.


Jumat, 02 September 2011

Back to Human Being


Back to Human Being?

Saat ini organisasi apapun memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap stakeholder internal maupun eksternal, baik dalam cakupan lokal, internasional bahkan cakupan dunia secara keseluruhan. Setiap keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan muncul, pada gilirannya akan menimbulkan  “ledakan” sebelum waktunya, yang dapat “melukai”  kita dan orang lain. 

Dalam dekade terakhir ini, agaknya semua orang setuju dan sepakat untuk memodernisir semua lini keorganisasian dan manajemennya untuk memiliki kemampuan di bidang IT, disertai kelengkapan jaringan perangkat keras dan lunaknya, dengan teknologi yang paling mutakhir sekalipun. Terlebih di dunia Perguruan Tinggi,  perlombaan terjadi untuk berdiri paling depan dalam membawa panji-panji abad informatika dan teknologi informasi. Relasi dan komunikasi personal mulai teredusir dan digantikan menjadi impersonal; wajah-wajah dengan kening mengkerut dan kacamata minus, menjadi pemandangan keseharian individual dibalik  layar komputer. Fenomena yang sudah merata dalam lapisan strata pendidikan, baik ia sebagai dosen, mahasiswa dan tenaga kependidikan dimanapun,  diam-diam telah membuat kita kagum, bahwa pendidikan di negara kita ternyata telah melangkah cukup jauh memasuki era ini.

Dibalik decak kagum akan kemajuan tersebut, terbersit pertanyaan dimanakah wajah-wajah sejati dibalik wajah dingin para peselancar dunia maya ini? Pertanyaan ini menjadi penting, khususnya bagi kita yang sudah lama bergumul dengan dunia pendidikan tinggi.

Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan pada hakikatnya adalah sama sebagai manusia utuh yang masing-masing memiliki keunikan, dan butuh mengekspresikan hasrat manusiawinya. Memang kebutuhan relasi sosial seolah-olah telah dapat diatasi oleh teknologi inter dan intra net dengan menjamurnya penggemar facebook atau twitter di segala lapisan masyarakat. Duduk berjam-jam dibalik layar komputer mungkin dapat mengaktivasi fikiran seseorang sehingga wawasan pengetahuannya bertambah, namun apakah itu terjadi pula terhadap fungsi mental, rasa, emosi, dan intuisi sebagai kesadaran sumber inspirasi kreatif dan daya inovasinya?

Mahasiswa adalah juga manusia biasa, yang tumbuh kembangnya - baik fisik, mental, kepribadian dan wataknya - mengikuti pola umum generasi seusianya, dimana hukum alam mengaturnya sebagai fitrah yang tidak boleh dinafikan. Dari sisi usia, mahasiswa dapat dikategorikan dalam fase transisi, yaitu peralihan dari akhir masa pubertas ke masa dewasa, dimana sebagian turbulensi kepribadiannya mampu diatasi dan sebagian lagi mungkin belum, pencarian identitas dirinya terus berlangsung untuk menemukan format yang pas akan eksistensi jatidirinya sebagai insan yang akan memasuki dunia dewasa.

Perguruan tinggi yang membina manusia-manusia unggul nusantara, jika ingin berhasil dengan baik, patut mencermati dan mempertimbangkan tumbuh-kembang alami mahasiswa sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu ketika ingin mencapai target ambisi prestasi tertinggi, berbagai hal yang berkaitan dengan pembentukan tumbuh-kembang pribadi mahasiswa tidak boleh terabaikan. Selain faktor kognitif-intelektual, secara simultan faktor afektif/ emosi dan psikomotorik mahasiswanya perlu ditumbuhkembangkan secara serasi dan seimbang, begitu pula pembentukan watak kepribadian dan spiritualnya sebagai mahluk homo-religious.

Keseimbangan dan keutuhan  dalam mengembangkan berbagai faktor individual mahasiswa, akan melahirhan manusia unggul yang tidak hanya pintar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi  juga tumbuh pribadi-pribadi dengan jatidiri yang dewasa dan matang yang memiliki jiwa kepemimpinan, dengan prakarsa-prakarsa orisinal dan kreatif. Karena karya yang orisinal akan muncul dari originalitas dan otentisitas kepribadiannya. Oleh karena itu, berbagai faktor yang nampaknya non-kurikuler perlu dipadukan menjadi bagian yang tak terpisahkan kedalam kurikulum secara utuh. Memaksa mahasiswa untuk cepat beralih menjadi manusia tangguh atau unggul, tanpa memberi tempat  bagi persemaian dan perkembangan alami pribadinya, lambat laun akan menjadi ledakan dini yang mencelakakan dirinya, dan melukai orang-orang disekelilingnya. Walaupun kita tengah asik dengan kemajuan teknologi robotik yang akan memudahkan kerja manusia, namun jangan sekali-kali punya gagasan ingin mengubah manusia menjadi robot, yang tentunya bertentangan dengan kodrat, martabat dan fitrah manusia itu sendiri. 

Sebagai sosok manusia yang cacat secara watak dan integritasnya, akan menjadi predator yang saling memangsa satu sama lain, yang tidak peduli dengan kerugian pihak lain. Perbuatannya itu sangat mungkin tidak tersadari oleh dirinya, karena ia hidup di sekat-sekat sempit ruang egonya, sebagai individu teralienasi yang mengalami autis sosial. Di dunia perguruan tinggi, sadar tidak sadar, secara laten kita tengah mengerami benih predator tersebut. Bukankah petaka yang tengah berlangsung di nusantara tercinta ini, adalah salah satu buah dari salahnya penerapan konsep dan perencanaan sistem pendidikan di setiap jenjang?

Last but not least, perlu diingat Rekan akademisi bersama bahwa hal ini hanyalah sekelumit renungan yang dituntut adanya suatu penelitian untuk ditelanjangi kebenarannya. Quo Vadis perguruan tinggi Indonesia?

29 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar