.


Selasa, 03 Juli 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Model Kepemimpinan Tim Kerja Organisasional


 MODEL KEPEMIMPINAN TIM KERJA ORGANISASIONAL
Sebagaimana telah banyak diketahui umum bahwa suatu organisasi dapat selalu hidup dan berkembang karena adanya keterlibatan seorang pemimpin yang mampu menggerakkannya. Pemimpin adalah aktor yang memiliki peran besar dalam sebuah organisasi. Tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena adanya upaya kerjasama antara pekerja, tim kerja dan kepemipinan yang terdapat pada organisasi. Dalam hal ini sebenarnya terdapat hubungan  erat antara kinerja pekerja, tim kerja, dan pemimpin kerja yang terwadahi dalam kinerja organisasi. Dengan perkataan lain bila kinerja para pekerja, tim kerja dan pemimpinnya baik,  maka kemungkinan besar kinerja  organisasi akan lebih baik pula. Dalam hal  ini sepintas akan dikemukakan pengertian kinerja menurut para pakar manajemen. Namun sebelum membahas tentang pengertian kinerja, terlebih dahulu  disinggung pelbagai aktivitas  yang dilakukan oleh manusia yang tidak selalu mengkait dengan kinerja. Hal ini penting dikemukakan sebelum dibahas dan didefinisikan tentang pengertian kinerja organisasi itu sendiri. Sebab segala aktivitas yang dilakukan manusia itu sendiri belum tentu bisa di katakan atau dikatagorikan sebagai pekerjaan.  Adapun yang dapat dikatakan sebagai pekerjaan (the meaning of work) adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa pekerjaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia sebagai adanya dorongan dan kesadaran serta ungkapan akan adanya wewenang dan tanggung jawab. Kedua, bahwa apa yang dilakukan tersebut didorong oleh adanya unsur kesengajaan, atau ada sesuatu yang direncanakan, sehingga terkandung didalamnya suatu gabungan penggunaan kemampuan  rasio dan rasa sebagai alat untuk menghubungkan antara rencana dan tujuan. Ketiga, bahwa apa yang dilakukan itu, dikarenakan adanya suatu arah dan tujuan luhur yang secara dinamis memberikan makna terhadap kehidupan dirinya. Dalam hal ini, tentunya makna tersebut bukan hanya didapat dari kepuasan biologis atau perolehan uang semata.
Sejalan dengan hal itu, jelas bahwa tidak semua kegiatan atau
aktivitas bisa di katakan sebagai pekerjaan. Dan setiap pekerjaan yang di lakukan manusia pasti ada yang hendak dicapainya, hal inilah yang sering di katakan sebagai kinerja. Ada beberapa pendapat yang memberikan definisi tentang kinerja. Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance, yang artinya prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang. Kata performance itu sendiri merupakan kata benda yang salah satunya adalah sesuatu hasil yang diperoleh dari yang dikerjakan. Menurut Bernardian, et. al. (1993) kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcame yang di hasilkan dari suatu aktivitas tertentu selama kurun waktu tertentu pula. Berdasarkan hal tersebut di atas maka arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang pekerja, tim kerja dan pemimpin kerja dalam suatu wadah organisasi, yang didasari oleh wewenang dan tanggung jawab masing-masing pemeran dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan sesuai dengan moral dan etika yang dianutnya.
Dewasa ini sering dikeluhkan tentang lemahnya aspek moral atau integritas  kepemimpinan yang sering dianggap sebagai penghambat terhadap kinerja, baik secara individual, tim kerja, atau organisasional. Keluhan tersebut muncul karena seringnya terjadi gap antara harapan dan realita. Atau gap antara apa yang diucapkan dan dicitrakan dengan kenyataan kondisi faktual sehari-hari. Memudarnya otentisitas para pemimpin seperti demikian mengakibatkan suatu kepemimpinan kehilangan efektivitasnya. Misalnya, tadinya masyarakat mendambakan figur pemimpin yang arif, lembut dan kebapaan (farher figure). Namun ketika figur demikian hadir ternyata tidak berhasil mengatasi pelbagai persoalan dengan baik, maka pemimpin demikian dianggap tidak tegas. Namun ketika suatu saat muncul figur sebaliknya, katakanlah berani dan tegas, itupun belum menjamin bahwa kepemimpinannya akan berjalan efektif, karena sebagian besar orang adakalanya tidak mau menentukan kriteria yang terukur tentang model kepemimpinan yang diinginkannya, dan cukup menggunakan standar subyektif sesuai selera saja. Tentunya agar masyarakat tidak sering terkecoh, sudah saatnya memikirkan konsep kepemimpinan tim kerja dalam meraih prestasi, meskipun model ini banyak diterapkan dalam kepemimpinan organisasi bisnis - baik milik swasta atau negara - namun filosofinya dapat diadopsi pula untuk kepentingan organisasi publik. Dalam era globalisasi ini justru kepeloporan pihak swasta nampak sangat dominan, dengan hegemoni aktivitas bisnis mereka yang telah merambah menembus batas-batas negara. Di tampuk para pimpinan bisnis milik swastalah – baik nasional atau multinasional - dunia saat ini dikelola dengan dinamika pertumbuhan yang menakjubkan, yang agaknya peran pemerintah atau negara akan lebih bersifat administratif-regulatif saja. Tidak ada salahnya kita menengok pada langkah-langkah organisasional dibalik keberhasilan para eksekutif swasta dalam menjalankan roda bisnisnya. Berikut adalah sejumlah  hasil pengamatan tentang kriteria kepemimpinan tim kerja dengan kinerja yang sangat baik, dan apa yang memungkinkan mereka dapat berfungsi dengan tingkat efektivitas yang tinggi. Kesimpulan dari hasil pengamatan dapat diperoleh faktor yang membuat kepemimpinan tim kerja berkinerja tinggi dan menjadi sangat efektif, diantaranya yaitu:
·        Mereka  memiliki kejelasan  visi,misi dan tujuan;
·        Mereka memiliki struktur kerja yang mengarah pada hasil;
·        Mereka adalah anggota tim kerja yang kompeten, atau sejumlah  kombinasi perpaduan personil kerja yang baik;
·        Mereka memiliki komitmen untuk  bersatu dan solid, atau dengan kata lain mereka adalah benar-benar sebagai suatu  tim kerja dan bukan sekedar kelompok kerja;
·        Mereka memiliki iklim kolaboratif, dimana ritme dan pola kerja mereka selaras mengarah pada tujuan bersama;
·        Mereka memiliki standar keunggulan yang tinggi serta senantiasa mengindahkan norma kerja tim;
·        Mereka memiliki prinsip kepemimpinan, sehingga mempunyai dorongan kuat dan terarah untuk mencapai keunggulan; dan
·        Tak kalah pentingnya, mereka memiliki suatu dukungan eksternal, atau memiliki sumber daya yang memadai.
Walaupun terdapat beberapa  model  Kepemimpinan, model tim kerja ini mungkin termasuk salah satu model terbaik, karena terdiri dari kepemimpinan beserta anggota tim dengan bekal road-map yang mampu menganalisis dan mendiagnosis masalah tim kerja, dan kemudian mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tim kerja tersebut .
                      MODEL KEPEMIMPINAN TIM KERJA
 

Bagan diatas yang disajikan oleh Northouse (2007) membagi empat tingkatan atau tahapan  model kepemimpinan tim kerja, sebagai berikut:
a.      Tingkatan teratas: dimana kinerja tim kerja yang efektif dimulai dengan model kepemimpinan situasional, delegasional, partisipasional, koordinasional dan arahan, yang  kemudian akan menentukan apakah situasi dan kondisi membutuhkan tindakan langsung (action) atau cukup hanya dengan pemantauan (monitoring) semata;
b.      Tingkatan kedua: dimana terdapatnya intervensi dari kepemimpinan tim kerja internal dan/ atau eksternal;
c.       Tingkatan ketiga: yang mencakup tugas, relasional dan lingkungan. Dalam konteks ini fungsi mana yang akan dimainkan tergantung pada jenis dan intensitas intervensi itu sendiri; dan
d.      Tingkatan keempat: dengan asumsi ketiga langkah pada butir tiga diatas dilakukan dengan benar, maka efektivitas tim kerja akan berdampak pada capaian kinerja yang tinggi melalui fungsi  pemeliharaan dan pengembangan.
Disamping itu terdapat fungsi atau  berbagai tugas kepemimpinan tim kerja  internal, yang meliputi :
     Berfokus pada tujuan yang jelas dan  disepakati  bersama;  
     Mengkaji dan mendisain ulang rencana, proses, fungsi dan aspek lainnya untuk meraih hasil yang diinginkan;
·      Tersedia pedoman proses pengambilan keputusan dengan bekal koordinasi yang baik serta ketersediaan informasi yang berfokus pada pelbagai isu dan fenomena relevan;
·      Pelatihan terhadap anggota tim kerja melalui metode formal dan non-formal; dan
·      Menilai keseluruhan kinerja  secara  langsung atau sidak jika  diperlukan.
Dalam konteks fungsi dan tugas kepemimpinan tim kerja internal, maka suatu pelatihan dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai langkah berikut ini:
·      Gunakan metode yang lebih kolaboratif untuk melibatkan semua anggota tim kerja. Dalam hal ini metode survei dapat dilakukan melalui kwesioner untuk menentukan sejauh mana faktor lingkungan bersikap kolaboratif;
·      Mengelola konflik secara konstruktif;
·      Membangun komitmen dan semangat tim kerja melalui etos kepemimpinan;
·      Memuaskan kebutuhan anggota tim kerja; dan
·      Menentukan model partisipasi  yang diharapkan oleh anggota tim kerja.
Adapun  faktor lingkungan eksternal berperan dalam hal:
·      Pengembangan jaringan kerja guna meningkatkan cakupan pengaruh serta besaran dan keragaman  informasi;
·      Memberikan advokasi atas prestasi tim kerja sehingga diperoleh pemetaan tentang tim kerja terbaik;
·      Pemberian dukungan terhadap tim kerja melalui pengakuan dan penyediaan  sumber daya;
·      Membekali ketahanan tim kerja  dari gangguan lingkungan;
·      Mengkaji dan menilai faktor lingkungan - melalui survei dan indikator kinerja lainnya - untuk mengetahui sejauh mana dampaknya terhadap organisasi; dan
·      Berbagi informasi dengan sesama tim kerja.
Seorang pemimpin dikatakan pemimpin transformasional apabila ia mampu menciptakan sesuatu yang baru dari sesuatu yang lama dengan mengubah sistem politik dan budaya semula. Hal ini berbeda dengan pemimpin transaksional yang melakukan penyesuaian terhadap visi,misi dan tujuan dan struktur organisasi berikut sumber daya manusia (SDM). Seorang pemimpinan transformasional melakukan perubahan dengan sikap kepeloporannya, dimulai dengan mengubah emosi, nilai-nilai, etika dan standar, baik secara individual maupun tim kerja untuk  tujuan jangka panjang melalui proses kepemimpinan karismatik dan visioner. Sebagian besar model  dan praktik kepemimpinan didasarkan pada proses transaksional yang berfokus pada pertukaran antara pemimpin dan pengikut, katakanlah seperti promosi jabatan, sistem insentif, sangsi dan renumerasi yang acapkali dilahirkan dari proses transaksi. Di sisi lain, para pemimpin transaksional juga  terlibat dengan anggota tim kerja untuk mengintensifkan komunikasi guna meningkatkan tingkat motivasi dan moralitas - tidak hanya diperuntukkan bagi anggota tim kerja saja – akan tetapi juga bagi kebutuhan para pemimpin.
Kepemimpinan transformasional mampu mengilhami dan mempengaruhi   anggota tim kerja agar sanggup berbuat lebih baik dengan cara:
·      Meningkatkan tingkat kesadaran angota tim kerja atas tujuan organisasi;
·      Menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan individu; dan
·      Menaikkan tingkat kebutuhan ke jenjang yang lebih tinggi.
Adapun karisma para pemimpin diperlukan guna mendorong semangat anggota tim kerja agar mereka mencapai maksud ketiga butir diatas, dengan membangkitkan kekuatan motivasi, stimulasi intelektual, dan daya pertimbangan individual.
Pada praktiknya, terdapat sebuah kontinum dimana pemisah antara tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional sering berkisar dalam wilayah  abu-abu. Disamping itu, modus operandi para pemimpin sering bergerak  dan beralih dari kutub transformasional ke transaksional, dan kutub laissez-faire ketimbang bertahan dalam salah satu kutub saja. House (2006) telah mengidentifikasi karakteristik karisma seorang pemimpin - yang merupakan ciri utama kepemimpinan transformasional - adalah sebagai berikut:
     Memiliki peran yang kuat sebagai figur model;
     Menunjukkan kompetensi;
     Mengartikulasikan tujuan;
     Memiliki kecakapan yang tinggi dalam berkomunikasi;
     Mengungkapkan rasa percaya diri; dan
     Membangkitkan motivasi.
Adapun figur seorang pemimpin yang memiliki  nilai tinggi dari keseluruhan karakteristik karismatik tersebut adalah Steve Jobs, seorang top manajemen perusahaan komputer Apple di Amerika Serikat. Disamping ia mampu bertindak  selaku pemimpin transformasional, Steve Jobs juga mahir menjalankan transaksi korektif selaku seorang pemimpin  transaksional, seperti ketika ia mengkritik seorang desainer bawahannya yang tidak memenuhi harapannya, dan kritik tersebut  dimanfaatkan sebagai alasan untuk melakukan transaksi korektif. Pada sisi lain  seorang pemimpin transaksional dapat melibatkan bawahannya dengan gaya kepemimpinan  laissez-faire, yakni apabila para bawahannya memiliki pengetahuan yang  lebih  dalam serta mampu melakukan pekerjaan  lebih baik tanpa keterlibatan langsung dirinya. Gaya kepemimpinan kontinum seperti hal itu mirip dengan gaya kepemimpinan situasonal, yakni kombinasi dari delegasi, partisipasi, koordinasi dan arahan, yang tidak hanya bertahan dengan satu modus kepemimpinan saja, namun memanfaatkan berbagai gaya kepemimpinan lainnya.
Dalam kepemimpinan tim kerja perlu dibangun juga etos tim kerja guna menggugah dan menumbuhkan semangat kerja tim.  Suatu  etos adalah roh (esprit d'corps), yang merupakan dasar keyakinan dan inspirasi serta panduan moral bagi tim kerja atau para anggotanya. Dalam tradisi etos para prajurit Amerika Serikat misalnya, sering dikumandangkan empat prinsip etos tim kerja, yakni suatu hal yang sudah tertanam dalam hati sanubari para prajurit, adalah:
“Kami akan selalu menempatkan misi sebagai hal pertama; Saya tidak akan pernah menerima kekalahan; Kami tak akan menyerah; Saya tidak akan pernah meninggalkan seorang pun kawan yang jatuh”.
Misi pada dasarnya urat nadi yang merupakan alasan mengapa suatu organisasi tetap hidup. Sedangkan visi adalah pandangan keluarnya. Walaupun suatu organisasi dihempas badai krisis, namun pemimpin yang mengerti tentang prinsip ini,  tetap yakin bahwa keputusan yang diambil secara moral adalah benar. Dengan landasan suatu etos dan moral kerja, para pemimpin yang berintegritas akan siap bertindak secara bertanggung jawab dalam krisis apapun, karena memiliki suatu keyakinan yang dipegang teguh. Filosofi semacam etos prajurit tadi, sebenarnya  dapat dibawa ke dalam ruang rapat perusahaan. Banyak organisasi terkenal ketika dihadapkan pada krisis, disamping menyarankan untuk berhemat, juga mengumandangkan bahwa para pekerja mereka adalah aset yang paling penting. Namun disayangkan ketika dilanda krisis keuangan, mereka berpaling 180 derajat dan membiarkan aset mereka yang paling berharga tersebut jatuh. Bahkan membiarkan para pekerja yang pertamakali jatuh, disaat etos prajurit menyatakan: “saya tidak akan pernah meninggalkan seorang kawanpun yang jatuh”.
Berbeda dengan pidato Donald Hasting  dihadapan para siswa Academy of Management di tahun 1996. Sebagai seorang chief of executive officer (CEO) perusahaan Lincoln Electric, ia tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bawahannya dalam masa sulit, namun lebih memilih untuk mengefektifkan para pekerjanya daripada membiarkan mereka meninggalkan perusahaan. Suatu terobosan inovatif berupa peningkatan produktivitas, dan langkah-langkah kostruktif  lainnya  tidak mungkin dapat dipertahankan dari waktu ke waktu ketika para pekerja dihinggapi rasa takut, bahwa pada akhirnya mereka akan didepak dari pekerjaan. Menggunakan analogi pemangkasan, umumnya dilakukan dengan argumen untuk menciptakan pertumbuhan baru atau untuk menghilangkan bagian yang sakit. Namun ketika organisasi pulih kembali, para pemimpin adakalanya mengingkari keinginan untuk menciptakan pertumbuhan baru  dengan tidak melatih kembali para pekerja, dan  bahkan melewatkan bagian keorganisasian yang sakit dengan anggapan para pekerjalah yang selama ini membuat perusahaan sakit. Yang pasti, dan sering terbukti   bahwa kebijakan pemangkasan hanya menjamin pencapaian satu hal saja, yaitu membuat organisasi menjadi lebih ramping. Perampingan cenderung sering dilakukan secara apriori dan repetitif, yang tidak selalu berdampak pada peningkatan produktivitas atau keuntungan, sementara permasalahan fundamental perusahaan jarang terpecahkan. “Anda harus benar-benar menghargai aset anda yang paling penting”, demikian ungkap Donald Hasting. Merujuk pada etos marinir Amerika Serikat, yang telah melatih para prajuritnya di pelbagai medan rintangan yang paling sulit di muka bumi. Namun mereka tetap memegang salah satu yang senantiasa dipegang teguh, yakni nilai jiwa manusia, yang mereka pertahankan sebagaimana mereka mempertahankan jiwa mereka sendiri (Katzenbach & Santamaria 1999). Didorong oleh nilai filosofi ini, mereka terus melatih prajurit tangguh dengan cara yang paling efektif di medan peperangan.
Tentu saja dari semua itu, pemberian imbalan atas kinerja yang ditunjukkan merupakan faktor yang tak kalah pentingnya untuk mencapai kepuasan kerja.  Apalagi jika pemberian imbalan tersebut didasarkan pada suatu penilaian yang telah ditentukan oleh organisasi secara obyektif. Kompensasi yang diberikan dapat berbentuk finansial ataupun non-finansial. Yang jelas kompensasi yang baik dan adil dapat mempertahankan para pekerja untuk tetap berprestasi, bersedia untuk bersaing, meningkatkan produktivitas kerja, memudahkan pencapaian sasaran strategis serta semakin mengokohkan struktur kerja. Kompensasi dapat mempertahankan daur dan ritme motivasi dalam siklus perbaikan keseimbangan fisioligis dan psikologis dan perubahan  tingkat  kepuasan kerja. Seorang pemimpin yang cakap akan mampu menggerakkan, mengalokasikan dan merelokasikan semua faktor motivasional diatas secara proporsional dan akurat, sehingga kepemimpinannya dapat dinilai sangat efektif.
Mengacu pada paparan diatas, sudah saatnya kita bercermin  sejauh mana kepemimpinan tim kerja di tempat  kita “menyabung nyawa” dan berkarir, telah menunjukkan kepiawaiannya, khusus dalam menghadapi krisis yang selalu membayangi, baik ancaman yang berasal dari dalam negeri maupun guncangan di tingkat global. Soliditas dan kapabilitas kepemimpinan tim kerja akan dipertaruhkan, melalui pelbagai ujian dan guncangan, yakni sejauhmana hasil atau kinerja yang mampu diraih dalam rentang sejarah. Sebagaimana pepatah yang diungkap Peter Drucker bahwa “Management is doing things right; Leadership is doing the right things”, dapat diukir menjadi kenyataan.

Jakarta, 3 Juli 2012
Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar