.


This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Bergabung di Situs Motsy Totsy.

Situs ini menyajikan berbagai jenis informasi seputar kemanajerialan dan kepemimpinan. Selain itu, situs ini juga mempublikasikan berbagai jenis hasil karya Prof. Dr. Faisal Afiff, Spec. Lic. baik dalam bentuk jurnal ilmiah, makalah, buku, materi perkuliahan sarjana dan pascasarjana.

Selamat berselancar dan pastikan anda merupakan bagian dari mitra kami.

Selasa, 31 Juli 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Kreativitas Dalam Siasat Sun Tzu


 

 KREATIVITAS DALAM SIASAT SUN TZU

The Art of War adalah karya siasat militer klasik yang ditulis oleh pemikir strategi militer Cina, Sun Tzu, sekitar 500 SM, yang ditulis dengan ringkas, lugas dan padat dengan hanya 7.000 kata-kata yang memiliki pengaruh besar di seluruh dunia.  Karya yang terdiri dari 13 bab ini masing-masing dikhususkan membahas aspek peperangan, dianggap sebagai karya definitif tentang strategi dan taktik militer yang diminati luas dari waktu ke waktu, dan wawasan militernya sampai sekarang masih dibaca oleh perwira militer senior di hampir seluruh negara. Meskipun telah bermunculan strategi khas abad ini, seperti blue ocean strategi-nya W. Chan Kim yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Mungkin dalam perspektif Kim, karya Sun Tzu masuk dalam kategori red ocean sebagai strategi yang berdarah. Perbincangan menarik perbedaan antara karya Sun Tzu dan W. Chan Kim perlu didiskusikan dalam kesempatan lain, dan yakin bahwa strategi blue ocean-nya Chan Kim juga diilhami oleh suasana percaturan politik di masa-masa tradisi pemerintahan raja-raja Korea masa lalu, sebagaimana yang diputar dalam salah satu serial televisi di tanah air. “Tidak ada yang baru di bawah sinar matahari”, begitu kata William Shakespeare. 
Harus diakui The Art of War adalah karya  analisis  tajam tentang  perang yang menakjubkan, suatu langkah strategis tentang bagaimana  informasi diperoleh, dianalisis dan menghitungnya secara ekstensif sebelum dilakukan peperangan. Disamping itu bagaimana memeriksa faktor-faktor kritis dalam perang serta pentingnya mengenali peluang strategis dan membatasi ruang gerak musuh. Suatu strategi dan taktik yang menuntut penggunaan kreativitas, inovasi dan ketepatan waktu dalam membangun momentum kemenangan, disamping pentingnya mengembangkan sumber-sumber intelijen yang handal dan kontra intelijen.
Tentu saja dalam dekade terakhir, karya Sun Tzu juga telah mempengaruhi pemikiran di bidang bisnis. Popularitas buku ini terus berkembang dan telah menginspirasi  banyak manajer dan pemimpin yang semakin berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip strategi dalam menghadapi  tantangan bisnis mereka. Penerapan prinsip seni perang untuk dunia usaha bukan pemetaan konseptual yang sulit, yang lebih dibutuhkan adalah pemetaan dan kelincahan manuver serta penggunaan mata-mata  intelijen guna memetakan kekuatan dan kelemahan kompetitor. Namun, yang agak luput dari perhatian publik adalah tentang bagaimana penerapan karya Sun Tzu khusus bagi kegunaan suatu inovasi. Padahal Sun Tzu juga berbicara tentang bagaimana bekerja dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, katakanlah seperti dalam jumlah tentara dan potensi pasukan, dengan mengatur siasat yang lebih efektif dan ampuh untuk mengubah perimbangan kekuatan. Nilai kreatif dari karya Sun Tzu tersebut diperoleh dari pengalaman para pengagumnya.
Yang pertama adalah sebuah pengalaman dari Jenderal Han Hsin (204 SM) yang pernah dipaksa untuk menghadapi tentara yang jauh lebih besar di provinsi Chao, yang dikenal kaya. Ia merencanakan suatu muslihat yang benar-benar brilian. Pertama, sebelum pertempuran, ia melepas satuan kecil kavaleri berjumlah 2000 orang untuk bersembunyi dibalik bukit sampai saatnya dipanggil yang masing-masing ditandai dengan pengenal bendera merah. Kedua, ia mengirimkan sebuah divisi  terdiri dari 10.000 laki-laki, dan diperintahkan  untuk membentuk  garis pertempuran disepanjang Sungai Ti. Jenderal Han percaya bahwa satu-satunya cara agar memikat orang-orang Chao meninggalkan benteng mereka, apabila mereka merasa bahwa suatu kemenangan sudah dekat, dan mereka dapat mendeteksi dari pola bunyi  tambur yang ditabuh komandan yang memerintahkan mundur atau melarikan diri.  Seolah merasa kewalahan Jenderal Han terjun ke medan perang, meninggikan bendera dan memerintahkan tambur ditabuh yang segera terbaca oleh musuh. Maka terjadilah pertempuran besar yang sengit yang berlangsung selama beberapa waktu, pihak musuh terus mendesak, tiba-tiba para penabuh akhirnya meninggalkan tambur dan bendera di lapangan, dan para pasukan pun mulai ikut melarikan diri. Melihat gelagat ini, Chao dan seluruh tentara bergegas keluar dari benteng mereka untuk mengejar pasukan yang melarikan diri. Pasukan yang lari berhasil bergabung dengan pasukan di tepi sungai yang tengah berjuang hampir putus asa. Pasukan Chao benar-benar melihat bahwa kemenangan sudah  berada di depan mata.
Tiba-tiba,  ke 2000 pasukan kavaleri yang tadi disembunyikan di balik bukit yang sepi, memecah keheningan dan dengan kecepatan kuda menyeruak dari balik bukit, tiba-tiba dengan serangan kilat merobek-robek bendera musuh dan menggantinya dengan bendera merah Han. Ketika tentara Chao menoleh dan  pengejaran sejenak terhenti, mereka terkesiap dengan banyaknya bendera-bendera merah memukul dari belakang mereka dengan teror. Tadinya tentara Chao meyakini bahwa Han telah kalah dan segera akan dikuasai raja mereka, namun dengan serbuan mendadak ini terjadi kekacauan dan kepanikan yang hebat, dimana setiap usaha perlawanan yang dilakukan menjadi sia-sia. Kemudian tentara Jenderal Han menyerbu mereka dari rusuk kedua belah sisi dan menyelesaikan kemenangan, membunuh banyak tentara musuh dan menangkap sisanya diantara mereka adalah Raja Chao sendiri.
Setelah usai pertempuran, beberapa perwira Han Hsin datang menghadap kepadanya dan bertanya, "Dalam pola siasat Sun Tzu , kita diberitahu untuk memilih sebuah bukit di bagian belakang kanan, dan sungai atau rawa di bagian depan kiri. Namun paduka melakukan hal sebaliknya, memerintahkan kami untuk menyusun pasukan disepanjang sungai di belakang kami, tentu kami belum terpikir untuk melakukannya dalam kondisi tersebut, bagaimana dengan siasat itu kemenangan dapat diraih?.” Jenderal Han dengan tenang menjawab: "Saya khawatir karena pemahaman anda sekalian dalam seni perang belum lengkap: “bukankah ada tertulis di sana bahwa perlu menempatkan pasukan dalam bahaya yang mematikan, dan tidak ada jalan lari untuk mereka, kecuali berenang menyeberangi sungai yang deras, bukankah hal itu akan memaksa mereka gigih bertahan? Jika saya tidak menempatkan pasukan dalam posisi di mana mereka berkewajiban memperjuangkan hidup mereka dengan gigih, maka kita tidak akan pernah menang melawan tentara yang lebih besar. Akhirnya para perwira mengakui kekuatan argumen sang jendral dan berkata: "Ini adalah taktik lebih tinggi  yang luput dari jangkauan kami". 
Ada dua pelajaran indah di sini. Pertama, memetik hikmah kisah sukses akhir-akhir ini yang diperoleh Apple, mirip dengan strategi Steve Jobs yang meminta insinyurnya melakukan suatu hal mustahil. Dalam hal ini seorang pemimpin besar melakukan apapun untuk mengekstrak karya terbaik dari para pekerjanya. Kedua, dan ini mungkin pelajaran lebih penting, tidak selalu mengikuti Art of War seperti membaca buku resep. “Penguasaan sejati dari seni tidak berbentuk”. Sekali lagi, memetik hikmah pelajaran dari suatu konsep formulasi strategi, tidak berarti seseorang harus memperlakukannya sebagai  resep, apalagi untuk terjadinya suatu inovasi dibutuhkan suatu imajinasi, dan yang terpenting bagaimana kreasi orisinal muncul dari diri sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang mengadopsi perencanaan inovasi sumber daya dan  manajemen misalnya, ia  tidak dapat mengambil alih suatu konsep secara membabi buta. Seseorang penting memahami konteks yang lengkap untuk terjadinya suatu kreasi dalam organisasi, termasuk pemahaman terhadap sistem dan lingkungan serta memperbaiki kelemahan organisasi untuk meningkatkan kekuatan organisasi. Dengan cara ini, seseorang benar-benar dapat menulis ulang tentang DNA organisasi untuk menjadi lebih kreatif dengan cara alami dan organik.
Selanjutnya, ada kisah kedua dari pembaca Art of War, suatu kisah yang  agak lebih mengerikan memang. Namun sebagai ilustrasi ini merupakan pelajaran berharga sehingga perlu berbagi cerita. Dalam masa pemerintahan dinasti Wu, Sun Tzu diundang raja untuk berkunjung ke istana, dan raja berkata kepadanya, "Secara teliti aku telah membaca ke  13 bab karya Anda, tiba saatnya saya ingin menguji teori anda dalam mengelola disiplin tentara, semacam uji coba sedikit?." Sun Tzu menjawab: "Ya, tentu saja." Raja kemudian bertanya: "Bagaimana kita menerapkan teks Anda dalam pasukan perempuan?" Sekali lagi Sun Tzu mengiyakan, karena teorinya harus berlaku untuk semua  tentara tanpa memandang unsur gender, maka persiapan telah dilakukan untuk membawa 180 wanita keluar Istana. Sun Tzu membagi mereka menjadi dua regu, dan untuk masing-masing regu ditempatkan salah seorang selir favorit raja sebagai kepala regu atau komandan pasukan. Sun Tzu kemudian memerintahkan mereka untuk mengambil tombak di tangan dan menyapa mereka: "Saudara, saya kira anda semua tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan kanan dan tangan kiri". Gadis-gadis semua serempak menjawab: "Ya!" Sun Tzu melanjutkan, "Ketika saya mengatakan: “mata ke depan!” Anda semua harus melihat lurus ke depan, begitupun ketika saya berkata 'belok kiri!', Anda semua harus menghadap ke arah tangan kiri. Ketika saya berkata belok kanan!, "Anda harus menghadap ke arah kanan tangan. Ketika saya mengatakan 'balik kanan,' Anda harus melakukan putaran yang benar dengan punggung anda. Apakah Anda semua mengerti hal ini? " Sekali lagi gadis-gadis serentak berkata ”mengerti!”. Demikian aba-aba dan perintah yang telah dijelaskan. 
Sambil dibarengi suara tambur, Sun Tzu memberi aba-aba “belok kanan!”. Sambil tertawa cekikikan para gadis berbelok dengan tidak beraturan. Sun Tzu berkata: "Jika  perintah saya tidak jelas dan berbeda, jika perintah tidak sepenuhnya dipahami, maka sayalah yang harus disalahkan." Pengaturan barisan dilakukan, dan kembali perintah diberikan:  "belok kiri !" dengan nada keras dan jelas. Kembali  para gadis-gadis malah meledak tertawa terbahak-bahak. Sun Tzu kembali berkata: "Jika kata-kata perintah tidak jelas dan berbeda, jika isi perintah sepenuhnya tidak dipahami, saya yang harus disalahkan, tetapi jika perintah difahami jelas, dan regu pasukan tetap tidak taat, maka itu adalah kesalahan dari kepala regu mereka." Sambil berkata demikian, Sun Tzu memerintahkan para kepala regu kedua pasukan untuk dihukum penggal. Raja Wu yang sedang menonton adegan itu dari atas sebuah podium sejenak terkesiap dan mengangkat tangan mencegah, ketika ia melihat bahwa selir favoritnya hendak dieksekusi, sambil meremas dadanya karena khawatir,  segera ia berkata : "Kami sekarang sudah puas menguji kemampuan menangani pasukan, namun jika kami harus kehilangan dua selir, hidangan daging dan minuman ini tidak lagi mengundang selera, dan kami ingin mereka tidak usah dipenggal." Sun Tzu menjawab: "Setelah menerima perintah awal dari yang mulia untuk menjadi jenderal dalam menggembleng pasukan, saya sangat terikat dan harus menjamin keberhasilan kerajaan yang anda pimpin, perintah ini saya pegang teguh yang Mulia, dan saya bertindak dalam kapasitas itu, saya tidak dapat menerima keberatan yang mulia. Suasana hening dan tegang. Karena gelar pasukan ini disaksikan khalayak, dan setiap ucapan dan perintah disimak hadirin, maka raja dengan terpaksa menyerah dan membiarkan kedua selirnya dipenggal. Maka acara dilanjutkan dan segera mengganti kedua selir yang dipenggal dengan dua selir favorit berikutnya, sebagai kepala regu atau komandan pada pasukan masing-masing. Tentu saja suasana tambah mencekam, apalagi kecemasan dari air muka raja. Ketika pergantian sudah dilakukan, kembali tambur dibunyikan untuk latihan sekali lagi, dan para gadis-gadis rapih berbaris, hening dan sigap menyimak instruksi, patuh bergerak serempak beralih dari kanan ke kiri, berbaris ke depan atau berputar kembali, berlutut atau berdiri, dengan akurasi sempurna dan presisi dengan mulut terkatup rapat tak bersuara. Untuk kali ini penyelenggaraan latihan benar-benar sempurna.
Demikianlah terhadap kisah ini, tanpa harus disimpulkan, silahkan masing-masing melakukan interpretasi sendiri. Tantangan masa depan dan kreasi yang harus dilakukan ada pada pundak masing-masing. Yang jelas mempelajari seni dan strategi tidak seperti membaca sebuah resep, ada suatu kepentingan yang lebih besar yang perlu dipertimbangkan. Tentu di era reformasi ini, bagi para legislatif yang memiliki banyak selir tidak perlu khawatir.
                                                                                                                               
Bandung, Juli 2012

Faisal Afiff