.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Rabu, 23 November 2011

Kepemimpinan Pro-aktif


KEPEMIMPINAN PRO-AKTIF

Dalam dunia persepakbolaan, para bintang pemain muncul silih-berganti, nilai sang pemain bisa jutaan dolar, mereka sanggup menyihir para penonton dengan aksinya yang memikau para penggemar, namun ketika sinar sang bintang mulai meredup maka muncullah sinar bintang baru menggantikan yang lama, dan siklus ini terus berlangsung dengan intensitas persaingan yang semakin tajam. Begitulah masa keemasan Maradona, Ruud Gulit, Ronaldinho, David Bekcham, dan Zidane mulai meredup, dan masuklah era bintang-bintang baru yang bersinar seperti Messi, Ronaldo, De-Maria, Drogba, dan Adebayor dalam papan atas persepakbolaan. Mereka membawa angin baru dan terobosan tontonan kreatif, serta ikut mengubah pola, peta dan gaya permainan sepak-bola ke depan.
Seperti halnya dalam dunia persepakbolaan, begitu pula dalam dinamika dunia bisnis, sebelum Boeing ada Wilbur dan Orville Wright; sebelum AT&T ada Alexander Graham Bell; sebelum Microsoft ada Bill Gates dan Paul Allen; sebelum CNN ada Ted Turner; dan sebelum FedEx ada Fred Smith. Setiap industri atau sektor baru, barang baru, jasa baru, gagasan baru, dan gerakan baru pasti dibalik hal yang baru itu ada para pendiri yang kreatif. Pada gerakan pembaharuan di dunia, kita mengenal seperti Mahatma Gandhi di India, Martin Luther King di Amerika Serikat dan Lech Walessa di Polandia. Begitu juga ketika Archimedes meneriakkan “Eureka!” dan lari dalam keadaan telanjang dengan luapan kegembiraan menuju kota akibat temuannya yang brilian perihal teori pengapungan, suatu tema yang telah menguras konsentrasinya ketika hampir seluruh hidupnya telah ia abdikan untuk menyingkap rahasia berbagai ilmu pengetahuan. Dari hal ini dapat ditarik suatu pelajaran bahwa setiap orang yang mengerjakan segala sesuatu secara kreatif dan efektif dan dikerjakan dengan senang hati akan memberikan kesempatan kepada alam bawah sadar mereka untuk menemukan sesuatu yang benar-benar baru, dan bahkan bisa menjadi suatu terobosan baru yang mampu mengubah wajah sejarah. Dewasa ini, tidak sedikit orang yang menjalani kehidupan atau pekerjaan yang kurang mereka sukai, namun lebih untuk memenuhi harapan dan keinginan orang atau kelompok lain. Mungkin ia bisa bekerja dengan baik dan efisien di bidang tersebut, namun kecil kemungkinan ia bisa menghasilkan suatu karya-kreatif atau karya besar. Kerja pikiran seseorang sebagian besar disimpan dalam alam sadar, namun di sisi lain sebagian gagasan dan kreasinya yang cemerlang lahir dari kerja pemikiran-intuitif di alam bawah sadar. Itulah sebabnya orang sering memperoleh gagasan baru diluar kerja formal mereka, di saat tengah berlayar, jogging, mandi, memancing atau seperti yang dilakukan Archimedes, pada saat ia berendam diri.
Dalam kancah keorganisasian, tidak sedikit organisasi terjebak untuk bereaksi atas serangkaian kejadian, seperti menunggu saingannya menurunkan atau menaikkan harga sampai akhirnya mereka ikut menyesuaikan; menunggu pelanggan mengeluh sebelum mereka memperbaiki pelayanan; menunggu sampai kehilangan pangsa pasar sebelum mereka merespon; dan menunggu sampai nilai tukar dolar turun sebelum mereka menyadari harus menukarnya. Metode pendekatan seperti ini, yakni menunggu, melihat dan berekasi mungkin saja bisa berhasil di masa lalu, namun dewasa ini banyak sekali isu atau fenomena yang menghadang dan bahkan menjatuhkan suatu organisasi, dikarenakan dorongan lingkungan yang kuat dan tiba-tiba serta kekuranghati-hatian. Dengan kata lain, adanya persaingan yang sangat intens dan tajam, menuntut organisasi untuk menjaga kualitas tawaran dan pelayanan agar tetap tinggi, perlu adanya pengembangan struktur organisasi dan tempat kerja, serta mampu memenuhi tuntutan ekonomi dan tuntutan non-ekonomi lainnya. Banyak organisasi bisnis yang masuk peringkat teratas 5 (lima) tahun yang lalu, sekarang sudah tidak tercantum lagi. Lebih dari 75 persen organisasi bisnis yang termasuk dalam Fortune 500 pada akhir tahun 1980-an, sudah tidak tercantum dalam daftar lagi saat ini. Tersisihnya mereka umumnya dikarenakan tidak mampu atau terlambat mengantisipasi perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga di saat ancaman datang mereka tak mampu mengatasinya.
Dengan mengacu pada analogi bahwa seorang anak yang tidak pernah mengayuh sepeda, ia tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Begitu pula seorang pekerja yang tidak pernah bekerja sepenuh hati, ia tidak akan pernah mengalami rasa memiliki organisasi dimana tempat ia bekerja. Hal ini berlaku juga bagi seorang pemimpin dan/ atau manajer yang daya antisipasinya tumpul, maka dalam bekerja ia akan selalu merasa di bawah tekanan. Begitupun suatu organisasi yang hanya menunggu segala sesuatu terjadi, pada akhirnya akan menjadi korban dari apa yang ditunggunya. Sebuah negara yang tidak memahami dan menghayati akan falsafahnya sendiri, tidak akan pernah mampu memimpin dunia. Dengan demikian, sebagai individu maupun organisasi perlu segera berhenti dari kebiasaan menggantungkan diri terhadap berbagai dorongan lingkungan yang ada. Mereka harus belajar mengayuh sendiri dan menyediakan kekuatan sumber dayanya sendiri untuk bergerak atau belajar agar lebih pro-aktif dengan menciptakan perubahan itu sendiri, tanpa harus menunggu dorongan berikutnya, sehingga tidak menjadi korban perubahan yang diciptakan oleh individu atau organisasi lainnya.
Kebiasaan untuk mencari kesalahan dengan menudingkan telunjuk keluar harus mulai dihilangkan, permasalahannya bukan “disana” melainkan “disini” di dalam diri individu atau organisasi. Situasi eksternal yang begitu kompleks dan banyak dikeluhkan oleh individu maupun organisasi, sesungguhnya kunci permasalahannya berada dalam faktor-faktor internal individu maupun organisasi itu sendiri. Padahal, pada hakikatnya setiap individu mapun organisasi adalah sumber dan sekaligus pengguna energi. Tidak sedikit para pemimpin dan/ atau manajer belum sepenuhnya memahami peran inti mereka sebagai sumber dan pencipta nilai, serta menerima sinyal–sinyal kecerdasan emosi dari kedalaman hati nuraninya.
Dewasa ini manusia tengah memasuki zaman yang serba cepat, suatu zaman yang menuntut jawaban yang cepat, seperti halnya lem yang cepat kering, makanan yang cepat saji, perkawinan kilat, dan pemecahan-pemecahan masalah lainnya yang dituntut serba cepat. Pemecahan masalah seketika yang sering muncul dari pemikiran refleks, seolah-olah hanya memberikan sedikit kesempatan pada aspek pertimbangan di dalamnya. Namun, dalam kenyataannya tidaklah demikian, hal itu banyak didorong oleh sumber tersembunyi berupa gerak hati dari intuisi. Hasil penelitian empirik menunjukkan banyak organisasi terkemuka di dunia, baik skala besar maupun kecil, telah berhasil mengubah kecepatan dan ketajaman intuisi mereka menjadi inovasi yang berhasil. Begitu pula terdapat sejumlah temuan yang didukung oleh banyak bukti penelitian bahwa keterampilan intuitif para eksekutif telah berhasil dan berperan besar dalam membuat perusahaan mereka berada di garis paling depan dan mampu bertahan dalam persaingan, dan sebaliknya para eksekutif yang mengabaikan intuisi mengakibatkan buruknya kinerja perusahaan mereka. Intuisi tiada lain adalah persepsi yang berada di luar kekuasaan indrawi manusia, namun berkaitan erat dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya. Dengan intuisi, seolah-olah manusia sudah memiliki gagasan yang akan berhasil, walaupun belum diuji coba. Konsep ini telah banyak diterapkan di lingkungan kerja perusahaan multinasional seperti Motorola dalam upaya meningkatkan kerjasama tim kerja dan melipatgandakan produktivitas (efisiensi dan efektivitas). Dengan ketajaman intuisi inilah sebenarnya para pemimpin dan/ atau manajer dapat melakukan prakarsa-prakarsa proaktif tanpa harus menunggu dorongan dari lingkungan. Dorongan suara hati dan kilatan intuisi dapat menjadi penghemat waktu dalam banyak situasi.
Perlu diyakini bahwa perubahan akan berlangsung dan terus berlangsung, dan tidak ada satupun cara yang dapat kita lakukan untuk menolaknya. Apa yang perlu dilakukan oleh individu atau organisasi saat ini adalah melakukan pendekatan terhadap perubahan dengan cara yang sangat berbeda.  Ia atau mereka tidak lagi harus bereaksi terhadap perubahan dan mencari cara untuk mengatasinya, namun lebih baik berperan mengambil inisiatif dan menjadi penyebab dari perubahan itu sendiri. Pada dasarnya individu ataupun organisasi memerlukan perubahan yang mereka prakarsai, mereka rancang, dan mereka pikirkan masak-masak, serta mampu mewujudkannya menjadi kenyataan. Dengan demikian, mereka harus memprakarsai perubahan yang mereka inginkan secara aktif dan tidaklah reaktif, yakni dari suatu pandangan  dunia lama ke arah pandangan dunia baru dan seterusnya menciptakan masa depan bagi mereka sendiri. Dengan intuisilah para individu ataupun organisasi dapat menciptakan inovasi. Dengan kata lain, inovasi adalah  melakukan terobosan bisnis dalam rentang perubahan itu sendiri, yakni berupa perubahan kreatif untuk mencapai tujuan masa depan, yaitu dunia baru, suatu organisasi baru dengan nilai baru.
Kita pernah mendengar kisah tentang Tadashi Kume, yang dewasa ini menjadi CEO dari perusahaan besar Honda. Cerita punya cerita ketika ia baru diterima di jenjang paling bawah di perusahaan tersebut, ia terlibat perdebatan sengit dengan salah seorang pendiri, yaitu Soichiro Honda. Dengan intuisinya, Tadashi Kume dengan nekat meyakinkan sang pendiri tentang keuntungan relatif dari penggunaan motor-motor berpendingin air dan udara. Ketika Soichiro Honda belum menangkap pokok-kreatif dari gagasan insinyur muda tersebut, Tadashi Kume menyatakan diri akan menyepi selama sebulan bertapa di kuil zen, sambil menunggu pertimbangan Soichiro Honda untuk menerima atau menolak gagasan pemuda pemberani tersebut. Ternyata, tidak sampai sebulan Soichiro Honda telah menerima gagasan Tadashi Kume, yang kedepan terbukti menguntungkan perusahaan Honda dalam jangka waktu panjang dan bahkan ia sendiri telah diangkat menjadi salah seorang CEO Honda. Pelajaran penting yang dapat ditarik  dari cerita Tadashi Kume bahwa ketidakpuasan konstruktif dalam suatu organisasi  dapat menjadi katalisator penting untuk menyalakan, membentuk, merefleksikan dan menyempurnakan suatu gagasan baru. Terutama lagi jika para pemimpin dan/ atau manajer sadar dan menganjurkan kepada anak buahnya untuk ambil-bagian, berbicara dan melibatkan diri dalam kegiatan organisasi, dan bahkan alangkah baiknya bila mereka bersedia menjadikan “organisasi untuk belajar”, dimana debat dan konflik merupakan katalisator yang sangat dihargai dan dibutuhkan, sebagai laboratorium belajar yang efektif.
Terpulang pada agama-agama “langit” yang sama-sama kita yakini, bahwa hati nurani menempati posisi sentral pada diri manusia, dan didalamnyalah bersemayam ruhul-qudus, yang membisikan berbagai kabar kebenaran serta kebajikan. Jika manusia memiliki kepekaan untuk mendengar bisikan tersebut, sesungguhnya substansi hati nurani merupakan pembimbing yang tulus dan setia dalam melayani dan mendampingi perjalanan hidup manusia. Oleh karena itu, segala perbuatan manusia tergantung dari niat atau itikad, dimana niat keberadaannya tersembunyi dalam hati nurani manusia itu sendiri. Sayangnya manusia jarang dan bahkan tidak mempercayai gerak hati nuraninya sendiri, sebagai kilatan cahaya kebenaran yang muncul mendahului argumentasi dan daya nalar manusia itu sendiri.
Last but not least, mari kita mengutip pendapat James Autri, mantan eksekutif  Fortune 500,Kita harus membiarkan kecerdasan emosi dan intuisi kita mengalir dari mata air (hati nurani) secara lebih efektif bersama bebagai tantangan yang silih berganti, mentransformasikan situasi-situasi yang sulit, dan melatih kepekaan akan adanya peluang dibaliknya, menjelajahi kawasan-kawasan yang belum terpetakan, mengubah aturan-aturan main dan menciptakan masa depan. Dimana saja dan kapan saja, kita harus terus berusaha menyatukan benang-benang kecerdasan emosi dan ketajaman intuisi dengan cara yang dapat membuat kerja dan hidup kita, serta hubungan dan tujuan hidup kita, dimana proses belajar sebagai warisan kita semakin berkembang”.

Jakarta, 23 November 2011

Faisal Afiff


Jumat, 18 November 2011

Kepemimpinan Situasional


KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

Selain dikenal oleh bangsanya sendiri, Songtsen Gampo yang hidup di Tibet sekitar tahun 591 – 650 M, tidak banyak dikenal oleh dunia luar hingga para peneliti Barat menemukan sebuah gudang rahasia berisi dokumen sejarah - yang tersembunyi selama tujuh  abad - terkubur dibalik gurun pasir di Asia Tengah. Lee Feigon, direktur East Asian Studies Department dan juga seorang profesor sejarah Colby College, menyatakan bahwa terdapat sebuah negara Tibet berdaulat yang berpusat di salah satu puncak Himalaya yang mencakup sebagian besar wilayah China, India, Nepal, Asia Tengah, dan bahkan Timur Tengah. Gampo dikenal bukan hanya selaku pemimpin militer namun juga selaku penguasa cerdik dan penuh imajinasi yang mampu memprediksi berbagai aspek kebutuhan kemaharajaannya yang sangat kompleks dan beragam, baik dalam struktur politik maupun budaya yang diperlukan untuk membangun sebuah peradaban baru.
Selama masa pemerintahannya, Gampo berhasil menguasai berbagai jalur pegunungan, sungai, dan perdagangan dalam rangka membangun sebuah ibukota yang besar dengan dilengkapi sebuah komisi khusus untuk menciptakan arsitektur kota yang unik yang belakangan ini diakui dan dikagumi seantero dunia. Ia menghormati kemajemukan warisan budaya dan terbuka menerima berbagai keragaman keyakinan dan latar belakang seseorang, dengan semangat mengembangkan inspirasi kreatif yang diperoleh dari pengetahuannya tentang negeri asing, seperti kerajaan Romawi, India, China, dan Persia. Selama masa sepuluh tahun terakhir hidupnya, keberhasilan Gampo membentuk sebuah pemerintahan yang dijalankan oleh roda perwakilan, perdagangan internasional, kaidah moral, dan dukungan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, karya besar yang diraihnya meliputi prakarsa pembakuan bahasa tulis pertama di negerinya dan rencana pembebasan buta huruf nasional dan tak kalah pentingnya juga ia berhasil merumuskan sistem pelayanan kesehatan berasaskan tradisi-tradisi terbaik Yunani, India, dan China, serta berhasil mempromosikan suatu budaya egaliter yang acapkali oleh lawan-lawannya disebut sebagai “kerajaan perempuan”. Ditengah salah satu masa kejayaanya, ia berhasil menerapkan ajaran Dharma ke dalam pemerintahannya, yakni suatu ajaran yang menganut anti kekerasan. Melalui ajaran ini, ia berhasil mengamankan jalur perdagangan internasional, membuat kesepakatan damai yang mencakup lebih dari seratus kelompok atau negara lain, mengatasi perbedaan intelektual dan budaya, membina rasa kebersamaan dan saling pengertian, dan juga tidak kalah pentingnya menyelesaikan pertikaian masalah perbatasan melalui landasan dan formula penyelesaian secara adil dan terhormat.
Keinovatifan strategi dan taktik Gampo telah memunculkan kepercayaan dan kesetiaan para penguasa disekitarnya, dan hal ini diakui rakyatnya berkat kedalaman emosi yang dimiliki Gampo yang membuatnya ia mampu tampil secara otentik. Kedalaman emosi dan karismanya, memancar keluar sampai menjangkau kerajaan-kerajaan dan kota-kota teramat jauh, sehingga dengan pesona yang ia miliki, para pemimpin lain ingin bergabung memperjuangkan cita-cita bersama, menyangkut kemajuan perdagangan, persatuan dan perdamaian, pendidikan, dan saling menghormati terhadap perbedaan budaya dan pandangan hidup yang berbeda. Bahkan bagi kelompok lain yang masih meragukan kemampuan Gampo, belakangan kemudian malah mengakui akan cita-cita dan komitmennya sebagai negarawan yang sangat ulung. Suatu prestasi maha besar di penghujung usianya, Gampo berhasil membentuk suatu kemaharajaan yang wilayahnya berkembang mencakup hampir dua kali wilayah China sekarang, dimana pengaruh kemaharajaannya sulit tertandingi oleh Caesar, Attila atau Alexander sekalipun. Meski Gampo berulangkali menang dalam pertempuran dan peperangan melawan musuh-musuhnya, namun resiko penghianatan dan upaya pembunuhan terhadap dirinya tetap ada. Gampo mampu belajar dan menimba pengalaman dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, sehingga dalam menghadapi berbagai  kasus ia malah memberi ampunan kepada kelompok-kelompok yang menentangnya.  
Kisah dimuka ini terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun pengetahuan tentang kualitas kepemimpinan tidak akan pernah usang. Manusia sejak dahulu kala hingga sekarang tampil dalam sosok aspek psiko-fisik yang sama, baik sisi jasmaniah maupun ruhaniahnya, yang berbeda adalah situasi, kondisi serta zaman dan peradaban yang berbeda. Penting direnungkan disini, siapakah kita, apa yang kita perjuangkan, dan akan jadi apakah kita? Semua pertanyaan ini akan muncul pada era kapanpun. Disadari, hal-hal yang akan membangun pengaruh yang  kuat dan jangka panjang adalah dengan menata hidup kita sendiri dan menorehkan sejarah tentang kisah kita. Setiap kali kisah para tokoh sejarah itu kita renungkan, maka gaungnya akan terasa dalam diri kita, meski  bentangan sejarahnya menembus ratusan tahun yang lampau, namun kisah manusiawi para tokoh sejarah sangat akrab dengan pergulatan hidup dan batin kita, karena batin tokoh masa lampau dan diri kita memiliki substansi dan kepekaan yang sama, sepanjang kita mau mendengar dan menghayatinya sampai ke tingkat yang paling dalam. Kisah-kisah semacam itu akan menyentuh hati seseorang secara lebih bermakna dibanding kebiasaan yang acapkali  dilakukan kita saat ini, yakni cara pikir yang lebih mengandalkan alur diagram dan argumentasi rasional. Sentuhan kisah seperti itu memberikan semacam sentuhan kimia terhadap perubahan seseorang, dan didalam hati terasa adanya kerinduan akan sosok yang kita dambakan.
Kisah-kisah di atas inilah yang telah mengubah pandangan dan cara kepemimpinan beberapa tokoh bisnis terkemuka di dunia, dikarenakan kreativitas dan efektivitas yang menonjol dan juga karena kesadaran akan situasi dan kondisi yang berubah. Mereka telah melonggarkan pegangan kebiasaannya akan perencanaan dan estimasi, dengan lebih memberikan perhatian pada dialog, pengaruh, antisipasi akan perubahan dan peluang, serta mendukung berbagai prakarsa dan tanggung jawab bagi penentuan cita-cita bersama. Para tokoh bisnis tersebut telah sampai pada pemahaman yang hakiki tentang bersatu dan terpadunya tujuan hidup dengan tujuan bisnis, dengan mempercayai adanya gelombang kecerdasan baru dari perpaduan antara akal-pikiran, emosi, kreativitas, dan praktek-praktek bisnis dalam suatu keselarasan tertentu. Gaung dari keterpaduan dan keselarasan ini akan terus memancarkan pusaran pengaruhnya ke berbagai penjuru, dan berpusat dari diri seseorang, menembus sistem serta memancar ke luar dan kembali kepada diri orang itu sendiri.
Dengan demikian, kekuasaan sejati seorang pemimpin bukanlah terletak pada kemampuannya sampai sejauh mana pemimpin tersebut dapat menghancurkan lawan-lawannya, akan tetapi sejauh mana ia mampu untuk mempengaruhi orang lain. Sebagaimana diungkapkan oleh John Kotter, Professor mata kuliah kepemimpinan di Harvard University, bahwa dewasa ini untuk menyelesaikan segala tugas manajer dan eksekutif, adalah dengan menjalin akses ke berbagai macam kekuasaan serta terus menanamkan pengaruh yang lebih besar, daripada sekedar hanya memiliki kemampuan menerima dan memecat pekerjanya serta mengatur anggaran belanja belaka. Di abad ke-21 ini, tidak sedikit tokoh bisnis dari berbagai penjuru dunia yang berhasil memiliki pengaruh yang kuat dalam membangun kerajaan bisnis mereka. Banyak diantara mereka memancarkan semacam perasaan khusus, yang merupakan perpaduan antara dorongan nurani dan kecerdasan emosional yang mudah dirasakan orang lain dan mendorong mereka untuk menanggapinya dan hingga saat ini kisah-kisah mereka masih terus menggugah banyak orang di seantero dunia.
Terkadang, pengetahuan seseorang menjadi pagar penghalang terhadap tumbuh kembangnya pencerahan hati bagi orang lain. Sejak masa kecil, seseorang dijejali pengetahuan bahwa membaca, menulis, dan berhitung adalah keahlian yang sangat penting. Mereka diajarkan untuk mengambil keputusan, menganalisis, menyelesaikan masalah, berpikir secara rasional, merencanakan, mengatur, tepat waktu, memelihara dan mengendalikan diri sendiri. Disamping itu, mereka diajarkan pula untuk menjadi dan bersikap dewasa, bias memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, apa itu di atas apa itu dibawah, apa itu di dalam dan apa itu di luar. Pendeknya, seseorang diajarkan untuk menerima pengetahuan formal begitu saja, sekedar untuk dapat bertahan hidup. Berfikir formal seperti demikian, sering meredupkan daya kreativitas dan perubahan seseorang, karena terbiasa menerima begitu saja apa yang telah digariskan para pendahulu mereka. Sementara kreativitas adalah mengerjakan sesuatu dengan cara yang berbeda, mencapai suatu hasil dengan cara yang berbeda, berpikir sebelum mengerjakan sesuatu dan mencari alternatif tindakan dari perspektif yang berbeda-beda. Perspektif inilah yang acap kali dilakukan oleh para pemimpin besar, sehingga gagasan dan prakarsa mereka memiliki orisinalitas dan berdampak luas jauh ke depan. Mereka sering dikatakan menentang cara berpikir dan menggoyahkan asumsi-asumsi masyarakat pada zamannya. Seyogyanya kita juga harus mampu mengubah kebiasaan, mempertanyakan peraturan, menghilangkan kekhawatiran yang terlalu berlebihan, tentang bagaimana seandainya sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keberanian melakukan terobosan adalah sesuatu hal yang sering dilakukan oleh pemimpin besar seperti Songtsen Gampo, meski hal itu terjadi beberapa ratus tahun yang lalu.
Salah satu yang perlu dipelajari dan dikaji dari kehidupan pemimpin besar masa lalu, termasuk Gampo, salah seorang pemimpin Tibet yang pernah hidup seribu tiga ratus tahun yang lampau, adalah bahwa masing-masing pemimpin pernah mengalami rintangan dan hambatan, bahkan ancaman yang datang dari berbagai penjuru. Kesemua hal itu tidak membuat mereka menyerah, meski terkadang diatasi dengan sedikit kekerasan, dan sering dengan tekad kemauan dan pengaruh, namun sebagian besar diselesaikan dengan kreativitas dan kejeniusan serta pemilihan “timing” yang tepat. Tidak disadari, bahwa sebenarnya mereka telah meninggalkan suatu warisan yang sangat berharga, yaitu karisma emosi serta pengaruh yang timbul karenanya. Kedalaman hati para pemimpin inilah, dan bukan karena kehebatan mereka dalam adu argumentasi, yang membuat mereka memancarkan cahaya, yang dapat membuat banyak orang meninggalkan kegiatannya, demi untuk menyaksikan pesona sang pemimpin, sebagai figur yang dapat mengubah hidupnya.
Makin banyak seseorang belajar tentang masalah, situasi dan kondisi yang dihadapi pada zamannya, maka ia akan semakin menyadari bahwa kesemuanya itu tidak lagi dapat dipahami dalam keadaan statis dan terisolasi, diperlukan adanya adaptabilitas kepemimpinan situasional, yang memahami bahwa setiap sikap, emosi, dan tindakan yang ditunjukkan baik oleh dirinya dan orang lain dapat menciptakan pengaruh dan imbas terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan mengenali dan memahami permasalahan yang tengah dihadapi adalah merupakan bagian dari sistem-sistem tempat dimana seseorang memainkan peran aktif. Dengan menjalankan kepemimpinan situasional, kita tidak akan terlebih dahulu meminta orang lain untuk berubah, tetapi melalui dirinyalah situasi yang tengah dihadapinya akan berubah. Setiap manusia perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang terlalu dipaksakan baik kepada diri sendiri ataupun orang lain, akan berakibat gagal, fatal dan bahkan bisa menimbulkan suatu bencana. Perlu kita ingat dan camkan: “Berikan kepada dunia milikmu yang terbaik, maka yang terbaik pun akan kembali kepadamu”.

Jakarta, 18 November 2011

Faisal Afiff

Rabu, 09 November 2011

KARISMA KEPEMIMPINAN

KARISMA KEPEMIMPINAN

Manusia di bumi ini diciptakan Tuhan dengan berbagai keanekaragaman suku bangsa, agama dan budaya. Terlepas dari perbedaan tingkat kecerdasan atau tingkat kesuksesan yang diraih masing-masing orang, pada hakekatnya secara struktur anatomi, organ tubuh, dan fisiologis manusia memiliki susunan yang sama, bahkan seperti yang dimiliki pemikir besar, Einstein atau seorang fasis kawakan, Adolf Hitler. Berangkat dari fenomena ini, pada hakekatnya masing-masing individu di dunia memiliki peluang yang sama untuk mencapai keberhasilan sebagaimana tokoh-tokoh terkenal tersebut. Hal ini bermakna, keberhasilan mereka dapat dijadikan model dalam mengatur pola pikir dan sikap hidup kita. Pendekatan ini lazim dikenal para ilmuwan dan peneliti dengan sebutan perilaku modeling.
Seseorang yang merasa bertanggung jawab pada kehidupan pribadinya, akan melakukan sesuatu agar ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dan tidak membiarkannya lewat begitu saja. Karenanya, manusia dapat melakukan proses belajar secara aktif dengan ikut terlibat dalam kehidupan nyata, dan tidak membiarkannya terombang-ambing. Tokoh atlit Inggris terkenal,  Roger Bannister adalah contoh klasik dan konkret dari orang yang berhasil menjalankan pendekatan belajar aktif melalui pendekatan modeling, dengan prestasi sebagai orang pertama yang berhasil lari sejauh satu mil dalam waktu kurang dari empat menit yang hal ini mustahil dilakukan oleh seorang manusia.  Bahkan seorang dokter berpendapat, jika manusia berlari terlalu cepat maka jantungnya bisa pecah karena terlalu dipaksakan. Roger termasuk manusia langka yang tidak percaya pada ramalan para ahli tersebut. Setelah puluhan tahun ribuan atlit berlatih tanpa mampu memecahkan rekor empat menit, maka ia mampu melakukannya dan memukau dunia dengan rekor waktu 3 menit 59,4 detik. Meskipun keberhasilan rekor tersebut telah disahkan dan diakui pihak terkait, masih banyak khalayak ramai yang menyangsikannya. Mereka berpendapat bahwa keberhasilan tersebut merupakan faktor kebetulan saja, dan tidak dapat diulangi lagi atau bahkan melampauinya. Namun beberapa waktu berselang, rekornya dipatahkan oleh seorang pelari Australia bernama John Landy yang kemudian diikuti banyak atlit lainnya dengan prestasi berlari 1 mil kurang dari empat menit, dan bahkan semakin hari waktunya semakin singkat.
Kesemua fakta di atas melahirkan pertanyaan di benak diri manusia, bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Kespontanan khalayak ramai untuk menokohkan seseorang menjadi model bagi mereka, untuk menirunya dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang memiliki potensi yang sama untuk menerobos suatu keyakinan yang sempit, serta menyingkap potensinya yang luar biasa yang ada pada diri mereka. Proses pembelajaran yang dilengkapi dengan berbagai contoh kasus dan praktik-praktik yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah melahirkan karya yang berkualitas, akan sangatlah efektif. Jika seseorang berhasil mencapai prestasinya maka akan tumbuh suatu keyakinan, dan hal itu dapat ditularkan dengan mengajarkan keyakinan tersebut terhadap orang lain, baik individual maupun kelompok. Faktor kuncinya terletak pada kemampuan untuk menemukan orang yang dapat mewujudkan impiannya dan menjadikannya sebagai model, dan seterusnya belajar dan tirulah perilaku mental dan fisik model tersebut, dan yakinlah keberhasilan akan menjadi milik mereka bersama. Dengan menemukan model yang dianggap telah mencapai cita-cita yang kita inginkan, maka waktu dan energi yang dibutuhkan akan sangatlah efisien dengan dibarengi bebagai upaya yang efektif.
Perilaku modeling perlu diikuti dengan proses pembelajaran yang berkenaan dengan lubuk hati seseorang, berkomitmen untuk mengakui keberadaannya, serta mendeteksi bagian-bagian atau “sisi gelap” dari pribadi seseorang yang bisa disingkap, direnungkan, berdasarkan komentar-komentar kritis dari orang lain. Belajar dengan meniru keberhasilan orang lain dapat mempersingkat waktu, sehingga orang tidak perlu terlalu lama meniru kegagalannya atau trial and error mereka. Keunikan dan “sisi-gelap” potensi kepribadian seseorang adalah kekuatan tersendiri sebagai ciri yang khas sehingga ia bukanlah duplikasi dari orang lain. Seseorang haruslah berani meyelidiki sisi gelapnya dan sama halnya ia berani menggali sisi terangnya. Sebagaimana dikatakan John Gardner, “…kita sering membuat diri kita begitu sibuk, mengisi hidup kita dengan bermacam-macam kegiatan, memenuhi kepala kita dengan begitu banyak pengetahuan, bergaul dengan begitu banyak orang dan pergi ke begitu banyak tempat, sehingga kita hampir tidak punya waktu untuk menyelidiki dunia yang menakutkan sekaligus menakjubkan  dalam diri kita… kebanyakan dari kita justru berhasil melarikan diri dari diri kita sendiri.” Hal ini bermakna bahwa medali emas itu pertama-tama harus ditemukan dalam diri sendiri yang sering dikatakan sebagai sisi gelap atau wilayah yang hampir jarang dikunjungi, atau meminjam kata-kata Carl Gustav Jung bahwa dalam kegelapan itulah terdapat emas murni.
Dalam dunia bisnis, seseorang tidak dapat menuntun orang lain, jika ia tidak dapat menuntun dirinya sendiri. Ada sesuatu di dalam diri seseorang, yang bekerja di luar kesadarannya, bereaksi lebih cepat merintangi upaya-upaya kreatif dalam pencapaian prestasinya. Disinilah mengapa seseorang perlu menyediakan waktu untuk “hening” sejenak, menyingkap segala misteri dalam dirinya, mengangkat simtom-simtom yang selama ini menghalangi ekspresi-ekspresi hati dan jiwanya. Jika ia telah berhasil mengangkat sisi gelapnya ke arah yang lebih terang berarti ia telah mengakui dan belajar dari sisi gelapnya. Sisi gelap dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, dorongan-dorongan sesaat, kontradiksi-kontradiksi, perasaan ragu, mengasihani diri sendiri, keserakahan, cemburu, iri hati, dusta, murka, benci, sesal, dan sebagainya. Makin besar seseorang menerima cacat-cacat dan kekurangannya, maka sejalan dengan hal itu ia juga dapat mendengar kilasan bisikan-bisikan yang menasihati dan memperingatkan yang muncul dari balik kegelapan secara bijaksana, tulus dan ikhlas. Deena Metzger, psikolog asal Los Angeles berpendapat: “kita perlu mengakui sisi gelap diri kita sebagai sambungan dan sisi wajah kita yang lain”.
Disela-sela kehidupan kerja rutin sehari-hari, sesibuk apapun itu, sebaiknya setiap orang membuat suatu program atau agenda kecil dengan menerapkan semacam “Integrity time agreement”, yang bertujuan untuk memberikan perhatian yang lebih seksama kepada kehidupannya yang lebih mendalam, dengan menjelajahi perasaan-perasaan yang luas sedalam mungkin, baik sisi yang terang maupun sisi yang gelap. Merasakan kedalaman kesadaran batiniah yang telah membentuk perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dilakukannya. Setiap orang perlu berkomitmen  untuk berkontemplasi menyelami kedalaman hidup mereka sebelum memulai kegiatan rutin sehari-hari, paling tidak 15 menit setiap pagi. Integrity time ini perlu diterapkan untuk merenungkan diri sendiri dan mengeksplorasi kedalaman kecerdasan emosi dan spiritual manusia, baik sisi gelap maupun sisi terangnya di dalam jiwa mereka, dengan menyadari bahwa masing-masing adalah bagian yang integral dari peran dan jalan hidup  yang tengah mereka lalui. Berilah tanggal dan tandatangani pada setiap perjanjian yang dibuat, dan kemudian sertakan sebagai bagian dari jadwal kerjanya sehari-hari.
Beranjak dari pengalaman hidup yang mendalam, potensi unik, dan tujuan hidup seseorang yang didukung oleh komitmen untuk menjalankan semacam program atau agenda kecil di atas, akan menumbuhkan semacam “pengaruh” murni yang muncul dari pribadi seseorang. Bila dilaksanakan tanpa paksaan maka pengaruh tersebut dapat menjadi sumber energi potensial yang sangat diperlukan untuk mewujudkan impian dan tercapainya prestasi seseorang di dunia nyata. Melalui dampak inilah, membuat kehadiran seseorang di dunia masa kini, keterlibatannya dengan orang lain, berbagai permasalahan, alternatif kemungkinan, menjadi saling terhubung dan terasa dimana ia menjadi bagian di dalamnya. Ujung-ujungnya seseorang akan berhasil dalam kehidupan dan pekerjaannya, belajar mengerahkan pengaruh mereka dengan cara kreatif dan terhormat, tanpa harus berlindung dibalik pangkat, jabatan, hak istimewa dan  bahkan otoritas orang lain.
Fokus manajemen, selama lebih dari dari dua ratus tahun, terpusat secara murni pada daya analisis, kekuatan yang berasal dari luar dan rasionalitas teknik. Kesemua hal ini menyebabkan tertutupnya sebagian besar sisi karakteristik manusiawi lainnya, seperti semangat, emosi, intuisi dan pengalaman. John Ralston Saul sebagai seorang eksekutif mengingatkan kepada kita bahwa rasionalitas dan nalar manusia tidak lebih dari struktur. Dan struktur paling cocok bagi mereka yang berbakat dalam manipulasi. Pada kinerjanya yang prima, kecerdasan yang muncul dari kesadaran kedalaman tadi- atau katakanlah sebagai kecerdasan emosi, muncul berupa pengaruh tanpa manipulasi dan otoritas, hal ini berhubungan dengan penghayatan, belajar, bergaul, berinovasi dan bertindak dengan berbagai cara yang memperhitungkan valensi emosi, tidak sekedar hanya mengandalkan logika, intelektual, ataupun analisis teknis. Emosi manusia, sebagaimana tubuh dan pikirannya, juga mencatat sejarah, pengalaman, pemahaman dan berbagai hubungan dalam kehidupan mereka. Emosi mencakup perasaan tentang siapa diri seseorang dan masuk kedalam sistem dirinya dalam wujud energi yang memancar dan bergema juga mencatat semua perasaan, pikiran, dan interaksi diri manusia itu sendiri. James Moore, pakar strategi dengan tegas mengatakan bahwa lingkungan – yang meski kelihatan kacau serta penuh konflik dan persaingan – dapat dilihat dalam kerangka ekosistem bisnis yang terorganisir dan koevolusi yang serupa dengan kejadian-kejadian dalam ekosistem biologis diri manusia.
Intensitas persaingan dan saling keterkaitan antara perusahaan raksasa IBM, Microsoft dan Intel merupakan contoh yang tepat sekali dari paparan di atas. Ketiga perusahaan tersebut pada segmen pasar tertentu, mereka bersaing dengan ganas, namun pada segmen pasar lainnya, mereka adalah pemasok komponen vital yang saling menguntungkan di antara mereka.  Di dunia industri, dari sektor manufaktur, energi, pelayanan kesehatan, telekomunikasi, hingga media, maka faktor imajinasi, kepercayaan dan pengaruh mereka dimanfaatkan secara bersama-sama melalui jaringan raksasa yang saling terhubung, menembus produk pasar dan batas-batas geografis negara. Para pelaku perusahaan raksasa tersebut secara aktif dan terus menerus, membentuk dan mendefinisikan kembali keberhasilan bagi perusahaannya masing-masing dan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Mereka menjadi terbiasa bekerja diperbatasan antara wilayah keos dan keteraturan. Berbagai jenis dan intensitas persaingan yang dapat menjurus ke suasana keos dapat teratasi oleh terbangunnya mekanisme-mekanisme kerjasama dinamis yang etis dan terbentuknya keteraturan tatanan diantara mereka. Berkenaan dengan hal ini, seorang pemimpin visioneer sekaligus CEO VISA Internasional, Dee Hock mengatakan, ”… jika Anda ingin memimpin, sediakan paling sedikit 40% waktu Anda untuk mengelola diri sendiri, etika, karakter, prinsip, tujuan hidup, motivasi dan perbuatan; 30% waktu lainnya disediakan untuk mengelola mereka yang mempunyai otoritas  lebih dari Anda; 15% sisa waktu lainnya untuk mengelola para sejawat Anda; sedang sisa waktu lainnya lagi digunakan untuk mempengaruhi rekan yang lain “untuk siapa mereka bekerja”, agar mereka memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang sedang diterapkannya”.
Pada hakekatnya, Jika seseorang menyadari dan yakin mana yang benar dan bermakna, serta konsisten memperjuangkannya, maka sumber daya manusia atau sumber daya lainnya yang dibutuhkan akan datang dengan sendirinya, seolah-olah tertarik oleh energi tertentu: diantaranya adalah pengaruh dan karisma. Dengan demikian, setiap kepekaan perasaan dan pikiran akan  mempengaruhi  susunan serat halus dalam diri seseorang, memancarkan ke luar kepada orang lain dalam sosok karisma dan resonansi, maka tugas manusia adalah bertanggung jawab untuk mewujudkannya sebagai kunci utama keberhasilan manusia itu sendiri. Setiap orang boleh mempelajari dan meniru keberhasilan dan pencapaian orang lain, namun ia jangan melupakan kesejatian dan otentisitas kepribadian dirinya sendiri.
                                              
Jakarta, 9 November 2011
                                                                                        
                                                                                                          Faisal Afiff

SPIRIT KEPEMIMPINAN


SPIRIT KEPEMIMPINAN

Beberapa tahun menjelang Dinasti Ming berkuasa di Cina, di abad ke tiga sebelum masehi, dikisahkan terdapat seorang ilmuwan siasat klasik bernama Wang Li, yakni seorang pakar yang piawai, canggih, bijak, namun misterius. Datanglah dua anak muda, yang satu bernama Sun Bin ditemani kawan seperguruannya bernama Pang Juan, menghadap Wang Li untuk menimba ilmu siasat perang.  Setelah sekian lama menimba ilmu, mereka kemudian berpisah. Pang Juan adalah murid Wang Li yang pertama kali mampu meniti karir. Dengan bakatnya yang  sangat cemerlang, Pang Juan berhasil dikaryakan pada keluarga bangsawan Wei, dan disusul tidak lama kemudian, ia sampai kepada puncak karirnya, dianugerahkan menjadi seorang Jenderal. Pang Juan dengan puncak karir yang diraihnya, Ia tetap merasa belum tenang, dan gundah karena memiliki teman seperguruan, Sun Bin, yang kemampuannya juga sangat potensial dan istimewa, terlebih lagi jika ia bekerja dan memposisikan dirinya di pihak musuh.  Pang Juan takut bila kemahirannya sebagai ahli siasat perang dikalahkan oleh Sun Bin, dan akhirnya Ia berkomplot untuk melenyapkan rekan seperguruannya tersebut.
Pang Juan mengatur siasat dengan mengundang Sun Bin untuk bertukar fikiran dan hadir di kediaman Wei. Ketika Sun Bin tiba, dengan tangkas Pang Juan menangkapnya atas tuduhan kriminal dan memberikan hukuman siksa yang paling berat di saat itu, yakni dipenggal dan dirusak wajahnya, sebagai bentuk hukuman untuk menjatuhkan martabat seseorang sampai ke tingkat yang paling rendah.
Sun Bin atau Sun Si Lumpuh bukan saja murid yang pintar, namun tempaan Si Guru atas dirinya menjadikan ia seorang yang memiliki kepribadian yang tangguh, kesadaran yang teguh dan mendalam tentang harga dirinya yang unik sebagai manusia. Kendati kondisi dirinya sangat mengenaskan, Ia masih mampu bertahan dan berjuang memenuhi panggilan hidupnya dan telah berhasil menciptakan berbagai strategi peperangan dan cara-cara baru untuk memenangkan pertempuran, baik dalam kancah kehidupan sehari-hari maupun peperangan yang sesungguhnya, yakni dengan prinsip menekan kerusakan harta benda dan pengorbanan nyawa sekecil mungkin.
Ketika Sun Bin mendekam di penjara, ia melakukan pertemuan singkat dan rahasia dengan salah seorang pejabat utusan negara Qi dan dengan cepat membuat sang pejabat terkesan tidak hanya dengan ketabahan dan kemantapannya, tetapi juga dengan kebijakannya yang nyata dalam hal strategi dan ilmu berperang. Sang pejabat merasakan keistimewaan pada diri Sun Bin, bukan hanya pada kekuatan tubuhnya yang dipenuhi bekas luka sayatan, melainkan juga pada keteguhan hati dan gagasan-gagasannya. Sadar akan betapa penting dan berharganya Sun Bin, sang pejabat berhasil menyelundupkan dan melarikan Sun Bin ke negaranya untuk dijadikan sekutu.
Di negara sang sekutu, Sun Bin telah melakukan berbagai upaya, yakni langkah pertama memulihkan semangat, disiplin diri serta mengatasi kelemahan sosok fisiknya, disamping dengan berbagai cara ia belajar memperdalam dan memperluas kemampuan olah batinnya. Dengat bakat dan kemampuannya yang cemerlang dan memikau serta ketajaman intuisinya, Sun Bin kemudian ditunjuk menjadi penasihat militer dan ahli siasat perang jenderal Tian Ji. Bahkan, selang beberapa tahun kemudian, kehebatan strategi Sun Bin telah dilestarikan dalam bentuk karya tulis oleh Liu Ji, seorang perwira sekaligus cendikiawan agung dari dinasti Ming. Sun Bin boleh dijuluki sebagai Sun Tzu kedua, dan memang ia memiliki satu garis keturunan dengan Jenderal Sun Tzu,  pengarang buku terkenal “Seni Berperang” yang akhir-akhir ini banyak dijadikan sumber kepustakaan mata ajaran Manajemen Stratejik. Mengacu pada beberapa tulisan kolumnus sebelumnya, pada hakekatnya dalam diri Sun Bin telah terbentuk beberapa aspek kepemimpinan yang mencakup falsafah, energi, spiritualitas, integritas, inovatif dan bahkan karismatik.
Jika kita simak ke depan, pendapat simbolik Sun Bin tentunya dapat diterapkan pada berbagai peristiwa kehidupan manusia yang sarat dengan pertikaian dan persaingan, selain di medan laga. Jika seseorang ingin memulihkan situasi atau kondisi yang terlalu parah, haruslah dipahami bagaimana dan seberapa jauh hal tersebut berpengaruh kepada dirinya. Kita harus mengenal diri sendiri, mengenal tantangan-tantangan yang tengah dihadapi, disamping menyadari posisi dan situasi apapun yang tengah terjadi pada dirinya. Disamping itu, ujar Sun Bin bahwa semua individu atau manusia memiliki  hasrat untuk menemukan dan mengembangkan potensinya dalam mengisi dan mencapai tujuan hidup mereka. Menghadapi situasi dan kondisi ini, pertama dan yang paling penting adalah menyadari bakat-bakat yang dimiliki dan menggunakannya secara terpadu dalam memenuhi panggilan jiwa tersebut.
Dari pelajaran Sun Bin di atas, jika kita tarik benang merahnya, bahwa dalam menjalankan roda bisnis dan kehidupan sosial kemasyarakatan dewasa ini, tujuan hidup merupakan sesuatu yang membuat diri sendiri dan orang-orang disekitarnya merasa tergerak untuk mencurahkan segala daya yang dimilikinya. Tujuan penting dalam dunia kerja adalah membangun jenis atau bentuk pekerjaan apa yang kita pilih dan yakini sendiri. Bahkan Kenichi Ohmae mengatakan, “kiat bisnis yang berhasil bukanlah berasal dari analisis yang rumit atau kompleks, melainkan dari proses yang lebih kreatif dan intuitif ketimbang rasional”.
Dalam aspek integritas misalnya, belakangan ini banyak manajer merasa bahwa tindakannya telah didasari oleh integritas, padahal dalam prakteknya mereka masih harus berjuang secara efektif menerapkan integritas di dalam interaksi dan tindakannya. Masih ada anggapan di sebagian kalangan manajer bahwa integritas sama dengan loyalitas buta, atau merahasiakan sesuatu dari orang lain, sementara pihak lain – atau katakanlah pelanggan – malah menjadi korban yang dirugikan. Bahkan, sebagian manajer lain menafsirkannya menjadi pemahaman yang konsisten namun secara kaku dan sempit, yang pada akhirnya dapat berakibat pada kesalahan, kerusakan dan bahkan fatal. Sementara kalangan manajer lainnya lagi menganggap, bahwa integritas adalah identik dengan bersikap jujur, polos, dan bersahaja, atau dengan kata lain mengharamkan segala bentuk kebohongan. Sebenarnya integritas dalam bisnis tidak seperti yang dikemukakan oleh berbagai kalangan manajer seperti di atas, dan konsep integritas dalam bisnis adalah menerima kewenangan dan tanggung jawab secara penuh, berkomunikasi secara jelas dan terbuka, menepati janji, tidak menyimpan rencana tersembunyi, dan keberanian untuk menjaga kehormatan diri sendiri, tim atau regu kerja, atau institusi bisnis, serta secara terus menerus bersikap jujur pada diri sendiri, tidak hanya melulu dalam pikiran, tulisan, atau omongan tetapi juga dalam hati.
Kisah-kisah seseorang seperti halnya Sun Bin acapkali menyentuh dan menggugah hati seseorang secara lebih mendalam, ketimbang para ilmuwan dalam memaparkan berbagai argumen teoritikal secara rasional. Jika direnungkan berulang kali, gaungnya terasa dalam diri manusia, sampai ketingkat renungan yang paling dalam. Melalui kisah-kisah dengan sentuhan emosi semacam itulah pribadi seseorang akan lebih terbentuk secara lebih alami, matang, dan mendalam.
Dalam dunia bisnis, seperti halnya dalam dunia peperangan, manusia sering memiliki kecenderungan memperlakukan musuhnya sebagai bukan manusia. Perasaan seseorang sering tertekan, dan mereka sering menghindari kesempatan untuk berempati kepada lawannya. Berbeda manusia pada umumnya, dengan manusia berkepribadian unik seperti Sun Bin yang mampu melakukan dialog atas landasan kejujuran serta adanya kesediaan untuk memaafkan orang yang bersalah kepadanya, ia berusaha pula memperhatikan segi-segi manusiawi lawannya dengan seksama. Ia menonjolkan kepribadian dan karisma yang bersumber dari kekuatan pribadinya dalam mengajak orang lain bersekutu dan mewujudkan impian-impian untuk membentuk suatu dinasti yang adil, serta rakyatnya makmur dan berpendidikan.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah pebisnis terkemuka telah berusaha mengubah cara kepemimpinan mereka dengan melonggarkan keterikatannya pada proses perencanaan dan prediksi-prediksi rasional, dengan lebih memberikan tekanan kepada dialog, pengaruh, antisipasi peluang dan perubahan serta mendukung gagasan atau prakarsa yang inovatif untuk menumbuhkan wewenang dan tanggung jawab, serta  cita-cita bersama. Para pebisnis tersebut menyadari bahwa suatu aura energi positif dapat menular, dirasakan, dan bahkan diambil oleh orang lain. Sebagaimana ditemui dalam contoh sehari-hari, jika seseorang dihampiri oleh orang lain dengan wajah murung misalnya, orang tersebut bisa saja secara tiba-tiba merasa iba dan sedih. Begitu pula sebaliknya, jika berdekatan dan berkomunikasi dengan orang yang bersemangat dan meluap-luap, seseorang bisa tertular oleh daya emosi tersebut. Oleh karena itu, sosok pemimpin yang menyadari akan potensi ini, ia akan senantiasa menghemat dan memperbaharui energinya agar tetap tenang dan waspada, suatu situasi atau kondisi emosi yang memberikan  “kekebalan” alami terhadap pengaruh suasana hati yang buruk dari orang lain dan bahkan pada gilirannya dapat meringankan beban emosi orang lain. Pengelolaan energi emosi secara alami sering menjadikan seseorang berhasil dalam menjalin hubungan, menyelaraskan tujuan, dan mencari sisi-sisi positif dari setiap hubungan, sehingga ia selaku pemimpin mampu membangun hubungan kemitraan yang konstruktif, saling percaya, dan langgeng. Sejalan dengan hal itu, seorang pemimpin perlu mengenali sisi-sisi “kekuatan-terpendam” dalam kepribadiannya yang meski tidak nampak namun terasa keberadaannya dan kemudian diwujudkan ke dalam ruang kerja sebagai sesuatu yang bermanfaat dan merupakan suatu kekuatan potensial yang sangat besar walaupun kasat-mata.
Zaman yang dihadapi di masa kehidupan Sun Bin secara relatif akan tidak jauh berbeda dengan zaman yang dialami oleh para pemimpin di kawasan bertikai di abad masa kini. Di saat zaman kesejarahan Sun Bin, kelompok-kelompok yang berhasil merebut kekuasaan mengangkat diri sebagai penguasa dan raja-raja; negara-negara kecil diperintah oleh para penguasa yang munafik dan kemudian berkomplot membentuk beragam pasukan untuk merebut kekuasaan yang lebih besar dengan meniru para penguasa terdahulu. Pada akhirnya mereka saling menyerang dan saling menghancurkan, berkomplot dengan kelompok lebih besar untuk melahap kelompok-kelompok yang lebih kecil, menghabiskan tahun demi tahun dengan operasi-operasi persenjataan yang ganas, membasahi ladang-ladang dengan darah. Ayah dengan anak bermusuhan, saudara dengan saudara bertikai dan suami dengan isteri terpisah.
Dalam menoleh kembali tradisi lama dimanapun, terutama yang telah teruji oleh sejarah dalam membangun pembentukan watak dan kepemimpinan, tujuan hidup selalu digambarkan sebagai sesuatu yang memiliki makna yang paling dalam; terkait dengan sesuatu yang berhubungan dengan “asal”, dengan “rumah sejati” tempat kita bekerja dan hidup. Mendapatkan rumah yang demikian memerlukan tekad yang kuat dan olah batin yang serius. Banyak pemimpin dan pebisnis terkemuka dan ternama yang telah memperjuangkan masyarakat, bangsa, dan negaranya, dan nyatanya berhasil.
Boleh jadi hidup kita seperti teka-teki dengan bebagai petunjuk yang tidak lengkap, dan sering kehilangan “kebahagiaan mendalam” dan akal sehat. Manusia bekerja dan diselingi dengan tidur, mencari uang dan kemudian membelanjakannya, mengalami suka dan duka, meski terampil dalam bekerja, namun tetap merasakan kekosongan batiniah baik sebagai individu ataupun keterikatannya dalam organisasi. Dalam hidup atau dalam pekerjaan tidak ada istilah terlambat untuk menemukan panggilan mulia, dan senantiasa menyelesaikan berbagai pekerjaan yang paling bernilai bagi diri kita, untuk menjadi sejalan dengan tujuan yang telah dicanangkannya.  Last but not least, marilah kita sama-sama merenungkan pertanyaan mendasar yang dilontarkan Joseph Campbell dalam salah satu tulisannya, “Anda mungkin sudah berhasil dalam hidup, tetapi coba tanyakan kepada diri sendiri – hidup macam apa yang Anda jalani?”

Jakarta, 3 November 2011

Faisal Afiff