.


Senin, 12 Desember 2011

Kepemimpinan Politik Berkelas


KEPEMIMPINAN POLITIK BERKELAS
Nampaknya dalam dentingan waktu yang tidak lama lagi, di tahun 2014, masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia akan kembali melangsungkan pemilu untuk memilih salah seorang kandidat untuk menjadi presiden. Walaupun waktu sedemikian cepat berlalu, namun tentunya masih terbayangkan di benak  banyak  orang  suasana yang riang beberapa tahun ke belakang, taktala rakyat di negeri ini dengan rasa suka cita penuh canda beramai-ramai terjun berpesta pora demokrasi di negara ini mencoblos tanda gambar pilihannya sendiri.
Rasanya tidak pernah terbayangkan dibenak rakyat, jika kemudian hari, pemilu di zaman reformasi yang menggembirakan itu lambat laun hanya menyisakan kegalauan mendalam, karena memunculkan sosok para politisi yang memang cukup cerdas, namun dengan kapasitas kepemimpinan serba terbatas. Inilah mungkin dilema krusial Indonesia sekarang, dimana banyak tersedia para politisi pandai, juga kaya raya, berlalu lalang di seantero nusantara, namun minimalis kelas kepribadiannya.
Patut dihayati sepenuhnya, bahwa tumbuh kembangnya profil tokoh-tokoh politik yang berkelas atau bahkan tidak berkelaspun, biasanya sangat erat berkaitan dengan seting psikososial yang melatarbelakanginya, terutama pada saat pembentukan jatidiri para politisi ini sedari usia muda, ketika mereka mulai berkiprah empirikal terjun ke forum publicum menata karir pribadi berikut keorganisasian. Jika keluhan kritikal tadi, tertuju pada perihal kurang berkelasnya sepak terjang perilaku para pemimpin politik sekarang – khususnya mereka yang tengah memiliki posisi dan peran di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif – maka itu semua tidak bisa dilepaskan dari konteksnya dengan seting makro sosial zaman berkilaunya komunitas orde baru di panggung kekuasaan.
Seandainya dirunut sejenak ke belakang, akan muncullah jejak ingatan kolektif kita atas warna zaman orde baru yang telah berlalu, taktala pemimpin politik sekarang masih nampak marjinal sosoknya, dan bahkan disibukkan energinya untuk bersaing dengan rekan-rekan segenerasinya, berupaya mencari celah muncul ke pentas permukaan panggung politik nasional; mungkin demi partisipasi bawah sadar dirinya sendiri agar ikut menggapai cita-cita primadona sebagai slogan pembangunan “lepas landas” menetas dari atas yang waktu itu gencar  nian dikumandangkan dan dipraktekkan.
Teramat menarik untuk dikaji ulang lebih mendalam adalah seputar perbedaan nuansa corak warna zaman dalam proses kemunculan para pemimpin politik antara kelompok orde lama yang membanggakan dimensi politik sebagai panglima, dengan kelompok orde baru yang mengkampanyekan ekonomi sebagai primadona, bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Boleh dikatakan, di era orde lama para pemimpin politik banyak bermunculan tanpa diorbitkan, bergesekan dari bawah mengasah potensinya setapak demi setapak hingga mencuat menuju puncak.
Sedangkan di era orde baru, justru tersirat dan tersurat dinamika sebaliknya, dimana hampir sebahagian besar proses kemunculan para pemimpin, baik di kancah politik maupun nonpolitik, baik di jalur formal maupun nonformal, tidaklah terkristal secara normal. Pemerintah pada momen itu, senantiasa berperan serta mengupayakan suatu perekayasaan yang teramat canggih, langsung maupun terselubung dalam menentukan dan melapangkan jalan bagi naik daunnya figur-figur yang diminatinya agar sukses meraih popularitas melenggang ke permukaan menjadi insan-insan pemimpin di beragam komunitas atau organisasi, termasuk pula tentunya mengiringi lahirnya ketokohan sebagian besar para politisi sekarang yang kini kita sudah kenali kiprah kesehariannya di era reformasi ini. Jasa baik pemerintahan orde baru kala itu, dalam mengatur  kemunculan figur-figur para pemimpin politik tingkat provinsi maupun nasional, secara instan tanpa perjuangan yang proporsional, pada akhirnya justru memunculkan pemimpin yang cukup memiliki kecerdasan namun dengan struktur kepribadian yang timpang, sehingga acapkali menampakkan kekurangmatangan, kurang sabaran, kurang bertanggung jawab, dan kurang kepekaannya.
Berbeda dengan perilaku para pemimpin politik di dunia barat, yang rata-rata menempuh perjalanan karirnya dari bawah, melewati dinding-dinding terjal percaturan politik yang sarat intrik, mengasah sensitifitas sekaligus kematangan kepribadian dirinya untuk kelak menjadi seorang tokoh yang berkelas. Oleh karena itu, jarang dijumpai disana ada individu yang berkehendak menjadi pemimpin politik serba mendadak melalui jalur cepat, karena disadari sepenuhnya alam perpolitikan adalah jauh lebih sulit, elastis, dan rumit ketimbang dunia bisnis yang serba pragmatis, kemiliteran yang serba taktis, keagamaan yang serba etis, ataupun pendidikan yang serba filosofis.
Wajarlah kemudian, dengan memahami perbedaan seting makro sosial yang nampak bertolak belakang antara kelompok orba dan kelompok orla itu, jika kemudian sejarah dimasa “revolusi belum selesai” telah mencatat begitu banyak bermunculan figur-figur kepemimpinan di lingkaran elit komunitas politik, dimana sedari muda usia mereka sudah menunjukkan bakat dan totalitas kepribadian diri selaku individu yang cerdas dan berkelas, yang mana seringkali membuat pihak penjajah Belanda maupun Jepang terpana dan tak berkutik lagi taktala berhadapan muka dengan mereka.   
Dampak keorganisasian yang langsung terasakan dari hadirnya kepemimpinan politik yang kurang berkelas ini adalah pada tumbuh-kembangnya kerancuan langkah-langkah manajerial partai-partai politik yang lebih mengedepankan perilaku pemimpin taktikal ketimbang pemimpin strategikal, sehingga tidak mengherankan jika kemudian rakyat hanya disuguhi manuver-manuver politik gampangan dan terlalu transparan, yang dengan jelasnya terpampang tirai motivasi material semata, dibalik dendang skenario moralitas yang tengah didengungkan membahana di media massa. Semenjak reformasi bergulir, rasanya dipentas perpolitikan Indonesia tidak pernah sedikitpun disaksikan lahirnya pemimpin politik yang cantik, unik, dan berkelas. Yang nampak hanya titian langkah grasa-grusu diburu nafsu, saling menghujat seolah dirinyalah yang paling benar sendiri, berkomentar asal-asalan tanpa pemikiran mendalam, semena-mena menuding segala kesalahan terhujam pada pihak seberang, dan menurunnya genderang motivasi berprestasi seiring bergemuruhnya motivasi mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun juga. Kelalaian semacam ini tentu saja merupakan makanan empuk bagi para pemuja orba, untuk menanti kiprah insan-insan kepemimpinan politik reformasi sekarang ke gerbang kehancuran masa depan karier gemilangnya, dikarenakan dalam waktu yang tidak lama lagi masyarakat awam akan  menilai mereka sebagai pemimpin politik yang gagal dan bahkan lebih kurang berkelas ketimbang figur-figur kepemimpinan politik yang telah tenggelam.

Dan, wajar kiranya, jika “zaman normal” pembangunan lepas landas kembali terbetik di sanubari banyak orang dan dimimpikan segera datang mengusir kelelahan dan kecemasan, menunggu perbaikan kesejahteraan rakyat yang tak kunjung datang, terkecuali hanya pada segelintir orang di pentas kepemimpinan politik yang hinggap mendemonstrasikan gaya hidup berkecukupan ditengah-tengah membengkaknya pengangguran dan indeks pembangunan manusia (human development index) yang semakin menurun dan dianggap pandir oleh warga dunia. 
 Terlalu menyalahkan para pemimpin politik sekarang sebagai biang kegagalan bergulirnya arus reformasi zaman, tentunya bukanlah tindakan arif - bijaksana; karena perilaku merekapun yang egoistis seperti itu sesungguhnya lahir akibat olahan rekayasa psikososial zaman silam. Hal penting yang perlu dilakukan menjelang pemilu 2014 nanti adalah menyadarkan persepsi para pemimpin politik berikut organisasi politik yang menaunginya, agar mulai berbenah diri saling berintrospeksi, untuk menata kembali jati diri tatanan perilaku individualnya maupun kepribadian kolektifnya, sebelum kekecewaan masyarakat memuncak dengan menolak kesemena-menaan kehadiran mereka selaku pemimpin politik dan calon presiden pilihan yang didambakan, dan selain itu tanpa daya menginginkan kembali kepada komunitas faham otoritarian, yang telah menunggu momentum come back-nya mereka dengan melepas topeng kosmetika psikologikalnya.
Menyadarkan sepak terjang jagat pemimpin politik Indonesia, terutama dalam meneguhkan watak berkelasnya  -  dengan kembali merenung ulang jejak kesejarahannya menjelang pesta demokrasi yang di tahun 2014 kembali akan digelar - nampaknya patut dijadikan strategi dan program andalan bagi segenap pemimpin politik terkait dan yang merasa berkepentingan agar sang kandidat sanggup lolos mulus ke gerbang kepresidenan, memetik gemuruh simpati dan empati coblosan kartu pilihan suara yang melekat di hati nurani rakyat.
Untuk itu, perilaku kepemimpinan politik yang berkelas - dengan belajar dari para pemimpin politisi zaman normal dulu - lazimnya patut mengejawantahkan karakteristik individunya, yakni: sangat menyadari batas-batas potensi yang ada dalam dirinya, rendah hati, satunya kata dan perbuatan, menghargai kaum perempuan, memegang teguh komitmen lisan maupun tertulis, menghayati posisi dan peran apa yang layaknya akan dijalani secara proporsional, jujur, berdisiplin, bersahaja, pekerja keras, cerdas, dan berani berkorban tanpa beban.
Gelegar sang pemimpin politik yang berkelas yang teramat langka di negeri ini mudah-mudahan akan bersemi di antara ratusan juta jiwa anak bangsa, menuntun langkah insan nusantara tercinta menggapai cita-cita, bergegas melaju, bahu-membahu menjadi satu masyarakat yang bangga dan menghargai bangsa dan negaranya.
Jakarta, 12 Desember 2011
Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar