.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Rabu, 15 Agustus 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Urgensi Etika Dalam Bisnis


URGENSI ETIKA DALAM BISNIS

Setiap orang memiliki pengertian masing-masing dalam memaknai istilah bisnis, terlepas dari sisi kebaikan maupun sisi keburukannya, seiring dengan kesibukkan dirinya dalam menjalani kegiatan bisnis sehari-hari yang banyak menyita waktu. Saat ini banyak orang terlibat dengan urusan bisnis, baik dalam kapasitas mereka selaku wirausahawan, investor, pengelola, pekerja ataupun sebagai pengguna barang dan/ atau jasa dari bisnis tersebut. Sehingga untuk menjernihkan istilah bisnis adakalanya menjadi sulit, karena mereka keburu memiliki sudut pandang sendiri, baik karena latar belakang ilmu yang berbeda, ataupun karena adanya perbedaan pengalaman dalam menjalani kegiatan bisnis. Terlebih lagi bagi kalangan awam, pemaknaan dan penggunaan istilah bisnis semakin beragam lagi.
            Sehubungan dengan hal itu, ada baiknya pengertian tentang istilah bisnis didudukkan pada proporsinya, sehingga terdapat kesesuaian antara teks dan konteksnya, sebagaimana  terungkap berikut ini,  yaitu :
1)     Viewed in a broad way, the term business is typically refer to “the development and processing of economic values in society’’. (Davis & Blomstrom, 1975).
2)     Business is the organized effort of individuals to produce and sell for a profit,   the goods and services that satisfy society’s needs. The general terms of business refers to all such effort within a society or within an industry. (Hughes & Kapoor dalam Buchori Alma, 1992).
3)     Business is an organization that provide goods and services to earn profits. (Griffin & Ebert, 2004).
4)     Business is an economic system in which goods and services are exchanged for one another or money, on the basis of their perceived worth. Every business requires some form of investment and a sufficient number of customers to whom its output can be sold at profit on a consistent basis. (BusinessDictionary.com).
5)     A Business (also known as enterprise or firm) is an organization engaged in the trade of goods, services, or both to consumers. Businesses are predominant in capitalist economics, where most of them are privately owned and administered to earn profit to increase the wealth of their owners. Businesses may also be not for profit or state-owned. A business owned by multiple individuals may be referred to as a company, although that term also has a more precise meaning.  (Wikipedia, the free encyclopedia).
Dari berbagai deskripsi bisnis yang dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah bisnis merupakan segala kegiatan manusia, baik yang terorganisir atau tidak, untuk menciptakan suatu nilai ekonomi (barang dan/ atau jasa) yang ditawarkan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Meskipun tujuan bisnis tidak selalu bermaksud meraih keuntungan, akan tetapi pada kebanyakan organisasi bisnis non-pemerintah (private business) tujuan utamanya jelas adalah perolehan keuntungan atau surplus. Sejalan dengan meningkatnya ragam kebutuhan dan keinginan masyarakat, maka meningkat pula ragam kegiatan bisnis seiring dengan keragaman permintaan masyarakat akan barang dan/atau jasa. Pada akhirnya kondisi dan situasi tersebut menciptakan dinamika bisnis yang semakin kompetetif diantara para pelaku bisnis dalam suatu sektor industri.
            Implikasi lebih lanjut dari meningkatnya intensitas persaingan, menimbulkan ekses di kalangan para pelaku bisnis untuk melakukan suatu kegiatan yang menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan semaksimal mungkin, atau dalam rangka survival di tengah lingkungannya – baik makro maupun mikro - dimana bisnis beroperasi. Dalam kondisi demikian, timbul pelbagai macam sorotan terhadap persoalan etika dalam kaitannya dengan praktik bisnis. Walaupun formula etika bisnis secara verbal terkesan mudah, yaitu business ethics is simply the application of general ethical rules to business behavior, namun sehubungan dengan intensitas persaingan yang semakin tajam, maka implementasi etika dalam bisnis membutuhkan suatu perjuangan. Tentu saja bagi kalangan praktisi bisnis, menciptakan suatu keuntungan bisnis merupakan prioritas agar tetap dapat bertahan hidup. Tanpa menjanjikan keuntungan, suatu bisnis akan dianggap tidak menarik lagi, apalagi untuk merangsang suatu investasi.
Para praktisi bisnis pun menyadari bahwa suatu pelanggaran etika dalam praktik bisnis bukanlah pilihan, namun prioritas meraup keuntungan adalah hal yang terpenting. Sehingga menjaga keseimbangan antara praktik bisnis dan etika, tidak selalu mudah untuk diwujudkan. Meskipun penanaman konsep etika bisnis dikalangan para pelaku bisnis tetap dijalankan sebagai kebijakan korporasi, yang diharapkan terbangun suatu kode moral tentang "benar dan salah", namun ketika dihadapkan pada konteks dan tantangan yang lebih nyata,  yakni adanya tuntutan tanggung jawab sosial yang lebih luas, maka timbul suatu dilema yang tidak mudah untuk dipecahkan. Dengan demikian penekanan pada faktor keuntungan dapat menyisihkan isu-isu etis yang lebih luas, yang pada gilirannya dapat berseberangan dengan arus tuntutan masyarakat. Padahal dalam konteks bisnis nasional terlebih multinasional misalnya, keuntungan yang diperoleh dapat digunakan untuk manfaat yang lebih luas, meski pelaksanaan prinsip-prinsip etis secara murni belum mungkin dapat diterapkan sepenuhnya. Terlebih di kancah bisnis abad ke-21, tuntutan konsumen terhadap praktik - praktik bisnis terasa semakin meningkat. Dalam kaitan ini para pelaku bisnis pun berupaya menyesuaikan aktivitas bisnisnya agar lebih dipercaya oleh konsumen, misalnya dengan membayar upah diatas minimum, menjaga keselamatan para pekerja dan mengutamakan prinsip nilai kejujuran dan integritas, sebagai upaya menumbuhkan kesan positif. Dalam konteks ini penerapan etika bisnis menjadi lebih penting, dan lebih penting lagi untuk memahami bahwa hal tersebut bukan suatu hal yang perlu dipertentangkan, bahkan prinsip-prinsip etika akan kondusif dalam mendukung pencapaian keuntungan dan dapat meningkatkan turnover yang lebih besar. Maka menciptakan citra bisnis positif adalah hal penting untuk meraih sukses. Kenaikan harga pangan dan energi di Inggris misalnya, dapat membantu pelaku bisnis atau perusahaan meningkatkan keuntungan mereka, namun pada saat itu tidak ada cara lain selain menciptakan praktik bisnis dengan citra  bisnis yang etis. Strategi pemasaran, khususnya kampanye periklanan yang berhasil adalah para pelaku bisnis yang mampu menggugah cara pandang dan perasaan etikal di kalangan konsumen. Dan seorang pelaku bisnis yang baik akan dapat "mengeksploitasi" sisi etikal ini dalam kegiatan bisnis untuk menghasilkan keuntungan sekaligus memahami tanggung jawab mereka saat berdampingan bersama prinsip-prinsip bisnis. Untuk saat ini, tidak ada cara ampuh yang dapat berhasil memasarkan produk dan sekaligus menciptakan merek besar dengan sukses selain menggunakan bisnis berbasis etis ini.
            Masyarakat modern, secara langsung atau tidak, pada dasarnya telah mendorong praktik bisnis ke dalam kancah permasalahan yang sangat rumit, yang pada waktu sebelumnya mungkin tidak terbayangkan. Pada waktu-waktu sebelumnya, mungkin hubungan antara bisnis, masyarakat dan lingkungannya tampak lebih sederhana dibandingkan dengan yang terjadi dewasa ini. Meskipun pada saat terdahulu masalah yang berkenaan di seputar bisnis juga relatif rumit, akan tetapi karena jumlah, ragam dan intensitasnya relatif kecil dan rendah, maka permasalahan tersebut masih memungkinkan untuk ditangguhkan atau bahkan diabaikan dengan mudah tanpa menimbulkan gangguan serius bagi kelangsungan hidup suatu bisnis. Akhir-akhir ini, di dalam lingkungan bisnis tampaknya telah terjadi suatu pergeseran tajam yang mengarah pada permasalahan sosial yang tercermin dari adanya tuntutan masyarakat atau publik terhadap para pelaku bisnis. Sebagai konsekuensi dari kompleksitas dan ruang lingkup kegiatan bisnis yang semakin banyak menyentuh pelbagai aspek kehidupan masyarakat, maka tuntutan masyarakat lebih tertuju pada para pelaku bisnis.
            Secara historis bisnis memiliki misi ekonomi dan perannya sangat melekat hanya pada kepentingan materialistik semata, yang pada akhirnya bisnis dianggap kurang mengindahkan aspek etika yang sering mengundang kritik dan reaksi publik. Sehubungan dengan hal itu, kandungan etika bisnis sering dibahas berkaitan dengan beberapa persoalan yang menyangkut kegiatan bisnis dalam kaitannya dengan kepentingan publik. Karenanya, fokus pembahasan awal etika bisnis diarahkan pada pemahaman konsep etika, moralitas dan sistem nilai, etika dalam bisnis, prinsip-prinsip bisnis yang etis, serta persoalan yang di hadapi dunia bisnis sewaktu menerapkan konsep etika dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Bahkan akhir-akhir ini para pelaku bisnis sering dituding banyak melakukan tindakan-tindakan yang kurang etis. Tentunya dampak dari hal ini eksistensi  bisnis menjadi rawan akan tudingan negatif.
            Ditelusuri dari akar katanya, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu  ‘‘ethos’’ yang mengandung arti sebagai karakter atau adat istiadat. Dewasa ini kata ‘‘ethos’’ sering dipergunakan untuk menunjukkan perbedaan tentang watak, karakter atau sikap seseorang, termasuk sosio-budaya kelompok tertentu. Menurut Robert C. Salomon, seorang pakar filsafat, secara etimologi etika mengupas pelbagai persoalan mendasar dari, yakni:
1)     Karakter seseorang, yang mencakup mengenai apa yang di maksud dengan orang baik itu;  dan
2)     Aturan sosial, yang mengatur dan membatasi perilaku seseorang,   terutama aturan-aturan pokok yang berkenaan dengan ‘‘baik’’ dan ‘‘buruk’’, yang dikenal dengan moralitas.
Para pakar filsafat biasanya membedakan antara istilah etika dengan moralitas, dimana istilah moralitas digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan persoalan perilaku manusia, sedangkan etika (nilai susila) digambarkan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan studi dan/atau ilmu yang mempelajari tentang aspek moralitas. Ditinjau dari sudut pandang ini, moral dan akhlak menunjuk pada perilaku, sedangkan etika dan susila merupakan bagian garapan studi dan/ atau ilmu tentang perilaku, adapun perilaku bermoral (bersusila) merupakan kaidah yang diikuti oleh seseorang. Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seseorang hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, peraturan, perintah, dan   semacamnya yang di wariskan secara turun temurun melalui agama atau religi dan kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara berdampingan satu dengan lainnya sebagai makhluk Tuhan yang baik.
Moralitas adalah tradisi kepercayaan, baik yang bersumber dari religi ataupun kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan-aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana cara ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, serta bagaimana ia menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik itu.  Berbeda dengan moralitas, etika perlu dipahami sebagai suatu studi dan/ atau ilmu yang berkenaan dengan nilai atau norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai suatu studi atau cabang filsafat, etika sangat menekankan pada pendekatan yang kritis dalam melihat dan menggumuli pelbagai nilai dan norma moral. Sekaligus permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitannya dengan nilai dan norma moral yang menentukan dan tertanam dalam sikap dan pola perilaku manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etika adalah sebuah studi dan/ atau ilmu dan bukan sebuah ajaran apalagi dogma. Yang menuntut seseorang bertindak normatif tentang bagaimana ia harus hidup dengan baik adalah moralitas. Sedangkan etika justru melakukan suatu refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut. Secara praktis dapat dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana manusia harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan atau pengejawantahan secara kritis dan rasional tentang ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya memiliki fungsi atau peran yang sama,  yaitu memberi  orientasi tentang bagaimana dan kemana seseorang harus melangkah dalam hidup ini. Dalam suatu rumusan pertanyaan singkat, perbedaan antara moralitas dan etika terungkap dalam suatu kalimat, yakni ‘‘Inilah cara anda harus melangkah’’. Sedangkan etika justru mempersoalkan, yakni ‘‘Apakah anda harus melangkah dengan cara itu? dan ‘‘Mengapa anda harus melangkah dengan cara itu?”
            Dengan perkataan lain, moralitas adalah sebuah ‘‘pranata’’, yakni sistem perilaku yang secara sosial bersifat resmi yang berupa adat istiadat dan norma yang mengatur perilaku itu, berikut seluruh kelengkapannya, guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat seperti halnya agama, politik, dan bahasa yang sudah ada sejak dahulu kala dan di wariskan secara turun temurun. Sebaliknya, etika adalah sikap kritikal dari setiap pribadi atau kelompok dalam mewujudkan moralitas tersebut. Maka tidak perlu heran jika moralitas dalam suatu masyarakat bisa saja sama, tetapi sikap etis bisa berbeda antara satu orang dengan orang lainnya meskipun mereka berada dalam suatu masyarakat yang sama. Begitu pula antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.      Ada orang yang menganut moralitas begitu saja sesuai dengan  kebudayaan atau agama mereka. Tetapi ada juga orang yang tidak puas dengan hanya sekedar menyesuaikan diri dengan moralitas dari masyarakatnya. Kelompok orang seperti terakhir ini, mungkin saja secara kritis mengajukan berbagai pertanyaan berikut ini:
·        Apakah berbagai hal yang dilarang oleh masyarakat itu memang benar-benar hal yang buruk?
·        Apakah yang dinilai tinggi oleh masyarakat itu memang benar-benar baik?
·        Mengapa saya harus bertindak begini dan tidak boleh begitu?
·        Mengapa saya harus jujur?
·        Apakah saya harus jujur dalam segala situasi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagian contoh yang menuntut sikap kritis dan rasional dalam mewujudkan norma-norma moral, dan itulah yang disebut dengan etika. Sebagaimana telah disinggung diatas, dalam situasi dunia bisnis sekarang ini, terkadang sulit untuk menyandingkan kata etika dan bisnis secara berdampingan dalam kalimat yang padu. Paling tidak ketika keuntungan bisnis terancam, maka etika bisnis sering dikorbankan. Adakalanya dalam suatu tekanan krisis ekonomi atau situasi krisis lain yang sangat sulit misalnya, maka memperbincangkan mengenai etika bisnis malah sering dipandang sebagai hal yang "naif", yakni berupa anjuran untuk bermain menurut aturan, terlebih lagi mengajukannya sebagai alternatif solusi atau resolusi.  Padahal dewasa ini justru terdapat desakan, bahwa etika bisnis harus menjadi bagian dari setiap bisnis yang sukses. Malah untuk sebagian kalangan yang telah menyadari urgensinya, bisnis dan etika mutlak harus bergandengan tangan dalam meraih sukses dan keuntungan. Sebagaimana etika itu penting untuk pegangan hidup, maka etika pun penting pula dalam bisnis.  Seperti yang terkandung dalam pomeo, “perlakukan orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”, maka dalam hal meningkatkan kepercayaan, penghargaan dan belas kasih merupakan landasan kualitas bisnis yang harus diwujudkan jika ingin sukses. Agaknya jargon tersebut jauh lebih mudah dilaksanakan untuk pelaku bisnis kecil, seumpama menganyam motif tenunan etika ke dalam kain bisnis mereka. Namun perlu tetap optimis bahwa  banyak bisnis berskala besar yang menggunakan etika kepemimpinan untuk meraup keuntungan. Agaknya untuk dewasa ini, suatu bisnis bisa meraih sukses dengan berpegang pada etika. Bahkan, dari beberapa data terakhir, ternyata bahwa bisnis yang paling sukses di dunia adalah juga bisnis yang paling etis. Salah satu alasan penting mengapa bisnis perlu mempraktekkan etika bisnis adalah adanya desakan dari konsumen untuk melakukan kegiatan bisnis yang berbasis nilai atau manfaat. Dengan demikian bagaimana para pelaku bisnis secara sungguh-sungguh melakukan kegiatannya dengan memadukan bisnis dengan etika secara sinkron? Salah satu upaya terpenting adalah dengan melaksanakan model kepemimpinan bisnis melalui keteladanan. Memimpin dengan keteladanan, sama dengan menyediakan jenis kepemimpinan yang menginspirasi orang di sekitar bisnis untuk bekerja dengan kejujuran, integritas, dan kualitas. Dalam hal ini perlu terbangun suatu etos kerja dimana  mereka mengikuti jejak langkah para pemimpin dan/ atau pemilik. Tentu saja dalam hal ini seorang pemimpin berkepentingan untuk memberikan penghargaan terhadap setiap pelaku bisnis yang telah melakukan suatu perbuatan dengan benar. Yaitu mereka yang ketika mengambil suatu keputusan, tidak hanya mempertimbangkan kelancaran arus keuangan semata, akan tetapi juga mempertimbangkan aspek dampak sosial dan lingkungan dari suatu keputusan yang diambilnya, yakni mendorong seluruh para pelaku bisnis untuk memiliki pola pikir keseimbangan yang memadukan antara faktor bisnis dan etika. Tentu saja tidak perlu menghadapkan mereka pada dilema filosofi etika yang rumit yang menghadapkan mereka pada posisi pilihan yang sulit. Maka ciptakanlah suatu suasana yang mudah dan kondusif dimana para pelaku bisnis ringan mengerjakan keduanya secara berbarengan antara tindakan bisnis dan etis, tanpa perlu dipertentangkan sehingga mudah untuk menjalani keduanya. Diantaranya adalah dengan melibatkan mereka sebagai relawan dan mengambil bagian dalam misi amal korporasi (corporate social responsibility) dengan mendorong mereka untuk berpartisipasi penuh. Antara bisnis dan etika tidak selalu harus ditempatkan pada ranah perbincangan yang eksklusif. Bagi bisnis berskala kecil, apalagi dalam keadaan baru merintis, terdapat kesempatan luar biasa untuk melakukan keduanya dengan benar langsung dari awal. Yaitu dengan sengaja menciptakan suatu tantangan untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis dibangun pada nilai-nilai etika yang terus akan dipertahankan dan teruji pada suatu kurun waktu.
Suatu perkembangan menarik pada akhir-akhir ini adalah kegiatan bisnis dengan memanfaatkan teknologi media sosial seperti facebook dan twitter, yang justru kental dengan aroma etika, dimana aspek hubungan sosial menjadi penting peranannya, tidak lagi pada pengutamaan bisnis transaksional. Dalam konteks ini telah berkembang model konsep ekonomi hadiah (gift economics), untuk meraih sukses di arena bisnis melalui media online. Untuk memahami konsep ekonomi hadiah, bisa mengambil contoh dari seorang mahasiswa yang pindah ke tempat kontrakan baru dengan mengerahkan teman-temannya untuk membantu kepindahannya. Ketika teman-teman sang mahasiswa ikut membantu proses kepindahan itu, biasanya setelah selesai sang mahasiswa menyampaikan bentuk rasa terima kasih atau penghargaan dengan mentraktir teman-temannya di suatu cafe. Berbeda dengan ketika kita mengerahkan orang-orang profesional maka faktor penghargaannya adalah uang. Saat sang mahasiswa mentraktir teman-temannya, ia tengah beroperasi dalam area ekonomi hadiah, yang juga dapat digunakan sebagai penggerak dalam ekonomi pasar. Keduanya, baik ekonomi pasar dan ekonomi hadiah adalah merupakan sistem pertukaran, namun terdapat tiga hal perbedaan mendasar. Pertama, dalam konteks ekonomi pasar, fokus utamanya adalah pada transaksi. Dalam ekonomi hadiah, fokus utamanya adalah pada hubungan atau relasi. Nilai suatu barang  dan/ atau jasa tidak hanya ditentukan oleh penawaran dan permintaan, atau diukur dengan harga pasar. Sebaliknya, suatu nilai dapat dibangun dari hubungan antara pemberi dan penerima serta sejauh mana makna tersebut dapat meningkatkan respek dan perbuatan baik yang diterima oleh budaya suatu masyarakat. Kedua, mata uang sosial. Dalam ekonomi pasar, orang menggunakan nilai tukar mata uang sebagai alat transaksi keuangan. Dalam ekonomi hadiah, orang menggunakan mata uang sosial. Tujuan dari mata uang sosial tidak untuk melaksanakan transaksi keuangan, akan tetapi untuk mengekspresikan suatu hubungan atau relasi. Mata uang sosial tidak memiliki harga yang ditetapkan di pasar. Pada contoh tadi, mentraktir di cafe adalah mata uang sosial.  Pernyataan di facebook dengan mengklik "like" adalah mata uang sosial, namun ketika teman sang mahasiswa yang membantu kepindahan tadi datang dari jauh, tentunya wajar jika kita memberi uang pengganti bensin sebagai tambahan. Namun titik kunci dari mata uang sosial adalah bahwa konteksnya bersifat relasional, bukan transaksional. Meski kita mengeluarkan juga nilai moneter sebagaimana contoh tersebut, maka tidak berarti hal itu tidak bisa menjadi mata uang sosial. Ketiga, status. Suatu status dalam ekonomi hadiah adalah bahwa suatu status diperoleh dan bukannya dibeli. Dalam banyak tradisi budaya, moralitas ini banyak diajarkan, bahwa suatu status diberikan bukan karena orang itu kaya raya, melainkan karena orang itu berjasa kepada masyarakat. Dengan demikian, media sosial secara fundamental membangun moralitas relasional yang terkandung dalam ekonomi hadiah. Dalam konteks ini orang terpicu untuk mengembangkan hubungan, dan bukanlah melakukan transaksi. Mereka bertukar mata uang sosial, bukan mata uang moneter, dimana suatu status diperoleh dan tidak dibeli. Hal ini menjelaskan mengapa akhir – akhir ini, banyak merek suatu produk yang berjuang dengan menggunakan sarana media sosial. Sementara pada ekonomi pasar, para pelaku bisnis harus fokus sepenuhnya pada transaksi keuangan, disamping membeli status serta mendorong daya saing produk dan promosi. Merek produk yang sukses di media sosial mengikuti prinsip-prinsip ekonomi hadiah. Mereka membangun hubungan, mendapatkan status, dan membuat mata uang sosial. Dengan demikian adanya tren perkembangan media sosial di dunia maya, telah mulai memutus simpul-simpul rantai bisnis konvensional melalui ekonomi pasar, dimana konteks relasional, respek, persaudaraan dan kebersamaan – sebagai ciri dari prinsip-prinsip etika – telah menjadi tren yang menyebarluas ke seantero dunia sebagai alternatif sarana lain dalam berbisnis yang memberi harapan dan optimisme yang besar di abad mendatang. Quo vadis etika bisnis!

Jakarta, 17 Agustus 2012
       
                                                                                                   Faisal Afiff

Rabu, 08 Agustus 2012

Rangkaian Kolom Kluster 1: 4 Jurus Kepiawaian Pemimpin Organisasional


4 JURUS
KEPIAWAIAN PEMIMPIN ORGANISASIONAL

Suatu organisasi dapat tegak berdiri, baik bisnis maupun publik,  setidaknya ditopang oleh empat pilar, yakni kepemimpinan, manajemen, komando,  dan pengendalian. Keempat hal tersebut  dianggap penting untuk difahami oleh setiap pemimpin dan manajer dalam rangka mereka menggerakkan suatu organisasi. Apabila keempat hal tersebut digunakan dengan benar, maka suatu kegiatan organisasi  akan tumbuh, sebaliknya jika  digunakan secara tidak benar maka  kegiatan organisasi  akan tenggelam. Tentunya konsep dibalik empat pilar tersebut bukan hal asing bagi kalangan praktisi organisasi –  malah merupakan proses yang melibatkan aktivitas mereka sehari-hari   dimana hampir semua pemimpin menerapkan konsep tersebut  dalam rangka mengembangkan  dan memperkuat organisasi mereka. Tentu saja aktivitas dari keempat pilar tersebut  merupakan konsep yang menyatu dan  bukan suatu proses yang saling  terpisah. Dengan  berpegang pada kombinasi dari keempat pilar itulah suatu organisasi dapat lebih  fokus pada tujuan sekaligus lebih siap menghadapi suatu peluang dan ancaman yang tengah dihadapi, dimana fungsi dari ke empat pilar tersebut adalah :
        Pilar kepemimpinan, yang dapat mendorong aspek hubungan  antar manusia dalam  suatu organisasi, khususnya dalam memotivasi semangat  dan moral tim kerja;
        Sedangkan pilar manajemen, yang berhubungan dengan aspek konseptual suatu organisasi, seperti perencanaan dan pengorganisasian;
        Adapun pilar komando atau arahan, yang menselaraskan aktivitas manusia di dalam suatu organisasi  sejalan dengan visi, misi dan tujuan agar suatu organisasi berjalan lebih efektif; dan
        Dengan adanya pilar pengendalian , maka roda suatu organisasi dapat berjalan lebih efisien.
Manfaat dari keempat pilar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:   Pertama,  komando adalah perintah dimana suatu visi dan misi  perlu ditanamkan pada organisasi untuk mencapai  tujuan. Dalam merumuskan visi dan misi perlu dipikirkan dengan matang  sehingga pada gilirannya dapat dikomunikasikan  dengan jelas kepada anggota atau para pekerja. Untuk mencapai suatu keberhasilan, maka organisasi harus pandai memberikan penghargaan pada anggotanya  agar dapat bertahan hidup dan berprestasi, baik penghargaan yang bersifat  intrinsik maupun ekstrinsik. Suatu visi dan misi juga akan membantu organisasi dalam meningkatkan pembelajaran informal dan membuat organisasi  lebih efektif.  Misalnya untuk saat ini suatu  visi dan misi dapat disosialisasikan melalui media sosial seperti facebook atau twitter. Meski dengan menggunakan media tersebut lebih efisien, namun perlu tetap diingat bahwa media sosial adalah hanya sarana/prasarana dan bukan tujuan akhir. Harus diakui bahwa dengan adanya perkembangan di bidang media sosial, maka interaksi dan komunikasi lebih dimudahkan, khususnya dalam membentuk pembelajaran informal bagi para pekerja atau anggotanya.  Apalagi dewasa  ini suatu visi dan misi tidak selalu harus datang dari atas, melainkan  bisa muncul dari arah manapun dalam struktur hirarki  organisasi. Bahkan pemimpin informal (informal leaders) seringkali merupakan nara  sumber yang baik bagi pembentukan visi dan misi organisasi. Namun ketika suatu visi dan misi membutuhkan dukungan sumber daya, maka biasanya suatu dukungan dibutuhkan dari pemimpin formal. Sebaliknya, suatu pengendalian adalah proses yang digunakan untuk menopang  dan menyediakan struktur dalam rangka organisasi menghadapi suatu ketidakpastian. Adanya suatu visi dan misi biasanya membuahkan perubahan sekaligus  menambah bobot ketegangan pada organisasi.  Ketegangan atau ketidakpastian tersebut segera harus ditangani sehingga mereka tidak menghambat laju kelangsungan suatu organisasi. Misalnya,  adanya tren di bidang media sosial – sebagaimana telah disinggung diatas – maka organisasi dapat memanfaatkan tren perkembangan media sosial terbaru tersebut untuk memungkinkan para pekerja dapat mudah berinteraksi dengan pihak atau orang lain sekaligus membantu proses pembelajaran informal dengan lebih efektif. Namun meski media sosial tersebut dirasa efektif, seorang  pemimpin mungkin tetap perlu mempertanyakan: Apakah media sosial tersebut benar-benar bekerja dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran informal?.  Maka melalui  proses pengendalian perlu dilakukan pengukuran dan evaluasi untuk membuktikan efektivitas media sosial tersebut. Jika proses komando atau arahan lemah sementara proses pengendalian terlalu ketat, maka efisiensi dapat dicapai akan tetapi belum tentu efektivitas dapat dicapai. Dalam hal ini suatu efisiensi tidak dapat dilaksanakan secara terpisah dari upaya menjalankan efektivitas, keduanya perlu dilaksanakan secara terpadu dan seimbang. Sebagai contoh yang sering dialami, adalah dilema disaat krisis ekonomi suatu organisasi harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran di satu sisi, namun disisi yang lain juga terdapat keluhan bahwa mereka akan sulit menemukan para pekerja yang berkualitas. Disinilah kepandaian dibutuhkan dalam melakukan keputusan yang efektif dan sekaligus  efisien diperlukan. Karena terdapat kesan adanya hal yang bersifat paradoksal antara di sisi kaki kiri organisasi harus berhemat, sedang di sisi kaki kanan organisasi harus bersifat “tamak”. Dengan kata lain, jika organisasi  berfikir terlalu efisien maka adakalanya  efektivitas dikesampingkan, padahal disadari  bahwa mereka akan membutuhkan tenaga kerja terlatih di masa depan.
Sedangkan peran perpaduan dari faktor kepemimpinan dan manajemen
lebih berfokus pada sisi konseptualisasi organisasi, seperti perencanaan, penganggaran dan  pengorganisasian, sehingga suatu visi
, misi dan tujuan dapat dicapai. Tentunya perlu dibedakan antara istilah "manajemen" dengan "pengendalian”. Manajemen lebih ditujukan untuk memastikan bahwa sumber daya organisasi dialokasikan dan direalokasikan secara bijak, ketimbang  ambisi untuk mengendalikan orang per orang dalam suatu organisasi. Para manajer  tahu persis bahwa upaya untuk mengendalikan orang lain secara individual akan jauh lebih sulit, untuk tidak mengatakan sebagai upaya yang mustahil. Dengan demikian peran manajemen dalam membantu organisasi untuk memperoleh, mengintegrasikan, serta  mengalokasi dan/ atau relokasikan sumber daya dalam rangka tugas organisasi mencapai tujuan. Kembali ke contoh di atas dalam hal meningkatkan pembelajaran informal dengan memanfaatkan tren media sosial terbaru, maka para manajer perlu tetap melihat pada tujuan dan bukan pada alat. Tujuan organisasional sebenarnya adalah meningkatkan pembelajaran informal dan interaksi antar manusia dalam rangka menjadikan para pekerja lebih efektif, namun tidak berarti memindahkan pekerjaan ke dalam media sosial. Jika alat berubah menjadi tujuan, maka kebijakan yang salah dapat menurunkan manfaat dan nilai media sosial tersebut sebagai alat pembelajaran informal. Misalnya, masih sulit bagi seorang pekerja di perusahaan untuk mengajukan pertanyaan tentang pekerjaannya melalui twitter, karena dapat dinilai terlihat bodoh atau percakapan dapat terpantau para pesaing  sehingga diketahui tentang langkah yang akan dilakukan. 
Kedua, jika seseorang terlalu bergantung pada alat, maka pilihan terhadap kemungkinan lain dikesampingkan, sehingga terbentuk sekat yang menghalangi ruang di mana orang masih memerlukan bertemu secara bertatap muka. Padahal proses kepemimpinan lebih banyak berkaitan dengan hubungan interpersonal sebagaimana halnya peran instruktur atau pelatih, guna menanamkan semangat organisasi untuk bersinergi dan memenangkan persaingan. Meskipun ke-empat pilar organisasi memiliki fungsi atau tugas masing-masing, namun hal tersebut tidak dilaksanakan secara terpisah. Misalnya  dalam rangka memanfaatkan tren media sosial baru dalam meningkatkan pembelajaran informal, dan hal ini terdiri dari:
·        Arahan tentang visi, misi, dan tujuan dapat  dikomunikasikan langsung terhadap orang-orang terbaik yang cepat memahami dan cakap untuk menerapkannya. Melalui proses ini para pekerja dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan pengetahuan baru sehingga kemurnian visi, misi, dan tujuan terjaga;
·        Memudahkan manajemen dalam mengalokasi dan/ atau relokasikan sumber daya serta mengatur kegiatan yang akan direalisasikan sebagai suatu proses berkelanjutan dalam suatu aktivitas terpadu;
·        Membantu proses kepemimpinan dalam membimbing, melatih, dan memotivasi orang untuk melakukan hal terbaik dalam seluruh mata-rantai proses kerja; dan
·        Membantu proses pengendalian  sehingga proses tersebut  dapat berlangsung secara lebih efisien.
Tentunya keempat pilar tersebut harus berjalan  selaras  antara satu dengan  lainnya. Jika salah satu pilar terlalu lemah, maka hampir dapat dipastikan laju organisasi akan berjalan secara tidak seimbang. Dengan demikian secara konsisten peran keempat pilar tersebut perlu ditempatkan secara proporsional guna memastikan kesemuanya berada dalam keseimbangan yang memungkinkan suatu organisasi untuk tumbuh dengan prospek yang baik.
Untuk menjaga agar suatu organisasi tetap berjalan seimbang dan dinamis, dibutuhkan kecakapan seorang pemimpin, baik secara perorangan maupun tim kerja untuk menempuh proses pembelajaran secara terus menerus. Dalam hal ini suatu model kepemimpinan dapat membantu organisasi untuk memahami apa yang membuat para pemimpin bertindak seperti yang diharapkan. Dalam hal ini kepemimpinan yang berpengalaman mudah menyadari bahwa mereka jangan sampai terjebak ke dalam suatu jenis perilaku saja dalam menghadapi  situasi berbeda-beda yang menuntut pendekatan yang berbeda pula. Dengan demikian, yang dimaksud dengan menjaga keseimbangan tadi merupakan upaya dinamis -situasional, seumpama meniti langkah dalam seutas tali dengan berbekal galah keseimbangan. Maka dalam konteks ini, suatu model pendekatan akan dibahas, yaitu pendekatan dengan empat kerangka. Dengan melalui pendekatan empat kerangka dapat ditunjukkan, bahwa pada dasarnya para pemimpin akan menampilkan perilaku kepemimpinan dalam empat jenis kerangka, yakni melalui pendekatan struktural,  pendekatan sumber daya manusia, pendekatan politik, dan pendekatan simbolis. Dengan model empat kerangka pendekatan ini, maka para pemimpin dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari keempat kategori dan ada kalanya salah satu pendekatan yang tepat akan menjadi kurang tepat pada saat yang lain. Artinya suatu gaya apapun bisa efektif atau tidak tergantung pada situasinya. Mengandalkan hanya pada salah satu dari pendekatan ini akan menjadi tidak memadai, sehingga para pemimpin perlu menyadari akan keberadaan empat pendekatan ini, dan bukan hanya tergantung pada satu atau dua pendekatan saja. Sebagai contoh, selama periode perubahan organisasi, maka gaya kepemimpinan struktural mungkin lebih efektif ketimbang gaya kepemimpinan simbolik, selama periode ketika pertumbuhan yang kuat diperlukan, maka pendekatan simbolik mungkin lebih efektif. Para pemimpin juga perlu mengenali diri sendiri, tentang pendekatan mana yang lebih sesuai dan disukai bagi dirinya. Harus diakui bahwa  masing-masing orang cenderung memiliki pendekatan yang lebih disukai. Seorang pemimpin perlu menyadari akan hal ini setiap saat, bahwa ia sebenarnya lebih menyukai pada salah satu bentuk pendekatan saja. Namun di sisi lain, disukai atau tidak, agar kepemimpinan berjalan efektif, seorang pemimpin adalah seorang arsitek sosial yang harus mampu menggunakan analisis dan disain gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi. Sementara dalam situasi kepemimpinan yang tidak efektif, seorang pemimpin adalah seorang tiran kecil yang hanya memaksakan pada salah satu jenis pendekatan saja. Pemimpin dengan pendekatan struktural lebih berfokus pada struktur, strategi, lingkungan, pelaksanaan, eksperimen, dan adaptasi. Adapun pemimpin dengan  pendekatan sumber daya manusia, akan lebih berfokus  pada kerangka  bahwa pemimpin adalah seorang katalisator yang memberikan dukungan, semangat, advokasi, dan pemberdayaan. Pemimpin dengan pendekatan sumber daya manusia percaya bahwa dengan berkomunikasi orang dapat diyakinkan, mudah diakses, diberdayakan, berpartisipasi, memberikan dukungan, berbagi informasi, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga suatu sinergi kerjasama terbentuk dalam suatu organisasi. Sedangkan pemimpin dengan kerangka pendekatan politik, menganggap bahwa suatu kepemimpinan dapat berjalan secara efektif, jika dibangun suatu kerangka koalisi dalam organisasi, melalui advokasi, diplomasi, dan lobbi. Para pemimpin dengan pendekatan politik mampu  mengklarifikasi tentang apa yang mereka inginkan dan apa yang ia dapatkan, dan mereka berfikir dengan kerangka distribusi kekuasaan dan kepentingan, dengan membangun hubungan bersama pemangku kepentingan lainnya, melalui penggunaan  persuasi dan negosiasi dan bahkan menggunakan determinasi dan paksaan hanya jika diperlukan. Adapun kepemimpinan dengan pendekatan kerangka simbolis, beranggapan bahwa suatu kepemimpinan dapat berjalan efektif jika mampu memberikan pencerahan dan inspirasi seumpama “seorang nabi”. Seorang pemimpin simbolis melihat organisasi sebagai panggung atau teater untuk memberikan kesan impresif untuk memainkan peran tertentu; disini para pemimpin menggunakan simbol untuk menarik perhatian, mereka mampu menggugah perasaan dan imajinasi yang membingkai pengalaman guna memberikan interpretasi yang masuk akal, dengan melukiskan visi, misi, dan tujuan dalam kerangka pengalaman dan komunikasi yang mencerahkan. Maka suatu upaya mempertahankan keseimbangan ini penting manakala suatu organisasi sedang  berusaha untuk menciptakan masa depannya sendiri. Dalam  kaitan ini dibutuhkan suatu proses belajar berkelanjutan dan kreatif bagi para pemimpin agar mahir menggunakan pelbagai bentuk pendekatan kepemimpinan dalam organisasi. Karena organisasi juga perlu mengembangkan, menyesuaikan dan mengubah dirinya dalam menanggapi kebutuhan dan aspirasi para pekerja, yaitu berupa tuntutan dari dalam, termasuk juga dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan dari luar organisasi itu sendiri. Melalui proses belajar, memungkinkan orang di semua tingkatan, secara individual maupun tim kerja menghasilkan hal terbaik yang  benar-benar mereka inginkan, baik untuk peningkatan jenjang karir mereka mapun untuk pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. Pentingnya penekanan pada proses belajar, dipicu oleh suatu kesadaran bahwa potensi manusia terletak dalam jantung organisasi yang merupakan kunci bagi keberhasilan organisasi. Terdapat suatu keyakinan bahwa  ketika semua para pekerja dalam organisasi sepenuhnya mampu mengembangkan dan melaksanakan kapasitas dasar mereka sebagai manusia, serta terdapat kesesuaian antara prestasi yang dihasilkan secara pribadi dengan visi dan misi organisasi, maka dengan potensi tersebut terdapat suatu jaminan bahwa suatu tujuan organisasi dapat dicapai. Suatu hasil belajar yang nyata tidak hanya terbatas untuk memahami apa yang diperlukan untuk bertahan hidup atau "belajar adaptif", akan tetapi juga mencakup apa yang  disebut sebagai "belajar generatif", yakni suatu hasil belajar yang dapat memperluas kapasitas manusia untuk menciptakan hasil yang benar-benar diinginkan. Meskipun hasrat pembelajaran merupakan esensi dasar manusia, namun tetap disadari dari waktu ke waktu tuntutan eksternal organisasi senantiasa berubah, sehingga disadari bahwa proses pembelajaran merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Belajar itu sendiri mencakup tiga kegiatan yang berbeda, yang terdiri dari paling tidak tiga hal, yaitu berpikir, berkomunikasi dan bekerjasama. Ketika kapasitas kita untuk berpikir, berkomunikasi dan bekerjasama perlu disempurnakan, maka disitu pulalah kemampuan kita untuk belajar terbuka. Dengan demikian, suatu organisasi yang sadar akan belajar adalah salah satu yang mendorong dan meningkatkan kegiatan bagi para anggotanya sekaligus anggota masyarakat di mana organisasi itu berada.
Dalam suatu organisasi yang benar-benar sukses dan mengutamakan proses pembelajaran, bibit kepemimpinan biasanya datang dari setiap posisi dan penjuru organisasi. Bahkan, sebagian besar kepemimpinan dalam organisasi yang baik  tidak selalu berasal dari anak tangga teratas, malah banyak muncul dari tengah. Hal ini karena adanya cara pandang yang berbeda dalam mendefinisikan fungsi dan struktur dari suatu organisasi, baik sebagai fungsi administrasi, teknis, pendukung, dan sumber daya manusia, bahkan sebagai fungsi kustodian sebagai kesatuan sistem yang berbasis kompetensi. Sehingga jika salah satu fungsi diabaikan atau dianggap sebagai bagian yang tidak penting, maka seluruh organisasi akan menderita. Terlebih jika semua fungsi organisasi dijalankan oleh suatu tim pekerja, dimana di setiap masing-masing tim kerja mensyaratkan pemimpin yang kompeten. Inilah sebabnya mengapa kepemimpinan perlu terdistribusi pada semua tingkatan, dan tidak hanya terkonsentrasi pada level dibagian atas saja. 
Meskipun tidak ada rumus ajaib yang akan menjamin seberapa efektif seseorang dapat menjelma menjadi seorang pemimpin, berikut adalah beberapa wawasan tentang teknik yang dapat membantu suatu organisasi untuk  mendapatkan prognosis yang  diandalkan sehingga  diperoleh calon pekerja dengan sejumlah potensi kepemimpinan melalui pola rekrutasi yang baik, yakni:
1.   Manfaatkan latar belakang kandidat yang akan berdampak pada kemampuan kepemimpinannya. Yaitu dengan mempelajari sifat khusus dari prestasi orang tersebut, serta sejauhmana rasa tanggung jawab yang dimilikinya sehingga ia mengalami kemajuan dalam karirnya serta sifat-sifat kepemimpinannya terpupuk. Perlu diketahui bahwa pemimpin sejati adalah seseorang yang mampu membuat sebuah kesan baik di tempat yang pernah ditinggalinya. Dalam hal ini, perlu mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan seberapa banyak orang yang pernah dipimpinnya dan seberapa baik sumber daya yang dikelola. Sebuah teknik wawancara yang baik, penting untuk menelusuri riwayat obyektif dan untuk mendapatkan suatu data yang spesifik. Mengetahui lebih banyak data-informasi secara detil adalah lebih baik, terutama yang berkenaan dengan aspek prestasi kandidat yang paling dirasa menyenangkan atau memuaskan. Hal ini akan memberi petunjuk - tidak hanya bagi kepentingan kandidat semata -  melainkan juga tentang motivasi diri sendiri dan kemampuannya untuk memotivasi orang lain. Beberapa data penting bisa diperoleh dari pola perilaku yang sering berulang (habit) yang akan memberikan pemahaman  tentang kemampuan calon dalam melaksanakan efektivitas kepemimpinannya untuk  memimpin  organisasi sesuai dengan kebutuhan saat ini dan di masa mendatang;
2.   Berkenaan dengan visi, maka perlu dibuktikan bahwa prestasi masa lalu kandidat menunjukkan bahwa ia adalah seorang visioner yang proaktif. Jika latar belakang kandidat tidak memberikan wawasan yang memadai, maka beberapa pertanyaan kreatif bisa dikembangkan. Diantaranya dengan melihat bagaimana sang kadidat melihat tentang masa depan? Apa yang ia lihat, berikut langkah terbaik ke depan? Seorang pemimpin yang baik mampu mengartikulasikan visi yang jelas, dalam hal ini apakah kandidat memiliki wawasan ke depan dan memiliki pemahaman tentang fungsi organisasi yang cukup, sehingga diprediksi akan mampu mengartikulasikan visinya;
3.   Membuat simulasi lingkungan kepemimpinan: Sebuah cara efektif untuk mendapatkan dan merasakan bagaimana seseorang memiliki kecenderungan sebagai pemimpin adalah dengan menerjunkan  mereka langsung ke dalam lingkungan pekerjaan yang sebenarnya, yang memungkinkan perilku dan tindakannya dapat diobservasi. Atau dengan mengatur sebuah skenario dimana pemimpin masa depan diperlukan oleh organisasi, dengan membiarkan kandidat berinteraksi bersama dengan sesama pekerja potensial dan bekerjasama dengan mereka dalam tim kerja. Bersamaan dengan hal itu, juga diamati bagaimana ia menggunakan potensi keterampilan kepemimpinannya; dan
4.   Kembangkan pemimpin dari kalangan sendiri: pada kenyataannya, cara terbaik organisasi untuk dapat memperoleh pemimpin adalah dengan membangun mereka dari bawah. Sebuah perusahaan kreatif dapat menanam benih bagi pertumbuhan pemimpin internal dengan melembagakan suatu program pelatihan kepemimpinan. Kebijakan lain yang efektif adalah membuka ruang komunikasi terbuka untuk berbagi informasi antara perusahaan dengan para pekerjanya di semua tingkatan. Membiarkan para pekerja mengetahui hasil dan strategi organisasi, serta melibatkan mereka kedalam misi bersama dan arah yang hendak dituju oleh organisasi, sehingga terbentuk budaya organisasi yang mengintegrasikan nilai-nilai kepemimpinan di semua tingkatan organisasi.
            Last but not least, pemahaman terhadap keempat jurus, dan keempat pendekatan kepemimpinan berikut keempat cara memperoleh calon pemimpin yang baik, perlu kita fahami dan diaplikasikan dalam rangka peningkatan produktivitas suatu organisasi, baik organisasi yang bersifat bisnis maupun organisasi yang bersifat publik. Penguasaan terhadap hal tersebut merupakan suatu yang bersifat coditio sini quanon, bagi  kelangsungan dan pengembangan suatu organisasi.
 
Jakarta, 8 Agustus 2012
Faisal Afiff