.


Selasa, 19 Juni 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: 7 Jurus Kekuasaan Organisasional



B
eratus-ratus tahun yang lalu dalam sistem pemerintahan monarki para raja atau ratu memiliki semua kekuasaan absolut, sedangkan hamba sahaya tidak memiliki kuasa apapun. Kedudukan seorang raja atau ratu telah memberi mereka wewenang mutlak, dan agaknya hal ini diikuti pula oleh para pemimpin organisasi di berbagai sektor industri pada saat itu, dimana semua keputusan diambil secara mutlak hanya oleh seorang pemimpin secara otokratis. Jika seorang pemimpin tidak suka dengan cara menyisir rambut para pekerja misalnya, mereka dapat memecat dan para pekerja tidak dapat berbuat banyak untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang tersebut. Tentu saja dewasa ini kekuasan para pemimpin organisasi seperti itu akan sulit ditemui lagi. Dalam hal ini, para pemimpin organisasi semakin menyadari bahwa mereka harus berbagi kekuasaan dan mendistribusikannya sehingga menjadi semakin terbatas. Begitu pula halnya jika kekuasaan itu mandatnya ditarik, maka para pemimpin tersebut tidak lagi dapat berkuasa. Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai potensi untuk mempengaruhi, sementara wewenang dan tanggung jawab adalah jenis kekuasaan yang berasal dari jabatan formal yang diduduki oleh seorang pemimpin dalam hirarki organisasi.  Dengan kata lain, wewenang dan tanggung jawab merupakan kekuasaan yang dilegitimasi oleh peranan formal seseorang dalam suatu organisasi. Dengan demikian, kekuasaan pemimpin adalah apa yang tersisa setelah dikurangi oleh kekuasaan yang dimiliki para pekerja atau bawahan seperti kekuasaan kolektif, legal, otonomi dan keahlian yang dibagi ke dalam struktur dan hirarki dari rentang kendali mereka melalui hakekat tugas. Apabila para pemimpin organisasi menyadari bahwa mereka hanya memiliki porsi sedikit dari seluruh kekuasaan yang tersedia, maka mereka harus mempelajari cara menggunakan kekuasaan itu secara realistik, optimal, dan efektif. Disamping itu seorang pemimpin bisa saja dapat mencari basis kekuasaan lain yang tidak bersumber hanya dari menggunakan kekuasaan yang diperoleh dari jabatan formal semata. Oleh karena itu dapat dikenal 2 (dua) bentuk basis kekuasaan, yaitu kekuasaan posisi (position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Sebagaimana pernah diungkap hampir serupa oleh Machiavelli diabad 16 dengan istilah hubungan yang berdasarkan cinta (kekuasaan pribadi) atau berdasarkan rasa takut (kekuasaan posisi). Adapun perbedaan keduanya adalah, kekuasaan posisi merupakan suatu kekuasaan yang diperoleh dari struktur hirarki organisasi yang mengalir kebawah untuk mempengaruhi orang lain agar melakukan pekerjaan tertentu sebagai konsekuensi posisi formalnya didalam organisasi, disisi lain orang yang memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya sering dipandang sebagai memiliki kekuasaan pribadi, yaitu sejauh mana para pengikut menghormati, merasa senang dan terikat dengan pemimpin mereka, serta merasa bahwa tujuan mereka terpenuhi oleh tujuan pemimpin. Pendeknya kekuasaan pribadi adalah kadar sejauh mana seorang pekerja mau mengikuti kemauan seorang pemimpin.
Disamping adanya kekuasaan posisi dan kekuasaan pribadi, telah dikembangkan juga basis kekuasaan lain yang melengkapi basis kekuasaan sebelumnya, yaitu adanya basis kekuasaan paksaan (coercive power), kekuasaan legitimasi (hukum, peraturan, kebijakan), basis kekuasaan kompetensi (keahlian profesional dan teknis), disamping adanya basis kekuasaan ganjaran, kekuasaan referensi, kekuasaan informasi dan kekuasaan koneksi. Kekuasaan paksaan ditanamkan oleh para pemimpin atas dasar rasa takut, dengan tujuan untuk menimbulkan kepatuhan dari para pekerja, dan sebaliknya suatu ketidakpatuhan akan mengarah pada hukuman, baik dalam bentuk tugas yang tidak menyenangkan, teguran bahkan pemberhentian. Kekuasaan legitimasi didasarkan pada posisi yang dipegang oleh seorang pemimpin, dimana pemimpin dengan tingkat kekuasaan legitimasi yang relatif tinggi dapat menimbulkan kepatuhan atau pengaruh pada orang lain dengan anggapan bahwa mereka mempunyai hak atas dasar jabatan organisasi sehingga perintahnya wajib diikuti. Kekuasaan kompetensi didasarkan pada bidang keahlian, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki para pemimpin, yang dengan kompetensinya itu dapat menimbulkan rasa hormat dan respek dari para pekerja, sehingga hormat dan respek tersebut merupakan bekal untuk mempengaruhi para pekerja. Pemimpin dengan basis kekuasaan kompetensi dipandang memiliki keahlian yang dapat memudahkan perilaku kerja orang lain. Dengan rasa hormat dan respek itulah kepatuhan akan timbul dari para pekrja atau bawahan untuk mengikuti keinginan seorang pemimpin. Kekuasaan referensi merupakan basis kekuasaan yang didasarkan pada pesona karakter dan kepribadian seorang pemimpin sehingga ia disukai dan dikagumi oleh para pekerja, maka tumbuhnya rasa suka dan kekaguman ini pada gilirannya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi bawahan dan rekan kerja. Kekuasaan ganjaran didasarkan pada kemampuan seorang pemimpin untuk memberi imbalan kepada orang lain, sehingga munculnya suatu kepatuhan merupakan akibat dari adanya insentif positif, seperti upah, promosi, atau pengakuan. Kekuasaan informasi merupakan kekuasaan yang didasarkan pada adanya penguasaan akan akses dan informasi yang dimiliki para pemimpin sehingga mereka dipandang bernilai oleh para pengikutnya. Sumber kekuasaan ini mempengaruhi orang lain dikarenakan para pekerja membutuhkan informasi kredibel dan jaminan tersedianya informasi mutakhir. Kekuasaan koneksi didasarkan kepada sejauhmana seorang pemimpin memiliki koneksi dengan tokoh penting dan berpengaruh, baik didalam atau diluar organisasi, dimana para pemimpin yang memiliki kekuasaan koneksi yang tinggi akan menimbulkan kepatuhan karena akses koneksinya tersebut.
Ketujuh basis kekuasaan tersebut secara potensial tersedia sebagai pilihan bagi para pemimpin organisasi untuk memainkan perannya secara efektif, yakni sebagai sarana untuk menimbulkan kepatuhan atau mempengaruhi perilaku para pekerja. Disamping itu terdapat hal penting lain yang perlu diperhatikan, yaitu adanya perbedaan varian yang signifikan dalam masing-masing kekuasaan yang dimiliki para pemimpin dalam lingkup implementasi aktual, diantaranya ada sebagian pemimpin memiliki kekuasaan yang besar sedangkan yang lain memiliki kekuasaan yang relatif kecil. Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya perbedaan cakupan wewenang dan tanggung jawab jabatan yang dilimpahkan organisasi di satu sisi, sementara di sisi yang lain sebagai akibat adanya perbedaan individual diantara para pemimpin dalam mengimplementasikan kekuasaanya. Oleh karena itu basis kekuasaan pemimpin – seperti halnya tampilan kekayaan mereka - perlu diketahui dan ditunjukkan kepada orang lain atau bawahan sebelum dapat dipergunakan secara efektif. Dengan demikian persepsi para pekerja atau bawahan tentang basis kekuasaan pemimpin sama halnya dengan kepemilikan uang di bank yang tidak dapat dicairkan oleh seseorang apabila mereka tidak dikenali sebagai pemilik surat kuasa yang sah untuk menguangkan dana simpanannya. Fungsi dari basis kekuasaan akan dapat mempengaruhi perilaku para pekerja secara efektif jika seorang pemimpin organisasi dapat mengidentifikasi dan mengenali tingkat kematangan para pekerja atau bawahan. Dalam hal ini, suatu kekuasaan paksaan yang akan diterapkan kepada para pekerja atau bawahan dengan tingkat kematangan rendah, membutuhkan arahan atau direktif yang kuat agar para pekerja menjadi produktif. Para pekerja yang “tidak mampu” dan “tidak mau” (low ability and low willingness), mereka tetap patuh kepada atasannya karena senantiasa memiliki persepsi kekhawatiran bahwa atasan mereka memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memberikan sanksi berupa pemecatan, pemindahan, menurunkan pangkat, yang pada gilirannya kesemua itu dapat memotivasi para pekerja untuk menghindari hukuman atau kerugian. Basis kekuasaan legitimasi secara efektif dapat mempengaruhi para pekerja yang berada dalam tingkat kematangan sedang, dimana para pemimpin dapat menimbulkan kepatuhan dan mempengaruhi perilaku para pekerja atas dasar jabatan formalnya dalam organisasi. Sementara basis kekuasaan kompetensi secara efektif dapat diterapkan pada para pekerja dengan tingkat kematangan yang tinggi. Para pekerja seperti ini mampu dan mau (high ability and high willingness) untuk melaksanakan tugas yang diembankan dengan tanggap, yaitu dengan diberikannya pendelegasian wewenang dan tanggung jawab atas dasar basis kekuasaan kompetensi yang dimiliki para pemimpin. Dalam hal ini para pemimpin akan mempoleh rasa hormat dan pengaruh dengan dimilikinya keahlian, keterampilan, dan pengetahuan yang dianggap lebih unggul oleh para pekerja. Basis kekuasaan ganjaran dapat diterapkan kepada para pekerja dengan tingkat kematangan antara rendah ke sedang, dalam hal ini para pekerja disamping membutuhkan kadar perilaku suportif yang tinggi, perlu juga diperkuat oleh adanya faktor ganjaran. Khususnya apabila para pekerja dengan tingkat kematangan ini mau mencoba perilaku kerja baru, maka dengan sendirinya para pemimpin dipandang memiliki kewenangan memberikan ganjaran untuk menimbulkan kepatuhan dan memperkuat perilaku kerja yang diinginkan. Kekuasaan referensi dapat diberikan pada pera pekerja dengan tingkat kematangan antara sedang ke tinggi, yaitu porsi arahan mulai dapat dikurangi, namun komunikasi dan dukungan yang tinggi perlu diberikan oleh para pemimpin. Dalam basis kekuasaan referensi ini seorang pemimpin dapat menerapkan gaya partisipatif secara efektif atas dasar pola hubungan pribadi yang baik antara atasan atau pemimpin dengan bawahan atau para pekerja. Untuk para pekerja yang mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin, basis kekuasaan referensi dapat diterapkan sebagai sarana penting dalam menanamkan rasa yakin dengan memberikan dorongan, pengakuan, dan perilaku suportif lainnya. Dalam hal ini para pekerja pada umumnya akan memberikan tanggapan positif yang memungkinkan para pemimpin mempengaruhi mereka karena para pekerja menyukai, mengagumi, dan merasa menyatu dengan karakter kepribadian pemimpin. Basis kekuasaan informasi akan berjalan secara efektif dalam memotivasi para pekerja dengan tingkat kematangan diatas rata-rata, yaitu dengan menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif sampai ke pendelegasian wewenang dan tanggung jawab secara penuh. Untuk hal ini para pekerja mengharapkan adanya akurasi informasi dari para pemimpin dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kinerja mereka. Peralihan tingkat kematangan dari sedang ke tinggi dapat dipercepat apabila para pekerja mengetahui bahwa para pemimpin mereka cakap dalam mengklasifikasikan, memilah dan menjelaskan fakta-fakta, menyediakan data laporan akurat, serta korespondensi komunikatif yang diperlukan, maka basis kekuasaan informasi dari seorang pemimpin dapat efektif mempengaruhi para pekerja yang memiliki kematangan diatas rata-rata. Basis kekuasaan koneksi akan berjalan efektif bagi para pekerja yang sedang beralih dari tingkat kematangan rendah ke sedang, dimana perilaku direktif masih dipelukan sekaligus secara bersamaan juga meningkatkan perilaku suportif dari seorang pemimpin. Pemilikan basis kekuasaan koneksi dapat menimbulkan kepatuhan dimana para pekerja dalam tingkat kematangan ini berusaha menghindari hukuman dan berupaya memperoleh ganjaran yang dimiliki sebagai akibat adanya kuasa-koneksi yang dimiliki seorang pemimpin.
Dengan demikian suatu basis kekuasaan yang paling relevan untuk tingkat kematangan dibawah rata-rata adalah suatu kekuasaan yang dilimpahkan oleh organisasi atau pusat kekuasaan secara formal kepada seorang pemimpin. Untuk para pekerja dengan tingkat kematangan diatas rata-rata, maka basis kekuasaan pemimpin sebagian besar harus diperoleh dari kepercayaan para pekerja yang hendak dipengaruhi oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu penggunaan istilah “kepatuhan” lebih tepat digunakan bagi kekuasaan posisi, sementara kekuasaan paksaaan, koneksi, ganjaran dan legitimasi lebih tepat menggunakan istilah “kekuasaan atas” dan istilah “pengaruh” lebih tepat untuk menggambarkan kekuasaan pribadi. Adapun basis kekuasaan referensi, informasi, dan kompetensi lebih tepat dungkapkan dengan istilah “kekuasaan dengan”. Dengan kata lain, kekuasaan posisi dapat dipandang sebagai wewenang dan tanggung jawab yang didelegasikan kebawah dalam suatu hirarki organisasi. Dalam hal ini pemimpin puncak organisasi tidak hanya dapat mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab, memberikan ganjaran, dan sanksi, akan tetapi mereka juga dapat menarik kembali wewenang dan tanggung jawab tersebut. Untuk mempertahankan wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki para pemimpin, akan ditentukan oleh sejauh mana mereka dapat membina hubungan baik, keyakinan diri, saling percaya antara mereka dengan atasan yang lebih tinggi sehingga dapat menentukan kadar besar kecilnya limpahan pendelegasian yang diembannya. Sedangkan kekuasaan posisi adalah suatu jabatan yang harus diperoleh seorang pemimpin secara konstan untuk menunjang efektifitas kerja rutin mereka. Kadar kesediaan para pekerja untuk memberikan kekuasaan pribadi kepada seorang pemimpin akan sangat bergantung kepada persepsi mereka atas kemampuan pemimpin untuk memberikan ganjaran, hukuman, atau sanksi (kekuasaan posisi). Pada saat yang sama kesediaan pucuk pimpinan untuk mendelegasikan kekuasaan posisi kepada seorang pemimpin ditentukan juga oleh persepsi para pekerja tentang kekuasaan kompetensi dan informasi yang mereka perlukan dari para pemimpin. Dalam konteks ini faktor persepsi pihak lain terhadap basis kekuasaan seorang pemimpin akan merupakan kunci efektifitas dan keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasi. Maka basis kekuasaan posisi dan pribadi secara bersama-sama merupakan suatu sistem interaksi yang saling mempengaruhi. Dengan kata lain adanya suatu basis kekuasaan tidak tumbuh dari suatu kekosongan, dimana masing-masing pihak dapat mempengaruhi basis kekuasaan lainnya.
Seorang pemimpin yang semula memiliki kadar kekuasaan signifikan, secara perlahan dapat pula kehilangan basis kekuasaan mereka atau sumber kekuasaanya dapat menipis. Sebagai contoh, apabila seorang pemimpin terus-menerus mengancam para pekerja dengan hukuman atau suatu sanksi tertentu, akan tetapi tidak pernah merealisasikan hukuman itu, maka para pekerja dapat mempersepsi bahwa pemimpin tersebut tidak sungguh-sungguh memiliki kekuasaan paksaan apapun. Begitu pula para pemimpin dapat kehilangan suatu basis kekuasaan ganjaran, apabila setiap orang diberi ganjaran yang sama tanpa memperhatikan apakah mereka berprestasi atau tidak, atau diakibatkan karena mereka hanya mempertimbangkan aspek senioritas dan usia belaka. Hal yang sama akan terjadi pula pada pemimpin yang kehilangan basis kekuasaan legitimasi, apabila mereka tidak mengambil suatu keputusan yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan jabatan yang mereka duduki. Erosi basis kekuasaan ini dapat terus berlangsung apabila seorang pemimpin sering membuat keputusan yang keliru dan tidak bermanfaat.  Erosi basis kekuasaan ini akan terjadi pada kekuasaan basis lainnya apabila filosofi dasar yang melandasi masing-masing basis kekuasaan tersebut tidak dijalankan oleh seorang pemimpin secara konsekuen dan konsisten. Artinya apabila pemimpin membiarkan terjadinya pengikisan basis kekuasaan mereka, maka dengan sendirinya efektifitas kepemimpinan mereka juga akan berkurang. Dengan demikian apabila pemimpin menyelia para pekerja yang sudah sangat kompeten dan memiliki motivasi tinggi, maka seorang pemimpin perlu memiliki kekuasaan kompetensi tertentu dalam rangka melakukan intervensi yang diperlukan terhadap para pekerja. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya bersandar pada gaya kepemimpinan untuk memaksimumkan efektifitas kepemimpinannya, namun yang terpenting adalah apakah basis kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin tersebut taat asas dengan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan para pekerja atau tim kerja yang akan dipengaruhi.
Dalam konsep kepemimpinan situasional, terkandung pengertian bahwa tidak ada satu cara kepemimpinan yang terbaik, namun akan bergantung pada sejauh mana para pemimpin memahami tingkat kematangan para pekerja atau tim kerja yang mereka supervisi. Begitu pula peranan yang dimainkan oleh para pemimpin dalam mengembangkan tingkat kematangan para pekerja sangatlah penting. Dengan kata lain para pemimpin bertanggung jawab menjadikan para pekerja dibawahnya sebagai pemenang, yaitu setiap saat berusaha meningkatkan tingkat kematangan para pekerja atau tim kerja pada aspek-aspek tertentu dari pekerjaan mereka. Seorang mandor mungkin ingin memperbaiki tingkat produktivitas dan kualitas kerja, mengurangi pemborosan, tingkat kemangkiran dan kecelakaan. Namun bagi seorang dekan fakultas, ia mungkin ingin lebih meningkatkan kualitas dan produktivitas karya tulisan, penelitian, pengajaran dan bahkan pengabdian masyarakat para dosennya. Apabila sasaran dan tanggung jawab itu telah diidentifikasi dan dipahami, maka para pemimpin perlu menetapkan ukuran prestasi yang baik dan jelas dalam setiap bidang pekerjaan, sehingga baik para pemimpin maupun para pekerja tahu persis apabila prestasi mereka mengarah dan sedang mendekati tingkat yang diinginkan.
Ringkasnya, bahwa gaya yang paling sesuai bagi seorang pemimpin dalam menjalankan basis kekuasaanya akan bergantung pada situasi dimana mereka bekerja. Pada prinsipnya, keefektifan para pemimpin dalam menjalankan perannya akan ditentukan oleh interaksi antara orientasi dan aspirasi para pekerja sebagai bawahan, tugas dan organisasi tempat dimana mereka bekerja. Ketiga variabel itu merupakan pola hubungan antara pemimpin dan para pekerja atau bawahan, deskripsi tugas, dan kekuasaan posisi para pemimpin. Efektifitas hubungan para pemimpin dengan para pekerja atau bawahan akan ditentukan oleh pengakuan pemimpin oleh para pekerja atau bawahan. Sementara deskripsi tugas mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melaksanakan bidang pekerjaan. Adapun kekuasaan posisi pemimpin menggambarkan kekuasaan organisasi yang melekat pada posisi yang diduduki seorang pemimpin. Maka sisi positif yang dapat dipetik dari pendekatan sebagaimana yang telah dipaparkan tadi, yakni mendorong para pemimpin untuk senantiasa mengkaji situasi mereka, baik para pekerja, deskripsi tugas, dan struktur organisasi. Disamping itu para pemimpin didorong agar luwes menggunakan keseluruhan berbagai keterampilan gaya memimpin. Dan terakhir seorang pemimpin akan terdorong untuk memodifikasi unsur-unsur pekerjaan mereka agar diperoleh kesesuaian yang semakin baik dengan gaya kepemimpinan yang lebih mereka sukai. Kembali kepada organisasi dimana kita bekerja, pilihan basis kekuasan pemimpin mana yang cocok diterapkan, maka paparan ringkas diatas diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan.
                                                                                               
Jakarta, 20 Juni 2012
                                                                                                                 Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar