.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Selasa, 25 Februari 2014

Rangkaian Kolom: Kepemimpinan Altruistik



KEPEMIMPINAN ALTRUISTIK

 In the last analysis, management is practice
 Its essence is not knowing but doing
 It’s test is not logic but result
 Its only authority is performance
(Peter F. Drucker)

            Ilmu manajemen, sebagai salah satu pendekatan disiplin Ilmu Ekonomi, khususnya ilmu bisnis, pada dasarnya masih merupakan suatu pengetahuan yang berusia muda, dan di Indonesia pun relatif baru dikenal. Disamping itu uniknya pula, hingga saat ini, diantara para pakar masih terus berlangsung perdebatan akademik, apakah manajemen itu lebih diposisikan sebagai ilmu-kah atau seni-kah. Tetapi terlepas dari pergulatan ide tadi, manajemen dapat didefinisikan sebagai “the process of planning, organizing, directing, and controlling an organization resources to achieve its goals”.
            Di tanah air sendiri, nyatanya beragam kegiatan pendidikan seputar ilmu manajemen bukan semata-mata merupakan monopoli dari program magister manajemen saja, namun dalam jenjang stara diploma, S1, S2, maupun S3, juga diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan tinggi lain baik yang menawarkan disiplin ilmu ekonomi maupun ilmu non-ekonomi, dan bahkan oleh sekolah tinggi yang tersendiri (School of Management).
            Tak dapat dipungkiri, bahwa beragam penyelenggara pendidikan ilmu manajemen tersebut lebih menitik-beratkan muatan kurikulum atau silabinya pada sisi fungsional bisnis, seperti kajian di bidang manajemen pemasaran, operasi, keuangan, dan sumber daya manusia. Sedangkan pendidikan ilmu manajemen yang memfokuskan dirinya pada kajian perspektif korporasi boleh dikatakan relatif masih langka, terkecuali hanya satu di pulau Bali yang kini dinakhodai oleh salah seorang praktisi manajemen ternama.
            Untuk negeri seluas Indonesia, dengan keragaman struktur industri berikut skala usaha dan bentuk hukum bisnisnya, hal ini tentu saja agak menyedihkan, dan oleh karenanya kita pun patut menjadi maklum adanya, tatkala kualitas manajerial yang dimiliki manusia Indonesia pun senantiasa dipergunjingkan di ajang pergaulan antarbangsa di dunia.
            Fenomena pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang masih terpaku pada sisi fungsional bisnis seperti itu, mau tak mau berdampak pula memunculkan perilaku para manajer kita yang lebih tertarik berfikir internal dan parsial serta menekankan pada upaya-upaya manajerial yang bersifat taktik-operasional demi kesuksesan mengejar raihan keuntungan bisnis jangka pendek semata. Bahkan lebih parah lagi, mereka pun seringkali mempersepsikan bisnis sebagai bisnis semata tanpa mampu mengaitkan dengan kearifan hidup kemanusiaan yang lebih luas lagi. Selaku para manajer seyogyanya mereka terkait dengan pertanggungjawaban organisasi bisnis terhadap publik sebagai manifestasi akan keberadaan eksistensial diri berikut organisasi bisnisnya dalam menjunjung tinggi kaidah etik-manajerial.  
Suatu petikan menarik adalah contoh di India yang lama  telah memiliki tradisi  bisnis altruistik (Sundar, 2000). Para pelaku bisnis altruistik di India telah menggunakan sebagian besar  keuntungan bisnis mereka untuk tujuan amal seperti membangun tangki air, sekolah, kuil, apotik, pelayanan kesehatan dan klinik atau rumah sakit. Bahkan pengusaha serakah seperti di India Selatan masih  memiliki  tradisi dari ajaran dasar altruistik  (Singer, 1972).  Agaknya ajaran Mahatma Gandhi masih berpengaruh besar pada gagasan  bisnis-altruistik. Salah satu  gagasan Gandhi yang mengilhami bisnis-altruistik adalah tentang perwalian. Sebagaimana banyak diketahui dari sejarah, Gandhi adalah pejuang yang telah mengidentifikasi penyebab kesenjangan sosial  dan pentingnya perjuangan untuk kemerdekaan dari penjajahan Inggris, dengan pemberdayaan perempuan, pengentasan kemiskinan dan orang tertindas lainnya, kerukunan antar umat beragama, dan kemandirian ekonomi bangsa. Gandhi juga mengajarkan kemurnian  dalam cara mencapai tujuan. Di bawah kepemimpinan Gandhi, bisnis-altruistik  tidak hanya diterjemahkan sebagai amal bagi masyarakat miskin, akan tetapi juga prinsip kekayaan perusahaan sebagai amanah, sebagai dasar komitmen sosial dalam melaksanakan kejujuran bisnis secara etik. Masih banyak pengusaha di India yang percaya atau menganut  prinsip-prinsip ajaran altruistik dari Mahatma Gandhi. Sebagaimana difahami secara umum, bahwa altruisme memusatkan perhatian pada pandangan manusia untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sehingga altruisme adalah motivasi manusia yang murni untuk memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Dari studi yang pernah dilakukan oleh Khandwalla,  dari sepuluh gaya manajemen perusahaan di India, salah satu gaya yang senantiasa mempengaruhi para pelaku bisnis  adalah gaya  manajemen altruistik, yang beberapa ide dasarnya menggunakan landasan ajaran dari Mahatma Gandhi. Yang dimaksud dengan perwalian dalam konteks ini adalah bahwa suatu manajemen bisnis menyadari bahwa mereka adalah wali dari kepentingan publik atau masyarakat, termasuk pemilik, pelanggan, dan pekerja. Oleh karena itu, landasan filosofi dan praktek bisnis yang dijalankan lebih dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran, semangat pengorbanan, komitmen terhadap kesejahteraan orang lain, dan dedikasi untuk cita-cita sosial yang lebih luas dan mendasar.
Di antara sepuluh gaya manajemen yang banyak dipraktekkan di India, maka  gaya altruistik ternyata menempati peringkat kelima yang paling banyak digunakan oleh perusahaan, dengan mengambil  sampel  sembilan puluh perusahaan yang beroperasi di India. Sedangkan peringkat gaya diatasnya, yakni peringkat keempat adalah gaya konservatif yang lebih menekankan pada sikap kehati-hatian, kompromi, preseden, tradisi, stabilitas dan pertumbuhan yang stabil. Sedangkan gaya profesionalistik, sebagai peringkat ke tiga, lebih menekankan pada pengambilan keputusan berbasis penelitian dan perencanaan  jangka panjang, kecanggihan sistem informasi manajemen (SIM), strategi, dan pengambilan keputusan oleh para profesional. Peringkat kedua menekankan pada gaya organik, yakni pengambilan keputusan yang didasari oleh aliran bebas komunikasi dan interaksi yang luas, penekanan pada kesadaran akan tujuan organisasi secara luas, orientasi pada masalah, rencana bisnis dan prosedur formal. Yang terakhir, yakni peringkat pertama, adalah gaya partisipatif, yang  lebih menekankan pada partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan, konsensus berbasis keputusan atas landasan saling bertukar dan berbagi ide dan informasi, saling percaya, serta menjunjung iklim  kolaborasi dan semangat  kerja tim. Peringkat dibawah gaya altruistik  yang lebih banyak dipraktekkan  adalah  gaya kewirausahaan, gaya otoriter, gaya birokrasi,  gaya  manajemen berorientasi peraturan , dan gaya paternalistik atau kekeluargaan. 
Gaya altruistik  memiliki korelasi yang sangat erat dengan gaya  partisipatif dan gaya birokrasi, dan lebih banyak dipraktekkan  oleh organisasi publik ketimbang organisasi bisnis swasta. Adapun  yang menarik adalah bahwa gaya altruistik ternyata menjadi pendorong utama bagi mekanisme  pembelajaran organisasi dan inovasi. Sebagai contoh adalah  gaya profesional berkorelasi sangat erat (pada tingkat kepercayaan 99 persen) dengan hanya sembilan dari dua puluh tiga indikator mekanisme pembelajaran dan inovasi, sedangkan gaya altruistik berkorelasi sangat erat dengan kedua puluh indikator tersebut. Hal ini boleh jadi bahwa organisasi yang berinvestasi dalam pembelajaran dan inovasi, otomatis terlatih dan terbentuk sikap kejujuran dan kebaikan meskipun beroperasi di lingkungan bisnis yang dikenal korup. Gaya altruistik juga  berkorelasi erat dengan enam dari sepuluh  kriteria  organisasi yang efektif, yakni semangat kerja, dampak sosial yang positif, citra perusahaan, stabilitas kinerja, kekuatan keuangan dan inovasi. Temuan lain menunjukkan bahwa manajemen altruistik  berhubungan juga dengan proses belajar yang produktif,  inovasi,  dan keramahan internal, yang kesemuanya merupakan suatu aset yang sangat penting bagi kesuksesan organisasi dalam lingkungan bisnis yang penuh turbulensi dan kompetitif. Dalam praktek bisnis di lingkungan yang demikian itu, maka  manajemen altruistik dapat dirangsang untuk mengambil jalan lain bagi proses pembelajaran yang cepat dan inovatif agar tetap berada di depan. Altruisme pada perusahaan juga dapat memberikan rasa bermakna  dan adanya peningkatan kualitas hidup bagi para pekerja yang merasa terjebak oleh rutinitas, serta mendesak pekerja untuk memiliki keunggulan kolektif guna meningkatkan kinerja organisasi serta kualitas hidup para pemangku kepentingan organisasi. Mereka juga dapat merasakan hal  yang unik dan bermartabat  di dalam situasi dunia bisnis yang penuh dengan cela dan keserakahan.
            Tentu saja penelitian demikian perlu juga dilakukan di negara kita, sehingga kita tidak serta-merta menjatuhkan vonis negatif pada para pelaku bisnis Indonesia secara apriori. Namun berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, acapkali orientasi manajerial berjangka pendek pada akhirnya meninggalkan jejak keorganisasian yang tidak kontinum. Ada baiknya filosofi  altruistik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama menjadi landasan  dalam membangun kiprah organisasi dalam rentang waktu yang panjang dan relatif abadi. Para ahli manajemen telah mencanangkan konsepsi, bahwa suatu aktivitas kolektif barulah pantas dimaknai sebagai suatu organisasi jika memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
·        Relatively permanent social entities;
·        Characterized by
·        Goal-oriented behavior;
·        Specialization, and
·        Structure.
Agaknya hingga saat ini, di bumi nusantara tercinta, masih belum muncul kesadaran kolektif untuk memilahkan pemahaman antara peran manajemen di strata fungsional dan peran manajemen di strata korporasi, baik dalam organisasi laba maupun nirlaba. Orang hanya melihat bahwa posisi manajerial di tingkat korporasi itu ditafsirkan lebih berkuasa dan cenderung dimaknai identik dengan kepemilikan ketimbang posisi manajerial  ditingkat fungsional yang diberi pembobotan pada keterampilan teknikal, administratif, dan kepemimpinan. Namun jarang diketahui bahwa peranan manajemen korporasi yang paling penting adalah justru dalam membangun dan mengejawantahkan formula-formula kepemimpinan yang memiliki semangat altruistik berikut nafas moralitasnya di lingkungan internal dan eksternal suatu organisasi, agar kelak tidak hanya dihayati pada tingkatan manajemen eselon puncak (CEO) saja akan tetapi beradaptasi pada tingkatan manajemen eselon menengah serta bawah (COO) hingga ke para pekerja pelaksananya. Semangat altruisme di sini dimaksudkan sebagai “a social behavior carried out by an individual or organization to benefit another without anticipation of reward from external sources”. Sedangkan dengan kandungan moralita dimaksud di sini adalah sebagai “the standards that an individual or a group has about what is right and wrong or paradise and evil”.
Kepemimpinan manajemen puncak tanpa dibarengi nuansa altruistik dan etika bisnis yang kental yang sebahagian besar diantara mereka adalah individu-individu yang berpendidikan dan pekerja keras - akan senantiasa mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan mempercanggih kinerja bisninya. Berbagai keluhan kalangan dunia bisnis di Indonesia dewasa ini yang merasa kewalahan menghadapi gejolak buruh, kebingungan membendung serbuan barang impor namun murah, dan juga ketidakmampuan dalam meningkatkan produktivitas sumber daya manusianya, kesemuanya ini paling tidak semakin memperlihatkan pada kita akan adanya suatu tuntutan  perubahan dalam kurikulum atau silabi ilmu pengetahuan manajemen yang muatannya lebih berorientasi pada manajemen korporasi yang holistik sekaligus kontekstual dengan ciri khas lingkungan ke-Indonesiaan yang memiliki nuansa kehidupan kemasyarakatan yang  masih bersifat komunal, agamis, mistis, kekerabatan, etnikal dan bahkan feodal.
      Disadari bahwa, konsepsi pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang selama ini diterapkan lebih bersifat westernize, mengutamakan peran kefungsionalan dalam organisasi (spesialisasi), hedonistik dan egoistik, individual, mengunggulkan keuntungan maksimal jangka pendek, serta berorientasi pada penawaran dan kesejahteraan pemilik modal (capital safety net) yang kesemuanya merupakan hasil warisan pemikiran manajemen di era pasca perang dunia ke-2. Oleh karenanya, sudah saatnya di alam reformasi Indonesia yang disertai krisis multidimensional sekarang ini, perlu segera dilakukan terobosan untuk merubah konsepsi pendidikan ilmu pengetahuan manajemen menjadi berbasis moralistik-altruistik serta berorientasi pada permintaan dan kesejahteraan masyarakat (social safety net), tanpa harus mengabaikan raihan perolehan keuntungan yang proporsional, sejalan dengan pemikiran manajerial kontemporer di era globalisasi abad ke 21 ini, yang mengedepankan isu-isu kritikal seputar HAM,  demokrasi,  dan kelestarian lingkungan hidup.
      Secara komprehensif dapat kiranya diulas suatu runtutan berfikir holistik yang menghantar terbentuknya ilmu pengetahuan manajemen berbasis altruistik. Dalam paparan ini, adalah menarik untuk menyimak pernyataan dari Dr. Danah Zohar (Maria Hartiningsih, Menghidupi Modal Spiritual, Kompas, 30 Juni 2006) yang dikenal sebagai seorang pakar fisikawan serta meraih doktor di bidang filsafat, agama, dan psikologi lulusan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, dan juga selaku penulis buku Spiritual Capital: Wealth We Can Live By, The Quantum Self, dan The Quantum Society- yang menyatakan antara lain:
·        Keberhasilan pemimpin sering diukur hanya dari keuntungan material yang di peroleh selama masa kepemimpinannya. Keberhasilan bisnis juga dinilai hanya dari ekspansi, pendapatan, dan kemampuan untuk menguasai pihak lain. Orientasinya sesaat dan bertujuan jangka pendek. Kepentingan yang melandasinya bersifat sempit dan dangkal;
·        Obsesi pada pencapaian material adalah sangat berbahaya. Apalagi demi pencapaian material itu, kesejahteraan pekerja atau buruh harus dikorbankan. Praktik ini antara lain dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kemiskinan, penyakit, jurang kesenjangan sosial serta berbagai dampak serius lainnya, termasuk keresahan sosial, ketiadaan kesetiaan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial, menguatnya pandangan membedakan orang lain, dan munculnya kelompok eksklusif berdasarkan etnis, agama, dan golongan; dan
·        Karena yang dikejar material belaka, maka kehendak untuk menjaga, merawat, berbagi, dan melayani sesama manusia juga semakin menipis. Begitu pula korupsi akan merajalela karena mereka tak punya rasa memiliki bersalah mencuri hak milik banyak orang.
Jika para pelaku dunia pendidikan dan para praktisi manajemen tidak mau merubah orientasi mereka, maka bisa diprediksikan bahwa akan semakin banyak organisasi atau perusahaan anak bangsa yang kolaps, tereduksi, dan bahkan lenyap ditelan kecepatan perubahan atau dinamika lingkungan. Dari sudut pandang yang jeli, kita pun patut menyadari, bahwa dibalik kesuksesan kiprah para manajer perusahaan berskala besar nasional dan multinasional (MNE’s), sesungguhnya terkandung pula semangat altruisme yang menggumpal, tentunya“versi mereka”, yang telah melahirkan produktivitas, talenta, dan kreativitas tanpa batas dalam menorehkan sejarah manuver organisasi mereka yang unggul, ekspansif, dan bergenerasi.
            Adalah merupakan tantangan zaman bagi para teoritisi dunia pendidikan tinggi maupun para praktisi dunia bisnis di bumi nusantara tercinta, untuk saling bekerja sama merumuskan secara komprehensif suatu paket kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan manajemen berbasis altruisme  “versi Indonesia” yang memiliki muatan berimbang antara sisi korporasi dan fungsionalnya. ***
                                                                                                                                      Jakarta, 19 Desember 2012
                                                                                                                                                         Faisal Afiff

Rangkaian Kolom: Transformasi Kepemimpinan Strategikal



   TRANSFORMASI KEPEMIMPINAN STRATEGIKAL
Suatu kasus rujukan peralihan kepemimpinan di Cina

Sebagaimana pernah dikatakan oleh sang futurolog John Naisbitt dalam bukunya mind set, banyak orang khawatir bahwa Cina akan pecah, namun konotasi perpecahan ternyata diartikulasikan kedalam visi ganda, yakni menempuh jalur kembar sekaligus antara globalisasi dan desentralisasi secara lebih intensif dibanding negara manapun di dunia. Sebuah proses esensial bagi keberlangsungan negara tirai bambu, dengan lebih memberi ruang efisisensi dan kekuasaan terhadap bagian-bagiannya, baik kota, provinsi dan kawasan. Sehinggsa muncul idiom bahwa pinggir adalah pusat. Saat ini sektor swasta telah menjadi komponen ekonomi Cina yang dinamis, dengan pertumbuhan sekitar 10 % per tahun, lebih dari dua kali lipat kecepatan pertumbuhan perekonomian Cina secara keseluruhan, maka kelas pengusaha telah mendorong modernisasi di Cina. Namun yang menarik dibalik fenomena menakjubkan yang terjadi di Cina, adalah dengan melihat pula bagaimana negara dengan penduduk terpadat di dunia itu, tetap dapat mengendalikan pemerintahannya secara aman dan stabil setelah terjadinya krisis Tianenmen di tahun 1989. Bagaimana mekanisme dan pembagian kekuasaan di jalankan sehingga Cina tidak terperangkap pada jurang perpecahan secara artifisial.  Tidak ada sudut pandang yang lebih baik untuk memahami politik kepemimpinan Cina daripada menganalisis sembilan individu yang membentuk Politbiro Standing Committee (PSC). Meskipun terdapat penilaian yang sangat beragam dan berbeda tentang  pergulatan elit politik Cina dari kacamata masyarakat pengamat di luarnegeri, namun dalam dekade terakhir hampir dapat dipastikan bahwa tengah terbentuk konsensus kuat yang mengejutkan muncul di pusaran pusat kekuasaan Cina, yakni semakin pentingnya peran yang dimainkan oleh PSC. Pemimpin Cina papan atas, Sekretaris Jenderal Partai dan Presiden Hu Jintao, mungkin hanyalah “kebetulan” berada pada urutan pertama dari suatu kekuasaan kolektif dalam pengambilan keputusan kolektif tertinggi. Di Republik Rakyat Cina (RRC), atau dengan sebutan kontemporer cukup dengan Cina saja, para penguasanya telah sepakat  untuk memberi penekanan pada suatu kepemimpinan kolektif, yang di tahun 2007 komunike bersama kongres partai komunis telah menetapkan sistem dengan pembagian tanggung jawab seimbang di antara para pemimpin individual  dalam upaya mencegah pengambilan keputusan sewenang-wenang oleh satu orang penguasa saja sebagai pemimpin puncak.
 Diharapkan bahwa tujuh dari sembilan anggota komite saat ini, termasuk Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao, akan mengundurkan diri sebagai akibat dari aturan usia pensiun. Setelah tahun 2012, para penggantinya akan bertanggung jawab untuk urusan negara di bidang politik dan ideologi, ekonomi dan manajemen keuangan, kebijakan luar negeri, keamanan publik, dan operasi militer. Pemimpin Cina yang muncul akan memerintah suatu negara yang paling padat penduduknya di dunia bagi suatu periode yang diharapkan lebih baik dari dekade sebelumnya. Sementara itu, secara kolektif mereka akan berurusan dengan tantangan yang mendebarkan dalam menghadapi lingkungan yang tidak stabil dan kompleks baik di dalam negeri maupun di tingkat global. Masyarakat Cina juga menyadari adanya gesekan kompetisi  yang sedang berlangsung untuk merebut keanggotaan di internal PSC, yang berimbas pada ketegangan politik yang lebih luas, perselisihan ideologis, dan perbedaan kebijakan dalam kepemimpinan. Belum pernah negara menyaksikan suatu lobi politik yang luar biasa terbuka, seperti yang ditunjukkan oleh Sekretaris Partai Chongqing Bo Xilai yang agresif mempromosikan diri dalam kampanyenya. Bahkan orang tidak harus menjadi seorang analis politik handal untuk memahami tujuan Bo: yakni untuk mendapatkan kursi di PSC berikutnya. Bo tidak hanya meluncurkan apa yang banyak kritikus katakan sebagai'' revolusi kebudayaan-dalam kemasan kampanye '' di kota terbesar Cina, akan tetapi juga menganjurkan model Chongqing berupa model pengembangan sosio-ekonomi yang menyerukan kesejahteraan umum dan  mengatasi urbanisasi yang cepat. Dalam beberapa bulan terakhir, lima dari sembilan anggota PSC saat ini telah mengunjungi Chongqing untuk mendukung kampanye Bo. Pada saat yang sama Wen Jiabao sebagai saingannya, secara terbuka menyatakan keprihatinan akan masih adanya “sisa-sisa'' revolusi kebudayaan dan perebutan lahan bagi pengembangan properti dengan dalih mengatasi urbanisasi. Tidak kalah ketinggalan, publikasi terbaru dari empat jilid pidato mantan Perdana Menteri Zhu Rongji berisi tidak hanya tentang nostalgia dari seorang pemimpin pensiunan, akan tetapi juga adanya kekhawatiran tentang pakta kohesi politik elit dengan kapasitas kepemimpinannya, baik untuk sekarang maupun untuk di masa mendatang. Agaknya secara  tidak langsung,  baik Wen maupun Zhu tampaknya tengah mengarah pada pembentukan suatu formasi di tubuh PSC berikutnya. Maka komposisi di tubuh PSC, terutama dengan munculnya atribut generasi baru, akan menyulut perubahan dinamika kelompok, keseimbangan antar faksi berkuasa dalam komite, yang tentunya akan  memiliki implikasi mendalam bagi prioritas pembangunan ekonomi, stabilitas sosial, politik, dan hubungan luar negeri. Maka siapakah kandidat terkemuka? Melalui proses apa mereka akan dipilih? Apakah latar belakang politik dan profesional mereka serupa atau berbeda satu sama lain? Bagaimana aliansi faksi atau koalisi politik mereka dibagi? Apa strategi yang mereka adopsi untuk mengamankan salah satu dari sembilan tempat di PSC terutama di bulan-bulan menjelang Kongres Partai ke-18? Apa agenda ekonomi, inisiatif sosial politik, dan kebijakan luar negeri dari setiap anggota kelompok yang kuat akan dipromosikan?  
Perubahan penting yang terjadi pada komite tetap politbiro dan pertanyaan-pertanyaan diatas sangat penting bagi Amerika Serikat dan negara di Asia seperti Indonesia, terutama pada saat Cina memiliki pengaruh lebih dominan pada perekonomian dunia dan keamanan regional dibanding saat sebelumnya. Setelah melalui proses seleksi dan kriteria  awal yang ketat   jumlah kursi yang diperebutkan di PSC bisa saja berubah, dimana konstitusi PKC tidak menentukan jumlah tetap. PSC dibentuk pada kongres partai ke-13 di tahun 1987 yang awalnya hanya memiliki lima anggota, dan pada kongres partai ke-14 pada tahun 1992 dan pada kongres ke-15 di tahun 1997 PSC memiliki tujuh anggota, dan pada dua kongres terakhir Partai PSC memiliki sembilan anggota. Ada dua pandangan berbeda tentang jumlah kursi di PSC ke depan: yang pertama berpendapat untuk mengikuti norma politik dua kongres partai terbaru, dimana struktur PSC sebaiknya tetap menjaga 9 anggota saja. Pandangan lain mengakui bahwa semakin banyak desakan politisi kuat ambisius yang  dapat mengakibatkan keanggotaan PSC diperluas menjadi 11 kursi. Dari analisis yang masuk akal, agaknya dapat diasumsikan bahwa jumlah PSC berikutnya akan tetap mempertahankan sembilan anggota. Bagaimana proses dan  kriteria  anggota PSC dipilih? Secara teoritis, seperti dijelaskan  pada konstitusi PKC tahun 2007, semua anggota Politbiro (saat ini ada 25 anggota ), termasuk PSC dan Sekretaris Jenderal Partai, dan dipilih oleh para anggota Komite Pusat PKC. Jumlah total anggota komite sentral cukup bervariasi, namun rata-rata jumlah terakhir ada sekitar 350 anggota. Berdasarkan Konstitusi PKC, anggota politbiro harus berasal dari komite sentral, sementara anggota PSC harus dari Politbiro, dan Sekretaris Jenderal PKC harus muncul dari PSC. Namun dalam prakteknya, bagaimanapun, proses seleksi keanggotaan ini tetap berjalan  top-down ketimbang  bottom-up: dimana anggota organ-organ partai terkemuka memandu pemilihan anggota tingkat bawah badan kepemimpinan seperti komite sentral. Masih seperti di masa lalu, proses pemilihan anggota politbiro lebih ditentukan oleh para pemimpin penting,  seperti di masa Deng Xiaoping berkuasa. Dari pengalaman tersebut, anggota PSC akhirnya memilih pertemuan tertutup seperti di musim panas tahun 2012 yang baru lalu di Beidaihe, sebuah resor dekat Beijing, untuk menentukan pakta awal bagi para pemimpin yang terpilih menjadi anggota politbiro berikutnya, anggota PSC, dan untuk posisi Sekretaris Jenderal. Sebelum dan setelah pertemuan, para anggota PSC  berkonsultasi dengan pemimpin pensiunan seperti mantan presiden Jiang Zemin, mantan perdana menteri Li Peng, mantan sembilan anggota PSC, Zhu Rongji, dan mantan lainnya dari anggota PSC  masa sebelumnya. PSC juga memiliki pertemuan lain di musim gugur, beberapa minggu sebelum Kongres Partai ke-18 dimulai untuk menyelesaikan daftar calon. Selain itu, PSC  melakukan jajak pendapat diantara anggota komite sentral,  para pemimpin baru setingkat menteri dan pimpinan provinsi  yang bukan anggota komite sentral, dalam menjaring pencalonan anggota politbiro baru yang akan dipilih pada kongres partai ke-18.  Sedangkan pemilihan anggota PSC bagi kepemimpinan PSC periode berikutnya  adalah suatu proses  kesepakatan yang luar biasa rumit dan beragam. Para analis luar negeri dan bahkan analisis lokal Cina sendiri sulit mengungkap kisah rinci tentang bagaimana setiap anggota PSC akhirnya terpilih, yaitu berupa tawar-menawar alot antar faksi atau  informasi tentang siapa yang paling mempengaruhi keputusan. Namun, bakal calon kepemimpinan PSC berikutnya sudah cukup jelas, dan tempat pertama untuk melihatnya adalah  pada 204 anggota penuh Komite Sentral angkatan 2007. Sebagian  anggota kelompok Komite Sentral muka lama mungkin akan lengser, baik karena pensiun atau pindah ke posting seremonial lain, atau diharapkan segera pensiun karena usia mereka. Faktor usia dan pengalaman kepemimpinan sebelumnya sangat penting  dalam proses seleksi keanggotaan PSC. Usia merupakan indikator penting dari prospek masa depan pemimpin politik Cina,  karena menurut aturan PKC dan norma yang berlaku, pemimpin peringkat tertentu tidak dapat melebihi batas usia yang ditetapkan. Sebagai contoh, semua kepala provinsi seharusnya mundur ketika mereka mencapai usia 65 tahun, dan hanya mereka yang di bawah usia 63 tahun yang masih dipertimbangkan untuk menempati posisi itu. Di tahun 2007 para anggota partai kongres, hampir semuanya  lahir sebelum tahun 1940, termasuk  Wakil Presiden  Zeng Qinghong yang lahir  di tahun 1939, yang tidak  diperkenankan  terus aktif di Komite Sentral. Ekstrapolasi dari aturan ini, maka pemimpin yang lahir pada tahun 1944 atau sebelumnya tidak akan dipertimbangkan lagi untuk duduk pada komite sentral berikutnya dan karenanya secara otomatis terpental dari pertarungan memperebutkan  kursi di politbiro atau PSC. Batas usia pensiun ini tidak hanya menciptakan rasa keadilan dan konsistensi  bagi  perekrutan calon pemimpin, akan tetapi juga membuat kaderisasi elit politik Cina berlangsung cepat. Faktor yang paling penting untuk pemilihan anggota PSC adalah ikatan patron-klien, dimana seorang anggota tidak hanya dituntut memiliki pengalaman kepemimpinan yang luas, tetapi juga umumnya telah memperoleh mandat tanggung jawab kepemimpinan dari daerah tempat mereka ditugaskan. Kecuali pemimpin Cina pertama, Zhou Enlai, maka semua lima perdana mentri RRC lainnya  termasuk perdana menteri Wen Jiabao, semuanya pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri dewan negara sebelum menjadi perdana menteri. Kebanyakan dari mereka memiliki kebanggaan pengalaman kepemimpinan yang luas, terutama dalam urusan ekonomi. Meskipun Faktor yang tidak kalah penting penting bagi pemilihan anggota PSC adalah hubungan patron-klien diantara mereka. Para anggota biasanya akan mencoba  menggunakan pengaruh, melindungi kepentingan mereka, dan memelihara kelangsungan kebijakan dengan melayani  badan kepemimpinan tertinggi. Berbagai faksi dan kelompok kepentingan yang kuat cenderung membentuk koalisi untuk mencalonkan wakil-wakilnya duduk di PSC. Sebagai akibat dari adanya aturan main baru dalam politik elite Cina selama dekade terakhir, maka antar pemimpin faksi membagi keseimbangan kekuasaan, sementara diantara mereka yang bersaing dijajaki kemungkinan koalisi dalam keanggotaan PSC baru. Maka munculah istilah kepemimpinan “cek and saldo Chinese-style:'' Satu partai, dua koalisi'' suatu adaptasi transisi kekuasaan  dari model pemimpin tunggal yang sangat berkuasa  menuju kepemimpinan kolektif yang tengah berlangsung dalam  proses bertahap selama tiga dekade terakhir. Mao Zedong adalah pemegang kekuasaan besar sebagai pemimpin inti dari generasi pertama PKC dan dipandang bagaikan “tokoh dewa” terutama selama Revolusi Kebudayaan. Mao memandang pembicaraan masalah suksesi kepemimpinan seolah urusan pribadinya, mirip seperti era kepemimpinan Soeharto di Indonesia, dimana pembicaraan suksesi adalah misteri dan sakral.  Selama era Deng Xiaoping, suksesi politik dan perubahan generasi di jajaran tertinggi pemerintahan menjadi masalah yang menyita perhatian publik. Namun, karena karir  politiknya yang legendaris, Deng, pemimpin inti dari generasi kedua, mempertahankan perannya sebagai pemimpin tertinggi Cina bahkan setelah insiden Tiananmen, meskipun ia tidak memegang posisi kepemimpinan penting lagi. Berikutnya adalah Jiang Zemin, dari generasi ketiga, dan Hu Jintao, dari generasi keempat, adalah teknokrat yang tidak memiliki karisma dan kepercayaan se revolusioner Deng, tetapi keduanya memiliki kebanggaan pengalaman kepemimpinan yang luas dan bakat untuk melakukan  kompromi koalisi dan politik. Namun demikian keduanya tetap memanfaatkan dukungan dan tidak lepas dari bayang-bayang  Deng. Dalam rangka mengendalikan  krisis politik tahun 1989, Deng memilih Jiang Zemin sebagai penggantinya. Demikian juga di tahun 1992, Deng mengangkat Hu Jianto menjadi ''ahli waris'' Jiang Zemin. Setelah transisi kepemimpinan kolektif berlangsung secara bertahap selama tiga dekade terakhir. Kini tampuk kekuasaan bergeser pada  generasi kelima, dimana wakil presiden Xi Jinping dan eksekutif wakil perdana menteri Li Keqiang keduanya diangkat ke lingkaran inti PSC. Status mereka dalam pengambilan keputusan di PSC kurang lebih sama. Di satu sisi, determinasi para pemimpin puncak generasi kelima ini agaknya lebih lemah ketimbang  pendahulu mereka, karena kekuatan dan otoritas telah disebar di antara rekan-rekan mereka dalam kepemimpinan. Namun demikian pilar bangunan PKC telah semakin kokoh dan terstruktur yang diisi oleh dua koalisi informal atau faksi yang mempertahankan keseimbangan dengan  kekuatannya masing-masing. Kedua kelompok tersebut dapat diberi label dengan koalisi  “populis,'' yang dipimpin oleh presiden Hu Jintao dan perdana menteri Wen Jiabao, berdampingan dengan koalisi'' elitis,'' yang muncul di era Jiang dan saat ini dipimpin oleh Wu Bangguo, ketua nasional legislatif, dan Jia Qinglin, kepala badan penasehat politik nasional. Dengan demikian orang kuat saat ini di  Cina terdiri atas empat pemimpin. Xi Jinping dan Li Keqiang masing-masing mewakili salah satu koalisi. Pembagian kekuasaan kadang-kadang disebut sebagai mekanisme keseimbangan dua koalisi politik.
Adanya gesekan diantara kelompok politik, tentu saja, bukan sebuah perkembangan baru di Cina. Peristiwa besar seperti revolusi kebudayaan,  dan  krisis Tiananmen di tahun 1989 semuanya terkait dengan pertikaian antar faksi dan perjuangan suksesi dalam kepemimpinan di tubuh PKC. Akan tetapi politik faksi di Cina saat ini tidak lagi menjadi “zero-sum game” dimana sang pemenang mengambil semuanya dan sang pecundang harus dibersihkan atau diperlakukan buruk. Secara umum,  faksi Cina baru memiliki dinamika  tiga fitur utama. Pertama, bahwa dua koalisi tidak hanya bersaing untuk kekuasaan an sich  dan semata kepentingan pribadi, akan tetapi mereka juga bersaing karena  mewakili konstituen sosial ekonomi dan geografis yang berbeda. Sebagian besar pemimpin puncak di koalisi elitis, misalnya, berasal dari keluarga revolusioner veteran dan pejabat tinggi, baik pejabat tinggi sipil maupun militer. Kelompok ini disebut sebagai putra mahkota termasuk mantan presiden Jiang Zemin, dimana ayahnya adalah seorang martir di PKC dan mantan wakil presiden Zeng Qinghong yang ayahnya adalah kepala departemen dalam negeri selama era Mao. Begitu juga untuk kepemimpinan mendatang dimana wakil presiden Xi Jinping, wakil perdana menteri Wang Qishan, dan sekretaris partai Chongqing Bo Xilai, masing-masing ayah atau ayah mertua  mereka sebelumnya menjabat sebagai wakil perdana menteri. Para putra mahkota ini masing-masing memulai karir mereka di kota-kota pesisir yang kaya dimana ekonomi berkembang dengan baik, sehingga boleh jadi para pemimpin  generasi kelima ini tidak sekuat dan setangguh  para pendahulu mereka. Koalisi elitis ini biasanya mewakili kepentingan pengusaha Cina. Sebaliknya, sebagian besar tokoh koalisi populis terkemuka, seperti presiden Hu Jintao, perdana menteri Wen Jiabao, dan eksekutif wakil perdana menteri Li Keqiang, berasal dari keluarga biasa yang kurang mampu. Mereka ini telah mengumpulkan banyak pengalaman kepemimpinan di pedalaman provinsi. Banyak orang mengalami kemajuan dalam karir politik dengan cara memasuki Liga Pemuda Komunis Cina (CCYL) untuk mendapat label “tuanpai”, yang secara harfiah berarti'' faksi liga'', dan Hu Jintao telah berjuang selama beberapa tahun untuk mendapat “tuanpai” di tingkat provinsi dan CCYL nasional. Dia kemudian menjabat sebagai ketua CCYL di pertengahan tahun 1980-an, sehingga anggota generasi kelima dari pemimpin PKC adalah rekan junior Hu di CCYL. Diantara mereka termasuk juga Li Keqiang, direktur departemen organisasi PKC  Li Yuanchao,  sekretaris partai Wang Yang, dan direktur jenderal kantor PKC  Ling Jihua. Para anggota koalisi populis sering menyuarakan keprihatinan nasib kelompok sosial yang rentan seperti petani, buruh migran, dan kaum miskin kota. Orang mungkin meragukan efektivitas pelaksanaan kebijakan Hu dan Wen, namun dukungannya pada pengurangan pajak pertanian para petani, sikap yang lebih lunak terhadap pekerja migran, mengkritisi ekonomi yang lebih memprioritaskan kota, membangun landasan perawatan kesehatan, dan mempromosikan proyek perumahan yang terjangkau oleh semua kalangan sangat sejalan dengan agenda kerakyatan yang populer. Kedua, bahwa kedua koalisi bersaing hampir sama kuat, sebagian karena mereka sering memiliki jumlah kursi yang sama di organisasi kepemimpinan puncak, dan sebagian karena kepemimpinan, keterampilan  dan kepercayaan mereka saling melengkapi. Dari ke-25 anggota politbiro saat ini, para putra mahkota menempati tujuh posisi  (28 persen) dan para “tuanpai” menempati delapan posisi (32 persen). Kedua koalisi bahkan berhasil mengatur keseimbangan kekuasaan yang hampir sempurna di antara generasi kelima ini.  Para pemimpin dari kedua faksi yang bersaing memiliki keahlian, kepercayaan, dan pengalaman yang berbeda serta faham betul bahwa mereka perlu menemukan landasan bersama untuk hidup berdampingan dan memerintah secara efektif. Sementara faksi “tuanpai” sangat menguasai seluk-beluk organisasi dan propaganda, dan umumnya sering mengandalkan  pengalaman  kepemimpinan di desa, sehingga mereka sering merasa kurang berpengalaman dan kepercayaan dalam beberapa hal dinamika baru di Cina.  Khususnya keterampilan yang berkaitan dengan penanganan perdagangan luar negeri, investasi asing, perbankan, dan aspek penting lainnya dari kebijakan ekonomi, yang telah didominasi oleh para putra mahkota, seperti wakil perdana menteri Wang Qishan, gubernur Bank Rakyat Cina Zhou Xiaochuan, dan ketua korporasi  investasi Cina  Lou Jiwei. Ketiga, sementara masing-masing  faksi bersaing satu dengan yang lain untuk isu-isu tertentu, namun mereka tetap bersedia bekerja sama dalam menghadapi pihak lain. Untuk sebagian besar, hubungan diantara kedua koalisi secara informal berjalan secara kooperatif. Kedua koalisi memiliki tujuan mendasar: yakni menjamin stabilitas sosial ekonomi Cina serta mempertahankan kelanggengan kekuasaan PKC serta meningkatkan status Cina sebagai pemain utama di dunia internasional. Dengan adanya tujuan umum tersebut,  sering mendorong kedua kelompok untuk berkompromi dan bekerja sama satu dengan lainnya.
Untuk mengangkat nama Xi Jinping dan Li Keqiang, maka  di tahun 2007 Hu Jintao dan pemimpin senior lainnya mengisyaratkan pentingnya adanya perbedaan konstituen  yang mereka wakili masing-masing.  Adanya kearifan kepemimpinan puncak bahwa kompromi adalah untuk membangun konsensus dan membagi kekuasaan, telah mencegah faksi dari gejolak politik serius yang terjadi di kalangan pemimpin generasi kelima. Dengan demikian kepemimpinan kolektif, sebagaimana beroperasi dalam tubuh organisasi PSC saat ini, telah menjadi ciri dari kiprah para elit politik  Cina ke depan. Adanya gaya baru politik elit Cina tersebut, tentunya masih menyimpan ancaman kegagalan. Pembatasan dan pembagian kekuasaan, serta politik kompromi tidak selalu berjalan mudah dalam tataran praktik. Fakta bahwa masih ada calon yang lebih ambisius merebut kursi tetap secara alami dapat menciptakan suasana psikologik antara pemenang dan pecundang. Keterbukaan unjuk kebolehan diri sendiri dalam kampanye oleh beberapa politisi ambisius, inisiatif istimewa mereka dalam merespon isu-isu penting, ditambah dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing bisa membuat suksesi politik  di masa mendatang  akan sangat menantang dalam meraih tampuk kepemimpinan di PKC.  Dalam koalisi populis, semuanya adalah pemimpin “tuanpai”  yang memiliki hubungan  kuat patron-klien dengan Hu Jintao. Dua pejabat, Li Yuanchao dan Liu Yandong, bahkan adalah putra mahkota jika melihat dari latar belakang keluarga mereka, namun karir dan pengalaman mereka serta afiliasi politiknya lebih  erat dengan Hu Jiangtao, aktor yang memainkan peran langsung dalam promosi mereka ke politbiro, sehingga  membuat mereka lebih loyal kepada Hu dalam koalisi populis. Hal Ini tentunya masih harus terus dikaji, apakah identitas ganda mereka dapat membantu memainkan peran mediasi jika pertikaian faksi menjadi tidak terkendali, yang kemungkinan akan memposisikan mereka malah lebih kuat di PKC. Yang jelas bahwa para pemimpin generasi kelima ini kemungkinan besar akan mengambil posisi puncak dalam kepemimpinan nasional setelah tahun 2012 , sementara sejumlah besar kandidat terkemuka berasal dari generasi keempat  lahir di pertengahan tahun 1940-an sehingga peluangnya lebih kecil. Secara umum, para pemimpin dari koalisi populis rata-rata lebih muda ketimbang rekan-rekan mereka pada koalisi-elitis, dan dengan demikian memiliki keuntungan usia. Bahkan adanya perbedaan faktor usia ini telah memicu  para koalisi-elitis  lebih agresif dalam mencari kader keanggotaan PSC yang akan menjadi kesempatan terakhir bagi mereka.Tentu saja, persaingan akan berjalan seru,  Xi Jinping dan Li Keqiang pasti akan mempertahankan kursi mereka. Wang Qishan dan Li Yuanchao tidak akan memiliki masalah untuk mendapatkan kursi, dan cenderung berada dengan empat anggota lain, bersama dengan Xi Jinping dan Li Keqiang. Wakil perdana menteri Zhang Dejiang dan direktur departemen propaganda PKC  Liu Yunshan yang keduanya adalah anggota politbiro, dan karenanya  akan lebih berhak mendapat promosi lebih jauh ketimbang rekan-rekan mereka. Ada enam pemimpin yang memiliki posisi kurang aman dalam keanggotaan mereka di PSC berikutnya, yang tersisa hanyalah  tiga kursi  untuk diperebutkan oleh delapan kandidat lainnya, jika  asumsi keanggotaan di PKC tetap berjumlah sembilan orang. Jika tahun kelahiran yang diperbolehkan bagi anggota komite sentral berikutnya adalah  awal tahun 1945, maka  sekretaris partai Shanghai Yu Zhengsheng juga akan menjadi kandidat kuat, dengan fakta  seperti halnya  Zhang Dejiang dan Liu Yunshan, ia telah berpengalaman menjabat sebagai anggota politbiro. Dengan dasar itu kekuasaan Yu Zhengheng berpotensi tangguh. Namun Hu Jintao dan pemimpin lainnya dalam koalisi populis mungkin akan berupaya bernegosiasi agar Yu segera pensiun di kongres kartai ke-18.
Maka Yu dan Liu Yandong yang sama  lahir pada tahun 1945,  kemungkinan akan dilengserkan jika PSC memutuskan untuk membuat  pengambilan keputusan tertinggi dimana generasi muda bulat menguasai pemimpin generasi kelima. Tiga orang lagi anggota  politbiro yang kuat saat ini adalah ketua partai di tingkat provinsi administrasi Guangdong Wang Yang, Bo Xilai di Chongqing, dan Zhang Gaoli di Tianjin yang sering dilihat sebagai bersaing ketat antara satu dengan  lainnya untuk keanggotaan di PSC. Wang Yang dan Bo Xilai dikenal sebagai figur yang tenang, setelah bersama-sama memperoleh julukan'' dua meriam'' setelah diangkat sebagai sekretaris partai Guangdong di tahun 2007. Wang Yang adalah penganjur model baru pertumbuhan ekonomi yang menekankan pada perlunya mengedepankan reformasi politik, yang secara pribadi mencetuskan gelombang baru'' berpikir emansipatoris''  dengan mendesak para pejabat setempat untuk menghilangkan tabu bicara tentang ideologi dan politik. Promosi diri kampanye Bo Xilai telah mengumpulkan rating publisitas, pendekatan Bo dikenal sangat tidak konvensional: ia adalah seorang elitis yang selalu disukai dan istimewa oleh rezim Komunis  - kecuali untuk beberapa tahun selama revolusi kebudayaan – dan kini dia  mengklaim mengenakan mantel populisme Maois. Dia tampaknya telah berhasil meraih popularitas di kalangan publik Chongqing, dan dengan keberaniannya secara nasional membuatnya mendapatkan julukan ''man of the year'' dari jajak pendapat online  di tahun 2009  yang dilakukan oleh Harian Rakyat. Berbeda dengan gaya dua'' meriam'' tadi, Zhang Gaoli dari Tianjin telah mempertahankan gaya yang lebih konvensional dan tampilan kepemimpinannya kurang tebar pesona. Baru-baru ini Zhang bertutur kepada pengunjung asing bahwa dia lebih tertarik  berpromosi dengan gaya'' down-to-earth”  dengan tampilan “low profile'',  motto dan strateginya adalah: “ lakukan lebih banyak, dan  kurangi bicara''.   Pemimpin potensial lain adalah Ling Jihua, meskipun mereka  saat ini bukan anggota politbiro,  saat ini Ling Jihua menjabat sebagai anggota dari enam orang sekretariat dan direktur kantor umum komite sentral PKC, adalah orang kepercayaan terdekat dari Hu Jintao. Sama seperti Jiang Zemin yang memperiapkan Zeng Qinghong anggota PSC di tahun 2002, Hu kemungkinan akan mendorong promosi dua langkah bagi Ling Jihua.  Adapun Meng Jianzhu, penasihat negara di dewan negara, menteri keamanan umum, dan sekretaris wakil  komisi  disiplin dan inspeksi, agaknya akan menjadi calon yang ideal untuk berhasil menyusul  bosnya Zhou Yongkang di PSC. Hu Chunhua adalah pemimpin  generasi keenam  yang lahir pada tahun 1960. Jika kepemimpinan tingkat atas Cina memutuskan untuk memilih seorang pemimpin muda untuk duduk di PSC  hal ini akan mempercepat kelangsungan estafeta kepemimpinan diluar garis generasi kelima, sehingga Hu Chunhua akan menjadi kandidat utama. Sebelumnya, Hu Jintao telah bertugas di PSC selama 10 tahun sebelum ia menjadi sekretaris jenderal PKC pada tahun 2002. Kepemimpinan baru sering menyebabkan kebijakan baru. Walaupun para pemimpin yang akan datang mungkin tidak langsung akan menunjukkan bahwa mereka berbeda dari para pendahulunya sampai posisi mereka benar-benar kuat, namun sudah jelas bahwa  Xi Jinping dan Li Keqiang akan menunjukkan gaya kepemimpinan  baru yang ingin mengejar prioritas kebijakan baru pula. Selama perayaan tahun baru 2010,  Xi Jimping mengirim pesan pribadi dengan teks  “salam untuk sekitar 1 juta pejabat cabang PKC akar rumput”  yang belum pernah terjadi sebelumnya  bagi seorang pemimpin papan atas partai menyapa pada pejabat setempat. Dari sisi ekonomi, pengalaman kepemimpinan Xi dalam menjalankan roda pemerintahan Fujian, Zhejiang, dan Shanghai, tiga daerah yang secara ekonomis-maju, telah mempersiapkan dirinya dengan baik untuk mengejar kebijakan dan mempromosikan pengembangan sektor swasta, investasi asing dan perdagangan, serta liberalisasi sistem keuangan Cina, yang  telah mengalami kemunduran serius dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, Li Keqiang telah menarik perhatian yang kuat dengan mengangkat masalah baru, seperti perumahan yang terjangkau, keamanan pangan, kesehatan masyarakat, dan energi bersih yang terbarukan. Tentu saja, tak satu pun dari masalah ini merupakan prioritas  pemimpin Cina pada periode 10 tahun yang lalu.
 Baru-baru ini pejabat Cina dan  media resmi serta setengah resmi  tengah giat menguraikan cetak biru kepemimpinan di antara para bintang dari generasi kelima. Secara umum, faksi elitis berorientasi pasar lebih prihatin tentang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), sementara faksi populis lebih tertarik untuk menegakkan keadilan sosial, anti-korupsi, dan intra-partai pemilu. Pemimpin dari masing-masing koalisi juga bervariasi dalam mengangkat masalah krusial. Sedangkan komposisi PSC berikutnya kemungkinan besar akan dipilih dari 14 calon yang telah dibahas di atas, meskipun tidak mengabaikan kemungkinan  munculnya “kuda hitam''  dari kalangan pimpinan partai tingkat provinsi. Seperti kemunculan  Zhang Chunxian, sekretaris partai  Xinjiang yang baru-baru ini telah menggunakan pendekatan ''tangan besi''  guna mengatasi  kerusuhan  di Xinjiang dan juga mengklaim bahwa ia bersedia melepaskan semua pendapatan dan aset pribadi dan keluarganya dalam mendukung langkah-langkah yang kuat untuk memberantas korupsi.
            Dari paparan diatas hikmah pelajaran dapat dipetik, dalam derap kemajuan perekonomian Cina yang mengesankan, dibaliknya terdapat para pemimpin yang mengendalikan situasi negara secara kesuluruhan dengan cermat dan matang. Proses transformasi dan suksesi kepemimpinan strategikal tetap dapat dilangsungkan secara bertahap – walaupun mungkin dipercepat – tanpa harus menimbulkan gejolak sosial dan mengganggu stabilitas nasional melalui keseimbangan (Im dan Yang) kekuasaan. Meski terjadi trasformasi kepemimpinan – dengan segala dinamika persaingan kekuasaan – secara kolektif mereka memiliki tujuan stretegikal mendasar yang sama: yakni menjamin stabilitas sosial ekonomi Cina, mempertahankan kelanggengan kekuasaan PKC, dan meningkatkan status Cina sebagai pemain utama di dunia internasional. Budaya patron-klien rupanya justru kondusif dalam memuluskan pergantian dan peralihan kekuasaan yang tidak memakan korban. Para elit politik di Indonesia patut belajar dalam mempraktikan kedewasan berpolitik seperti yang ditunjukkan oleh para pemimpin strategikal di Cina pasca Deng Xiao Ping ini. Mari kita buktikan kematangan  elit politik kita di era pergantian kepemimpinan nasional ditahun 2014 dalam visi dan misi strategikalnya. Jayalah Indonesiaku negara tercinta.

                                                                                                Bandung, 11 Desember 2012
                                                                                                                Faisal Afiff