa diri seseorang dan masuk kedalam sistem dirinya dalam wujud energi yang memancar dan bergema juga mencatat semua perasaan, pikiran, dan interaksi diri manusia itu sendiri. James Moore, pakar strategi dengan tegas mengatakan bahwa lingkungan – yang meski kelihatan kacau serta penuh konflik dan persaingan – dapat dilihat dalam kerangka ekosistem bisnis yang terorganisir dan koevolusi yang serupa dengan kejadian-kejadian dalam ekosistem biologis diri manusia.
Intensitas persaingan dan saling keterkaitan antara perusahaan raksasa IBM, Microsoft dan Intel merupakan contoh yang tepat sekali dari paparan di atas. Ketiga perusahaan tersebut pada segmen pasar tertentu, mereka bersaing dengan ganas, namun pada segmen pasar lainnya, mereka adalah pemasok komponen vital yang saling menguntungkan di antara mereka.  Di dunia industri, dari sektor manufaktur, energi, pelayanan kesehatan, telekomunikasi, hingga media, maka faktor imajinasi, kepercayaan dan pengaruh mereka dimanfaatkan secara bersama-sama melalui jaringan raksasa yang saling terhubung, menembus produk pasar dan batas-batas geografis negara. Para pelaku perusahaan raksasa tersebut secara aktif dan terus menerus, membentuk dan mendefinisikan kembali keberhasilan bagi perusahaannya masing-masing dan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Mereka menjadi terbiasa bekerja diperbatasan antara wilayah keos dan keteraturan. Berbagai jenis dan intensitas persaingan yang dapat menjurus ke suasana keos dapat teratasi oleh terbangunnya mekanisme-mekanisme kerjasama dinamis yang etis dan terbentuknya keteraturan tatanan diantara mereka. Berkenaan dengan hal ini, seorang pemimpin visioneer sekaligus CEO VISA Internasional, Dee Hock mengatakan, ”… jika Anda ingin memimpin, sediakan paling sedikit 40% waktu Anda untuk mengelola diri sendiri, etika, karakter, prinsip, tujuan hidup, motivasi dan perbuatan; 30% waktu lainnya disediakan untuk mengelola mereka yang mempunyai otoritas  lebih dari Anda; 15% sisa waktu lainnya untuk mengelola para sejawat Anda; sedang sisa waktu lainnya lagi digunakan untuk mempengaruhi rekan yang lain “untuk siapa mereka bekerja”, agar mereka memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang sedang diterapkannya”.
Pada hakekatnya, Jika seseorang menyadari dan yakin mana yang benar dan bermakna, serta konsisten memperjuangkannya, maka sumber daya manusia atau sumber daya lainnya yang dibutuhkan akan datang dengan sendirinya, seolah-olah tertarik oleh energi tertentu: diantaranya adalah pengaruh dan karisma. Dengan demikian, setiap kepekaan perasaan dan pikiran akan  mempengaruhi  susunan serat halus dalam diri seseorang, memancarkan ke luar kepada orang lain dalam sosok karisma dan resonansi, maka tugas manusia adalah bertanggung jawab untuk mewujudkannya sebagai kunci utama keberhasilan manusia itu sendiri. Setiap orang boleh mempelajari dan meniru keberhasilan dan pencapaian orang lain, namun ia jangan melupakan kesejatian dan otentisitas kepribadian dirinya sendiri.
                                              
Jakarta, 9 November 2011
                                                                                        
                                                                                                          Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar