Dewasa ini perkembangan teknologi di
bidang informasi dan komunikasi (ICT) telah berkembang sedemikian cepat. Hampir
semua aktivitas kehidupan manusia telah mengambil manfaat dan nilai yang telah
dicapai oleh kemajuan di bidang teknologi ini, sehingga orang dipermudah dan
dipercepat untuk mendapatkan informasi yang paling mutakhir yang sangat mereka
butuhkan, tanpa harus beranjak dari tempat duduknya. Namun demikian tidak semua
bentuk komunikasi dapat digantikan oleh kemajuan dibidang teknologi ini, meskipun di era sekarang seseorang
dapat berkomunikasi tatap muka di layar kaca, yang secara fisik dibatasi oleh jarak
ber mil-mil kilometer dengan lawan bicaranya. Organisasi bisnis masa kini
tentunya sangat terbantu dengan perkembangan teknologi yang pesat ini. Namun
ketika seseorang diundang makan malam oleh mitra bisnis, atau perayaan ulang
tahun pemilik perusahaan, dan bahkan ketika kita bercengkrama dengan teman
sejawat saat makan siang, tetap membutuhkan komunikasi interpersonal.
Komunikasi interpersonal bukan sekedar bertukar informasi, tetapi juga bertukar
perasaan, berbagi kebahagiaan, bahkan juga berbagi rasa haru dan kesedihan.
Dibalik peralatan yang canggih itu terdapat manusia-manusia yang tetap
membutuhkan sentuhan emosi, keakraban, saling mengasihi dan saling berbagi
rasa. Ketika seseorang melakukan konseling terhadap para pekerja yang tengah dilanda
depresi, atau persoalan berat lainnya, tentunya tidak bisa dilakukan melalui
pembicaraan pesawat telepon. Banyak data penting yang dibutuhkan oleh seorang konselor
profesional hanya bisa diperoleh melalui pertemuan tatap muka langsung,
terutama untuk melakukan analisis dan diagnosis. Sehingga komunikasi
interpersonal dalam organisasi bisnis tetap diperlukan, dan bahkan tidak dapat digantikan.
Komunikasi adalah pertukaran dan arus
informasi serta ide dari satu orang ke orang lain dengan menggunakan transmisi
untuk menyampaikan ide, informasi, atau perasaan ke pihak penerima. Komunikasi
yang efektif dapat terjadi hanya jika pihak penerima mengerti informasi yang tepat
sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pihak pengirim pesan. Banyak masalah yang
terjadi dalam suatu organisasi bisnis, salah satunya diakibatkan karena orang gagal dalam
melakukan proses komunikasi, misalnya karena adanya suatu gagasan atau konsep
yang membingungkan bagi pihak penerima pesan, sehingga rencana bisnis yang baik pun bisa berakhir pada
kegagalan. Mempelajari proses komunikasi menjadi penting karena dalam
organisasi para pemimpin acap diakrabkan
dengan pelbagai kegiatan, seperti pelatihan, koordinasi, pemberian nasihat, supervisi,
evaluasi jabatan, rapat rutin internal mingguan atau bualan dan pengendalian
yang keseluruhannya menuntut kepiawaian dalam melakukan proses komunikasi ini.
Suatu komunikasi yang baik dapat
menciptakan rantai pemahaman yang terpadu antar para pekerja dalam organisasi
secara hirarkis baik vertikal,
horisontal maupun diagonal.
Sebagaimana telah banyak diketahui
umum, proses komunikasi dapat berlangsung jika terpenuhi faktor-faktor berikut
ini: Pertama,
adanya suatu gagasan atau pemikiran dan perasaan yang merupakan bahan informasi yang masih
berada dalam benak pihak pengirim. Kedua,
proses penyandian (encoding), yakni penyampaian pesan yang dikirim ke pihak penerima
dengan kemasan kata atau simbol lainnya. Ketiga,
proses
pengolahan sandi (decoding), yaitu proses menerjemahkan kata-kata atau simbol
sesuai konsep atau informasi yang dimiliki oleh penerima sepanjang yang dapat ia mengerti. Selama proses pengiriman pesan paling tidak
terdapat dua aspek yang akan diterima
oleh pihak penerima pesan, yakni adanya faktor isi dan konteks pesan. Isi atau content adalah kata-kata atau simbol sebenarnya
dari pesan yang sering dikenal sebagai bahasa, yaitu kata-kata lisan dan
tulisan digabungkan menjadi frase yang masuk akal baik dalam hal gramatikal
maupun semantik. Semantik adalah ilmu tentang arti, karena hampir semua
komunikasi bersifat simbolik yang memerlukan penafsiran, sehingga pendekatan
semantik diperlukan. Setiap orang dapat menggunakan dan menafsirkan makna
kata-kata secara berbeda, bahkan seringkali pesan sesederhana apapun dapat
disalah tafsirkan, sehingga sering disebut sebagai hambatan semantik. Dalam hal
ini banyak kata yang memiliki arti
berbeda dan kadang membingungkan sehingga suatu komunikasi menjadi
kurang efektif. Adapun yang dimaksud dengan konteks adalah cara pesan itu
disampaikan dalam lingkup lingkungannya. Banyaknya pesan dalam bentuk kata-kata
akan menjadi lebih jelas kalau diletakkan dalam konteksnya. Sehingga
komunikator ulung akan memusatkan komunikasi pada gagasannya bukan pada
kata-katanya. Kata-kata tidak berarti, menjadi berarti karena ada yang
mengartikannya. Konteks menyediakan arti bagi kata-kata melalui isyarat sosial
(social cues) pihak penerima. Yang
dimaksud dengan isyarat sosial adalah nada suara, nama pekerjaan, pola pakaian
serta rangkaian riwayat simbol dan kata-kata dalam budaya tertentu. Dalam
menafsirkan isyarat nonverbal ketika
orang berbicara atau berpidato seperti nada suara, sorot mata, bahasa tubuh,
gerakan tangan, dan keadaan emosi perlu dilihat dalam lingkup konteks ini.
Apakah suatu ungkapan merupakan ekspresi
rasa marah, takut, keraguan, keyakinan dan lainnya yang kesemuanya sebenarnya dapat difahami kalau
sudah diketahui konteksnya. Suatu konteks
dapat disalah fahami, di satu sisi sebagian orang lebih mempercayai tentang apa
yang dilihat daripada apa yang didengar, dan di sisi yang lain sebagian
orang lain lagi lebih mempercayai keakuratan perilaku
nonverbal ketimbang perilaku verbal. Kesemuanya
dapat terjadi karena adanya ambiguitas isyarat tertentu yang disebabkan adanya
perbedaan individu yang masing-masing memiliki latarbelakang budaya dan tradisi
yang berbeda.
Secara apriori seorang pemimpin sering berpikir bahwa mereka merasa telah
berkomunikasi dengan baik setelah
memerintahkan kepada para bawahannya untuk melakukan sesuatu, namun kemudian ia
segera mengeluh dengan ungkapan"Saya tidak habis pikir mengapa
pekerjaan itu tidak bisa dilakukan,
padahal saya sudah memerintahkan untuk mengerjakannya”. Padahal secara
sederhana dapat dirumuskan, bahwa suatu
pesan belum dapat dikatakan telah dikomunikasikan dengan baik apabila belum dipahami oleh pihak penerima dengan baik. Maka
untuk mengetahui bahwa pesan yang disampaikan secara benar telah diterima, dapat diketahui dari
respon umpan balik. Umpan balik akan memberitahu pihak pengirim bahwa pihak
penerima pesan benar-benar telah mengerti, tingkat urgensi pesan, dan apa yang
harus segera dikerjakan dengan itu. Yang harus diketahui dengan baik adalah
bahwa komunikasi merupakan pertukaran, bukan hanya penyampaian searah, dimana
semua pihak perlu berpartisipasi untuk menyelesaikan pertukaran informasi dengan
baik. Dalam hal ini perlu disadari, bahwa apapun yang mencegah pemahaman
terhadap pesan sehingga menjadi faktor kendala dalam berkomunikasi perlu segera
terdeteksi dan diketahui, baik dalam bentuk penghalang yang bersifat fisik
maupun psikologis. Begitu juga suatu bias yang disebabkan oleh perbedaan latar
belakang budaya dan pengalaman masa lalu seseorang dapat mengubah makna pesan.
Seringkali dalam memahami sesuatu yang baru seseorang dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu – baik secara budaya atau latar belakang - yang dapat
mempengaruhi proses komunikasi. Sedangkan secara fisik faktor peralatan
atau kebisingan lingkungan dapat menghambat kejelasan pesan komunikasi. Pihak pengirim
dan penerima keduanya harus mampu berkonsentrasi pada lalu lintas pertukaran
pesan.
Suatu komunikasi yang terlalu
berfokus pada diri sendiri dan kurang memperhatikan
sisi pemahaman dari lawan bicara dapat
memicu kebingungan dan konflik. Sikap yang terlalu berfokus pada diri sendiri,
sering mencerminkan adanya perlindungan terhadap ego pribadi yang berlebihan.
Salah satu bentuk perilaku egosentris itu adalah adanya sikap defensif,
misalnya suatu pesan yang mengandung koreksi diterjemahkan sebagai suatu pesan
yang bersifat menyerang. Bisa juga karena seseorang sudah merasa lebih unggul
dan tahu lebih banyak ketimbang orang lain, sehingga merasa sebagai orang
penting dan pusat aktivitas yang kata-katanya harus selalu diikuti. Begitu juga
adanya persepsi subyektif yang menganggap pihak lain berbicara terlalu cepat,
tidak lancar dan tidak mengartikulasikan kata-kata dengan jelas dapat
mengganggu proses komunikasi. Sikap prasangka juga akan mempengaruhi
kemampuan untuk bertindak sebagai
pendengar yang baik. Pada sisi yang lain
seseorang cenderung bersikap tidak kritis kepada orang yang memiliki status
tinggi dan lebih mudah menyela kepada mereka yang berstatus lebih rendah. Gangguan
pada pesan juga dapat terjadi bila kita terlalu berfokus pada fakta dan bukan pada
substansi ide. Dari beberapa tes yang dilakukan, gangguan semantik dapat terjadi jika sebuah
kata digunakan dengan arti yang berbeda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Seseorang
yang sedang mengalami stres akan melihat
persoalan dengan cara yang berbeda ketimbang ketika tidak sedang mengalami
stres. Apa yang kita lihat dan percaya pada saat tertentu dipengaruhi oleh
latar belakang kerangka psikologis berupa keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan, pengalaman,
dan tujuan hidupnya. Perlu dibedakan pula antara pengertian mendengar dan
mendengarkan. Mendengar adalah sikap pasif
saat menyimak suara, sementara
mendengarkan adalah aktivitas selektif yang melibatkan interpretasi terhadap
stimulus, yakni menerjemahkan suara menjadi makna. Namun aktivitas mendengarkan
dapat dibagi lagi menjadi dua kategori utama, yakni yang bersifat pasif dan
aktif. Mendengarkan pasif merupakan sikap penerima pesan cukup hanya dengan
sedikit motivasi untuk mendengarkan dengan cermat, seperti ketika mendengarkan musik,
cerita dan televisi. Namun demikian
pikiran kita juga mudah melayang, yakni memikirkan hal-hal lain sambil
mendengarkan pesan dari seseorang. Untuk itu seseorang perlu mendengar secara aktif dengan mengkaitkan antara
mendengarkan dengan manfaat atau nilai yang hendak dicapai. Sehingga pada saat mendengarkan
seseorang dalam posisi tengah menyimak
informasi yang berharga, misalnya untuk memperoleh kejelasan arah, memahami lebih
baik orang lain, memecahkan masalah kenaikan harga saham, mempelajari bagaimana
orang lain merasa dan menunjukkan dukungan. Dengan demikian posisi penerima pesan mensyaratkan juga sebagai seorang
pendengar yang aktif dengan mengikuti
kata-kata dan perasaan dari pengirim pesan untuk dapat difahami. Maka dalam hal
mendengarkan seseorang akan memerlukan jumlah energi yang sama atau bahkan lebih ketimbang ketika berbicara. Energi
dibutuhkan ketika penerima pesan betul-betul serius mendengarkan berbagai
pesan, memahami makna, dan kemudian memverifikasi makna untuk diberi umpan balik.
Untuk melatih diri menjadi seorang pendengar yang aktif, dapat dilakukan
hal-hal sebagai berikut: Pertama, luangkan
waktu lebih banyak untuk belajar mendengarkan daripada berbicara. Kedua, jangan menyela atau melanjutkan
kalimat orang lain yang belum selesai berbicara. Ketiga, jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Keempat,
jangan pernah lamunan menyibukkan pikiran sendiri pada saat
orang lain berbicara. Kelima, biarkan
pembicara lain berbicara dan jangan biasakan
senang mendominasi percakapan. Keenam, tanggapan
disampaikan setelah yang lain selesai berbicara, dan tidak ketika orang lain sedang
berbicara. Ketujuh, dalam menyampaikan umpan balik jangan sampai terlalu
banyak interupsi. Kedelapan,
melakukan analisis dengan melihat semua faktor yang
relevan dan menanyakan pertanyaan dengan terbuka dan ringkas. Kesembilan, jaga
agar percakapan hanya pada apa yang orang lain katakan, dan tidak menyelidiki pada
apa kepentingan lawan bicara dibalik itu.
Biasakan membuat catatan ringkas, agar lawan bicara berkonsentrasi pada apa
yang ia katakan. Dan hal terpenting
seperti dikatakan oleh Konfusius, “ bila
anda tahu sesuatu, katakan apa yang anda tahu. Bila anda tidak tahu sesuatu,
katakan bahwa anda tidak tahu. Itu adalah pengetahuan”. Tujuan umpan balik adalah untuk mengubah pesan
sehingga pesan asli dari komunikator
dapat dipahami oleh komunikator lain. Dalam hal Ini termasuk tanggapan verbal
dan nonverbal untuk pesan dari orang lain itu.
Untuk menyampaikan umpan balik seseorang dapat mengutip kata-kata dari
pengirim pesan. Misalnya, dengan menyatakan kembali perasaan atau ide dari
pihak pengirim pesan dengan formulasi kata-kata sendiri dengan tidak harus
mengulangi kata-kata mereka. Contohnya dengan berkata, " saya mengerti tentang
perasaan anda saat ini yang tengah galau, apakah ungkapan saya benar?" Hal
tersebut tidak hanya disampaikan dalam tanggapan verbal saja, namun dapat
dibarengi dengan isyarat nonverbal dengan menunjukkan mimik muka simpatik
misalnya. Dalam hal ini, isyarat mengangguk atau meremas tangan dapat menunjukkan
persetujuan, mengerutkan kening dapat menunjukkan isyarat tidak mengerti
terhadap maksud kata-kata terakhir dari lawan bicara, atau isyarat menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya, menunjukkan isyarat
bahwa situasi benar-benar pelik. Tentunya dalam melakukan komunikasi sebaiknya
pendengar mencoba untuk memahami terlebih dahulu, sebelum ia mengevaluasi apa
yang orang lain katakan. Untuk memberikan dampak pada penguatan pesan,
komunikasi non verbal dapat dilakukan, khususnya pada saat melakukan komunikasi
interpersonal, yakni: Pertama, kontak mata, mata adalah
jendela hati, menggunakan kontak mata dalam komunikasi interpersonal dapat
meningkatkan kredibilitas pembicara, jika sorot dan tatapan mata seseorang kukuh dan
meyakinkan. Begitu pula dengan mata akan terasa sejauh mana perhatian,
kehangatan, dan respek disampaikan kepada lawan bicara. Kedua, ekspresi wajah, pesan yang disampaikan melalui ekspresi
wajah atau mimik muka dapat diresonansikan kepada lawan bicara. Yang paling
sederhana misalnya adalah senyum, orang akan mudah menangkap pesan keramahan,
kehangatan, dan ketulusan dari ekspresi senyuman seseorang. Malah senyum
mudah menular untuk menimbulkan reaksi yang baik dari seseorang. Dengan senyum
orang akan mudah dianggap ramah,
menyenangkan, hangat dan mudah akrab untuk didekati. Duduk bersama orang yang
ramah akan memberi kesan menyenangkan dan menimbulkan rasa nyaman, sehingga
orang betah dan bersedia mendengarkan dan bicara terbuka lebih banyak. Ketiga,
gestur, orang yang berbicara dengan kaku tanpa dibarengi perubahan gestur
mungkin akan dianggap sebagai komunikator yang dingin dan membosankan. Bahasa
gerak tubuh akan membuat pembicaraan lebih menarik, mengundang perhatian
pendengar, bahkan memudahkan pemahaman. Keempat, postur tubuh dan orientasi,
akan lebih menarik jika berkomunikasi secara lebih atraktif sesuai postur yang
dimiliki seorang komunikator. Banyak
pesan yang dapat disampaikan dengan isyarat gerakan postur tubuh. Berdiri tegak
atau bersandar dapat mengkomunikasikan
kepada orang lain tentang apakah seseorang mudah didekati, terbuka atau ramah. Kedekatan interpersonal akan
dirasakan ketika posisi berbicara saling berhadapan. Berbicara dengan punggung
berpaling, memandang lantai atau menatap
langit-langit sedapat mungkin perlu dihindari karena dapat menciptakan suasana
yang kurang komunikatif. Kelima,
jarak, masing-masing budaya memiliki norma tak tertulis tentang jarak nyaman
untuk berinteraksi dengan orang lain. Seseorang dalam komunikasi interpersonal,
harus pandai mencari sinyal zona ketidak-nyamanan dalam berkomunkasi sehingga
tidak dirasakan sebagai sedang menginvasi ruang orang lain. Keenam, vokal, khusus dalam memberikan
pembekalan materi bahan ajar – misalnya ketika dalam suasana pelatihan –
pengaturan aspek nada (pitch), ritme, warna nada (timbre) dan tingkat kenyaringan
suara akan mempengaruhi efektivitas belajar. Nada suara yang monoton dalam menyampaikan
kuliah misalnya – meski tidak ada yang berani mengkritik secara terus terang –
dapat menimbulkan kebosanan. Pendengar akan pura-pura ngantuk, duduk dengan
tidak bersemangat, atau dalam bentuk yang lebih frontal adalah ngobrol diantara
mereka sendiri. Dengan demikian improvisasi dalam menyampaikan perkuliahan
menjadi penting, bagaimana memberi kesempatan untuk berkomentar, mengajukan
pertanyaan dan menyatakan pendapat juga akan mendukung pada efektivitas
belajar. Disamping sejauhmana seorang pengajar
dapat menempatkan diri pada posisi orang lain dengan mempertimbangkan
perasaan masing-masing peserta didik. Untuk hal itu pastikan juga bahwa intonasi
nada dan kata serta bahasa nonverbal, seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah
berjalan sinkron, agar seorang pembicara tidak tersiksa akibat sikapnya yang terlalu
dibuat-buat. Mehrabian dan Ferris, telah melakukan
penelitian berkenaan dengan sikap pendengar
dihadapkan pada sikap umum
pembicara dalam situasi di mana ekspresi wajah, nada, dan kata-kata mengirimkan
sinyal yang tidak sinkron atau saling bertentangan. Mereka merancang percobaan dengan
meneliti interaksi pidato, ekspresi wajah dan nada. Kelompok eksperimen diinstruksikan untuk
mendengarkan dan memberikan penafsiran terhadap sebuah kata, sambil
diperlihatkan gambar-gambar model, dan diminta untuk menilai sikap pembicara.
Diupayakan juga agar emosi dan nada sering dicampur, begitu pula ekspresi wajah
tidak suka, dengan kata dan nada
positif. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa ketika seseorang berkomunikasi, maka
informasi tentang sikap pembicara oleh pendengar diperoleh dari isyarat visual,
intonasi, dan verbal, namun demikian persentase pengaruhnya bervariasi
tergantung pada sejumlah faktor lain, seperti konteks komunikasi, dan seberapa
baik komunikator saling mengenal. Demikian pula, Paul Ekman telah mempelajari
emosi dan ekspresi wajah, dan menemukan enam kategori ungkapan emosi yang
tercermin kedalam ekspresi wajah, yang berlaku bagi orang hampir di seluruh
dunia, yakni: kebahagiaan, kesedihan, marah, takut, jijik, dan terkejut. Ekspresi emosi adalah suatu hal
yang sulit untuk dibuat-buat, dan ekspresi spontan sulit ditiru ketika seseorang belum mengalami
peristiwa yang sama. Sebagai contoh,
ketika seseorang benar-benar sedang bahagia, otot-otot yang digunakan untuk
tersenyum dikendalikan oleh sistem limbik dan bagian lain dari otak, yang tidak
berada di bawah kontrol kesadaran. Ketika seseorang memaksakan diri tersenyum,
bagian otak lain digunakan, yakni korteks serebral (di bawah kontrol kesadaran),
maka yang digunakan adalah otot-otot lain yang berbeda pula. Inilah sebabnya
mengapa seorang pekerja yang mungkin tidak memiliki kepentingan nyata terhadap
salah seorang atasan, memperlihatkan tampilan palsu ketika ia memaksa
untuk tersenyum, dan menggunakan salah
satu otot untuk bekerja secara tidak sukarela. Itulah sebabnya, orang yang senantiasa berperilaku palsu
dirinya akan mudah lelah. Tentu saja, seorang
aktor profesional akan berlatih untuk mengendalikan semua otot wajah
mereka, disamping ia juga menarik pengalaman emosional masa lalu untuk
menghasilkan keadaan emosional yang mereka inginkan. Tanpa latihan yang
sungguh-sungguh, hal ini bukan trik mudah untuk melakukannya sepanjang waktu.
Alasannya karena sebagian dari emosi
manusia berevolusi untuk berhubungan dengan orang termasuk untuk
menumbuhkan sifat empati. Jika
emosi-emosi ini dengan mudah bisa dipalsukan, maka hal ini akan berbahaya jauh daripada yang dapat dibayangkan (Pinker, 1997). Dengan demikian, emosi seseorang tidak hanya menuntun keputusan dirinya, emosi juga dapat dikomunikasikan kepada orang
lain untuk membantu orang lain mengambil keputusan, malah dalam kasus yang
lebih dramatis, dengan keterlibatan emosi yang dalam seseorang bisa memerintahkan
orang lain untuk melakukan bunuh diri. Dalam hal ini tentunya emosi dirinya
sendiri akan menjadi panduan utama, tetapi emosi serupa yang ditemukan dalam diri orang lain akan menjadi
bagian dari basis pengalaman kebersamaan. Semua orang berkomunikasi hampir
setiap hari dalam hidupnya, jauh lebih sering
ketimbang yang dilakukan dalam berorganisasi. Dalam organisasi perbedaan
jenis pekerjaan dan jabatan akan menuntut masing-masing pekerja untuk memainkan
peran yang berbeda-beda, dan dinamika ini akan mempengaruhi pola komunikasi
mereka. Seorang direktur akan lebih leluasa berkomunikasi dan berhubungan
dengan wakil direktur atau sekretarisnya, namun seorang operator mesin bubut
misalnya, tidak mudah untuk berkomunikasi secara leluasa dengan seorang pejabat
teras. Orang yang menduduki jabatan pimpinan banyak melakukan komunikasi
lateral, yaitu komunikasi menyilang garis komando. Bentuk komunikasi ini
diperlukan untuk mengkoordinasi pekerjaan dengan orang lain di departemen yang
lain. Orang lebih menyukai komunikasi informal yang bersifat lateral ketimbang komunikasi formal dengan garis
komando. Maka ruang makan, waktu rehat kopi dan tempat rekreasi pimpinan
mengandung arti sosial yang penting dalam organisasi untuk dilakukannya
komunikasi informal sebagai penghubung batas (boundery spanners) dan
terbukanya ruang bagi dilakukannya komunikasi interpersonal. Komunikasi
interpersonal merupakan kebutuhan alami manusia – komunikasi dari hati ke hati
- yang tidak dapat digantikan oleh peralatan dan mesin secanggih apapun, begitu
juga ia tidak dapat dibatasi oleh dinding dan sekat struktur formal organisasi. Tentunya seorang
pemimpin yang efektif akan mampu memanfaatkan masukkan dari komunikasi
interpersonal ini sebagai hal yang konstruktif bagi kelangsungan organisasi
mereka. Last but not least, mengacu
pada ucapan Bill Gates, bahwa terdapat keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses
saat ini. Diantaranya adalah dengan memperhatikan aspek keterampilan komunikasi,
sebagai pencerminan rasa ingin tahu tentang dunia, disamping kemampuan berfikir
kritis yang juga penting. Dalam profesi sebagai tenaga pendidik, kepandaian
berkomunikasi perlu ditanamkan kepada para mahasiswa sebagai suatu keharusan
terutama kepandaian dalam komunikasi dua arah dan tertulis dalam pelbagai
mimbar keilmuan yang diyakini sampai saat ini masih terasa sangat lemah. Untuk
itu segala upaya perlu segera digalakkan, dan jangan sampai tertunda lagi.
Sebagai
tambahan, kepada rekan-rekan yang beragama Islam kami menyampaikan ‘Selamat
Menunaikan Ibadah Puasa’. Dengan harapan semoga Tuhan memberkati kita sekalian.
“Amin”
Jakarta, 18
Juli 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar