KREATIVITAS DALAM SIASAT SUN TZU
The Art of War adalah karya siasat militer klasik yang ditulis oleh pemikir
strategi militer Cina, Sun Tzu, sekitar 500 SM, yang ditulis dengan ringkas,
lugas dan padat dengan hanya 7.000 kata-kata yang memiliki pengaruh besar di
seluruh dunia. Karya yang terdiri dari
13 bab ini masing-masing dikhususkan membahas aspek peperangan, dianggap
sebagai karya definitif tentang strategi dan taktik militer yang diminati luas dari
waktu ke waktu, dan wawasan militernya sampai sekarang masih dibaca oleh
perwira militer senior di hampir seluruh negara. Meskipun telah bermunculan strategi
khas abad ini, seperti blue ocean
strategi-nya W. Chan Kim yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Mungkin
dalam perspektif Kim, karya Sun Tzu masuk dalam kategori red ocean sebagai strategi yang berdarah. Perbincangan menarik perbedaan
antara karya Sun Tzu dan W. Chan Kim perlu didiskusikan dalam kesempatan lain, dan
yakin bahwa strategi blue ocean-nya Chan Kim juga diilhami
oleh suasana percaturan politik di masa-masa tradisi pemerintahan raja-raja Korea
masa lalu, sebagaimana yang diputar dalam salah satu serial televisi di tanah
air. “Tidak ada yang baru di bawah sinar matahari”, begitu kata William Shakespeare.
Harus diakui The Art of War adalah karya analisis
tajam tentang perang yang
menakjubkan, suatu langkah strategis tentang bagaimana informasi diperoleh, dianalisis dan menghitungnya
secara ekstensif sebelum dilakukan peperangan. Disamping itu bagaimana memeriksa
faktor-faktor kritis dalam perang serta pentingnya mengenali peluang strategis
dan membatasi ruang gerak musuh. Suatu strategi dan taktik yang menuntut penggunaan
kreativitas, inovasi dan ketepatan waktu dalam membangun momentum kemenangan,
disamping pentingnya mengembangkan sumber-sumber intelijen yang handal dan
kontra intelijen.
Tentu saja dalam dekade terakhir, karya Sun Tzu juga telah mempengaruhi pemikiran di bidang bisnis. Popularitas buku ini terus berkembang dan telah menginspirasi banyak manajer dan pemimpin yang semakin berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip strategi dalam menghadapi tantangan bisnis mereka. Penerapan prinsip seni perang untuk dunia usaha bukan pemetaan konseptual yang sulit, yang lebih dibutuhkan adalah pemetaan dan kelincahan manuver serta penggunaan mata-mata intelijen guna memetakan kekuatan dan kelemahan kompetitor. Namun, yang agak luput dari perhatian publik adalah tentang bagaimana penerapan karya Sun Tzu khusus bagi kegunaan suatu inovasi. Padahal Sun Tzu juga berbicara tentang bagaimana bekerja dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, katakanlah seperti dalam jumlah tentara dan potensi pasukan, dengan mengatur siasat yang lebih efektif dan ampuh untuk mengubah perimbangan kekuatan. Nilai kreatif dari karya Sun Tzu tersebut diperoleh dari pengalaman para pengagumnya.
Yang pertama adalah sebuah pengalaman dari Jenderal Han Hsin (204 SM) yang pernah dipaksa untuk menghadapi tentara yang jauh lebih besar di provinsi Chao, yang dikenal kaya. Ia merencanakan suatu muslihat yang benar-benar brilian. Pertama, sebelum pertempuran, ia melepas satuan kecil kavaleri berjumlah 2000 orang untuk bersembunyi dibalik bukit sampai saatnya dipanggil yang masing-masing ditandai dengan pengenal bendera merah. Kedua, ia mengirimkan sebuah divisi terdiri dari 10.000 laki-laki, dan diperintahkan untuk membentuk garis pertempuran disepanjang Sungai Ti. Jenderal Han percaya bahwa satu-satunya cara agar memikat orang-orang Chao meninggalkan benteng mereka, apabila mereka merasa bahwa suatu kemenangan sudah dekat, dan mereka dapat mendeteksi dari pola bunyi tambur yang ditabuh komandan yang memerintahkan mundur atau melarikan diri. Seolah merasa kewalahan Jenderal Han terjun ke medan perang, meninggikan bendera dan memerintahkan tambur ditabuh yang segera terbaca oleh musuh. Maka terjadilah pertempuran besar yang sengit yang berlangsung selama beberapa waktu, pihak musuh terus mendesak, tiba-tiba para penabuh akhirnya meninggalkan tambur dan bendera di lapangan, dan para pasukan pun mulai ikut melarikan diri. Melihat gelagat ini, Chao dan seluruh tentara bergegas keluar dari benteng mereka untuk mengejar pasukan yang melarikan diri. Pasukan yang lari berhasil bergabung dengan pasukan di tepi sungai yang tengah berjuang hampir putus asa. Pasukan Chao benar-benar melihat bahwa kemenangan sudah berada di depan mata.
Tentu saja dalam dekade terakhir, karya Sun Tzu juga telah mempengaruhi pemikiran di bidang bisnis. Popularitas buku ini terus berkembang dan telah menginspirasi banyak manajer dan pemimpin yang semakin berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip strategi dalam menghadapi tantangan bisnis mereka. Penerapan prinsip seni perang untuk dunia usaha bukan pemetaan konseptual yang sulit, yang lebih dibutuhkan adalah pemetaan dan kelincahan manuver serta penggunaan mata-mata intelijen guna memetakan kekuatan dan kelemahan kompetitor. Namun, yang agak luput dari perhatian publik adalah tentang bagaimana penerapan karya Sun Tzu khusus bagi kegunaan suatu inovasi. Padahal Sun Tzu juga berbicara tentang bagaimana bekerja dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, katakanlah seperti dalam jumlah tentara dan potensi pasukan, dengan mengatur siasat yang lebih efektif dan ampuh untuk mengubah perimbangan kekuatan. Nilai kreatif dari karya Sun Tzu tersebut diperoleh dari pengalaman para pengagumnya.
Yang pertama adalah sebuah pengalaman dari Jenderal Han Hsin (204 SM) yang pernah dipaksa untuk menghadapi tentara yang jauh lebih besar di provinsi Chao, yang dikenal kaya. Ia merencanakan suatu muslihat yang benar-benar brilian. Pertama, sebelum pertempuran, ia melepas satuan kecil kavaleri berjumlah 2000 orang untuk bersembunyi dibalik bukit sampai saatnya dipanggil yang masing-masing ditandai dengan pengenal bendera merah. Kedua, ia mengirimkan sebuah divisi terdiri dari 10.000 laki-laki, dan diperintahkan untuk membentuk garis pertempuran disepanjang Sungai Ti. Jenderal Han percaya bahwa satu-satunya cara agar memikat orang-orang Chao meninggalkan benteng mereka, apabila mereka merasa bahwa suatu kemenangan sudah dekat, dan mereka dapat mendeteksi dari pola bunyi tambur yang ditabuh komandan yang memerintahkan mundur atau melarikan diri. Seolah merasa kewalahan Jenderal Han terjun ke medan perang, meninggikan bendera dan memerintahkan tambur ditabuh yang segera terbaca oleh musuh. Maka terjadilah pertempuran besar yang sengit yang berlangsung selama beberapa waktu, pihak musuh terus mendesak, tiba-tiba para penabuh akhirnya meninggalkan tambur dan bendera di lapangan, dan para pasukan pun mulai ikut melarikan diri. Melihat gelagat ini, Chao dan seluruh tentara bergegas keluar dari benteng mereka untuk mengejar pasukan yang melarikan diri. Pasukan yang lari berhasil bergabung dengan pasukan di tepi sungai yang tengah berjuang hampir putus asa. Pasukan Chao benar-benar melihat bahwa kemenangan sudah berada di depan mata.
Tiba-tiba, ke 2000 pasukan kavaleri yang tadi
disembunyikan di balik bukit yang sepi, memecah keheningan dan dengan kecepatan
kuda menyeruak dari balik bukit, tiba-tiba dengan serangan kilat merobek-robek
bendera musuh dan menggantinya dengan bendera merah Han. Ketika tentara Chao
menoleh dan pengejaran sejenak terhenti,
mereka terkesiap dengan banyaknya bendera-bendera merah memukul dari belakang mereka
dengan teror. Tadinya tentara Chao meyakini bahwa Han telah kalah dan segera
akan dikuasai raja mereka, namun dengan serbuan mendadak ini terjadi kekacauan
dan kepanikan yang hebat, dimana setiap usaha perlawanan yang dilakukan menjadi
sia-sia. Kemudian tentara Jenderal Han menyerbu mereka dari rusuk kedua belah sisi dan menyelesaikan
kemenangan, membunuh banyak tentara musuh dan menangkap sisanya diantara mereka
adalah Raja Chao sendiri.
Setelah usai pertempuran,
beberapa perwira Han Hsin datang menghadap kepadanya dan bertanya,
"Dalam pola siasat Sun Tzu , kita diberitahu untuk memilih sebuah bukit di
bagian belakang kanan, dan sungai atau rawa di bagian depan kiri. Namun paduka
melakukan hal sebaliknya, memerintahkan kami untuk menyusun pasukan disepanjang
sungai di belakang kami, tentu kami belum terpikir untuk melakukannya dalam
kondisi tersebut, bagaimana dengan siasat itu kemenangan dapat diraih?.” Jenderal
Han dengan tenang menjawab: "Saya khawatir karena pemahaman anda sekalian
dalam seni perang belum lengkap: “bukankah ada tertulis di sana bahwa perlu menempatkan
pasukan dalam bahaya yang mematikan, dan tidak ada jalan lari untuk mereka, kecuali
berenang menyeberangi sungai yang deras, bukankah hal itu akan memaksa mereka
gigih bertahan? Jika saya tidak menempatkan pasukan dalam posisi di mana mereka
berkewajiban memperjuangkan hidup mereka dengan gigih, maka kita tidak akan
pernah menang melawan tentara yang lebih besar.” Akhirnya para perwira mengakui
kekuatan argumen sang jendral dan berkata: "Ini adalah taktik lebih
tinggi yang luput dari jangkauan kami".
Ada dua pelajaran indah di
sini. Pertama, memetik hikmah kisah
sukses akhir-akhir ini yang diperoleh Apple,
mirip dengan strategi Steve Jobs yang meminta insinyurnya melakukan suatu hal
mustahil. Dalam hal ini seorang pemimpin besar melakukan apapun untuk mengekstrak
karya terbaik dari para pekerjanya. Kedua,
dan ini mungkin pelajaran lebih penting, tidak selalu mengikuti Art of War seperti membaca buku resep. “Penguasaan
sejati dari seni tidak berbentuk”. Sekali lagi, memetik hikmah pelajaran dari
suatu konsep formulasi strategi, tidak berarti seseorang harus memperlakukannya
sebagai resep, apalagi untuk terjadinya
suatu inovasi dibutuhkan suatu imajinasi, dan yang terpenting bagaimana kreasi
orisinal muncul dari diri sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang mengadopsi
perencanaan inovasi sumber daya dan manajemen misalnya, ia tidak dapat mengambil alih suatu konsep secara
membabi buta. Seseorang penting memahami konteks yang lengkap untuk terjadinya suatu
kreasi dalam organisasi, termasuk pemahaman terhadap sistem dan lingkungan
serta memperbaiki kelemahan organisasi untuk meningkatkan kekuatan organisasi.
Dengan cara ini, seseorang benar-benar dapat menulis ulang tentang DNA
organisasi untuk menjadi lebih kreatif dengan cara alami dan organik.
Selanjutnya, ada kisah kedua
dari pembaca Art of War, suatu kisah yang agak lebih mengerikan memang. Namun sebagai
ilustrasi ini merupakan pelajaran berharga sehingga perlu berbagi cerita. Dalam
masa pemerintahan dinasti Wu, Sun Tzu diundang raja untuk berkunjung ke istana,
dan raja berkata kepadanya, "Secara teliti aku telah membaca ke 13 bab karya Anda, tiba saatnya saya ingin
menguji teori anda dalam mengelola disiplin tentara, semacam uji coba
sedikit?." Sun Tzu menjawab: "Ya, tentu saja." Raja kemudian
bertanya: "Bagaimana kita menerapkan teks Anda dalam pasukan perempuan?"
Sekali lagi Sun Tzu mengiyakan, karena teorinya harus berlaku untuk semua tentara tanpa memandang unsur gender, maka
persiapan telah dilakukan untuk membawa 180 wanita keluar Istana. Sun Tzu membagi mereka menjadi
dua regu, dan untuk masing-masing regu ditempatkan salah seorang selir favorit
raja sebagai kepala regu atau komandan pasukan. Sun Tzu kemudian memerintahkan
mereka untuk mengambil tombak di tangan dan menyapa mereka: "Saudara, saya
kira anda semua tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan kanan dan
tangan kiri". Gadis-gadis semua serempak menjawab: "Ya!" Sun Tzu
melanjutkan, "Ketika
saya mengatakan: “mata ke depan!” Anda semua harus melihat lurus ke depan,
begitupun ketika saya berkata 'belok kiri!', Anda semua harus
menghadap ke arah tangan kiri. Ketika saya berkata ‘belok kanan!’, "Anda harus menghadap
ke arah kanan tangan. Ketika saya mengatakan 'balik kanan,' Anda harus
melakukan putaran yang benar dengan punggung anda. Apakah Anda semua mengerti
hal ini? " Sekali lagi gadis-gadis serentak berkata ”mengerti!”. Demikian aba-aba
dan perintah yang telah dijelaskan.
Sambil dibarengi suara tambur,
Sun Tzu memberi aba-aba “belok kanan!”. Sambil tertawa cekikikan para gadis
berbelok dengan tidak beraturan. Sun Tzu berkata: "Jika perintah saya tidak jelas dan berbeda, jika
perintah tidak sepenuhnya dipahami, maka sayalah yang harus disalahkan." Pengaturan
barisan dilakukan, dan kembali perintah diberikan: "belok kiri !" dengan nada keras
dan jelas. Kembali para gadis-gadis
malah meledak tertawa terbahak-bahak. Sun Tzu kembali berkata: "Jika
kata-kata perintah tidak jelas dan berbeda, jika isi perintah sepenuhnya tidak
dipahami, saya yang harus disalahkan, tetapi jika perintah difahami jelas, dan
regu pasukan tetap tidak taat, maka itu adalah kesalahan dari kepala regu
mereka." Sambil berkata demikian, Sun Tzu memerintahkan para kepala regu
kedua pasukan untuk dihukum penggal. Raja Wu yang sedang menonton adegan itu
dari atas sebuah podium sejenak terkesiap dan mengangkat tangan mencegah, ketika
ia melihat bahwa selir favoritnya hendak dieksekusi, sambil meremas dadanya
karena khawatir, segera ia berkata :
"Kami sekarang sudah puas menguji kemampuan menangani pasukan, namun jika kami
harus kehilangan dua selir, hidangan daging dan minuman ini tidak lagi
mengundang selera, dan kami ingin mereka tidak usah dipenggal." Sun Tzu menjawab:
"Setelah menerima perintah awal dari yang mulia untuk menjadi jenderal
dalam menggembleng pasukan, saya sangat terikat dan harus menjamin keberhasilan
kerajaan yang anda pimpin, perintah ini saya pegang teguh yang Mulia, dan saya bertindak
dalam kapasitas itu, saya tidak dapat menerima keberatan yang mulia. Suasana
hening dan tegang. Karena gelar pasukan ini disaksikan khalayak, dan setiap
ucapan dan perintah disimak hadirin, maka raja dengan terpaksa menyerah dan
membiarkan kedua selirnya dipenggal. Maka acara dilanjutkan dan segera
mengganti kedua selir yang dipenggal dengan dua selir favorit berikutnya, sebagai
kepala regu atau komandan pada pasukan masing-masing. Tentu saja suasana tambah
mencekam, apalagi kecemasan dari air muka raja. Ketika pergantian sudah
dilakukan, kembali tambur dibunyikan untuk latihan sekali lagi, dan para gadis-gadis
rapih berbaris,
hening dan sigap menyimak instruksi, patuh bergerak serempak beralih dari kanan
ke kiri, berbaris ke depan atau berputar kembali, berlutut atau berdiri, dengan
akurasi sempurna dan presisi dengan mulut terkatup rapat tak bersuara. Untuk
kali ini penyelenggaraan latihan benar-benar sempurna.
Demikianlah terhadap kisah
ini, tanpa
harus disimpulkan, silahkan masing-masing melakukan interpretasi sendiri. Tantangan
masa depan dan kreasi yang harus dilakukan ada pada pundak masing-masing. Yang
jelas mempelajari seni dan strategi tidak seperti membaca sebuah resep, ada
suatu kepentingan yang lebih besar yang perlu dipertimbangkan. Tentu di era reformasi
ini, bagi para legislatif yang memiliki banyak selir tidak perlu khawatir.
Bandung, Juli 2012
Faisal Afiff