URGENSI ETIKA DALAM
BISNIS
Setiap orang memiliki pengertian masing-masing
dalam memaknai istilah bisnis, terlepas
dari sisi kebaikan maupun sisi keburukannya, seiring dengan kesibukkan dirinya
dalam menjalani kegiatan bisnis sehari-hari yang banyak menyita waktu. Saat ini
banyak orang terlibat dengan urusan bisnis, baik dalam kapasitas mereka selaku
wirausahawan, investor, pengelola, pekerja ataupun sebagai pengguna barang dan/
atau jasa dari bisnis tersebut. Sehingga untuk menjernihkan istilah bisnis
adakalanya menjadi sulit, karena mereka keburu memiliki sudut pandang sendiri,
baik karena latar belakang ilmu yang berbeda, ataupun karena adanya perbedaan
pengalaman dalam menjalani kegiatan bisnis. Terlebih lagi bagi kalangan awam, pemaknaan
dan penggunaan istilah bisnis semakin beragam lagi.
Sehubungan
dengan hal itu, ada baiknya pengertian tentang istilah bisnis didudukkan pada
proporsinya, sehingga terdapat kesesuaian antara teks dan konteksnya,
sebagaimana terungkap berikut ini, yaitu :
1)
Viewed in a broad way, the term
business is typically refer to “the development and processing of economic
values in society’’. (Davis & Blomstrom, 1975).
2)
Business is the organized effort of
individuals to produce and sell for a profit,
the goods and services that satisfy society’s needs. The general terms
of business refers to all such effort within a society or within an industry. (Hughes & Kapoor dalam Buchori
Alma, 1992).
3)
Business is an organization that
provide goods and services to earn profits. (Griffin & Ebert, 2004).
4)
Business is an economic system in
which goods and services are exchanged for one another or money, on the basis
of their perceived worth. Every business requires some form of investment and a
sufficient number of customers to whom its output can be sold at profit on a
consistent basis. (BusinessDictionary.com).
5)
A Business (also known as enterprise
or firm) is an organization engaged in the trade of goods, services, or both to
consumers. Businesses are predominant in capitalist economics, where most of
them are privately owned and administered to earn profit to increase the wealth
of their owners. Businesses may also be not for profit or state-owned. A business
owned by multiple individuals may be referred to as a company, although that
term also has a more precise meaning. (Wikipedia,
the free encyclopedia).
Dari berbagai deskripsi bisnis yang dikemukakan
di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah bisnis merupakan segala kegiatan
manusia, baik yang terorganisir atau tidak, untuk menciptakan suatu nilai
ekonomi (barang dan/ atau jasa) yang ditawarkan kepada masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dengan maksud mencapai tujuan tertentu.
Meskipun tujuan bisnis tidak selalu bermaksud meraih keuntungan, akan tetapi pada
kebanyakan organisasi bisnis non-pemerintah (private business) tujuan utamanya jelas adalah perolehan keuntungan
atau surplus. Sejalan dengan meningkatnya ragam kebutuhan dan keinginan
masyarakat, maka meningkat pula ragam kegiatan bisnis seiring dengan keragaman permintaan
masyarakat akan barang dan/atau jasa. Pada akhirnya kondisi dan situasi
tersebut menciptakan dinamika bisnis yang semakin kompetetif diantara para pelaku
bisnis dalam suatu sektor industri.
Implikasi
lebih lanjut dari meningkatnya intensitas persaingan, menimbulkan ekses di
kalangan para pelaku bisnis untuk melakukan suatu kegiatan yang menghalalkan
segala cara demi meraup keuntungan semaksimal mungkin, atau dalam rangka survival di tengah lingkungannya – baik makro
maupun mikro - dimana bisnis beroperasi. Dalam kondisi demikian, timbul pelbagai
macam sorotan terhadap persoalan etika dalam kaitannya dengan praktik bisnis.
Walaupun formula etika bisnis secara verbal terkesan mudah, yaitu business ethics is simply the application of
general ethical rules to business behavior, namun sehubungan dengan
intensitas persaingan yang semakin tajam, maka implementasi etika dalam bisnis
membutuhkan suatu perjuangan. Tentu saja bagi kalangan praktisi bisnis, menciptakan suatu keuntungan
bisnis
merupakan prioritas agar tetap dapat bertahan hidup. Tanpa menjanjikan keuntungan, suatu bisnis akan
dianggap tidak menarik lagi, apalagi untuk merangsang suatu investasi.
Para praktisi bisnis pun menyadari bahwa suatu pelanggaran
etika dalam praktik bisnis bukanlah pilihan, namun prioritas
meraup keuntungan adalah hal yang terpenting. Sehingga menjaga
keseimbangan antara praktik bisnis dan etika, tidak selalu mudah untuk
diwujudkan. Meskipun penanaman konsep etika bisnis dikalangan para pelaku bisnis tetap dijalankan sebagai
kebijakan korporasi, yang diharapkan terbangun suatu kode moral tentang "benar dan salah", namun ketika
dihadapkan pada konteks dan tantangan yang lebih nyata, yakni adanya tuntutan tanggung jawab sosial yang lebih
luas, maka timbul suatu dilema yang tidak
mudah untuk dipecahkan. Dengan demikian penekanan pada faktor
keuntungan dapat menyisihkan isu-isu etis yang lebih luas, yang pada gilirannya dapat berseberangan dengan arus
tuntutan masyarakat. Padahal dalam konteks bisnis nasional terlebih
multinasional misalnya, keuntungan yang diperoleh dapat digunakan untuk manfaat yang lebih luas, meski
pelaksanaan prinsip-prinsip etis secara murni belum mungkin dapat diterapkan
sepenuhnya. Terlebih di kancah bisnis abad ke-21,
tuntutan konsumen
terhadap praktik - praktik bisnis terasa semakin
meningkat. Dalam kaitan ini para pelaku bisnis pun berupaya menyesuaikan aktivitas bisnisnya
agar lebih dipercaya oleh konsumen, misalnya
dengan membayar
upah diatas minimum, menjaga keselamatan
para pekerja dan
mengutamakan prinsip nilai kejujuran dan integritas, sebagai upaya menumbuhkan kesan positif. Dalam
konteks ini penerapan etika bisnis menjadi lebih penting, dan lebih penting lagi untuk memahami bahwa hal tersebut bukan suatu hal yang perlu dipertentangkan, bahkan prinsip-prinsip etika akan kondusif dalam mendukung pencapaian
keuntungan dan dapat meningkatkan turnover
yang lebih besar. Maka menciptakan citra bisnis positif adalah hal penting untuk meraih sukses. Kenaikan harga pangan dan
energi di Inggris misalnya, dapat membantu pelaku bisnis atau perusahaan meningkatkan keuntungan mereka, namun pada saat itu tidak
ada cara lain selain menciptakan praktik bisnis dengan citra
bisnis yang etis. Strategi pemasaran, khususnya kampanye periklanan yang berhasil adalah para pelaku
bisnis yang mampu menggugah cara pandang
dan perasaan etikal di kalangan konsumen. Dan seorang pelaku
bisnis yang baik akan
dapat "mengeksploitasi" sisi etikal ini dalam kegiatan
bisnis untuk
menghasilkan keuntungan sekaligus memahami tanggung jawab mereka saat berdampingan bersama prinsip-prinsip bisnis.
Untuk saat ini, tidak
ada cara ampuh yang dapat
berhasil memasarkan produk dan sekaligus menciptakan merek besar dengan sukses selain menggunakan
bisnis berbasis
etis ini.
Masyarakat modern, secara langsung atau tidak, pada dasarnya telah mendorong
praktik bisnis ke dalam kancah permasalahan yang sangat rumit, yang pada waktu
sebelumnya mungkin tidak terbayangkan. Pada waktu-waktu sebelumnya, mungkin hubungan
antara bisnis, masyarakat dan lingkungannya tampak lebih sederhana dibandingkan
dengan yang terjadi dewasa ini. Meskipun pada saat terdahulu masalah yang
berkenaan di seputar bisnis juga relatif rumit, akan tetapi karena jumlah,
ragam dan intensitasnya relatif kecil dan rendah, maka permasalahan tersebut
masih memungkinkan untuk ditangguhkan atau bahkan diabaikan dengan mudah tanpa
menimbulkan gangguan serius bagi kelangsungan hidup suatu bisnis. Akhir-akhir
ini, di dalam lingkungan bisnis tampaknya telah terjadi suatu pergeseran tajam
yang mengarah pada permasalahan sosial yang tercermin dari adanya tuntutan masyarakat
atau publik terhadap para pelaku bisnis. Sebagai konsekuensi dari kompleksitas dan
ruang lingkup kegiatan bisnis yang semakin banyak menyentuh pelbagai aspek kehidupan
masyarakat, maka tuntutan masyarakat lebih tertuju pada para pelaku bisnis.
Secara
historis bisnis memiliki misi ekonomi dan perannya sangat melekat hanya pada kepentingan
materialistik semata, yang pada akhirnya bisnis dianggap kurang mengindahkan
aspek etika yang sering mengundang kritik dan reaksi publik. Sehubungan dengan hal
itu, kandungan etika bisnis sering dibahas berkaitan dengan beberapa persoalan
yang menyangkut kegiatan bisnis dalam kaitannya dengan kepentingan publik. Karenanya,
fokus pembahasan awal etika bisnis diarahkan pada pemahaman konsep etika,
moralitas dan sistem nilai, etika dalam bisnis, prinsip-prinsip bisnis yang
etis, serta persoalan yang di hadapi dunia bisnis sewaktu menerapkan konsep
etika dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Bahkan akhir-akhir ini para pelaku
bisnis sering dituding banyak melakukan tindakan-tindakan yang kurang etis.
Tentunya dampak dari hal ini eksistensi bisnis menjadi rawan akan tudingan negatif.
Ditelusuri
dari akar katanya, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘‘ethos’’ yang mengandung arti sebagai
karakter atau adat istiadat. Dewasa ini kata ‘‘ethos’’ sering dipergunakan
untuk menunjukkan perbedaan tentang watak, karakter atau sikap seseorang, termasuk
sosio-budaya kelompok tertentu. Menurut Robert C. Salomon, seorang pakar
filsafat, secara etimologi etika mengupas pelbagai persoalan mendasar dari,
yakni:
1)
Karakter seseorang, yang mencakup mengenai apa yang di maksud
dengan orang baik itu; dan
2)
Aturan sosial, yang mengatur dan membatasi perilaku seseorang, terutama aturan-aturan pokok yang berkenaan
dengan ‘‘baik’’ dan ‘‘buruk’’, yang dikenal dengan moralitas.
Para pakar filsafat biasanya
membedakan antara istilah etika dengan moralitas, dimana istilah moralitas
digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan persoalan perilaku manusia,
sedangkan etika (nilai susila) digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan
dengan studi dan/atau ilmu yang mempelajari tentang aspek moralitas. Ditinjau
dari sudut pandang ini, moral dan akhlak menunjuk pada perilaku, sedangkan
etika dan susila merupakan bagian garapan studi dan/ atau ilmu tentang
perilaku, adapun perilaku bermoral (bersusila) merupakan kaidah yang diikuti oleh
seseorang. Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa moralitas adalah sistem
nilai tentang bagaimana seseorang hidup secara baik sebagai manusia. Sistem
nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, peraturan, perintah,
dan semacamnya yang di wariskan secara
turun temurun melalui agama atau religi dan kebudayaan tertentu tentang
bagaimana manusia harus hidup secara berdampingan satu dengan lainnya sebagai
makhluk Tuhan yang baik.
Moralitas adalah tradisi kepercayaan,
baik yang bersumber dari religi ataupun kebudayaan, tentang perilaku yang baik
dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan-aturan atau petunjuk konkrit
tentang bagaimana cara ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup
ini sebagai manusia yang baik, serta bagaimana ia menghindari perilaku-perilaku
yang tidak baik itu. Berbeda dengan
moralitas, etika perlu dipahami sebagai suatu studi dan/ atau ilmu yang
berkenaan dengan nilai atau norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya. Sebagai suatu studi atau cabang filsafat, etika sangat menekankan
pada pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli pelbagai nilai dan
norma moral. Sekaligus permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitannya
dengan nilai dan norma moral yang menentukan dan tertanam dalam sikap dan pola
perilaku manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika
adalah sebuah studi dan/ atau ilmu dan bukan sebuah ajaran apalagi dogma. Yang
menuntut seseorang bertindak normatif tentang bagaimana ia harus hidup dengan
baik adalah moralitas. Sedangkan etika justru melakukan suatu refleksi kritis
atas norma atau ajaran moral tersebut. Secara praktis dapat dikatakan bahwa
moralitas adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana manusia
harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan atau pengejawantahan secara
kritis dan rasional tentang ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya memiliki
fungsi atau peran yang sama, yaitu
memberi orientasi tentang bagaimana dan
kemana seseorang harus melangkah dalam hidup ini. Dalam suatu rumusan pertanyaan
singkat, perbedaan antara moralitas dan etika terungkap dalam suatu kalimat,
yakni ‘‘Inilah cara anda harus melangkah’’.
Sedangkan etika justru mempersoalkan, yakni ‘‘Apakah anda harus melangkah dengan cara itu?” dan ‘‘Mengapa anda harus melangkah
dengan cara itu?”
Dengan perkataan lain, moralitas adalah sebuah ‘‘pranata’’, yakni sistem perilaku yang secara
sosial bersifat resmi yang berupa adat istiadat dan norma yang mengatur
perilaku itu, berikut seluruh kelengkapannya, guna memenuhi berbagai kompleks
kebutuhan manusia dalam masyarakat seperti halnya agama, politik, dan bahasa yang
sudah ada sejak dahulu kala dan di wariskan secara turun temurun. Sebaliknya,
etika adalah sikap kritikal dari setiap pribadi atau kelompok dalam mewujudkan
moralitas tersebut. Maka tidak perlu heran jika moralitas dalam suatu
masyarakat bisa saja sama, tetapi sikap etis bisa berbeda antara satu orang
dengan orang lainnya meskipun mereka berada dalam suatu masyarakat yang sama. Begitu
pula antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ada orang yang menganut moralitas begitu
saja sesuai dengan kebudayaan atau agama
mereka. Tetapi ada juga orang yang tidak puas dengan hanya sekedar menyesuaikan
diri dengan moralitas dari masyarakatnya. Kelompok orang seperti terakhir ini, mungkin
saja secara kritis mengajukan berbagai pertanyaan berikut ini:
·
Apakah
berbagai hal yang dilarang oleh masyarakat itu memang benar-benar hal yang
buruk?
·
Apakah
yang dinilai tinggi oleh masyarakat itu memang benar-benar baik?
·
Mengapa
saya harus bertindak begini dan tidak boleh begitu?
·
Mengapa
saya harus jujur?
·
Apakah
saya harus jujur dalam segala situasi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah
sebagian contoh yang menuntut sikap kritis dan rasional dalam mewujudkan norma-norma
moral, dan itulah yang disebut dengan etika. Sebagaimana telah disinggung
diatas, dalam situasi dunia bisnis sekarang ini, terkadang sulit untuk menyandingkan kata etika dan bisnis secara berdampingan dalam kalimat
yang padu. Paling tidak ketika keuntungan bisnis terancam, maka etika bisnis
sering dikorbankan. Adakalanya dalam suatu tekanan krisis
ekonomi atau situasi krisis lain yang sangat sulit misalnya, maka memperbincangkan
mengenai etika bisnis malah sering dipandang sebagai hal yang "naif", yakni berupa anjuran untuk bermain
menurut aturan, terlebih lagi
mengajukannya sebagai alternatif solusi atau resolusi. Padahal dewasa ini justru terdapat desakan,
bahwa etika bisnis harus menjadi bagian dari setiap bisnis yang
sukses. Malah untuk sebagian
kalangan yang telah menyadari urgensinya, bisnis dan etika mutlak harus bergandengan tangan dalam meraih sukses dan keuntungan. Sebagaimana etika itu penting untuk pegangan hidup, maka
etika pun penting pula dalam bisnis. Seperti
yang terkandung dalam pomeo, “perlakukan orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”, maka dalam hal meningkatkan
kepercayaan, penghargaan
dan belas kasih merupakan
landasan kualitas bisnis yang harus diwujudkan
jika ingin sukses.
Agaknya jargon tersebut jauh lebih mudah dilaksanakan untuk pelaku bisnis kecil, seumpama menganyam motif tenunan etika ke dalam
kain bisnis mereka. Namun perlu tetap optimis bahwa banyak bisnis berskala besar yang menggunakan etika kepemimpinan untuk meraup keuntungan. Agaknya untuk dewasa ini, suatu bisnis bisa meraih sukses dengan berpegang pada etika. Bahkan, dari beberapa data terakhir, ternyata bahwa bisnis yang paling sukses di
dunia adalah juga bisnis yang paling etis.
Salah satu alasan penting mengapa
bisnis perlu mempraktekkan etika bisnis adalah adanya desakan dari konsumen untuk melakukan kegiatan bisnis yang berbasis nilai atau manfaat. Dengan demikian bagaimana para pelaku bisnis secara sungguh-sungguh
melakukan kegiatannya dengan memadukan bisnis dengan etika secara sinkron? Salah satu upaya terpenting adalah dengan melaksanakan model
kepemimpinan bisnis melalui keteladanan. Memimpin dengan keteladanan, sama dengan menyediakan jenis kepemimpinan yang menginspirasi
orang di sekitar bisnis
untuk bekerja dengan kejujuran,
integritas, dan kualitas. Dalam
hal ini perlu terbangun suatu etos kerja dimana
mereka mengikuti jejak langkah para pemimpin dan/ atau pemilik. Tentu
saja dalam hal ini seorang pemimpin berkepentingan untuk memberikan penghargaan
terhadap setiap pelaku bisnis yang telah melakukan suatu perbuatan dengan
benar. Yaitu mereka yang ketika mengambil suatu keputusan, tidak
hanya mempertimbangkan kelancaran
arus keuangan semata, akan tetapi
juga mempertimbangkan
aspek dampak sosial dan lingkungan dari suatu keputusan yang diambilnya,
yakni mendorong seluruh para pelaku
bisnis untuk memiliki pola pikir keseimbangan yang memadukan antara faktor
bisnis dan etika. Tentu saja tidak perlu menghadapkan mereka pada dilema
filosofi etika yang rumit yang menghadapkan mereka pada posisi pilihan yang
sulit. Maka ciptakanlah suatu suasana yang mudah dan kondusif dimana para
pelaku bisnis ringan mengerjakan keduanya secara berbarengan antara tindakan
bisnis dan etis, tanpa perlu dipertentangkan sehingga mudah untuk menjalani
keduanya. Diantaranya adalah dengan melibatkan mereka sebagai relawan dan mengambil bagian dalam misi amal korporasi (corporate
social responsibility) dengan mendorong mereka untuk berpartisipasi penuh. Antara bisnis dan etika tidak selalu harus ditempatkan pada ranah
perbincangan yang eksklusif. Bagi bisnis berskala kecil, apalagi dalam keadaan baru
merintis, terdapat kesempatan luar biasa untuk melakukan keduanya dengan benar
langsung dari awal. Yaitu
dengan sengaja menciptakan suatu tantangan untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis dibangun pada
nilai-nilai
etika yang terus
akan dipertahankan dan teruji pada suatu kurun waktu.
Suatu perkembangan
menarik pada akhir-akhir ini adalah kegiatan bisnis dengan memanfaatkan
teknologi media sosial seperti facebook
dan twitter, yang justru kental dengan aroma etika, dimana aspek hubungan
sosial menjadi penting peranannya, tidak lagi pada pengutamaan bisnis
transaksional. Dalam konteks ini telah berkembang model konsep ekonomi hadiah (gift economics), untuk meraih sukses di
arena bisnis melalui media online.
Untuk memahami konsep ekonomi hadiah, bisa mengambil contoh dari seorang
mahasiswa yang pindah ke tempat kontrakan baru dengan mengerahkan
teman-temannya untuk membantu kepindahannya. Ketika teman-teman sang mahasiswa
ikut membantu proses kepindahan itu, biasanya setelah selesai sang mahasiswa
menyampaikan bentuk rasa terima kasih atau penghargaan dengan mentraktir teman-temannya
di suatu cafe. Berbeda dengan ketika
kita mengerahkan orang-orang profesional maka faktor penghargaannya adalah
uang. Saat sang mahasiswa mentraktir teman-temannya, ia tengah beroperasi dalam
area ekonomi hadiah, yang juga dapat digunakan sebagai penggerak dalam ekonomi
pasar. Keduanya, baik ekonomi pasar dan ekonomi hadiah adalah merupakan sistem
pertukaran, namun terdapat tiga hal perbedaan mendasar. Pertama, dalam konteks ekonomi pasar, fokus utamanya adalah pada
transaksi. Dalam ekonomi hadiah, fokus utamanya adalah pada hubungan atau
relasi. Nilai suatu barang dan/ atau
jasa tidak hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan, atau diukur dengan
harga pasar. Sebaliknya, suatu nilai dapat dibangun dari hubungan antara
pemberi dan penerima serta sejauh mana makna tersebut dapat meningkatkan respek
dan perbuatan baik yang diterima oleh budaya suatu masyarakat. Kedua, mata uang sosial. Dalam ekonomi
pasar, orang menggunakan nilai tukar mata uang sebagai alat transaksi keuangan.
Dalam ekonomi hadiah, orang menggunakan mata uang sosial. Tujuan dari mata uang
sosial tidak untuk melaksanakan transaksi keuangan, akan tetapi untuk mengekspresikan
suatu hubungan atau relasi. Mata uang sosial tidak memiliki harga yang
ditetapkan di pasar. Pada contoh tadi, mentraktir di cafe adalah mata uang sosial.
Pernyataan di facebook dengan
mengklik "like" adalah mata
uang sosial, namun ketika teman sang mahasiswa yang membantu kepindahan tadi
datang dari jauh, tentunya wajar jika kita memberi uang pengganti bensin
sebagai tambahan. Namun titik kunci dari mata uang sosial adalah bahwa konteksnya
bersifat relasional, bukan transaksional. Meski kita mengeluarkan juga nilai
moneter sebagaimana contoh tersebut, maka tidak berarti hal itu tidak bisa menjadi
mata uang sosial. Ketiga, status. Suatu
status dalam ekonomi hadiah adalah bahwa suatu status diperoleh dan bukannya
dibeli. Dalam banyak tradisi budaya, moralitas ini banyak diajarkan, bahwa
suatu status diberikan bukan karena orang itu kaya raya, melainkan karena orang
itu berjasa kepada masyarakat. Dengan demikian, media sosial secara fundamental
membangun moralitas relasional yang terkandung dalam ekonomi hadiah. Dalam
konteks ini orang terpicu untuk mengembangkan hubungan, dan bukanlah melakukan
transaksi. Mereka bertukar mata uang sosial, bukan mata uang moneter, dimana
suatu status diperoleh dan tidak dibeli. Hal ini menjelaskan mengapa akhir –
akhir ini, banyak merek suatu produk yang berjuang dengan menggunakan sarana media
sosial. Sementara pada ekonomi pasar, para pelaku bisnis harus fokus sepenuhnya
pada transaksi keuangan, disamping membeli status serta mendorong daya saing produk
dan promosi. Merek produk yang sukses di media sosial mengikuti prinsip-prinsip
ekonomi hadiah. Mereka membangun hubungan, mendapatkan status, dan membuat mata
uang sosial. Dengan demikian adanya tren perkembangan media sosial di dunia
maya, telah mulai memutus simpul-simpul rantai bisnis konvensional melalui
ekonomi pasar, dimana konteks relasional, respek, persaudaraan dan kebersamaan
– sebagai ciri dari prinsip-prinsip etika – telah menjadi tren yang
menyebarluas ke seantero dunia sebagai alternatif sarana lain dalam berbisnis
yang memberi harapan dan optimisme yang besar di abad mendatang. Quo vadis etika bisnis!
Jakarta, 17 Agustus 2012
Faisal Afiff