.


Jumat, 02 September 2011

Energi Kepemimpinan


ENERGI KEPEMIMPINAN
“Tugas manusia yang pertama dan paling utama sebagai seorang pemimpin,
adalah mengendalikan  energi dirinya sendiri, dan kemudian membantu
menyelaraskan energi  rekan-rekan kerja yang ada disekitarnya” (Peter F. Drucker)

Faktor kreatifitas sebagai salah satu kunci kebehasilan kepemimpinan, dan juga faktor energi sebagai “amunisi” penggerak aktivitas dan kreativitas kepemimpinan, telah digarisbawahi pada tulisan terdahulu. Khususnya berkenaan dengan faktor “energi”, perlu mendapat perhatian khusus. Mengingat, bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat bekerja secara akseleratif dan berkesinambungan, jika kepribadiannya tidak stabil, mudah drop, berkeluh-kesah, dan tidak tahan dengan tekanan (stress) kerja, meski ia memiliki kualitas kecerdasan yang memadai.
Sigmund Freud yang terilhami oleh para pakar ilmu alam abad ke-19, secara serius memfokuskan studinya berkenaan dengan “energi psikis” sebagai penggerak motivasi atau drive perilaku manusia. Energi psikis atau kepribadian ini menurutnya dapat diubah menjadi energi fisiologis atau tubuh dan sebaliknya. Titik temu antara kedua energi ini terletak pada apa yang ia sebut sebagai “id” beserta insting-instingnya. Insting adalah seberkas atau sebutir energi psikis yang dibutuhkan seseorang pada saat beraktivitas. Terpengaruh oleh faham determinisme dan positivisme, Freud melihat organ manusia sebagai suatu sistem energi yang kompleks. Dimana, dinamika dan stabilitas kepribadian manusia akan sangat ditentukan oleh sejauh mana energi psikisnya disalurkan dan dikendalikan dengan baik, sehingga perilaku manusia tersebut akan menjadi efektif. Freud menyoroti struktur kepribadian manusia sebagai sesuatu yang terlibat dalam pengendalian energi ke dalam unsur unsur yang disebut id, ego dan super-ego. Karenanya efektif atau tidaknya perilaku seseorang, akan tergantung pada cara kerja ketiga unsur tersebut dalam mengendalikan energi manusia. Dalam hal ini, Freud menekankan adanya dominasi energi libidinal atau seksual sebagai motif utama penggerak orang berperilaku, sebagai energi dasar alami manusia sejak lahir yang cenderung pada pemuasan akan kesenangan jika energi-libidinalnya terlampiaskan. Pemahaman akan hal ini masih cukup relevan, dikarenakan tidak sedikit “simtom-simtom” penyimpangan perilaku terjadi di kalangan pemimpin keorganisasian dikarenakan gagal dalam mengendalikan energi sejenis itu.
Dewasa ini, para ahli berusaha mencari potensi energi penyeimbang “yang lebih luhur”, yang dapat meningkatkan martabat manusia, semacam apa yang disebut “energi emosional-spiritual”. Sehingga energi alami-instingtif yang dimiliki manusia tadi perlu diselaraskan dengan energi-fitrah yang bersumber dari ketulusan hati manusia itu sendiri.
Pemahaman akan keberadaan energi kepemimpinan dirasakan semakin penting di era millenium abad ke-21 ini. Adanya keterkaitan  antara “energi inti” dan kepemimpinan terlihat nyata dalam berbagai kegiatan organisasional baik bisnis maupun publik akhir-akhir ini, seperti yang diungkapkan oleh  Herman Simon - CEO Simon, Kucher & Partner -  yang mengatakan: ”…..ciri keberhasilan suatu organisasi bisnis terletak pada pundak para pemimpinnya yang memiliki energi, stamina, semangat, dan kegigihan yang berlimpah dan tidak ada habisnya untuk mendorong kemajuan organisasinya”.
Sejalan dengan hal itu, Robert E. Thayer, salah seorang Profesor dari State California University, mensinyalir adanya 4 (empat) kondisi energi utama yang berkenaan dengan manusia. Pertama, yang disebut dengan Tense-Energy atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik dan energi yang tinggi, dimana manusia terdorong untuk bersemangat mencapai sasaran demi sasaran hampir tanpa henti-hentinya, sampai melupakan waktu untuk beristirahat dan merenung.  Jika kondisi ini berlangsung terus tanpa terkendali bisa menghantarkan ke tepi jurang kehancuran, karena ia terkuras dan kehabisan tenaga yang pada akhirnya akan mengacaukan prioritas dan efektivitas kerjanya.
Kedua, yang disebut dengan Tense-tiredness atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik namun dengan energi yang rendah, dimana hal yang paling tidak diinginkan oleh manusia, dicirikan oleh suasana hati dan kondisi fisik yang lelah secara menyeluruh yang bercampur dengan ketegangan, kegugupan, dan kecemasan. Jika kondisi ini berlangsung terus, manusia dapat terkena depresi, bahkan terseret dalam penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol. Kondisi seperti ini merupakan situasi terburuk dari pudarnya stamina, vitalitas, dan konsentrasi seseorang.
Ketiga, yang disebut dengan Calm-Tiredness atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik dan energi yang rendah, atau suatu kondisi dengan perasaan yang nyaman dan santai, terbebas dari berbagai permasalahan besar diseputar pekerjaannya. Kondisi yang ketiga ini sehat untuk membebaskan diri seseorang dari desakan skedul dan batas waktu kerja, namun suasana yang mirip dengan liburan ini tidak bisa dipertahankan secara terus menerus, khususnya ketika seseorang didesak menyelesaikan target-target pekerjaannya. Perlu diperhatikan, kondisi ini boleh diciptakan untuk sementara waktu saja, demi melonggarkan otot-otot dan ketegangan psikis manusia.
Terakhir, kondisi yang mendekati ideal, yaitu Calm-energi atau suatu kondisi dengan ketegangan fisik maupun non-fisik yang rendah dan energy yang tinggi, dimana kondisi ini sangat tentram dan terkendali, dan hanya sebagian kecil dari manusia yang pernah mengalami hal seperti ini. Perlu diperhatikan, kondisi ini dapat menggantikan kondisi tense-energy, sehingga pikiran dapat lebih waspada, optimis, perasaan tubuh yang damai dan menyenangkan, dibarengi dengan stamina dan kesehatan fisik terbaik. Dalam kondisi seperti ini, cadangan energi mental dan fisik manusia relatif tinggi, serta memiliki kesehatan tubuh dan kecerdasan kreatif yang terbaik dan meningkat. Suatu kondisi mental-emotional overdrive ini dapat dikatakan sebagai suatu sistem pengaturan dan pengendalian upaya yang terencana untuk menghasilkan kinerja yang optimal, sehingga penggunaan energinya berjalan efektif dan efisien.
Pada hakekatnya, manusia perlu memiliki energi yang tinggi, namun bersamaan dengan hal itu, manusia juga perlu merasakan ketenangan, pemahaman yang baik tentang diri sendiri dan dunia sekitarnya, yang sangat berbeda ketika ia tengah lelah dan tegang. Jika manusia dihadapi suatu ketegangan maka jadikan hal itu sebagai ketegangan-kreatif, yaitu suatu keadaan memuncaknya energi yang dirasakan ketika manusia terlibat sepenuh hati dalam suatu pekerjaan.
Oleh karena itu, adanya energi alami-instingtif yang berpadu dengan energi inti yang bersifat spiritual, bila keduanya didampingkan secara dinamis-harmonis, selaras dan seimbang dapat menghasilkan energi kreatif yang sangat dahsyat, dan hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menjalankan roda kepemimpinan.
Energi inti yang tesembunyi dan bersifat spiritual tersebut, menjadi sangat penting sekali untuk dihadirkan ke ruang kerja seseorang, sebagaimana dikemukakan oleh David Whyte,agar membuat jiwa manusia menjadi lebih bahagia dan kreatif, maka perlu menghadirkan unsur-unsur tersembunyi pada diri seseorang ke tempat kerjanya, meskipun hal itu tampak berupa sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan yang tengah dihadapinya ”.
Disadari, sebersit penggugah pendek ini, belum menyentuh aspek-aspek penting lainnya secara lebih mendalam, namun paling tidak bisa mengingatkan kita bersama, - Staf Pimpinan dan Tenaga Pendidik - agar tidak terjebak dengan berbagai sindroma serta iklim dan kondisi kerja yang tidak kondusif, dimana ketegangan meninggi dan bersifat destruktif terhadap upaya pencapaian kinerja kita bersama.

22 Agustus 2011

0 komentar:

Posting Komentar