.


Selasa, 27 Maret 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Kualitas Organisasi


KUALITAS ORGANISASI

“Quality is never an accident, it is always the result of high intention, sincere effort, intelligent direction, and skillfull execution”. William A. Foster

Organisasi adalah strategi besar yang diciptakan manusia dalam upaya mengatur para pekerja untuk saling bekerja-sama dalam suatu tim. Dengan organisasi timbul hubungan yang dapat diperkirakan dan disusun keterkaitan  antara manusia, teknologi, pekerjaan, dan sumber daya lainnya. Untuk itu jika sejumlah manusia bergabung dalam melakukan upaya bersama maka diperlukan organisasi sebagai wadah untuk memperoleh hasil yang produktif. Sebagian besar organisasi masih terpengaruh oleh teori organisasi klasik dalam membangun struktur organisasi, khususnya yang berkaitan dengan unsur-unsur lembaga, kuasa, wewenang dan tanggung jawab, pembagian kerja, spesialisasi, dan saling ketergantungan antar semua bagian. Namun demikian disain pekerjaan tradisional seperti itu cenderung mengarah pada spesialisasi yang membawa maslahat bagi para pekerja di satu sisi, sedang disisi yang lain terdapat kerugian manusiawi yang tak terelakkan. Kesadaran akan adanya kerugian manusiawi tersebut telah mendorong perhatian para pakar dan praktisi organisasi untuk mengembangkan desain kerja yang dapat membuahkan hasil yang efektif bagi para pekerja sejalan dengan hasil kerja-teknisnya. Beberapa upaya pendekatan telah dilakukan untuk menciptakan pekerjaan yang lebih manusiawi yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas dan harkat kehidupan  yang lebih baik.
Kualitas kerja bertujuan mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif,  baik bagi para pekerja itu sendiri maupun dalam keberlangsungan proses produksi. Adanya konsep kualitas kerja merupakan langkah terobosan guna menghasilkan kualitas kerja yang lebih menusiawi dengan memenuhi kebutuhan hidup tingkat tinggi para pekerja berdampingan dengan kebutuhan pokok mereka. Melalui pendekatan ini organisasi berusaha untuk mendaya-gunakan keterampilan dan keahlian para pekerja sebagai sumber daya manusia, yang perlu dikembangkan bukan hanya sekedar digunakan atau dimanfaatkan, namun dengan menyediakan lingkungan kerja yang kondusif untuk meningkatkan produktivitas mereka. Dalam disain tradisional dan manajemen keilmuan yang dianut pada periode waktu sebelumnya, fokus pengorganisasian lebih diarahkan pada spesialisasi dan efisiensi dimana setiap pekerja melaksanakan tugas yang sempit dengan bekal keahlian yang sederhana dan terbatas. Gagasan dasar manajemen keilmuan untuk melakukan lingkup kerja kecil saja dari unsur-unsur pekerjaan, dengan hirarki organisasi yang kaku dan standarisasi pekerjaan guna mencapai tujuan efisiensi. Disain klasik atau manajemen keilmuan ini dianggap kurang memperhatikan kualitas  kerja, dan hanya terfokus pada memperkecil pengeluaran atau biaya, yakni dengan memanfaatkan tenaga kerja kurang terampil dengan keahlian repetitif, sehingga dapat dilatih dengan mudah dan berdampak pada kerugian manusiawi. Dengan dilakukan pembagian kerja secara berlebihan dimana para pekerja sangat bergantung dan terikat pada peraturan, prosedur, dan hirarki. Dengan kata lain, secara sosial para pekerja yang terspesialisasi menjadi terisolasi dari rekan kerja mereka, yang pada akhirnya dapat memperlemah vitalitas, akselerasi, sinergitas dan bahkan kepentingan produktivitas secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, pelaksanaan kerja dikendalikan oleh hirarki yang besar dan sangat mengutamakan hanya pada satu cara kerja terbaik saja untuk mencapai prestasi kerja secara teknis. Sebaliknya, banyak para pekerja yang merosot ketrampilannya akibat kehilangan makna dan perasaan bangga terhadap pekerjaan mereka, yang ditandai oleh tingginya tingkat turn-over dan kemangkiran para pekerja. Situasi yang lebih buruk lagi, sementara kualitas kerja menurun, di lain pihak para pekerja semakin merasa terkucil, dan hal ini rawan bagi tumbuhnya konflik pada saat dilakukan upaya perbaikan dan perubahan terhadap kondisi kerja mereka. Sayangnya banyak reaksi para pemimpin menghadapi situasi para pekerja tersebut justru dengan memperkuat pengendalian, mengetatkan penyeliaan dan mengorganisasikan dengan lebih kaku. Meski tujuannya adalah memperbaiki situasi, namun yang terjadi dapat membuat kondisi menjadi lebih parah, karena disaat yang sama secara tidak disadari justru memperburuk aspek manusia dalam pekerjaan, dengan menempuh jalan pintas, yakni hanya mengatasi fenomena dan isu semata (remedial) tanpa menukik ke sumber masalah. Padahal sebab sesungguhnya adalah bahwa dalam banyak hal para pekerja sendiri sudah merasa tidak puas dan bosan, semakin lama mereka bekerja semakin berkurang kepuasan kerjanya sehingga motivasi bekerja mereka menurun.
Yang kurang disadari oleh para pemimpin - khususnya dalam menghadapi para pekerja terdidik - bahwa tuntutan mereka sedang berubah, yaitu ingin mencapai pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar memperoleh sesuap nasi. Mungkin organisasi klasik lebih cocok untuk tenaga kerja yang miskin, tidak atau kurang trampil atau bahkan terdidik,  namun disain kerja tersebut agaknya tidak sesuai bagi angkatan kerja baru yang trampil dan terdidik serta tengah berubah aspirasinya. Oleh karena itu disain kerja organisasi secara terus menerus harus dapat mengimbangi perubahan aspirasi dan sikap para pekerja. Terdapat empat pilihan bagi para pemimpin dalam menanggulangi situasi tersebut, pertama, mempertahankan situasi sebagaimana adanya, dengan hanya mempekerjakan para pekerja yang senang dengan lingkungan kerja yang demikian, yang dalam hal ini tidak semua para pekerja menolak bentuk pekerjaan yang kaku dan terspesialisasi serta repetitif, bahkan sebagian dari mereka mungkin masih menyukai standar kerja seperti itu untuk pemenuhan rasa aman dan dukungan tugas yang tersedia. Kedua, mempertahankan situasi sebagaimana adanya namun dengan memberi para pekerja tambahan gaji agar mereka mau menerima situasi demikian. Mengingat disain organisasi klasik biasanya memberikan manfaat ekonomis, maka para pemimpin bersedia mengupayakan berbagi manfaat dengan para pekerja mereka. Ketiga, dengan adanya mekanisasi dan otomatisasi pekerjaan yang bersifat rutin, maka para pekerja tidak lagi menyukai  pekerjaan tersebut dan bahkan mereka merasa tersingkir atau tidak diperlukan lagi dan terlebih lagi tugas mereka  tergantikan  oleh robot industri. Keempat, mendisain ulang pekerjaan dan organisasi yang diinginkan dan disukai para pekerja, dalam upaya meningkatkan kualitas  kerja mereka.
Pada dasarnya organisasi klasik berupaya mendisain pekerjaan agar sesuai dengan tuntutan persyaratan teknologis, yaitu mendisain pekerjaan yang menekankan pada tuntutan fungsi teknologi dan kurang memperhatikan kriteria non teknologis  lainnya. Di sisi lain, pendekatan organisasi modern berupaya menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan tuntutan teknologi. Dalam hal ini lingkungan kerja organisasi dan semua aspek kerja yang tercakup didalamnya,  harus sesuai dengan kebutuhan dan harapan para pekerja serta teknologi pendukungnya. Kesempatan berprestasi tentunya akan diberikan kepada para pekerja dengan  tantangan yang lebih besar, tugas yang menyeluruh, keterampilan yang lebih tinggi, dan  yang mampu menyumbangkan gagasan baru. Dalam aspek yang lebih luas lagi, seyogyanya pekerjaan tidak menjadi penghalang bagi para pekerja untuk memainkan peran kehidupan lainnya di luar pekerjaan, apakah perannya sebagai abdi negara, suami istri, atau orang tua, sehingga organisasi turut menyumbang terhadap kemajuan sosial secara umum. Asumsi dasar dari pemanusiaan pekerjaan, bahwa pekerjaan dianggap bermanfaat apabila dapat menyediakan ‘titik kesesuaian terbaik’ diantara para pekerja, pekerjaannya itu sendiri, teknologi dan lingkungannya. Maka disain terbaik akan berbeda-beda sebagai upaya penyesuaian dengan tatanan yang berbeda dari semua unsur yang ada dalam organisasi tersebut, sehingga penyesuaian tidak hanya dilakukan satu kali saja seolah ke depan tidak akan berubah untuk selamanya.
Para pemimpin biasanya mampu segera memberikan jawaban apabila ditanya tentang apa yang akan mereka lakukan jika tiba-tiba mereka kehilangan sebagian dari aset organisasi, misalnya bangunan pabrik, peralatan atau bahkan harta non fisiknya. Asuransi atau pinjaman sering kali menjadi jawaban pertama untuk mengganti atau menambah bangunan pabrik, peralatan dan asset lainnya. Namun jika mereka ditanya tentang apa yang akan dilakukan jika tiba-tiba organisasi kehilangan separuh dari sumberdaya manusia yang tersedia, tentunya akan sulit didapat jawaban yang mantap dan akurat, dikarenakan tidak ada satupun asuransi yang menanggung kerugian sumber daya manusia. Upaya perekrutan, pelatihan, dan pengembangan para pekerja baru dalam jumlah yang besar dan menjadikannya suatu kelompok kerja yang solid memerlukan waktu bertahun-tahun. Organisasi mulai menyadari bahwa harta mereka yang paling penting adalah sumberdaya manusia dan karenanya pengelolaan dan pengembangan sumberdaya tersebut merupakan salah satu tugas pemimpin yang paling krusial. Sejalan dengan hal itu organisasi perlu digerakkan dari asumsi teori X (pekerja malas) ke asumsi teori Y (pekerja dipercaya) sebagaimana terungkap dalam teori  Mc Gregor, yaitu membina perilaku yang tidak dewasa kearah pengembangan perilaku yang lebih dewasa, dan tidak hanya menekankan pada peran iklim kerja organisasi semata, akan tetapi juga mengakui adanya faktor motivasional pada mereka.
Oleh karena itu dalam gaya manajemenpun perlu dilakukan pendekatan yang berbeda untuk mencari kesesuaian antara organisasi dan para pekerja. Dalam hal ini dapat dikembangkan empat sistem kontinum dalam memperaktekkan gaya manajemen, yaitu, sistem pertama, pemimpin dianggap tidak meyakini dan mempercayai para pekerja dan karenanya jarang melibatkan mereka kedalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dan penyusunan tujuan organisasi hanya dilakukan pada elit tingkat atas manajemen dan para pekerja hanya menerima pengumuman dari atas melalui garis komando. Para pekerja terpaksa bekerja dalam suasana rasa takut, ancaman, serta ganjaran temporer sebagai pemenuhan akan kebutuhan pada tingkat fisiologis dan rasa aman semata. Interaksi antara atasan-bawahan biasanya terjadi diwarnai oleh suasana rasa tertekan dan saling tidak percaya. Dalam situasi ini dapat berkembang pula munculnya organisasi informal yang sering bertentangan dengan tujuan organisasi formal. Sistem kedua, peran para pekerja hampir mirip dengan sistem pertama, dimana peran para pemimpin masih dominan, namun demikian beberapa pengambilan keputusan sudah melibatkan manajemen tingkat yang lebih bawah. Dalam hal ini ganjaran dan hukuman sudah mulai dilakukan untuk memotivasi para pekerja.  Interaksi atasan dan bawahan masih bersifat tidak setara dimana atasan lebih bersikap memandang rendah terhadap para pekerja di bawahnya, dan sebaliknya para pekerja  di bawahnya lebih menunjukkan sikap rasa takut dan berhati-hati kepada atasannya. Namun demikian proses pengendalian masih dipusatkan pada pemimpin teras atas, meski sebagian telah dilimpahkan ke tingkat menengah dan tingkat bawah para pekerja. Organisasi informal juga muncul, namun tidak selalu menentang tujuan organisasi formal. Sistem ketiga, pemimpin telah menaruh keyakinan dan kepercayaan terhadap para pekerja meski  belum sepenuhnya. Kebijakan dan keputusan umum tetap diambil pada tingkat teras atas organisasi tetapi para pekerja di bawahnya diperkenankan untuk mengambil keputusan khusus bagi tingkat kesulitan pekerjaannya. Arus komunikasi berlangsung melalui alur keatas dan kebawah secara hirarkis. Ganjaran, hukuman, dan keterlibatan tetentu dipergunakan untuk memotivasi para pekerja. Dengan adanya jumlah jalinan interaksi yang moderat antara atasan dan bawahan telah cukup memupuk rasa yakin dan saling kepercayaan diantara mereka. Aspek-aspek pengendalian yang signifikan dilimpahkan kebawah disertai dengan rasa wewenang dan tanggung jawab baik ditingkat atas maupun ditingkat bawah. Organisasi informal tetap berkembang, namun lebih banyak mendukung ketimbang menentang terhadap tujuan organisasi formal. Sistem keempat, pemimpin dianggap telah memiliki rasa keyakinan dan kepercayaaan penuh terhadap bawahan. Pengambilan keputusan disebar luaskan keseluruh tingkatan organisasi dan dipadukan dengan baik, sementara arus komunikasi tidak hanya hirarkis dari atas ke bawah dan sebaliknya, akan tetapi juga berlangsung horisontal dan diagonal. Para pekerja termotivasi dengan adanya keterlibatan partisipatif untuk menetapkan ganjaran ekonomis, penyusunan tujuan, perbaikan metoda, dan penilaian kemajuan kinerja kearah pencapaian tujuan. Pada sisi yang lain, terjalin interaksi yang ekstensif dan bersahabat antara atasan dan bawahan yang dilandasi oleh saling kepercayaan yang tinggi. Wewenang dan tanggung jawab proses pengendalian tersebar diantara para pekerja organisasi dengan adanya keterlibatan penuh tim dan unit-unit kerja yang ada pada tingkat dibawahnya. Adanya organisasi  formal dan informal seringkali menjadi padu dan dinamis serta tak terpisahkan, atau dengan perkataan lain, semua kekuatan sosial mendukung upaya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pada sistem pertama, lebih berorientasi pada tugas dengan gaya manajemen otoriter yang sangat terstruktur, berseberangan dengan sistem ke empat yang menerapkan gaya manajemen lebih berorientasi pada relasi dan tim serta unit-unit kerja dengan tingkat saling kepercayaan yang tinggi. Adapun sistem ke-dua dan ke-tiga dapat ditempatkan pada tahap menengah diantara kutub sistem satu dan empat, dengan lebih berorientasi lebih dekat pada teori X dan teori Y dari teori MC.Gregor.
Cara lain untuk meningkatkan kualitas kerja adalah dengan pengkayaan pekerjaan, yaitu dicangkokan motivator tambahan yang diintegrasikan kedalam pekerjaan agar membuat para pekerja lebih merasa berarti dalam upaya memanusiakan pekerjaan mereka. Pengkayaan pekerjaan adalah perluasan dari konsep pemekaran pekerjaan, yang berusaha menciptakan keragaman tugas yang luas bagi para pekerja untuk mengurangi kemonotonan kerja rutin. Perbedaan antara pemekaran dan pengkayaan pekerjaan adalah bahwa pengkayaan pekerjaan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi, sedangkan pemekaran pekerjaan berfokus memberikan tugas tambahan kedalam tugas pokok para pekerja untuk memperbesar keragaman. Tentunya kedua pendekatan ini dapat dikombinasikan, yaitu dengan memperbanyak jumlah tugas dan menambahkan faktor motivator untuk peningkatan kepuasan kerja. Maslahat dari pengkayaan pekerjaan dapat mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri, sehingga pekerjaan dapat dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan timbulnya motivasi intrinsik. Dengan adanya motivasi yang meningkat,  prestasi seyogyanya diharapkan juga meningkat, sedangkan hal-hal negatif seperti keluh-kesah, tidak memenuhi jam kerja seharusnya, mangkir dan turn-over pekerja dapat dikurangi. Jika pekerjaan lebih menantang kesempatan untuk tumbuh terbuka, adanya wewenang dan tanggung jawab yang membesar, serta kemungkinan untuk maju lebih luas, pada gilirannya dapat mendorong prestasi kerja seseorang. Salah satu upaya untuk memelihara prestasi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan praktek bagi hasil, yaitu para pekerja menerima bagian dari upaya penghematan pengeluaran atau biaya yang berhasil dilakukan, sejalan dengan meningkatnya pekerjaan mereka dengan memberikan berbagai sistem insentif yang menarik.
Faktor lain yang perlu diidentifikasi dari pengkayaan pekerjaan adalah adanya dimensi inti pekerjaan yang dapat mempertinggi motivasi, kepuasan dan kualitas kerja. Pertama, adalah keragaman tugas, yaitu adanya kemungkinan para pekerja untuk melaksanakan tugas berbeda yang juga mengharuskan dimilikinya  keterampilan yang berbeda pula. Pekerjaan yang sangat beragam dipandang para pekerja lebih menantang karena menuntut beberapa jenis keterampilan. Pekerjaan seperti ini juga dianggap dapat meniadakan kemonotonan dari setiap aktivitas yang selalu berulang. Apabila pekerjaan itu bersifat fisik, maka bidang-bidang otot yang berbeda akan digunakan secara proporsional dalam kesempatan waktu yang lain, tidak hanya memforsir bagian otot tertentu saja pada setiap waktu. Keragaman dapat menimbulkan perasaan kompeten yang lebih besar bagi para pekerja, karena mereka dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara yang  berbeda.
Kedua, adalah identitas tugas, yaitu dimungkinkannya para pekerja untuk melaksanakan sebuah pekerjaan seutuhnya. Mereka akan lebih termotivasi karena memiliki rasa kewenangan dan  tanggung jawab serta penyelesaian pengerjaan sebuah produk secara keseluruhan. Apabila tugas diperluas untuk menghasilkan sebuah produk secara keseluruhan dan komponen-komponennya dapat diidentifikasi, maka telah terbentuk identitas tugas. Misalnya seorang pekerja yang merakit perangkat keras komputer yang dilakukannya dari awal sampai akhir yang menghasilkan produk secara utuh.
Ketiga, adalah signifikansi tugas, yaitu tumbuhnya perasaan dalam diri para pekerja bahwa mereka tengah mengarjakan suatu yang penting dalam organisasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya saja seorang pekerja merasa tengah melakukan tugas pokok dalam proses kerja yang berdampak luas kepada masyarakat dengan mengerjakan suatu alat kedokteran yang vital dalam menyelamatkan jiwa manusia.
Keempat, adalah otonomi, dimana organisasi memberikan kebijakan dan kendali tertentu bagi para pekerja atas keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, yang mana otonomi tersebut merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa wewenang dan tanggung jawab didalam diri para pekerja. Praktik manajemen berdasarkan sasaran (MBO) merupakan salah satu cara untuk menimbulkan otonomi yang lebih luas, dengan memberi tugas yang lebih besar bagi para pekerja dalam menetapkan tujuan dan merumuskan rencana dalam pencapaian tujuannya. Dengan kata lain, otonomi adalah langkah tambahan yang penting dalam pemenuhan skala kebutuhan bagi para pekerja.
Kelima, adalah umpan balik, yaitu adanya suatu mekanisme yang mengacu pada  informasi yang memberi tahu tentang seberapa baik prestasi para pekerja, yang muncul dari pekerjaan itu sendiri, dari pemimpin, dan dari para pekerja lainnya. Dalam hal ini para pekerja tidak hanya mau menerima umpan balik formal secara bulanan saja, mereka juga menuntut umpan balik kapan saja mereka memerlukan, untuk mengetahui seberapa baik prestasi kerja mereka karena mereka merasa telah menginvestasikan bagian yang substansial, yaitu bagian hidup mereka kedalam lingkup pekerjaan.
Dari uraian diatas perlu disadari bahwa pengkayaan pekerjaan tidak selalu berlaku bagi semua jenis situasi pekerjaan. Pendekatan ini mungkin lebih mudah diterapkan bagi para pekerja pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang bagi para pekerja tingkat rendahan, terutama apabila tingkat pekerjaannya dipengaruhi oleh faktor proses teknologi. Bagi organisasi yang sudah menginvestasikan dana dalam peralatan teknologi, adakalanya mereka merasa tidak perlu untuk melakukan pengkayaan pekerjaan kecuali apabila ada penggantian peralatan. Jika teknologi stabil dan sangat otomatis, biaya pengkayaan pekerjaan mungkin dianggap terlalu besar dibanding dengan manfaat yang akan diperoleh. Dengan kata lain, pengkayaan pekerjaan lebih sesuai dalam situasi tertentu ketimbang situasi lainnya, bahkan dalam situasi lain lagi, pendekatan ini mungkin tidak sesuai sama sekali. Ada sebagian para pekerja yang tidak menginginkan peningkatan wewenang dan tanggung-jawab, sementara para pekerja lain juga tidak terbiasa dengan interaksi antar tim kerja secara intensif, maka pengkayaan pekerjaan tergantung pada sikap dan kemampuan para pekerja untuk melaksanakan tugas yang akan diperkaya. Oleh karena itu para pekerja tidak hanya menerima pengkayaan pekerjaan hanya karena pendekatan itu secara apriori dianggap baik semata, namun yang lebih penting adanya kesadaran dan pemahaman dari para pekerja bahwa nilai-nilai manusiawi diakui dan dihormati secara individual dan perbedaan yang ada diantara para pekerja. Karena pada prinsipnya kualitas kerja mengacu pada terciptanya keadaan yang menyenangkan dilingkungan para pekerja. Diperlukan banyak waktu dan pengalaman sebelum mempraktekan kualitas kerja secara efektif dimana manfaatnya dapat diidentifikasi serta diterapkan dengan tingkat kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi.
            Apakah manfaat ini juga dapat dipetik untuk kepentingan kemajuan kualitas organisasi kita, perlu dilakukan langkah-langkah pemetaan terlebih dahulu, sejalan dengan langkah inventarisasi potensi, analisis, dan diagnosa kerja terhadap seluruh  SDM yang tersedia, sehingga peningkatan kualitas kerja organisasi kita secara mendesak perlu dilakukan?

                                                                                                            Jakarta, 27 Maret 2012
                                                                                                                       
Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar