.


Selasa, 22 Mei 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Ekonomi Hijau


EKONOMI HIJAU
Indonesia adalah negara kedua paling kaya di dunia untuk keanekaragaman hayati darat (terrestrial biodiversity), setelah Brasil dan peringkat pertama untuk keanekargaman hayati laut (marine biodiversity). Walaupun hanya meliputi 1,3% dari seluruh permukaan daratan bumi, hutan Indonesia mencapai 10% hutan dunia dan merupakan rumah bagi 20% spesies flora dan fauna dunia, 17% spesies burung dunia dan lebih dari 25% spesies ikan dunia. Dalam hampir setiap sepuluh hektar hutan pulau Kalimantan memiliki berbagai spesies pohon yang berbeda-beda melebihi yang ditemukan di seluruh Amerika Utara, apalagi jika didalamnya dimasukkan jumlah tumbuhan, serangga, dan hewan langka yang tidak dapat ditemui di tempat lain dimanapun di dunia. Meskipun pulau Kalimantan luasnya hanya 1% dari luas permukaan bumi, namun menurut laporan United State Agency for International Development (USAID) memiliki 6% spesies burung dunia, spesies mamalia dunia, dan spesies tumbuhan berbunga di dunia. Seluruh kepulauan Karibia hanya memiliki sekitar satu per sepuluh ke anekaragaman hayati laut Indonesia yang terletak di pertemuan samudera Hindia, laut Cina selatan, dan samudera Pasifik yang memperoleh makanan dari ketiga kawasan laut tersebut. Menurut Alfred Nakatsuma (USAID), Indonesia kini kehilangan hutan tropika seluas negara bagian Maryland setiap tahunnya, dan karbon yang dilepaskan oleh penebangan dan pembukaan hutan – sebagian dilakukan secara liar – telah menjadikan Indonesia negara ketiga paling besar di dunia untuk emisi gas rumah kaca, setelah Amerika Serikat dan Cina dan peringkat keempatnya adalah Brasil. Lebih dari 70% emisi CO2 dari Indonesia berasal dari penebangan dan pembukaan hutan. Menurut Conservation International, setiap jamnya hutan Indonesia ditebang 300 kali seluas lapangan sepak bola. Penebangan liar di hutan nasional menyebabkan pemerintah Indonesia kehilangan 3 milyar dolar AS pendapatan negara setiap tahunnya, bahkan pembukaan hutan resmi pun dilakukan secara besar-besaran karena Indonesia masih berusaha menumbuhkan ekonominya dengan menjual produk-produk hasil hutan. Begitu pula yang terjadi di wilayah lautan, perairan di sekitar 17 ribu pulau di kepulauan Indonesia memiliki 14% terumbu karang bumi dan lebih dari 2 ribu spesies ikan yang hidup di terumbu karang. Terumbu karang adalah tempat bernaung, struktur, sekaligus substrat, sebagaimana pohon di hutan yang apabila hilang maka berbagai jenis spesies binatang punah, begitu juga apabila tidak ada terumbu karang ikan pun punah. Pembangunan yang tak terkendali dan penangkapan ikan baik yang menggunakan dinamit maupun sianida telah banyak merusak terumbu karang di Indonesia, sebagai habitat sangat penting bagi ikan dan hewan karang lainnya. Pada tahun 2000 penangkapan ikan di sekitar perairan Indonesia mulai menjarah kepada ikan yang belum cukup umur, yakni sebesar 8% dan di tahun 2004 angkanya telah berlipat menjadi 34% dari total kekayaan ikan. Menurut para pakar ketika bayi ikan yang ditangkap mencapai satu per tiga dari yang tersedia, berarti kiamat di dunia sudah dekat. Bayangkan sebuah dunia tanpa hutan. Bayangkan sebuah dunia tanpa karang. Bayangkan sebuah dunia tanpa ikan. Bayangkan sebuah dunia dengan sungai-sungai yang mengalir hanya dalam musim hujan. Kita perlu segera mengembangkan sebuah sistem untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang cerdas, serba lengkap, dan efektif.
Sejak KTT bumi tahun 1992 di Rio De Janeiro (Brasil), muncul konsensus global bahwa perubahan iklim bumi, pola konsumsi sumber daya, dan ledakan jumlah penduduk secara gabungan mengancam keanekaragaman hayati yang berfungsi mempertahankan keberadaan semua spesies, termasuk manusia, sehingga perlu didefinisikan kembali hubungan manusia dengan dunia. Konsumsi energi, pertumbuhan ekonomi, kepunahan spesies, penggundulan hutan, politik minyak, dan pemanasan bumi, semua saling terkait. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan jumlah penduduk telah melepaskan lebih banyak karbon ke dalam atmosfer, sehingga bumi yang rata dan penuh sesak telah menjadikan udara semakin panas dan pengap. Begitu pula perusakan hutan dan alam  lainnya seperti terumbu karang, menjadikan manusia semakin rentan, karena pohon di hutan yang berfungsi menyerap air hujan bersih sekaligus menyimpannnya di bawah permukaaan dalam akar-akar dan akuifer-akuifer, yang kemudian kesemuanya secara teratur dilepaskan ke sungai-sungai dan anak-anak sungai. Begitu juga terumbu karang dan hutan bakau adalah penyangga daerah pantai dari hempasan badai tropika. Maka semakin jauh kita masuk ke dalam energi iklim, semakin besar kebutuhan kita akan habitat alami, sebagaimana hutan yang dapat mencengkeram tanah dan menyediakan rumah bagi spesies-spesies yang terancam, sementara karang dapat melindungi daerah pantai dari kenaikan permukaan air laut dan menyediakan pakan bagi sekawanan ikan yang merupakan mata pencaharian bagi penduduk pantai. Membangkitkan elektron-elektron bersih yang melimpah, andal, dan murah akan membantu mengurangi tekanan terhadap ekosistem bumi yang tengah terancam, namun lebih dari itu diperlukan strategi integral dan komprehensif untuk membangkitkan pelestarian secara besar-besaran guna  memastikan masih tersedianya banyak tumbuhan dan hewan bagi manusia sebagai sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Strategi tersebut perlu didorong dan dipelihara, khususnya oleh orang-orang yang tinggal di wilayah sumber daya alami yang paling berharga. Di samping itu perlu dirumuskan kebijakan pemerintah tentang ekosistem, investasi, dan stakeholders yang tepat dan benar untuk menyelamatkan sebuah ekosistem yang terdiri atas tumbuhan, hewan dan hutan. Kita perlu menyambut baik terhadap upaya yang telah dikembangkan para pakar ekonomi yang menggagas pendekatan di bidang ekonomi yang mengintegrasikan faktor lingkungan dan ekosistem kedalam paradigma pemikiran di bidang ekonomi, khususnya dalam rangka mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah yang terintegrasi dengan pelestarian alam. Suatu pendekatan yang berusaha untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan mendesak yang perlu segera ditangani. Sebaliknya upaya menggerakkan roda perekonomian dengan kebijakan rendah karbon (low carbon economy) perlu mendapat dukungan yang luas. Sebelumnya masyarakat hampir tidak peduli dengan bahan bakar kotor (high carbon), mereka seolah menutup mata dan menganggap wajar jika pertumbuhan ekonomi akan mengorbankan kesehatan ekosistem serta kesehatan ekonomi masyarakat yang tersingkir, sementara kepunahan pelbagai spesies merupakan efek samping dan tak terelakkan. Padahal dengan sistem energi bersih, kita akan faham bahwa ekosistem sehat dan ekonomi sehat harus seiring, jika tidak pertumbuhan itu sendiri tidak akan dapat dinikmati lagi akibat kerusakan dan ketidaktersediaan sumber daya alam yang memadai. Boleh jadi ekonomi hijau dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi alternatif pilihan terbaik dalam rangka melaksanakan model pembangunan dengan reducing emission from deforestation and degradation (REDD), suatu pembangunan ekonomi yang tidak hanya bersifat business as usual, namun cenderung pada konsep green economy untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan menekan resiko kerusakan ekologi. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sama pentingnya dengan memperkecil resiko lingkungan dan pengikisan aset ekologi. Komitmen untuk menerapkan REDD merupakan tantangan bagi pemerintah dan pelaku bisnis Indonesia guna menerapkan konsep ekonomi hijau secara utuh. Karena dengan ekonomi hijau akan terjawab aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi sekaligus secara bersamaan. Melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu menggantikan kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Dengan pendekatan baru kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu memadukan aspek "pelestarian lingkungan" dan "pertumbuhan ekonomi". Dengan perkataan lain, melalui model pendekatan Green Economy akan mampu menjawab saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi terhadap perubahan iklim dan pamanasan global. Beberapa kebijakan perlu segera ditempuh, diantaranya: Pertama, sebuah kebijakan pemerintah nasional perlu melindungi daerah-daerah tertentu yang telah melewati batas aman untuk eksploitasi, konversi, dan/atau pembangunan mengingat pentingnya ke aneka ragaman hayati di suatu daerah. Di samping itu membatasi dengan tegas daerah-daerah lain untuk dikembangkan dengan alasan pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan yang cermat guna melindungi spesies terancam, mutu air, dan nilai ekologi lainnya. Kedua, memberi peluang alternatif ekonomi bagi masyarakat setempat yang memungkinkan mereka tetap berkembang tanpa harus merusak keanekaragaman hayati di daerahnya. Ketiga, investor swasta apakah dari pihak subsektor energi atau pertambangan, agrobisnis, pengembangan wisata, perhotelan dan lainnya yang memiliki kepentingan untuk menjaga agar keanekaragaman hayati di daerahnya tetap utuh dan dapat menarik investasi global dalam proyek-proyek yang menguntungkan, menghormati dunia alami, sekaligus membantu standar hidup penduduk setempat. Keempat, pemerintah daerah harus mampu dan bersedia melestarikan daerah yang harus dilindungi dengan tidak menjualnya demi uang atau membiarkan diri dikorup oleh kepentingan pihak penebang dan penambang. Kelima, melibatkan pakar lokal atau internasional yang paham betul cara mengukur keanekaragaman hayati dengan canggih dan benar, sekaligus merencanakan tata guna lahan untuk menentukan dengan tepat daerah mana yang perlu dilindungi dan daerah mana yang dapat dibangun untuk penanganan lingkungan yang tepat. Keenam, mendukung pelbagai inisiatif penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan tinggi guna meningkatkan kesadaran generasi muda untuk secara antusias menerima pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka sadar tidak ingin merusak dunia alami di sekitar mereka.
Tentunya setiap komponen masyarakat perlu disadarkan terhadap situasi genting diatas, baik itu dari pihak pemerintah, perusahaan, organisasi non pemerintah dan penduduk daerah setempat perlu terlibat dalam upaya pelestarian dan memahami bahwa menjaga keutuhan ekosistem lokal sama dengan menjaga kepentingan mereka. Mereka semua perlu dilibatkan dalam melestarikan daerah yang dilindungi beserta keanekaragaman hayati secara keseluruhan, dengan mengaitkan keterlibatan tersebut dengan peluang sukses mereka. Suatu kisah menarik adalah ketika sekelompok aktivis lingkungan – pecinta orang utan – mengorganisasikan pendekatan khusus bagi pelestarian hutan batang toru di Sumatera Utara, berkat komunikasi dan lobi yang baik dengan perusahaan pertambangan, penduduk desa, dan perusahaan penebangan yang memiliki hak pengusahaan hutan, serta bagaimana mereka meyakinkan para investor besar di subsektor energi yang ingin memanfaatkan kantung-kantung panas bumi di daerah itu. Investor lokal tersebut telah mengantongi hak untuk menggarap panas bumi di tengah hutan batang toru dari pemerintah pada tahun 2006. Pemimpin dari aktivis lingkungan tersebut mencoba berdialog dan memberi pemahaman kepada investor lokal tersebut tentang adanya kepentingan bersama untuk mempertahankan hutan. Bahkan hutan tersebut mempunyai fungsi sebagai water table yang diperlukan untuk membuat sumur-sumur panas bumi tetap ada dan tidak sampai merosot terlalu rendah, sehingga batuan-batuan panas di situ tidak dapat membuat uap lagi, dimana fungsi hutan adalah mempertahankan daerah tangkapan air. Setelah para pengusaha menyadari hal ini, mereka menggunakan pengaruhnya untuk membeli hak pengusahaan hutan tropika batang toru dari perusahaan penebang kayu sebagai pemilik semula yang kemudian diubahnya menjadi sebuah hutan lindung yang bebas dari pembangunan, kecuali agroforestry terkendali dan rencana proyek panas buminya yang sedang dikerjakan. Mereka tengah membeli hak pengusahaan hutan senilai kira-kira 2 milyar dolar AS bagi hutan lindung, agaknya perusahaan penebangan tidak berkeberatan menjual hak tersebut karena sebagian besar hutan tumbuh di lereng-lereng bukit yang curam dan menyulitkan penebangan serta pengangkutan kayu gelondongan. Pengusaha energi geotermal tersebut berhasil menguasai hutan dan berencana melanjutkan proyek geotermalnya yang akan menghasilkan 330 mega-watt serta mencari kemitraan dengan penduduk setempat dengan mengendalikan pertanian di lantai hutan sekaligus memanfaatkan sebagai daya tarik wisata lingkungan alam (eco-tourism) yang juga bisa dinikmati oleh warga kota-kota terdekat. Begitu pula perundingan soal royalti bagi penduduk desa dari fasilitas operator geotermal diupayakan, ketika fasilitas itu selesai dan dioperasikan, untuk mendukung sekolah dan infrastruktur setempat. Para aktivis juga bekerjasama dengan penduduk asli dalam menghidupkan kembali hukum-hukum lisan adat-istiadat mereka yang sangat menjunjung upaya melindungi hutan, sungai, dan lingkungan alami secara keseluruhan. Mereka menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah dianut oleh nenek moyang mereka yang telah terkikis oleh kalangan generasi baru akibat terlalu banyak menonton televisi, padahal tempat tinggal mereka dekat sekali dengan hutan.
Tentu kisah tersebut masih dapat dihitung dengan jari, sementara para elit Indonesia yang tengah dilanda demam demokrasi dan disentralisasi telah memberikan pengaruh yang campur aduk dalam hal kebijakan lingkungan. Di satu sisi di beberapa bagian negeri ini, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten tengah menggalakkan program konservasi secara sungguh-sungguh. Namun di tempat lain pemerintah daerah yang baru tengah menikmati kekuasaan penuh – tanpa mendengar supervisi lagi dari pemerintah pusat – tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan uang secara cepat melalui penjualan ijin-ijin pengusahaan sumber daya alam, dan ironinya dengan meresmikan operator-operator yang semula liar menjadi resmi. Dengan demikian, baik pemerintah pusat maupun para aktivis lokal dan wartawan perlu memberi tekanan dan pengendalian terhadap para pejabat yang perilakunya tidak bersahabat lagi dengan program kelestarian lingkungan. Padahal menurut para aktivis lingkungan tadi, komunikasi dengan semua kalangan perlu diefektifkan, misalnya ketika kita berbicara dengan kepala pemerintahan daerah, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa ekonomi versi birokrat, namun ketika kita berbicara dengan masyarakat setempat, maka bahasa yang digunakan adalah kesejahteraan, dan ketika kita berbicara dengan para pengusaha maka bahasa yang digunakan adalah tentang keuntungan bagi mereka di masa mendatang. Begitu pula ketika berbicara dengan sesama para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maka bahasa yang digunakan adalah bahasa lingkungan. Setiap kebijakan harus disesuaikan secara lokal di tempat masing-masing, baik dengan pemain lokal maupun investor lokal dari sudut kepentingan mereka namun kondusif bagi upaya pelestarian lingkungan. Meningkatkan kesadaran terhadap isu lingkungan ini mendorong masyarakat untuk memikirkan upaya keseimbangan laju ekonomi dengan konservasi lingkungan alam yang dapat melahirkan paradigma ekonomi yang memasukkan aspek lingkungan kedalamnya.
Menurut Thomas L. Friedman, Jika ingin menyelamatkan hutan, maka harus menyelamatkan orang-orangnya terlebih dahulu, dan dalam dunia masa kini cara satu-satunya untuk mewujudkannya adalah melalui pendidikan, suatu tempat dimana orang bisa belajar pelbagai keterampilan baik yang berkenaan dengan sektor jasa maupun manufaktur yang tidak merusak keseimbangan hutan. Setelah itu menciptakan lapangan kerja berbasis pengetahuan guna menyelamatkan hutan secara berkelanjutan. Begitu juga para aktivis lingkungan tidak bisa dibiarkan bergerak sendiri-sendiri, mereka harus bahu-membahu mencari cara yang paling efektif bagi penyelamatan hutan dan ekosistem secara terpadu dan menyeluruh. Menurut L. Friedman, “jika anda pergi ke Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini dan melihat pesawat penuh dengan perempuan muda yang dikirim ke luar negeri untuk menjadi pembantu rumah tangga, anda juga bisa memastikan bahwa kayu-kayu gelondongan dari hutan-hutannya pun akan diekspor sampai habis”. Situasi ironis ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlangsung, terutama bagi masyarakat yang masih merasa sebagai bangsa yang bermartabat. Maka makna kata “hijau” mengandung sebuah nilai yang perlu dilestarikan dalam sanubari diri sendiri terlebih dahulu, bukan karena semata akan membuahkan rekening bank yang semakin gemuk – yang kebetulan warna lembaran dolar juga berwarna hijau – melainkan dengan sikap demikian akan menjadikan hidup lebih kaya dan penuh berkah yang seyogyanya akan selalu demikian. Etika konservasi menyatakan bahwa mempertahankan dunia yang alami adalah sebuah nilai yang mustahil dikuantifikasi tetapi juga mustahil diabaikan, sebab itulah keindahan, keajaiban, kegembiraan dan kemustahilan yang bisa disediakan oleh alam raya yang hidup.  Hal tersebut baru dapat terwujud secara konkrit, apabila kalangan dunia pendidikan di semua strata mampu melakukan kreasi dan inovasi dalam merancang berbagai program pelestarian lingkungan kedalam berbagai aktivitas intra dan ekstra kurikuler yang menggugah minat dan menumbuhkan kepedulian siswa dan/atau mahasiswa sehingga mereka betul-betul tergerak, terlibat dan melakukan tindakan nyata secara spontan dan sukarela. Viva Green Economy.
                                                                                               
Jakarta, 23 Mei 2012
                                                                                                               Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar