.


Rabu, 25 Juli 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Kepemimpinan Berbasis Kewirausahaan





KEPEMIMPINAN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN


Sebagaimana pernah ditulis dalam artikel terdahulu di serial kolom ini, bahwa belum ada suatu definisi yang seragam tentang kewirausahaan. Salah satu sebabnya adalah bahwa dari penelitian kewirausahaan belum terbentuk kerangka kerja untuk memfasilitasi penemuan fenomena empiris yang memadai dan utuh, sedangkan kerangka kerja konseptual ini tentunya mudah ditemui  di bidang penelitian ilmu sosial yang mapan. Oleh karena itu para peneliti di bidang kewirausahaan  mengajak  para sarjana manajemen bergabung dalam upaya  menyusun “batang tubuh” keilmuan tentang kewirausahaan secara sistematis. Secara implisit juga terkandung keinginan untuk mengkaitkan antara studi tentang kewirausahaan dengan kepemimpinan organisasional yang selama ini secara praktikal sering dibahas dalam perdebatan apakah “ayam” atau “telor” terlebih dahulu. Tentu saja fungsi  masing-masing  secara individual bertanggung jawab dalam penciptaan barang dan/atau jasa serta pemanfaatan peluang pasar. Penelitian akan lebih fokus, jika konsentrasi diarahkan langsung pada orang-orang yang bertanggung jawab atas kinerja organisasi perusahaan, seperti kepada para CEO, manajemen tim atas (TMT)  atau dewan direksi. Perhatian perlu diarahkan pada pemimpin strategik di perusahaan-perusahaan yang tadinya dirintis dan digerakkan oleh semangat kewirausahaan, dengan melihat hubungan antara upaya kewirausahaan secara individual  dan kinerja perusahaan  dalam konteks keorganisasian secara lebih khusus. Sebagaimana dicatat dalam studi Dalton (1992), dampak dari sikap kewirausahaan pada pelaksanaan tugas struktural dan kepemimpinan strategik  mungkin yang paling terasa. Dalam hal ini terdapat hasil studi yang konsisten bahwa peran wirausahawan terhadap kinerja organisasi perusahaan lebih kuat pada perusahaan berskala lebih kecil, ketimbang pada organisasi perusahaan berskala besar (Dalton Johnson & Ellstrand, 1999). Dengan meletakkan kinerja sebagai variabel terpengaruh, inti dari studi ini ingin melihat sejauh mana para pemimpin perusahaan memberikan pengaruh minimal atau signifikan terhadap kinerja perusahaan. Dari penelitian Dalton sebelumnya telah menyarankan, peran dan arti kepemimpinan dalam konteks kewirausahaan, harus terlihat dalam tubuh organisasi perusahaan secara umum, khususnya tentang bagaimana sikap kewirausahaan dalam menangani pengelolaan kepemimpinan strategik dalam hubungannya dengan kinerja perusahaan. Dalam hal ini penting untuk menentukan batas-batas atau definisi tentang perusahaan yang dirintis dan didirikan oleh wirausahawan, meski hal ini telah lama menjadi subyek perdebatan yang cukup intens ( Gartner, 1990; Rendah & MacMillan, 1988; Sharma & Chrisman, 1999). Sebuah tinjauan sepintas "studi kewirausahaan" menggambarkan berbagai cara dimana peneliti berusaha mengkonseptualisasikan perusahaan yang dirintis dan didirikan para wirausahawan. Biasanya dimulai dengan ditemukan suatu perusahaan dengan pertumbuhan tinggi pada saat bisnis dikelola oleh pemilik atau pendiri (Carland, Hoy, Boulton & Carland, 1984;  d'Amboise & Muldowney, 1988). Sharma dan Chrisman (1999) menjawab hal ini dengan upaya melakukan sistematisasi penggunaan terminologi di bidang kewirausahaan. Kajian mereka berfokus pada kewirausahaan perusahaan, yang mencoba memberikan landasan fundamental terhadap konsistensi definisi suatu studi kewirausahaan. Konsistensi definisi ini penting bagi perkembangan teori dan secara agregat memungkinkan peneliti memperoleh temuan empiris dari hasil seluruh penelitian, sekaligus sebagai langkah menuju pembentukan basis pengetahuan yang berlaku bagi organisasi perusahaan berbasis kewirausahaan. Maka, Sharma dan Chrisman (1999) telah mendefinisikan kewirausahaan sebagai "proses dimana seorang individu atau sekelompok individu bertindak secara independen dalam kaitannya dengan suatu organisasi yang sudah ada, untuk menciptakan suatu organisasi baru" (Low & MacMillan, 1988). Secara Lebih khusus, fokus penelitian diarahkan pada  studi empiris hubungan antara kinerja perusahaan dan unsur pengelolaan kepemimpinan strategik, sementara organisasi perusahaan yang bukan berbasis kewirausahaan ditetapkan sebelumnya sebagai pembanding. Setiap ditemui perbedaan dalam tata cara pengoperasian pada perusahaan berbasis kewirausahaan dicatat, dan dianggap dapat memberikan sumbangan teoritis yang signifikan. Adapun bagi para peneliti lain misalnya, lebih melihat bahwa tingkat pertumbuhan penjualan merupakan indikator yang paling penting bagi kinerja usaha kewirausahaan (Ensley, Carland & Carland, 2000). Mungkin untuk sementara dapat disepakati bahwa pertumbuhan penjualan merupakan indikator sangat penting untuk perusahaan berbasis kewirausahaan, namun terdapat hal penting lainnya yang perlu dicatat, yaitu kinerja keuangan perusahaan termasuk langkah-langkah akuntansi dan berbasis pasar (Brush & Vanderwerf, 1992; Chrisman, Bauerschmidt & Hofer, 1998; McDougall, Covin, Robinson & Herron, 1994; Murphy , Trailer & Hill, 1996; Zahra & Bogner, 2000). Kategori kinerja keuangan terdiri dari variabel yang umum digunakan, meski belum ada konsensus tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai kinerja keuangan. Termasuk dalam kategori ini misalnya, studi yang lebih mengandalkan pada aspek return on assets (ROA), pengembalian ekuitas (ROE), pengembalian penjualan (ROS), likuiditas, penjualan kotor, penjualan per karyawan, rasio hutang terhadap ekuitas, dan saham. Kinerja keuangan merupakan salah satu matrik kinerja yang lebih umum diterima. Kelangsungan hidup perusahaan merupakan matrik kinerja fundamental  bagi perusahaan berbasis kewirausahaan, mengingat tingginya tingkat kegagalan perusahaan dalam tahap awal pengembangannya. Dalam hal ini termasuk juga kinerja Initial Public Offering (IPO) sebagai kategori unik dan khusus bagi kinerja  perusahaan berbasis kewirausahaan. IPO banyak diciptakan oleh para pendiri, para pengusaha atau tim kewirausahaan (Certo et al.,2001). Dengan asumsi diatas, dapat diketahui sejauh mana sebuah kepemimpinan perusahaan benar-benar dapat mengimplementasikan perubahan strategik dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan. Sebagaimana tadi telah disinggung, oleh Dalton dan Kesner (1983),  asumsi tersebut dipertanyakan keabsahannya, terutama dalam konteks suatu organisasi perusahaan yang berskala besar. Pertanyaan tersebut masuk akal, karena dalam organisasi berskala besar lebih melibatkan banyak orang, besaran skala dan  kompleksitas organisasi, dan berbagai kepentingan lain baik di dalam dan diluar perusahaan merupakan kendala potensial bagi terjadinya perubahan strategik menuju sukses. Terkait dengan hal tersebut, Finkelstein dan Hambrick (1996) sependapat bahwa kombinasi dari pelbagai ambiguitas, kompleksitas, dan tuntutan stakeholders yang kadang bersaing di perusahaan berskala besar dapat mengganggu efektivitas pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Harus diakui bahwa para pemimpin organisasi memberikan pengaruh kuat pada proses organisasi dan hasil, terutama ketika perusahaan menghadapi krisis seperti berkenaan dengan  kemerosotan keuangan (Dalton et al., 1998). Dalam konteks krisis ini kebutuhan akan kepemimpinan yang efektif sangat jelas, khususnya akan kehadiran seorang pemimpin perusahaan yang mampu memulihkan kembali stabilitas keuangan (Hambrick & D'Aveni, 1992). Perusahaan berbasis kewirausahaan  memiliki kelebihan dimana kinerja kepemimpinan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Berbeda dengan perspektif organisasi secara umum dimana aspek kepemimpinan lebih dibatasi oleh pengaturan organisasi, maka beberapa aspek perusahaan berbasis kewirausahaan lebih memungkinkan memfasilitasi kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi perubahan dan kinerja. Ternyata ukuran perusahaan merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan manajerial. Jelas bahwa perusahaan berskala kecil lebih dapat memfasilitasi kekuasaan dan lebih memiliki fokus perencanaan perusahaan yang lebih sempit. Maka kepemimpinan strategik di perusahaan berbasis kewirausahaan dapat menjadi produktif. Misalnya, para CEO di perusahaan dimana mereka terlibat atau ikut mendirikan perusahaan, termasuk perusahaan dengan modal ventura dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja perusahaan. Usaha dengan modal ventura adalah stakeholder yang relevan untuk perusahaan berbasis kewirausahaan karena mampu memaksakan berbagai bentuk kebijakan perusahaan sebagai pemegang ekuitas (Bruton, Goreng & Hisrich, 1997). Penelitian empiris tentang hubungan antara pendiri dan kinerja perusahaan terdiri dari tiga kategori. Pertama, penelitian telah menguji hubungan antara  CEO atau pendiri perusahaan dengan kinerja perusahaan. Kedua, penelitian telah difokuskan pada hubungan antara karakteristik kepribadian pendiri, nilai dan keyakinan, keterampilan, pengalaman dan pendidikan dengan kinerja perusahaan. Ketiga, terdapat beberapa penelitian yang menggabungkan unsur-unsur dari kedua kategori diatas. Diantaranya adalah dampak langsung dari status pendiri pada kinerja. Penelitian juga menguji perbandingkan kinerja pendiri  dengan kinerja non-pendiri sebagai pekerja profesional yang dipimpin. Begley (1995), misalnya, mensurvei 239 CEO perusahaan anggota Small Business Administration di New England. Dia melaporkan berdasarkan sampel, bahwa pendiri yang ikut mengelola perusahaan  memiliki ROA lebih tinggi daripada non-pendiri yang mengelola perusahaan. Namun dalam studi lain di 155 perusahaan, Willard et.al (1992) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kinerja pendiri dan non pendiri.

Menanggapi keragaman dalam temuan, Chandler dan Hanks (1994) telah menyarankan bahwa aspek kompetensi pendiri merupakan prediktor yang lebih berdampak pada kinerja daripada aspek karakteristik pendiri. Yang dimaksud dengan karakteristik pendiri adalah karakteristik kepribadian, nilai dan keyakinan, keterampilan serta pengalaman dan pendidikan. Konsisten dengan pandangan ini, Westhead dan Birley (1995) mengamati bahwa variabel karakteristik pendiri bukan  prediktor bagi pertumbuhan lapangan kerja di antara 408 perusahaan baru di Inggris. Namun, pertumbuhan itu sangat dipengaruhi oleh keputusan strategik dan apa yang diperbuat oleh pemilik selaku manajer, seperti keputusan dalam menentukan pilihan niche (ceruk) industri dan pasar, pembiayaan, pemasok, dan pelanggan. Singkatnya, efek pendiri pada kinerja perusahaan mungkin lebih disebabkan oleh apa yang pendiri lakukan dan bukan oleh status atau karakteristik pendiri.   

Secara keseluruhan, penelitian tentang korelasi antara status pendiri dan kinerja perusahaan relatif tipis dan samar-samar. Namun demikian efek kontingensi  hubungan antara status pendiri dan kinerja perusahaan tetap menjadi catatan tersendiri. Mayoritas peneliti dalam menilai kinerja perusahaan tetap difokuskan pada kinerja keuangan, dengan argumen kinerja keuangan memiliki dampak positif yang jelas pada kinerja perusahaan serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan. Dari sisi asumsi teori pengendalian, menunjukkan bahwa sentralisasi otoritas, seperti yang ditemukan dalam struktur ganda, dimana terdapat jabatan rangkap di level CEO dapat berdampak pada kinerja perusahaan. Asumsi akan  manfaat dari dualitas CEO adalah adanya otoritas garis pelaporan, hirarki terpusat, dan komunikasi kepemimpinan perusahaan yang kuat (Dalton et.al 1998). Namun Dalton meneliti hubungan antara dualitas CEO dan kinerja keuangan perusahaan pada 100 perusahaan, yakni melihat akuntansi berbasis ukuran kinerja (ROA dan ROE) dengan ukuran kinerja berbasis pasar (rasio harga-laba), namun demikian hubungan antara dualitas CEO dan kinerja keuangan tidak signifikan. Sebuah studi terkait terhadap perusahaan berskala kecil juga tidak ditemukan hubungan antara dualitas CEO dan kinerja keuangan perusahaan, baik yang berbasis pada akuntansi (ROA dan ROE) atau yang berbasis pada pasar (rasio harga-laba). Para peneliti ini juga tidak menemukan hubungan dualitas CEO dengan pertumbuhan perusahaan. Singkatnya, dari studi ini menunjukkan tidak ada bukti hubungan dualitas CEO dengan kinerja perusahaan berbasis kewirausahaan. Dalam sebuah perusahaan berbasis kewirausahaan di mana CEO sering dirangkap pendiri juga cenderung bermasalah. Hasil studi tentang kewirausahaan, bagaimanapun, tidak mendukung dalil bahwa CEO dualitas secara sistematis terkait dengan kinerja perusahaan.

Namun profil demografis tertentu dari tim manajemen atas (TMT) lebih terkait dengan kinerja keuangan. Asumsi para peneliti bahwa variabel demografis seperti usia eksekutif, kepemilikan perusahaan, dan latar belakang pendidikan memberikan pengaruh pada wawasan kecenderungan kognitif mereka. Namun asumsi inipun tidak lepas dari kritik, yaitu adanya ketergantungan pada variabel demografis yang mempengaruhi proses kognitif (Lawrence, 1997) Oleh karena itu para peneliti mengintegrasikan faktor demografi dengan variabel proses (Pelled, Eisenhardt & Xin, 1999; Waldman et al, 2001). Namun demikian  penelitian yang berfokus pada fungsi TMT lebih sedikit dibanding dengan seorang pengusaha sebagai sosok individual, padahal banyak perusahaan berbasis kewirausahaan sangat bergantung pada pendekatan berbasis tim manajemen atas (TMT) untuk efektivitas kepemimpinan (Eisenhardt & Schoonhoven, 1990; Ensley et al, 2000). Ketergantungan pada tim manajemen ini dapat menyediakan akses ke beragam sumber dan keterampilan, tidak seperti pada pengusaha secara individual. Meyer (1998) meneliti hubungan antara konsensus TMT dan kinerja perusahaan di perusahaan berbasis kewirausahaan yang beroperasi di kawasan industri dengan pertumbuhan tinggi. Penelitian mereka sangat penting karena menggabungkan pendekatan berorientasi proses, yang mengandalkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan wawancara terfokus. Kinerja perusahaan diukur dari jumlah jawaban manajer puncak dengan tiga pertanyaan terkait kinerja. Satu dari pertanyaan ini difokuskan pada kinerja relatif dan kinerja ideal, dan dua sisa  pertanyaan berfokus pada kinerja sebagai keunggulan kompetitif. Hasilnya ternyata berlawanan dengan temuan penelitian sebelumnya dan berbeda dengan konseptualisasi tentang pentingnya konsensus. Peneliti menemukan bahwa konsensus tentang tujuan dipandang sebagai kurang penting bagi perusahaan, disamaping itu diperoleh juga gambaran adanya keterbatasan potensi seorang CEO dibandingkan dengan TMT pada perusahaan berbasis kewirausahaan (Meyer, 1998). Mengabaikan perspektif TMT pada tujuan dan dukungan sarana dan/ atau prasarana perusahaan dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara tujuan perusahaan dan lingkungannya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan menurunnya kinerja perusahaan. Para peneliti mengusulkan daripada memaksa kesepakatan di antara anggota TMT, maka perusahaan akan lebih baik jika melayani dan mendengar keragaman pendapat yang diusulkan tim TMT dan dipertimbangkan sebagai masukan pada penetapan tujuan dan dukungan sarana dan/ atau prasarana. Pendapat ini konsisten dengan temuan Ginn dan Sexton (1990) yang mengungkapkan bahwa pertumbuhan perusahaan berskala kecil secara signifikan berkorelasi dengan kesediaan pemilik untuk mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan. Untuk melengkapi penelitian terkait yang mengandalkan pendekatan demografi, Weinzimmer (1997) mengembangkan konsep konflik konstruktif untuk mengetahui hubungan antara karakteristik TMT dan pertumbuhan perusahaan. Weinzimmer menemukan bahwa heterogenitas fungsional antara anggota TMT berkorelasi positif dengan pertumbuhan perusahaan berskala kecil secara signifikan. Begitu juga heterogenitas fungsional berhubungan positif dengan pertumbuhan perusahaan berskala besar. Dari temuan ini menunjukkan bahwa peran anggota TMT lebih penting, sehubungan dengan pertumbuhan perusahaan berskala kecil. Hal ini konsisten dengan manfaat yang didapat dari keragaman perspektif dan sumber daya  tim TMT, dibandingkan dengan manfaat kekuasan yang terpusat pada individual pengusaha (one man show) pada perusahaan berbasis kewirausahaan. Menurut Siegel dan MacMillan (1993)  secara fungsional suatu  tim kewirausahaan berkorelasi positif berjalan seimbang dengan pertumbuhan perusahaan berbasis kewirausahaan (Roure & Madique, 1986). Lebih jauh Feeser dan Willard (1990)  meneliti dampak skala atau ukuran TMT terhadap pertumbuhan perusahaan. Meskipun  dalam  TMT berskala lebih besar, dimana proses pengambilan keputusan lebih lambat, namun tetap bahwa anggota TMT yang lebih besar akan memungkinkan suatu pertumbuhan perusahaan yang lebih besar pula. Mudah diduga, tim manajemen yang lebih besar memiliki potensi untuk menyediakan lebih banyak keterampilan, kemampuan dan pengalaman. Para peneliti lain menguji asumsi tersebut pada 100 perusahaan  dengan teknologi tinggi, ternyata mendukung penelitian sebelumnya, yakni adanya manfaat anggota TMT yang lebih besar dalam kaitannya dengan pertumbuhan perusahaan (Cooper & Gimeno, 1992).  Cooper (1997) telah mencatat bahwa konsep "tim" sangat cocok untuk  kewirausahaan, sebagian upaya kewirausahaan banyak  didirikan oleh tim dibandingkan oleh individu, dimana usaha kewirausahaan dengan prospek pertumbuhan yang kuat paling mampu menampung beberapa pendiri sebagai tim. Dengan demikian, pada perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang kuat, cenderung lebih memerlukan beberapa keterampilan yang dapat ditemukan pada kerja tim (Vesper, 1990). Membentuk TMT yang berfungsi efektif sangat penting bagi keberhasilan sebuah perusahaan berbasis kewirausahaan (Timmons, 1994). Fokus penelitian juga perlu diarahkan pada hubungan antara komposisi dewan direksi dengan kinerja perusahaan. Premis yang mendasari penelitian ini adalah bahwa independensi pekerja papan atas akan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Anggota direksi tanpa koneksi pribadi atau sebagai profesional bagi perusahaan atau manajemen perusahaan, ternyata diyakini lebih efektif dalam melindungi kepentingan para pemegang saham sehingga berdampak pada kinerja perusahaan lebih tinggi (Dalton et al., 1998). Bagi para pendiri perusahaan berbasis kewirausahaan, suatu manfaat dapat diperoleh dari peran pengawasan eksternal yang diberikan oleh struktur dewan direksi. Suatu penelitian tambahan juga dilakukan untuk melihat hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan. Dalam hal ini fokusnya lebih diarahkan  pada kemampuan dewan direksi untuk menyediakan akses ke sumber daya yang tidak dimiliki perusahaan. Dewan direksi memiliki potensi untuk menciptakan hubungan antara perusahaan dan lingkungannya. Sebagaimana pernah diteliti oleh Pfeffer dan Salancik (1978), perusahaan yang memiliki kebutuhan sumber daya yang lebih besar untuk berhubungan secara efektif dengan lingkungan eksternalnya harus memiliki manajemen papan atas yang lebih besar pula. Perusahaan berbasis kewirausahaan menyediakan konteks di mana manajemen papan atas yang lebih besar terbukti bermanfaat. Setelah diidentifikasi konsistensi beberapa penelitian tentang hubungan antara dewan direksi dan kinerja perusahaan, telah dihasilkan temuan yang tidak selalu konsisten. Studi Finkle tidak menemukan hubungan antara ukuran dewan direksi dan kinerja perusahaan, mungkin ukuran dewan direksi lebih bermanfaat untuk membangun hubungan dengan mitra perusahaan dan lingkungannya.  

Pada bagian awal, telah disinggung efektifitas kepemimpinan strategik dalam berbagai bentuk, misalnya, CEO, anggota TMT, dewan direksi yang terkait dengan kinerja perusahaan. Perlu digarisbawahi sekali lagi, terdapat manfaat dari perbedaan  anggota TMT, terbukti banyak perusahaan berbasis kewirausahaan yang mengandalkan tim, peran TMT mungkin terbukti penting dalam pertumbuhan dan keberhasilan kewirausahaan yang konsisten dengan perspektif asas ketergantungan pada sumber daya. Dari berbagai kajian menunjukkan bahwa perspektif ini terutama berlaku untuk perusahaan berbasis kewirausahaan. Pendapat ini didasarkan pada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara dewan direksi, anggota TMT, ukuran dewan direksi, modal ventura dan kinerja perusahaan.

Menurut Dalton et al. (1999) adanya ketergantungan terhadap sumber daya menuntut peran pejabat papan atas perusahaan atau anggota dewan direksi untuk melakukan hubungan eksternal (misalnya akses ke dana ventura), dibandingkan peran kontrol kedalam, dalam mencapai kinerja perusahaan. Pada perusahaan berbasis kewirausahaan, ketergantungan akan sumber daya mungkin lebih besar ketimbang pada perusahaan yang sudah lebih dewasa. Para investor dapat mengendalikan kebijakan, prosedur, atau praktik-praktik para CEO dan anggota TMT.  Sedangkan kemampuan akan lebih dituntut dari anggota dewan direksi, pemodal ventura, atau manajer papan atas untuk dapat menyediakan akses, informasi, dan sumber daya yang diperlukan perusahaan. Maka penelitian ke depan tentang hubungan ketergantungan sumber daya mungkin akan lebih menarik dan produktif. Bidang lain yang menjanjikan untuk penelitian masa depan adalah dibuat desain penelitian longitudinal yang dapat diandalkan untuk kepentingan penelitian kewirausahaan. Para peneliti diharapkan  dapat melacak perkembangan perusahaan dari mulai pendiriannya sampai ia jatuh atau berhasil. Dengan desain ini para peneliti dimungkinkan untuk menggunakan teknik analisis canggih seperti multi-periodik analisis persamaan struktural. Desain seperti ini tidak hanya memberikan perspektif longitudinal antar hubungan variabel tetapi juga bisa memberi informasi bagi suatu diskusi tentang kausalitas. Para pelanjut penelitian kewirausahaan mungkin lebih dapat memfokuskan penelitian pada potensi hubungan non-linear. Mungkin saja para manajer papan atas dan komposisi dewan (sejumlah direksi dan afiliasi) juga memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan. Fokus studi pada perspektif ketergantungan sumber daya mungkin akan mendukung penelitian tentang tahap transisi perusahaan berbasis kewirausahaan, disamping meneliti siklus kehidupan organisasi tersebut. 

Dari uraian di atas dapat diperoleh suatu gambaran, bahwa terdapat perbedaan antara orang yang  mulai merintis sebuah perusahaan dengan  orang yang mulai mencari pekerjaan di perusahaan besar. Studi kewirausahaan belum menawarkan profil meyakinkan tentang adanya faktor pembeda yang tegas dibanding dengan bentuk perusahaan lain. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apakah teori kewirausahaan menawarkan bentuk temuan yang lebih jelas berbeda, sehingga perlu dilakukan studi terpisah, diluar bidang kepemimpinan? Setelah dilakukan penelitian serta studi kepustakaan, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa: Pertama, banyak metoda dan fenomena yang sama ketika hendak mengkonstruk bidang kewirausahaan yang juga ditemukan dalam mengkonstruk teori kepemimpinan. Kedua, terdapat faktor pengaruh hubungan antarpribadi baik dalam studi kewirausahaan maupun kepemimpinan dalam   konteks yang lebih sempit dan spesifik. Ketiga, temuan dalam studi kewirausahaan  masih berbentuk pola terputus-putus, belum sistematis terintegrasi, dan Keempat,  kurangnya studi terhadap perbedaan pelbagai jenis kewirausahaan, misalnya yang ditujukan khusus pada sektor tradisional non-organisasional dalam suatu pola pendekatan yang dapat dibedakan dari yang lainnya. Namun dari hasil penelitian empiris diperoleh gambaran bahwa kewirausahaan bukan bagian dari tipe kepemimpinan spesifik, dan bukan pula jenis manifestasi kepemimpinan kelompok kecil lainnya, seperti pembinaan tim olah raga atau pekerja relawan.

Sebagai bahan renungan, bagaimanapun seseorang memiliki kecenderungan lebih alami untuk menjadi seorang pemimpin atau wirausahawan. Persoalannya pada orang yang sama, sering ia mengandalkan pada satu bidang kemampuan alami yang dimilikinya dengan mengabaikan keterampilan inti untuk meningkatkan efektivitas keterampilannya. Setiap orang dibekali refleks untuk berkembang, namun karena menyadari adanya persaingan dalam hidup, sehingga seseorang merasa perlu untuk duduk di bangku kuliah menimba ilmu guna memiliki kemampuan lebih baik dari kemampuan alami yang telah dimiliki. Oleh karena itu pada titik berikutnya disadari adanya sifat kepemimpinan bawaan yang juga cenderung memicu tumbuhnya sikap kewirausahaan. Banyak keterampilan yang membuat para pemimpin dan pengusaha sukses yang bisa dipelajari, dikembangkan, dipraktikkan, dan terasah. Sehingga melalui pengalaman dan pelatihan, seseorang lebih mengenal tentang kepemimpinan  yang berfokus pada keterampilan untuk mengembangkan wawasan dan pengambilan keputusan yang dipandu oleh: visi, misi dan tujuan, komunikasi, pengorganisasian, dan sinergisme saat pengelolaan perusahaan. Yang jelas, seseorang yang berjuang mati-matian, meski tidak memiliki karisma alami,  mencoba untuk menyatakan pikirannya pada orang lain. Walaupun dalam penilaian awal seharusnya ia gagal menjalankan peran kepemimpinan dan wirausaha, maka pertanyaannya, mengapa seseorang tetap berkembang? Karena dia bekerja keras untuk belajar dan mengembangkan apa yang dia bisa. Dan orang-orang sebagai pimpinannya bisa melihat usahanya dan bersedia mentoleransi kekurangan atau kelemahannya. Bahkan, kelemahannya menjadi menawan bagi yang memimpinnya. Dalam hal ini banyak pelatihan kepemimpinan dan kewirausahaan yang tidak tertuang dalam buku teks atau luput dari penelaahan studi, namun berlangsung dengan kaidah dan hukumnya sendiri. Maka setiap upaya keilmuan untuk menjelaskan kedua aspek tersebut, yakni kepemimpinan dan kewirausahaan, merupakan upaya yang patut mendapat apresiasi yang tinggi, sebagaimana dikatakan oleh Sullivan bahwa suatu yang penting dalam kepemimpinan dan kewirausahaan, dimana keduanya tidak bisa dikomoditasi. Seseorang dapat menjual botol minuman dari rak, namum setiap pemimpin dan pengusaha adalah unik, dimana keterampilan unik mereka, atribut, dan pendekatan serta hasil buah tangannya tentunya tidak dapat dibeli. Terutama karena sebagian besar dari kemampuan mereka meluncur dari hati, yang berarti terdapat gaya yang berbeda-beda dalam menjalankan fungsi mereka sebagai pemimpinan dan wirausahawan. Dalam hal ini untuk sementara kita belum dapat menjawab pertanyaan diseputar "Mana yang lebih dulu-ayam atau telur?, Kewirausahaan dan kepemimpinan begitu terhubung dan saling terkait, sehingga sulit untuk mengetahui benar-benar mana yang datang lebih dulu. Apakah ada pengusaha sukses di belahan manapun yang berpikir bahwa mereka adalah yang pertama? Semoga temuan-temuan berikutnya di bidang ini akan membawa pada pemahaman yang lebih utuh tentang maksud dari studi di kedua bidang ini. Dimana kepemimpinan dan kewirausahaan sebagai tema yang senantiasa relevan, aktual dan menantang. Kembali kepada dunia pendidikan di persada ibu pertiwi tercinta ini, peran kepemimpinan dan kewirausahaan merupakan faktor kunci dalam melakukan pelbagai terobosan, khususnya dalam meningkatkan intelectual human capital yang tidak dapat ditawar lagi, jika perguruan tinggi yang kita kelola ingin disetarakan sebagai world class university, pada tahun kapanpun akan dicapainya. Viva pendidikan tinggi Indonesia!

Jakarta, 24 Juli 2012

Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar