KEPEMIMPINAN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN
Sebagaimana pernah
ditulis dalam artikel terdahulu di serial kolom ini, bahwa belum ada suatu
definisi yang seragam tentang kewirausahaan. Salah satu sebabnya adalah bahwa
dari penelitian kewirausahaan belum terbentuk kerangka kerja untuk
memfasilitasi penemuan fenomena empiris yang memadai dan utuh, sedangkan
kerangka kerja konseptual ini tentunya mudah ditemui di bidang penelitian ilmu sosial yang mapan.
Oleh karena itu para peneliti di bidang kewirausahaan mengajak
para sarjana manajemen bergabung dalam upaya menyusun “batang tubuh” keilmuan tentang
kewirausahaan secara sistematis. Secara implisit juga terkandung keinginan
untuk mengkaitkan antara studi tentang kewirausahaan dengan kepemimpinan
organisasional yang selama ini secara praktikal sering dibahas dalam perdebatan
apakah “ayam” atau “telor” terlebih dahulu. Tentu saja fungsi masing-masing
secara individual bertanggung jawab dalam penciptaan barang dan/atau
jasa serta pemanfaatan peluang pasar. Penelitian akan lebih fokus, jika konsentrasi
diarahkan langsung pada orang-orang yang bertanggung jawab atas kinerja
organisasi perusahaan, seperti kepada para CEO, manajemen tim atas (TMT) atau dewan direksi. Perhatian perlu diarahkan
pada pemimpin strategik di perusahaan-perusahaan yang tadinya dirintis dan digerakkan
oleh semangat kewirausahaan, dengan melihat hubungan antara upaya kewirausahaan
secara individual dan kinerja perusahaan
dalam konteks keorganisasian secara
lebih khusus. Sebagaimana dicatat dalam studi Dalton (1992), dampak dari sikap
kewirausahaan pada pelaksanaan tugas struktural dan kepemimpinan strategik mungkin yang paling terasa. Dalam hal ini
terdapat hasil studi yang konsisten bahwa peran wirausahawan terhadap kinerja organisasi
perusahaan lebih kuat pada perusahaan berskala lebih kecil, ketimbang pada organisasi
perusahaan berskala besar (Dalton Johnson & Ellstrand, 1999). Dengan
meletakkan kinerja sebagai variabel terpengaruh, inti dari studi ini ingin
melihat sejauh mana para pemimpin perusahaan memberikan pengaruh minimal atau
signifikan terhadap kinerja perusahaan. Dari penelitian Dalton sebelumnya telah
menyarankan, peran dan arti kepemimpinan dalam konteks kewirausahaan, harus
terlihat dalam tubuh organisasi perusahaan secara umum, khususnya tentang bagaimana
sikap kewirausahaan dalam menangani pengelolaan kepemimpinan strategik dalam
hubungannya dengan kinerja perusahaan. Dalam hal ini penting untuk menentukan
batas-batas atau definisi tentang perusahaan yang dirintis dan didirikan oleh wirausahawan,
meski hal ini telah lama menjadi subyek perdebatan yang cukup intens ( Gartner,
1990; Rendah & MacMillan, 1988; Sharma & Chrisman, 1999). Sebuah
tinjauan sepintas "studi kewirausahaan" menggambarkan berbagai cara
dimana peneliti berusaha mengkonseptualisasikan perusahaan yang dirintis dan
didirikan para wirausahawan. Biasanya dimulai dengan ditemukan suatu perusahaan
dengan pertumbuhan tinggi pada saat bisnis dikelola oleh pemilik atau pendiri (Carland,
Hoy, Boulton & Carland, 1984;
d'Amboise & Muldowney, 1988). Sharma dan Chrisman (1999) menjawab
hal ini dengan upaya melakukan sistematisasi penggunaan terminologi di bidang
kewirausahaan. Kajian mereka berfokus pada kewirausahaan perusahaan, yang
mencoba memberikan landasan fundamental terhadap konsistensi definisi suatu
studi kewirausahaan. Konsistensi definisi ini penting bagi perkembangan teori
dan secara agregat memungkinkan peneliti memperoleh temuan empiris dari hasil
seluruh penelitian, sekaligus sebagai langkah menuju pembentukan basis
pengetahuan yang berlaku bagi organisasi perusahaan berbasis kewirausahaan.
Maka, Sharma dan Chrisman (1999) telah mendefinisikan kewirausahaan sebagai
"proses dimana seorang individu atau sekelompok individu bertindak secara
independen dalam kaitannya dengan suatu organisasi yang sudah ada, untuk menciptakan
suatu organisasi baru" (Low & MacMillan, 1988). Secara Lebih khusus, fokus
penelitian diarahkan pada studi empiris
hubungan antara kinerja perusahaan dan unsur pengelolaan kepemimpinan strategik,
sementara organisasi perusahaan yang bukan berbasis kewirausahaan ditetapkan
sebelumnya sebagai pembanding. Setiap ditemui perbedaan dalam tata cara pengoperasian
pada perusahaan berbasis kewirausahaan dicatat, dan dianggap dapat memberikan
sumbangan teoritis yang signifikan. Adapun bagi para peneliti lain misalnya,
lebih melihat bahwa tingkat pertumbuhan penjualan merupakan indikator yang
paling penting bagi kinerja usaha kewirausahaan (Ensley, Carland & Carland,
2000). Mungkin untuk sementara dapat disepakati bahwa pertumbuhan penjualan
merupakan indikator sangat penting untuk perusahaan berbasis kewirausahaan,
namun terdapat hal penting lainnya yang perlu dicatat, yaitu kinerja keuangan
perusahaan termasuk langkah-langkah akuntansi dan berbasis pasar (Brush &
Vanderwerf, 1992; Chrisman, Bauerschmidt & Hofer, 1998; McDougall, Covin,
Robinson & Herron, 1994; Murphy , Trailer & Hill, 1996; Zahra &
Bogner, 2000). Kategori kinerja keuangan terdiri dari variabel yang umum
digunakan, meski belum ada konsensus tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai
kinerja keuangan. Termasuk dalam kategori ini misalnya, studi yang lebih mengandalkan
pada aspek return on assets (ROA),
pengembalian ekuitas (ROE), pengembalian penjualan (ROS), likuiditas, penjualan
kotor, penjualan per karyawan, rasio hutang terhadap ekuitas, dan saham.
Kinerja keuangan merupakan salah satu matrik kinerja yang lebih umum
diterima. Kelangsungan hidup perusahaan merupakan matrik kinerja fundamental bagi perusahaan berbasis kewirausahaan,
mengingat tingginya tingkat kegagalan perusahaan dalam tahap awal pengembangannya.
Dalam hal ini termasuk juga kinerja Initial
Public Offering (IPO) sebagai kategori unik dan khusus bagi kinerja perusahaan berbasis kewirausahaan. IPO banyak diciptakan
oleh para pendiri, para pengusaha atau tim kewirausahaan (Certo et al.,2001). Dengan
asumsi diatas, dapat diketahui sejauh mana sebuah kepemimpinan perusahaan
benar-benar dapat mengimplementasikan perubahan strategik dalam rangka
meningkatkan kinerja keuangan. Sebagaimana tadi telah disinggung, oleh Dalton
dan Kesner (1983), asumsi tersebut dipertanyakan
keabsahannya, terutama dalam konteks suatu organisasi perusahaan yang berskala besar.
Pertanyaan tersebut masuk akal, karena dalam organisasi berskala besar lebih melibatkan
banyak orang, besaran skala dan kompleksitas organisasi, dan berbagai
kepentingan lain baik di dalam dan diluar perusahaan merupakan kendala
potensial bagi terjadinya perubahan strategik menuju sukses. Terkait dengan hal
tersebut, Finkelstein dan Hambrick (1996) sependapat bahwa kombinasi dari
pelbagai ambiguitas, kompleksitas, dan tuntutan stakeholders yang kadang bersaing di perusahaan berskala besar
dapat mengganggu efektivitas pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.
Harus diakui bahwa para pemimpin organisasi memberikan pengaruh kuat pada
proses organisasi dan hasil, terutama ketika perusahaan menghadapi krisis
seperti berkenaan dengan kemerosotan
keuangan (Dalton et al., 1998). Dalam konteks krisis ini kebutuhan akan
kepemimpinan yang efektif sangat jelas, khususnya akan kehadiran seorang pemimpin
perusahaan yang mampu memulihkan kembali stabilitas keuangan (Hambrick &
D'Aveni, 1992). Perusahaan berbasis kewirausahaan memiliki kelebihan dimana kinerja kepemimpinan
memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Berbeda dengan perspektif organisasi
secara umum dimana aspek kepemimpinan lebih dibatasi oleh pengaturan
organisasi, maka beberapa aspek perusahaan berbasis kewirausahaan lebih memungkinkan
memfasilitasi kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi perubahan dan kinerja. Ternyata
ukuran perusahaan merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan manajerial.
Jelas bahwa perusahaan berskala kecil lebih dapat memfasilitasi kekuasaan dan
lebih memiliki fokus perencanaan perusahaan yang lebih sempit. Maka kepemimpinan
strategik di perusahaan berbasis kewirausahaan dapat menjadi produktif.
Misalnya, para CEO di perusahaan dimana mereka terlibat atau ikut mendirikan
perusahaan, termasuk perusahaan dengan modal ventura dapat secara signifikan
mempengaruhi kinerja perusahaan. Usaha dengan modal ventura adalah stakeholder yang relevan untuk
perusahaan berbasis kewirausahaan karena mampu memaksakan berbagai bentuk
kebijakan perusahaan sebagai pemegang ekuitas (Bruton, Goreng & Hisrich,
1997). Penelitian empiris tentang hubungan antara pendiri dan kinerja perusahaan
terdiri dari tiga kategori. Pertama,
penelitian telah menguji hubungan antara
CEO atau pendiri perusahaan dengan kinerja perusahaan. Kedua, penelitian telah difokuskan pada
hubungan antara karakteristik kepribadian pendiri, nilai dan keyakinan, keterampilan,
pengalaman dan pendidikan dengan kinerja perusahaan. Ketiga, terdapat beberapa penelitian yang menggabungkan
unsur-unsur dari kedua kategori diatas. Diantaranya adalah dampak langsung dari
status pendiri pada kinerja. Penelitian juga menguji perbandingkan kinerja pendiri
dengan kinerja non-pendiri sebagai
pekerja profesional yang dipimpin. Begley (1995), misalnya, mensurvei 239 CEO
perusahaan anggota Small Business
Administration di New England. Dia melaporkan berdasarkan sampel, bahwa
pendiri yang ikut mengelola perusahaan memiliki ROA lebih tinggi daripada non-pendiri
yang mengelola perusahaan. Namun dalam studi lain di 155 perusahaan, Willard
et.al (1992) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kinerja pendiri dan
non pendiri.
Menanggapi keragaman
dalam temuan, Chandler dan Hanks (1994) telah menyarankan bahwa aspek kompetensi
pendiri merupakan prediktor yang lebih berdampak pada kinerja daripada aspek
karakteristik pendiri. Yang dimaksud dengan karakteristik pendiri adalah karakteristik
kepribadian, nilai dan keyakinan, keterampilan serta pengalaman dan pendidikan.
Konsisten dengan pandangan ini, Westhead dan Birley (1995) mengamati bahwa variabel
karakteristik pendiri bukan prediktor bagi
pertumbuhan lapangan kerja di antara 408 perusahaan baru di Inggris. Namun,
pertumbuhan itu sangat dipengaruhi oleh keputusan strategik dan apa yang
diperbuat oleh pemilik selaku manajer, seperti keputusan dalam menentukan pilihan
niche (ceruk) industri dan pasar,
pembiayaan, pemasok, dan pelanggan. Singkatnya, efek pendiri pada kinerja
perusahaan mungkin lebih disebabkan oleh apa yang pendiri lakukan dan bukan
oleh status atau karakteristik pendiri.
Secara keseluruhan,
penelitian tentang korelasi antara status pendiri dan kinerja perusahaan relatif
tipis dan samar-samar. Namun demikian efek kontingensi hubungan antara status pendiri dan kinerja perusahaan
tetap menjadi catatan tersendiri. Mayoritas peneliti dalam menilai kinerja
perusahaan tetap difokuskan pada kinerja keuangan, dengan argumen kinerja
keuangan memiliki dampak positif yang jelas pada kinerja perusahaan serta
pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan. Dari sisi asumsi teori
pengendalian, menunjukkan bahwa sentralisasi otoritas, seperti yang ditemukan
dalam struktur ganda, dimana terdapat jabatan rangkap di level CEO dapat berdampak
pada kinerja perusahaan. Asumsi akan manfaat dari dualitas CEO adalah adanya
otoritas garis pelaporan, hirarki terpusat, dan komunikasi kepemimpinan
perusahaan yang kuat (Dalton et.al 1998). Namun Dalton meneliti hubungan antara
dualitas CEO dan kinerja keuangan perusahaan pada 100 perusahaan, yakni melihat
akuntansi berbasis ukuran kinerja (ROA dan ROE) dengan ukuran kinerja berbasis
pasar (rasio harga-laba), namun demikian hubungan antara dualitas CEO dan
kinerja keuangan tidak signifikan. Sebuah studi terkait terhadap perusahaan berskala
kecil juga tidak ditemukan hubungan antara dualitas CEO dan kinerja keuangan
perusahaan, baik yang berbasis pada akuntansi (ROA dan ROE) atau yang berbasis
pada pasar (rasio harga-laba). Para peneliti ini juga tidak menemukan hubungan
dualitas CEO dengan pertumbuhan perusahaan. Singkatnya, dari studi ini menunjukkan
tidak ada bukti hubungan dualitas CEO dengan kinerja perusahaan berbasis kewirausahaan.
Dalam sebuah perusahaan berbasis kewirausahaan di mana CEO sering dirangkap
pendiri juga cenderung bermasalah. Hasil studi tentang kewirausahaan, bagaimanapun,
tidak mendukung dalil bahwa CEO dualitas secara sistematis terkait dengan kinerja
perusahaan.
Namun profil
demografis tertentu dari tim manajemen atas (TMT) lebih terkait dengan
kinerja keuangan. Asumsi para peneliti bahwa variabel demografis seperti usia
eksekutif, kepemilikan perusahaan, dan latar belakang pendidikan memberikan
pengaruh pada wawasan kecenderungan kognitif mereka. Namun asumsi inipun tidak
lepas dari kritik, yaitu adanya ketergantungan pada variabel demografis yang
mempengaruhi proses kognitif (Lawrence, 1997) Oleh karena itu para peneliti mengintegrasikan
faktor demografi dengan variabel proses (Pelled, Eisenhardt & Xin, 1999;
Waldman et al, 2001). Namun demikian penelitian yang berfokus pada fungsi TMT lebih
sedikit dibanding dengan seorang pengusaha sebagai sosok individual, padahal banyak
perusahaan berbasis kewirausahaan sangat bergantung pada pendekatan berbasis
tim manajemen atas (TMT) untuk efektivitas kepemimpinan (Eisenhardt
& Schoonhoven, 1990; Ensley et al, 2000). Ketergantungan pada tim manajemen
ini dapat
menyediakan akses ke beragam sumber dan keterampilan, tidak seperti pada
pengusaha secara individual. Meyer (1998) meneliti hubungan antara konsensus TMT
dan kinerja perusahaan di perusahaan berbasis kewirausahaan yang beroperasi di
kawasan industri dengan pertumbuhan tinggi. Penelitian mereka sangat penting
karena menggabungkan pendekatan berorientasi proses, yang mengandalkan pada data
primer yang diperoleh melalui survei dan wawancara terfokus. Kinerja perusahaan
diukur dari jumlah jawaban manajer puncak dengan tiga pertanyaan terkait
kinerja. Satu dari pertanyaan ini difokuskan pada kinerja relatif dan kinerja
ideal, dan dua sisa pertanyaan berfokus
pada kinerja sebagai keunggulan kompetitif. Hasilnya ternyata berlawanan dengan
temuan penelitian sebelumnya dan berbeda dengan konseptualisasi tentang
pentingnya konsensus. Peneliti menemukan bahwa konsensus tentang tujuan dipandang
sebagai kurang penting bagi perusahaan, disamaping itu diperoleh juga gambaran
adanya keterbatasan potensi seorang CEO dibandingkan dengan TMT pada perusahaan berbasis
kewirausahaan (Meyer, 1998). Mengabaikan perspektif TMT pada tujuan dan
dukungan sarana dan/ atau prasarana perusahaan dapat menyebabkan
ketidaksesuaian antara tujuan perusahaan dan lingkungannya, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan menurunnya kinerja perusahaan. Para peneliti
mengusulkan daripada memaksa kesepakatan di antara anggota TMT, maka perusahaan
akan lebih baik jika melayani dan mendengar keragaman pendapat yang diusulkan
tim TMT
dan dipertimbangkan sebagai masukan pada penetapan tujuan dan dukungan sarana dan/ atau prasarana. Pendapat
ini konsisten dengan temuan Ginn dan Sexton (1990) yang mengungkapkan bahwa
pertumbuhan perusahaan berskala kecil secara signifikan berkorelasi dengan
kesediaan pemilik untuk mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan. Untuk
melengkapi penelitian terkait yang mengandalkan pendekatan demografi, Weinzimmer
(1997) mengembangkan konsep konflik konstruktif untuk mengetahui hubungan
antara karakteristik TMT dan pertumbuhan perusahaan. Weinzimmer menemukan bahwa
heterogenitas fungsional antara anggota TMT berkorelasi positif dengan
pertumbuhan perusahaan berskala kecil secara signifikan. Begitu juga
heterogenitas fungsional berhubungan positif dengan pertumbuhan perusahaan
berskala besar. Dari temuan ini menunjukkan bahwa peran anggota TMT lebih
penting, sehubungan dengan pertumbuhan perusahaan berskala kecil. Hal ini
konsisten dengan manfaat yang didapat dari keragaman perspektif dan sumber daya
tim TMT, dibandingkan dengan manfaat
kekuasan yang terpusat pada individual pengusaha (one man show) pada perusahaan berbasis kewirausahaan. Menurut Siegel
dan MacMillan (1993) secara fungsional
suatu tim kewirausahaan berkorelasi
positif berjalan seimbang dengan pertumbuhan perusahaan berbasis kewirausahaan
(Roure & Madique, 1986). Lebih jauh Feeser dan Willard (1990) meneliti dampak skala atau ukuran TMT
terhadap pertumbuhan perusahaan. Meskipun
dalam TMT berskala lebih besar,
dimana proses pengambilan keputusan lebih lambat, namun tetap bahwa anggota TMT
yang lebih besar akan memungkinkan suatu pertumbuhan perusahaan yang lebih
besar pula. Mudah diduga, tim manajemen yang lebih besar memiliki potensi untuk
menyediakan lebih banyak keterampilan, kemampuan dan pengalaman. Para peneliti
lain menguji asumsi tersebut pada 100 perusahaan dengan teknologi tinggi, ternyata mendukung
penelitian sebelumnya, yakni adanya manfaat anggota TMT yang lebih besar dalam
kaitannya dengan pertumbuhan perusahaan (Cooper & Gimeno, 1992). Cooper (1997) telah mencatat bahwa konsep
"tim" sangat cocok untuk
kewirausahaan, sebagian upaya kewirausahaan banyak didirikan oleh tim dibandingkan oleh
individu, dimana usaha kewirausahaan dengan prospek pertumbuhan yang kuat
paling mampu menampung beberapa pendiri sebagai tim. Dengan demikian, pada
perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang kuat, cenderung lebih memerlukan
beberapa keterampilan yang dapat ditemukan pada kerja tim (Vesper, 1990).
Membentuk TMT yang berfungsi efektif sangat penting bagi keberhasilan sebuah
perusahaan berbasis kewirausahaan (Timmons, 1994). Fokus penelitian juga perlu
diarahkan pada hubungan antara komposisi dewan direksi dengan kinerja
perusahaan. Premis yang mendasari penelitian ini adalah bahwa independensi
pekerja papan atas akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Anggota
direksi tanpa koneksi pribadi atau sebagai profesional bagi perusahaan atau
manajemen perusahaan, ternyata diyakini lebih efektif dalam melindungi kepentingan
para pemegang saham sehingga berdampak pada kinerja perusahaan lebih tinggi (Dalton
et al., 1998). Bagi para pendiri perusahaan berbasis kewirausahaan, suatu
manfaat dapat diperoleh dari peran pengawasan eksternal yang diberikan oleh
struktur dewan direksi. Suatu penelitian tambahan juga dilakukan untuk melihat
hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan. Dalam hal ini
fokusnya lebih diarahkan pada kemampuan
dewan direksi untuk menyediakan akses ke sumber daya yang tidak dimiliki
perusahaan. Dewan direksi memiliki potensi untuk menciptakan hubungan antara
perusahaan dan lingkungannya. Sebagaimana pernah diteliti oleh Pfeffer dan
Salancik (1978), perusahaan yang memiliki kebutuhan sumber daya yang lebih
besar untuk berhubungan secara efektif dengan lingkungan eksternalnya harus
memiliki manajemen papan atas yang lebih besar pula. Perusahaan berbasis
kewirausahaan menyediakan konteks di mana manajemen papan atas yang lebih besar
terbukti bermanfaat. Setelah diidentifikasi konsistensi beberapa penelitian tentang
hubungan antara dewan direksi dan kinerja perusahaan, telah dihasilkan temuan
yang tidak selalu konsisten. Studi Finkle tidak menemukan hubungan antara
ukuran dewan direksi dan kinerja perusahaan, mungkin ukuran dewan direksi lebih
bermanfaat untuk membangun hubungan dengan mitra perusahaan dan lingkungannya.
Pada bagian awal,
telah disinggung efektifitas kepemimpinan strategik dalam berbagai bentuk, misalnya, CEO, anggota
TMT, dewan direksi yang terkait dengan kinerja perusahaan. Perlu digarisbawahi
sekali lagi, terdapat manfaat dari perbedaan anggota TMT, terbukti banyak perusahaan
berbasis kewirausahaan yang mengandalkan tim, peran TMT mungkin
terbukti penting dalam pertumbuhan dan keberhasilan kewirausahaan yang
konsisten dengan perspektif asas ketergantungan pada sumber daya. Dari berbagai
kajian menunjukkan bahwa perspektif ini terutama berlaku untuk perusahaan berbasis
kewirausahaan. Pendapat ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
positif antara dewan direksi, anggota TMT, ukuran dewan direksi, modal ventura
dan kinerja perusahaan.
Menurut Dalton et al.
(1999) adanya ketergantungan terhadap sumber daya menuntut peran pejabat papan
atas perusahaan atau anggota dewan direksi untuk melakukan hubungan eksternal
(misalnya akses ke dana ventura), dibandingkan peran kontrol kedalam, dalam mencapai
kinerja perusahaan. Pada perusahaan berbasis kewirausahaan, ketergantungan akan
sumber daya mungkin lebih besar ketimbang pada perusahaan yang sudah lebih dewasa.
Para investor dapat mengendalikan kebijakan, prosedur, atau praktik-praktik para
CEO dan anggota TMT. Sedangkan kemampuan
akan lebih dituntut dari anggota dewan direksi, pemodal ventura, atau manajer
papan atas untuk dapat menyediakan akses, informasi, dan sumber daya yang
diperlukan perusahaan. Maka penelitian ke depan tentang hubungan ketergantungan
sumber daya mungkin akan lebih menarik dan produktif. Bidang lain yang
menjanjikan untuk penelitian masa depan adalah dibuat desain penelitian
longitudinal yang dapat diandalkan untuk kepentingan penelitian kewirausahaan. Para
peneliti diharapkan dapat melacak
perkembangan perusahaan dari mulai pendiriannya sampai ia jatuh atau berhasil.
Dengan desain ini para peneliti dimungkinkan untuk menggunakan teknik analisis
canggih seperti multi-periodik analisis persamaan struktural. Desain seperti
ini tidak hanya memberikan perspektif longitudinal antar hubungan variabel tetapi
juga bisa memberi informasi bagi suatu diskusi tentang kausalitas. Para
pelanjut penelitian kewirausahaan mungkin lebih dapat memfokuskan penelitian pada potensi hubungan
non-linear. Mungkin saja para manajer papan atas dan komposisi dewan (sejumlah
direksi dan afiliasi) juga memiliki hubungan non-linear dengan kinerja
perusahaan. Fokus studi pada perspektif ketergantungan sumber daya mungkin akan
mendukung penelitian tentang tahap transisi perusahaan berbasis kewirausahaan,
disamping meneliti siklus kehidupan organisasi tersebut.
Dari uraian di atas dapat diperoleh suatu
gambaran, bahwa terdapat perbedaan antara orang yang mulai merintis sebuah perusahaan dengan orang yang mulai mencari pekerjaan di perusahaan
besar. Studi kewirausahaan belum menawarkan profil meyakinkan tentang adanya
faktor pembeda yang tegas dibanding dengan bentuk perusahaan lain. Pertanyaan
yang perlu diajukan adalah: Apakah teori
kewirausahaan menawarkan bentuk temuan yang lebih jelas berbeda, sehingga perlu
dilakukan studi terpisah, diluar bidang kepemimpinan? Setelah dilakukan
penelitian serta studi kepustakaan, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan
bahwa: Pertama, banyak metoda dan
fenomena yang sama ketika hendak mengkonstruk bidang kewirausahaan yang juga
ditemukan dalam mengkonstruk teori kepemimpinan. Kedua, terdapat faktor pengaruh hubungan antarpribadi baik dalam
studi kewirausahaan maupun kepemimpinan dalam konteks yang lebih sempit dan spesifik. Ketiga, temuan dalam studi kewirausahaan
masih berbentuk pola terputus-putus,
belum sistematis terintegrasi, dan Keempat,
kurangnya studi terhadap perbedaan
pelbagai jenis kewirausahaan, misalnya yang ditujukan khusus pada sektor tradisional
non-organisasional dalam suatu pola pendekatan yang dapat dibedakan dari yang lainnya.
Namun dari hasil penelitian empiris diperoleh gambaran bahwa kewirausahaan
bukan bagian dari tipe kepemimpinan spesifik, dan bukan pula jenis manifestasi kepemimpinan
kelompok kecil lainnya, seperti pembinaan tim olah raga atau pekerja relawan.
Sebagai bahan renungan, bagaimanapun seseorang
memiliki kecenderungan lebih alami untuk menjadi seorang pemimpin atau
wirausahawan. Persoalannya pada orang yang sama, sering ia mengandalkan pada satu
bidang kemampuan alami yang dimilikinya dengan
mengabaikan keterampilan inti untuk meningkatkan efektivitas keterampilannya.
Setiap orang dibekali refleks untuk berkembang, namun karena menyadari adanya
persaingan dalam hidup, sehingga seseorang merasa perlu untuk duduk di bangku
kuliah menimba ilmu guna memiliki kemampuan lebih baik dari kemampuan alami
yang telah dimiliki. Oleh karena itu pada titik berikutnya disadari adanya
sifat kepemimpinan bawaan yang juga cenderung memicu tumbuhnya sikap kewirausahaan.
Banyak keterampilan yang membuat para pemimpin dan pengusaha sukses yang bisa
dipelajari, dikembangkan, dipraktikkan, dan terasah. Sehingga melalui
pengalaman dan pelatihan, seseorang lebih mengenal tentang kepemimpinan yang berfokus pada keterampilan untuk
mengembangkan wawasan dan pengambilan keputusan yang dipandu oleh: visi, misi
dan tujuan, komunikasi, pengorganisasian, dan sinergisme saat pengelolaan perusahaan.
Yang jelas, seseorang yang berjuang mati-matian,
meski tidak memiliki karisma alami, mencoba untuk menyatakan pikirannya pada orang
lain. Walaupun dalam penilaian awal seharusnya ia gagal menjalankan peran kepemimpinan
dan wirausaha, maka pertanyaannya, mengapa seseorang tetap berkembang? Karena
dia bekerja keras untuk belajar dan mengembangkan apa yang dia bisa. Dan
orang-orang sebagai pimpinannya bisa melihat usahanya dan bersedia mentoleransi
kekurangan atau kelemahannya. Bahkan,
kelemahannya menjadi menawan bagi yang memimpinnya. Dalam hal ini banyak
pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan yang tidak tertuang dalam buku teks
atau luput dari penelaahan studi, namun berlangsung dengan kaidah dan hukumnya
sendiri. Maka setiap upaya keilmuan untuk menjelaskan kedua aspek tersebut, yakni kepemimpinan dan kewirausahaan, merupakan upaya yang patut mendapat
apresiasi yang tinggi, sebagaimana dikatakan oleh Sullivan bahwa suatu yang
penting dalam kepemimpinan dan kewirausahaan, dimana keduanya tidak bisa dikomoditasi.
Seseorang dapat menjual botol minuman dari rak, namum setiap pemimpin dan
pengusaha adalah unik, dimana keterampilan unik mereka, atribut, dan pendekatan
serta hasil buah tangannya tentunya tidak dapat dibeli. Terutama karena sebagian
besar dari kemampuan mereka meluncur dari hati, yang berarti terdapat gaya yang
berbeda-beda dalam menjalankan fungsi mereka sebagai pemimpinan dan wirausahawan.
Dalam hal ini untuk sementara kita belum dapat menjawab pertanyaan diseputar "Mana
yang lebih dulu-ayam atau telur?”,
Kewirausahaan dan kepemimpinan begitu terhubung dan saling terkait, sehingga
sulit untuk mengetahui benar-benar mana yang datang lebih dulu. Apakah ada
pengusaha sukses di belahan manapun yang berpikir bahwa mereka adalah yang
pertama? Semoga temuan-temuan berikutnya di bidang ini akan membawa pada
pemahaman yang lebih utuh tentang maksud dari studi di kedua bidang ini. Dimana
kepemimpinan dan kewirausahaan sebagai tema yang senantiasa relevan, aktual dan
menantang. Kembali kepada dunia pendidikan di persada ibu pertiwi tercinta ini, peran
kepemimpinan dan kewirausahaan merupakan faktor kunci dalam melakukan pelbagai
terobosan, khususnya dalam meningkatkan intelectual human capital
yang tidak dapat ditawar lagi, jika perguruan tinggi yang kita kelola ingin
disetarakan sebagai world class
university, pada tahun kapanpun akan dicapainya. Viva pendidikan tinggi
Indonesia!
Jakarta, 24 Juli 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar