MODEL KEPEMIMPINAN TIM KERJA ORGANISASIONAL
Sebagaimana telah banyak diketahui umum bahwa suatu organisasi dapat selalu
hidup dan berkembang karena adanya keterlibatan seorang pemimpin yang mampu menggerakkannya.
Pemimpin adalah aktor yang memiliki peran besar dalam sebuah organisasi. Tercapainya
tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena adanya upaya kerjasama antara
pekerja, tim kerja dan kepemipinan yang terdapat pada organisasi. Dalam hal ini
sebenarnya terdapat hubungan erat antara
kinerja pekerja, tim kerja, dan pemimpin kerja yang terwadahi dalam kinerja
organisasi. Dengan perkataan lain bila kinerja para pekerja, tim kerja dan
pemimpinnya baik, maka kemungkinan besar
kinerja organisasi akan lebih baik pula.
Dalam hal ini sepintas akan dikemukakan pengertian
kinerja menurut para pakar manajemen. Namun sebelum membahas tentang pengertian
kinerja, terlebih dahulu disinggung pelbagai
aktivitas yang dilakukan oleh manusia
yang tidak selalu mengkait dengan kinerja. Hal ini penting dikemukakan sebelum dibahas
dan didefinisikan tentang pengertian kinerja organisasi itu sendiri. Sebab
segala aktivitas yang dilakukan manusia itu sendiri belum tentu bisa di katakan
atau dikatagorikan sebagai pekerjaan. Adapun
yang dapat dikatakan sebagai pekerjaan (the
meaning of work) adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa pekerjaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia
sebagai adanya dorongan dan kesadaran serta ungkapan akan adanya wewenang dan
tanggung jawab. Kedua, bahwa apa yang
dilakukan tersebut didorong oleh adanya unsur kesengajaan, atau ada sesuatu
yang direncanakan, sehingga terkandung didalamnya suatu gabungan penggunaan
kemampuan rasio dan rasa sebagai alat
untuk menghubungkan antara rencana dan tujuan. Ketiga, bahwa apa yang dilakukan itu, dikarenakan adanya suatu
arah dan tujuan luhur yang secara dinamis memberikan makna terhadap kehidupan
dirinya. Dalam hal ini, tentunya makna tersebut bukan hanya didapat dari kepuasan
biologis atau perolehan uang semata.
Sejalan dengan hal itu,
jelas bahwa tidak semua kegiatan atau
aktivitas bisa di katakan sebagai pekerjaan. Dan setiap pekerjaan yang di lakukan manusia pasti ada yang hendak dicapainya, hal inilah yang sering di katakan sebagai kinerja. Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi tentang kinerja. Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance, yang artinya prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang. Kata performance itu sendiri merupakan kata benda yang salah satunya adalah sesuatu hasil yang diperoleh dari yang dikerjakan. Menurut Bernardian, et. al. (1993) kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcame yang di hasilkan dari suatu aktivitas tertentu selama kurun waktu tertentu pula. Berdasarkan hal tersebut di atas maka arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang pekerja, tim kerja dan pemimpin kerja dalam suatu wadah organisasi, yang didasari oleh wewenang dan tanggung jawab masing-masing pemeran dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan sesuai dengan moral dan etika yang dianutnya.
aktivitas bisa di katakan sebagai pekerjaan. Dan setiap pekerjaan yang di lakukan manusia pasti ada yang hendak dicapainya, hal inilah yang sering di katakan sebagai kinerja. Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi tentang kinerja. Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance, yang artinya prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang. Kata performance itu sendiri merupakan kata benda yang salah satunya adalah sesuatu hasil yang diperoleh dari yang dikerjakan. Menurut Bernardian, et. al. (1993) kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcame yang di hasilkan dari suatu aktivitas tertentu selama kurun waktu tertentu pula. Berdasarkan hal tersebut di atas maka arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang pekerja, tim kerja dan pemimpin kerja dalam suatu wadah organisasi, yang didasari oleh wewenang dan tanggung jawab masing-masing pemeran dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan sesuai dengan moral dan etika yang dianutnya.
Dewasa ini sering dikeluhkan
tentang lemahnya aspek moral atau integritas
kepemimpinan yang sering dianggap sebagai penghambat terhadap kinerja,
baik secara individual, tim kerja, atau organisasional. Keluhan tersebut muncul
karena seringnya terjadi gap antara harapan dan realita. Atau gap antara apa
yang diucapkan dan dicitrakan dengan kenyataan kondisi faktual sehari-hari.
Memudarnya otentisitas para pemimpin seperti demikian mengakibatkan suatu
kepemimpinan kehilangan efektivitasnya. Misalnya, tadinya masyarakat
mendambakan figur pemimpin yang arif, lembut dan kebapaan (farher figure). Namun ketika figur demikian hadir ternyata tidak
berhasil mengatasi pelbagai persoalan dengan baik, maka pemimpin demikian
dianggap tidak tegas. Namun ketika suatu saat muncul figur sebaliknya,
katakanlah berani dan tegas, itupun belum menjamin bahwa kepemimpinannya akan
berjalan efektif, karena sebagian besar orang adakalanya tidak mau menentukan
kriteria yang terukur tentang model kepemimpinan yang diinginkannya, dan cukup
menggunakan standar subyektif sesuai selera saja. Tentunya agar masyarakat
tidak sering terkecoh, sudah saatnya memikirkan konsep kepemimpinan tim kerja dalam
meraih prestasi, meskipun model ini banyak
diterapkan dalam kepemimpinan organisasi bisnis - baik milik swasta atau negara
- namun filosofinya dapat diadopsi pula untuk kepentingan organisasi publik.
Dalam era globalisasi ini justru kepeloporan pihak swasta nampak sangat
dominan, dengan hegemoni aktivitas bisnis mereka yang telah merambah menembus
batas-batas negara. Di tampuk para pimpinan bisnis milik swastalah – baik
nasional atau multinasional - dunia saat ini dikelola
dengan dinamika pertumbuhan yang menakjubkan, yang agaknya peran pemerintah
atau negara akan lebih bersifat administratif-regulatif saja. Tidak ada
salahnya kita menengok pada langkah-langkah organisasional dibalik keberhasilan
para eksekutif swasta dalam menjalankan roda bisnisnya. Berikut adalah sejumlah hasil pengamatan tentang kriteria kepemimpinan
tim kerja dengan kinerja yang sangat baik, dan apa yang memungkinkan mereka
dapat berfungsi dengan tingkat efektivitas yang tinggi. Kesimpulan dari hasil pengamatan dapat
diperoleh faktor yang membuat kepemimpinan tim kerja berkinerja tinggi dan
menjadi sangat efektif, diantaranya yaitu:
·
Mereka memiliki kejelasan visi,misi dan tujuan;
·
Mereka
memiliki struktur kerja yang mengarah pada hasil;
·
Mereka adalah
anggota tim kerja yang kompeten, atau sejumlah
kombinasi perpaduan personil kerja yang baik;
·
Mereka memiliki
komitmen untuk bersatu dan solid, atau dengan
kata lain mereka adalah benar-benar sebagai suatu tim kerja dan bukan sekedar kelompok kerja;
·
Mereka memiliki
iklim kolaboratif, dimana ritme dan pola kerja mereka selaras mengarah pada
tujuan bersama;
·
Mereka memiliki
standar keunggulan yang tinggi serta senantiasa mengindahkan norma kerja tim;
·
Mereka memiliki prinsip kepemimpinan, sehingga mempunyai dorongan kuat dan terarah untuk mencapai keunggulan;
dan
·
Tak kalah
pentingnya, mereka memiliki suatu dukungan eksternal, atau memiliki sumber daya
yang memadai.
Walaupun terdapat beberapa model
Kepemimpinan, model tim kerja ini mungkin termasuk salah satu model
terbaik, karena terdiri dari kepemimpinan beserta anggota tim dengan bekal road-map yang mampu menganalisis dan mendiagnosis
masalah tim kerja, dan kemudian mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi
masalah tim kerja tersebut .
MODEL
KEPEMIMPINAN TIM KERJA
Bagan diatas yang disajikan oleh Northouse (2007) membagi empat
tingkatan atau tahapan model
kepemimpinan tim kerja, sebagai berikut:
a. Tingkatan teratas: dimana kinerja tim kerja yang efektif dimulai dengan
model kepemimpinan situasional, delegasional, partisipasional, koordinasional
dan arahan, yang kemudian akan menentukan
apakah situasi dan kondisi membutuhkan tindakan langsung (action) atau cukup hanya dengan pemantauan (monitoring) semata;
b. Tingkatan kedua: dimana terdapatnya intervensi dari kepemimpinan tim kerja internal dan/ atau eksternal;
c. Tingkatan ketiga: yang mencakup tugas, relasional dan lingkungan. Dalam konteks ini
fungsi mana yang akan dimainkan tergantung pada jenis dan intensitas intervensi itu sendiri; dan
d. Tingkatan keempat: dengan asumsi ketiga langkah pada butir tiga diatas
dilakukan dengan benar, maka efektivitas tim kerja akan berdampak pada capaian kinerja
yang tinggi melalui fungsi pemeliharaan dan
pengembangan.
Disamping itu terdapat fungsi
atau berbagai tugas kepemimpinan tim kerja
internal, yang meliputi :
•
Berfokus pada
tujuan yang jelas dan disepakati bersama;
•
Mengkaji dan
mendisain ulang rencana, proses, fungsi dan aspek lainnya untuk meraih hasil yang
diinginkan;
· Tersedia pedoman proses pengambilan keputusan dengan
bekal koordinasi yang baik serta ketersediaan informasi yang berfokus pada
pelbagai isu dan fenomena relevan;
· Pelatihan terhadap anggota tim kerja melalui
metode formal dan non-formal; dan
· Menilai keseluruhan kinerja secara langsung atau sidak jika diperlukan.
Dalam konteks fungsi
dan tugas kepemimpinan tim kerja internal, maka suatu pelatihan dapat dilakukan
dengan memperhatikan berbagai langkah berikut ini:
·
Gunakan metode yang lebih kolaboratif untuk melibatkan semua
anggota tim kerja. Dalam hal ini metode survei dapat dilakukan melalui
kwesioner untuk menentukan sejauh mana faktor lingkungan bersikap kolaboratif;
·
Mengelola konflik secara konstruktif;
·
Membangun komitmen dan semangat tim kerja melalui etos
kepemimpinan;
·
Memuaskan kebutuhan anggota tim kerja; dan
·
Menentukan model partisipasi yang diharapkan oleh anggota tim kerja.
Adapun faktor lingkungan eksternal berperan dalam
hal:
·
Pengembangan jaringan kerja guna meningkatkan cakupan
pengaruh serta besaran dan keragaman informasi;
·
Memberikan advokasi atas prestasi tim kerja sehingga
diperoleh pemetaan tentang tim kerja terbaik;
·
Pemberian dukungan terhadap tim kerja melalui pengakuan dan
penyediaan sumber daya;
·
Membekali ketahanan tim kerja dari gangguan lingkungan;
· Mengkaji dan menilai faktor
lingkungan - melalui survei dan indikator kinerja lainnya - untuk mengetahui
sejauh mana dampaknya terhadap organisasi; dan
· Berbagi informasi dengan sesama
tim kerja.
Seorang pemimpin dikatakan
pemimpin transformasional apabila ia mampu menciptakan sesuatu yang baru dari
sesuatu yang lama dengan mengubah sistem politik dan budaya semula. Hal ini berbeda
dengan pemimpin transaksional yang melakukan penyesuaian terhadap visi,misi dan
tujuan dan struktur organisasi berikut sumber daya manusia (SDM). Seorang
pemimpinan transformasional melakukan perubahan dengan sikap kepeloporannya,
dimulai dengan mengubah emosi, nilai-nilai, etika dan standar, baik secara individual
maupun tim kerja untuk tujuan jangka
panjang melalui proses kepemimpinan karismatik dan visioner. Sebagian besar
model dan praktik kepemimpinan didasarkan
pada proses transaksional yang berfokus pada pertukaran antara pemimpin dan
pengikut, katakanlah seperti promosi jabatan, sistem insentif, sangsi dan
renumerasi yang acapkali dilahirkan dari proses transaksi. Di sisi lain, para
pemimpin transaksional juga terlibat
dengan anggota tim kerja untuk mengintensifkan komunikasi guna meningkatkan
tingkat motivasi dan moralitas - tidak hanya diperuntukkan bagi anggota tim
kerja saja – akan tetapi juga bagi kebutuhan para pemimpin.
Kepemimpinan
transformasional mampu mengilhami dan mempengaruhi anggota tim kerja agar sanggup berbuat lebih
baik dengan cara:
· Meningkatkan tingkat
kesadaran angota tim kerja atas tujuan organisasi;
· Menempatkan kepentingan organisasi
diatas kepentingan individu; dan
· Menaikkan tingkat kebutuhan ke jenjang
yang lebih tinggi.
Adapun karisma para
pemimpin diperlukan guna mendorong semangat anggota tim kerja agar mereka mencapai
maksud ketiga butir diatas, dengan membangkitkan kekuatan motivasi, stimulasi
intelektual, dan daya pertimbangan individual.
Pada praktiknya,
terdapat sebuah kontinum dimana pemisah antara tipe kepemimpinan transformasional
dan transaksional sering berkisar dalam wilayah
abu-abu. Disamping itu, modus operandi para pemimpin sering
bergerak dan beralih dari kutub transformasional
ke transaksional, dan kutub laissez-faire
ketimbang bertahan dalam salah satu kutub saja. House (2006) telah mengidentifikasi
karakteristik karisma seorang pemimpin - yang merupakan ciri utama kepemimpinan
transformasional - adalah sebagai berikut:
• Memiliki peran yang kuat
sebagai figur model;
• Menunjukkan kompetensi;
• Mengartikulasikan tujuan;
• Memiliki kecakapan yang
tinggi dalam berkomunikasi;
• Mengungkapkan rasa percaya
diri; dan
•
Membangkitkan motivasi.
Adapun figur seorang
pemimpin yang memiliki nilai tinggi dari
keseluruhan karakteristik karismatik tersebut adalah Steve Jobs, seorang top
manajemen perusahaan komputer Apple di Amerika Serikat. Disamping ia mampu
bertindak selaku pemimpin
transformasional, Steve Jobs juga mahir menjalankan transaksi korektif selaku
seorang pemimpin transaksional, seperti
ketika ia mengkritik seorang desainer bawahannya yang tidak memenuhi harapannya,
dan kritik tersebut dimanfaatkan sebagai
alasan untuk melakukan transaksi korektif. Pada sisi lain seorang pemimpin transaksional dapat
melibatkan bawahannya dengan gaya kepemimpinan
laissez-faire, yakni apabila para bawahannya memiliki
pengetahuan yang lebih dalam serta mampu melakukan pekerjaan lebih baik tanpa keterlibatan langsung dirinya.
Gaya kepemimpinan kontinum seperti hal itu mirip dengan gaya kepemimpinan situasonal,
yakni kombinasi dari delegasi, partisipasi, koordinasi dan arahan, yang tidak
hanya bertahan dengan satu modus kepemimpinan saja, namun memanfaatkan berbagai
gaya kepemimpinan lainnya.
Dalam kepemimpinan tim
kerja perlu dibangun juga etos tim kerja guna menggugah dan menumbuhkan
semangat kerja tim. Suatu etos adalah roh (esprit d'corps), yang merupakan
dasar keyakinan dan inspirasi serta panduan moral bagi tim kerja atau para
anggotanya. Dalam tradisi etos para prajurit Amerika Serikat misalnya, sering
dikumandangkan empat prinsip etos tim kerja, yakni suatu hal yang sudah
tertanam dalam hati sanubari para prajurit, adalah:
“Kami akan selalu menempatkan misi
sebagai hal pertama; Saya tidak akan pernah menerima kekalahan; Kami tak akan
menyerah; Saya tidak akan pernah meninggalkan seorang pun kawan yang jatuh”.
Misi pada dasarnya
urat nadi yang merupakan alasan mengapa suatu organisasi tetap hidup. Sedangkan
visi adalah pandangan keluarnya. Walaupun suatu organisasi dihempas badai
krisis, namun pemimpin yang mengerti tentang prinsip ini, tetap yakin bahwa keputusan yang diambil
secara moral adalah benar. Dengan landasan suatu etos dan moral kerja, para
pemimpin yang berintegritas akan siap bertindak secara bertanggung jawab dalam
krisis apapun, karena memiliki suatu keyakinan yang dipegang teguh. Filosofi
semacam etos prajurit tadi, sebenarnya
dapat dibawa ke dalam ruang rapat perusahaan. Banyak organisasi terkenal
ketika dihadapkan pada krisis, disamping menyarankan untuk berhemat, juga mengumandangkan
bahwa para pekerja mereka adalah aset yang paling penting. Namun disayangkan
ketika dilanda krisis keuangan, mereka berpaling 180 derajat dan membiarkan
aset mereka yang paling berharga tersebut jatuh. Bahkan membiarkan para pekerja
yang pertamakali jatuh, disaat etos prajurit menyatakan: “saya tidak akan pernah meninggalkan seorang kawanpun yang jatuh”.
Berbeda dengan pidato
Donald Hasting dihadapan para siswa Academy of Management di tahun 1996.
Sebagai seorang chief of executive
officer (CEO) perusahaan Lincoln Electric, ia tidak melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) bawahannya dalam masa sulit, namun lebih memilih untuk
mengefektifkan para pekerjanya daripada membiarkan mereka meninggalkan
perusahaan. Suatu terobosan inovatif berupa peningkatan produktivitas, dan
langkah-langkah kostruktif lainnya tidak mungkin dapat dipertahankan dari waktu
ke waktu ketika para pekerja dihinggapi rasa takut, bahwa pada akhirnya mereka
akan didepak dari pekerjaan. Menggunakan analogi pemangkasan, umumnya dilakukan
dengan argumen untuk menciptakan pertumbuhan baru atau untuk menghilangkan
bagian yang sakit. Namun ketika organisasi pulih kembali, para pemimpin adakalanya
mengingkari keinginan untuk menciptakan pertumbuhan baru dengan tidak melatih kembali para pekerja,
dan bahkan melewatkan bagian
keorganisasian yang sakit dengan anggapan para pekerjalah yang selama ini membuat
perusahaan sakit. Yang pasti, dan sering terbukti bahwa
kebijakan pemangkasan hanya menjamin pencapaian satu hal saja, yaitu membuat
organisasi menjadi lebih ramping. Perampingan cenderung sering dilakukan secara
apriori dan repetitif, yang tidak selalu berdampak pada peningkatan
produktivitas atau keuntungan, sementara permasalahan fundamental perusahaan jarang
terpecahkan. “Anda harus benar-benar menghargai aset anda yang paling penting”,
demikian ungkap Donald Hasting. Merujuk pada etos marinir Amerika Serikat, yang
telah melatih para prajuritnya di pelbagai medan rintangan yang paling sulit di
muka bumi. Namun mereka tetap memegang salah satu yang senantiasa dipegang
teguh, yakni nilai jiwa manusia, yang mereka pertahankan sebagaimana mereka
mempertahankan jiwa mereka sendiri (Katzenbach & Santamaria 1999). Didorong
oleh nilai filosofi ini, mereka terus melatih prajurit tangguh dengan cara yang
paling efektif di medan peperangan.
Tentu saja dari semua
itu, pemberian imbalan atas kinerja yang ditunjukkan merupakan faktor yang tak
kalah pentingnya untuk mencapai kepuasan kerja. Apalagi jika pemberian imbalan tersebut
didasarkan pada suatu penilaian yang telah ditentukan oleh organisasi secara
obyektif. Kompensasi yang diberikan dapat berbentuk finansial ataupun non-finansial.
Yang jelas kompensasi yang baik dan adil dapat mempertahankan para pekerja
untuk tetap berprestasi, bersedia untuk bersaing, meningkatkan produktivitas
kerja, memudahkan pencapaian sasaran strategis serta semakin mengokohkan
struktur kerja. Kompensasi dapat mempertahankan daur dan ritme motivasi dalam
siklus perbaikan keseimbangan fisioligis dan psikologis dan perubahan tingkat
kepuasan kerja. Seorang pemimpin yang cakap akan mampu menggerakkan, mengalokasikan
dan merelokasikan semua faktor motivasional diatas secara proporsional dan
akurat, sehingga kepemimpinannya dapat dinilai sangat efektif.
Mengacu pada paparan
diatas, sudah saatnya kita bercermin sejauh mana kepemimpinan tim kerja di
tempat kita “menyabung nyawa” dan berkarir,
telah menunjukkan kepiawaiannya, khusus dalam menghadapi krisis yang selalu
membayangi, baik ancaman yang berasal dari dalam negeri maupun guncangan di
tingkat global. Soliditas dan kapabilitas kepemimpinan tim kerja akan
dipertaruhkan, melalui pelbagai ujian dan guncangan, yakni sejauhmana hasil
atau kinerja yang mampu diraih dalam rentang sejarah. Sebagaimana pepatah yang
diungkap Peter Drucker bahwa “Management is
doing things right; Leadership is doing the right things”, dapat diukir
menjadi kenyataan.
Jakarta, 3
Juli 2012
Faisal
Afiff
0 komentar:
Posting Komentar