.


Selasa, 08 Mei 2012

Rangkaian Kolom Kluster I: Strategi Eksekusi dan Balance Score Card

STRATEGI EKSEKUSI
DAN
 BALANCE SCORE CARD

Banyak organisasi yang mampu merumuskan rencana strategis dengan baik, namun belum banyak organisasi mampu melaksanakan kegiatan operasional organisasi bisnisnya berdasarkan rencana strategis yang telah dirumuskan tersebut. Kenyataannya bahwa strategi yang telah ditetapkan melalui proses formulasi strategi yang baik, sering tidak dapat terwujud atau strategi tersebut tidak dapat diimplementasikan. Hal tersrebut didukung oleh hasil penelitian Kaplan dan Norton  terhadap organisasi-organisasi di Amerika Serikat, didapatkan bahwa hanya 10% organisasi yang memiliki rencana strategis, kemudian mampu menerapkan rencana strategis tersebut dalam kegiatan operasional bisnisnya (Kaplan:2004). Setelah diidentifikasi terdapat empat hambatan pokok yang dapat dijumpai , yaitu (1)hambatan visi dan misi, (2)hambatan orang, (3)hambatan manajemen, dan (4) hambatan sumberdaya. Sementara  W. Chan Kim dalam bukunya Blue Ocean Strategy, mengandaikannya dalam terminologi 4 rintangan, yakni rintangan kognitif (terjebak status quo), rintangan sumber daya, rintangan motivasional dan rintangan politik.
Secara konseptual dapat difahami, bahwa rencana strategis berisikan uraian-uraian yang prioritas dan signifikan, jangka panjang, dan melibatkan stakeholder yang luas. Dalam rangka mengeksekusi rencana strategis dengan kategori tersebut diatas, menjadi suatu tindakan operasional yang detail, rutin ( jangka pendek ), dan tersegmentasi pada unit-unit kerja tertentu, membutuhkan suatu upaya dan metodologi yang efektif dan efesien. Balanced Scorecard merupakan alat bagi manajemen untuk menerjemahkan visi, misi, dan strategi organisasi menjadi tindakan nyata yang terukur pelaksanaannya. Hubungan sebab akibat antara keempat perspektif dalam Balanced Scorecard diperlihatkan dalam peta strategis. Peta strategis menjadi alat komunikasi yang efektif kepada seluruh pekerja untuk mendukung tujuan yang ingin dicapai organisasi, karena peta strategis memberikan keseragaman langkah yang konsisten dalam menguraikan strategi sehingga sasaran strategis dapat dicapai.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa suatu organisasi modern perlu untuk menyusun rencana jangka panjangnya, khususnya dalam rangka mempertahankan diri dan menjaga kesinambungan agar organisasi tersebut tetap eksis dan berkembang dimana rencana tersebut harus diformulasikan. Menurut Wheelen dan Hunger (2008)  formulasi strategi adalah penyusunan rencana jangka panjang organisasi dalam rangka mengupayakan keefektifan organisasi dalam meraih peluang dan mengatasi hambatan yang ada sesuai dengan kekuatan dan kelemahan organisasi. Formulasi strategi ini juga termasuk mendefinisikan visi, misi, value serta kompetensi inti dari organisasi sebagai bahan dalam menentukan strategi yang terdapat dalam rencana jangka panjang organisasi. Mendefinisikan visi, misi, value serta kompetensi inti organisasi juga dapat diartikan dengan mengkaji ulang kesesuaiannya dengan peluang dan hambatan yang dihadapi organisasi, karena mungkin saja setelah dilakukan analisis dan diagnosis internal dan eksternal, ternyata visi, misi, value organisasi sudah tidak relevan untuk terus diterapkan sehingga harus disesuaikan dengan keadaan yang harus dihadapi. Hal ini mungkin juga akan menuntut perubahan kompetensi inti organisasi, dalam arti organisasi harus menemukan kembali kompetensi intinya dalam upaya meraih peluang dan mengatasi hambatan yang ada.
Setelah suatu strategi dapat diformulasikan, maka strategi tersebut harus dapat diimplementasikan. Adapun implementasi strategi masih menurut Wheelen dan Hunger, adalah proses mewujudkan strategi yang telah diformulasikan ke dalam aksi melalui serangkaian program, prosedur serta  anggaran. Serangkaian program dan prosedur serta anggaran tersebut harus dilakukan secara komprehensif di tingkat korporasi dan di setiap divisi organisasi dengan mengarah kepada visi dan misi organisasi. Dalam hal ini Kaplan dan Norton (2004) menyatakan bahwa strategi dari suatu  organisasi harus menjelaskan bagaimana organisasi akan menciptakan nilai bagi pemegang saham, konsumen, dan masyarakat. Nilai atau value yang harus diciptakan itulah yang menjadi satu titik tujuan dari implementasi strategi yang dilakukan tiap bagian dalam organisasi. Menciptakan nilai tersebut juga merupakan wujud dari mempertahankan keberadaan organisasi. Charan dan Bosidy (2002) menyebutkan bahwa dalam mempertahankan keberadaan organisasi, tergantung kepada tiga rincian proses aktivitas, yaitu:
1.      Proses strategi
Proses ini merupakan proses formulasi rencana strategis, sehingga hasilnya adalah organisasi memiliki rencana atau strategi yang akan dilakukan;
2.      Proses sumber daya manusia
Proses ini sudah masuk kepada tahap awal implementasi strategi, yaitu dengan membagi implementasi strategi kepada masing-masing individu dalam organisasi; dan
3.      Proses operasional
Proses ini merupakan implementasi strategi yang nyata. Pembagian tugas dalam implementasi strategi kepada seluruh individu dalam organisasi benar-benar dilakukan.
Untuk menjamin agar implementasi strategi tetap berjalan selaras dengan rencana strategis, maka perlu dilakukan upaya pengukuran dan evaluasi sehingga implementasi strategi berjalan pada garis rencana strategis, yang pada akhirnya tujuan strategis organisasi dapat tercapai. Pendekatan yang relatif baru untuk mengukur hal tersebut, acap dinamakan sebagai  balanced scorecard, yaitu berupa pengukuran kinerja perusahaan modern dengan mempertimbangan empat perspektif - yang saling berhubungan - yang merupakan penerjemahan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitor secara berkelanjutan.  Balance scorecard kini digunakan secara luas dalam dunia bisnis dan industri, pemerintahan, dan organisasi nirlaba di seluruh dunia untuk menyelaraskan kegiatannya dengan visi, misi dan strategi organisasi, meningkatkan komunikasi internal dan eksternal, dan monitoring terhadap kinerja pencapaian tujuan strategis organisasi.
Adanya istilah “balance” dalam konteks ini menunjukkan adanya keseimbangan antara semua faktor, yaitu keseimbangan antara faktor keuangan dan non keuangan, faktor internal dan eksternal, serta rentang waktu jangka pendek dan jangka panjang. Pendekatan baru dalam manajemen strategis ini untuk pertama kali secara  rinci diperkenalkan dalam serangkaian artikel dan buku karya Kaplan dan Norton, dan kedua pakar tersebut menyadari bahwa terdapat beberapa kelemahan dan ketidakjelasan pendekatan manajemen pada periode waktu sebelumnya. Sejalan dengan itu, pendekatan balanced scorecard memberikan resep yang jelas mengapa organisasi perlu mengukur kinerja dan 'menyeimbangkan' perspektif keuangan. Balanced scorecard adalah sistem manajemen - bukan sistem pengendalian saja - yang memungkinkan organisasi dapat mengklarifikasi dan merevisi visi, misi dan strategi serta menerjemahkannya ke dalam tindakan. Melalui pendekatan ini  umpan balik berlangsung ke arah dua sisi proses bisnis, yakni proses bisnis internal dan hasil eksternal dalam rangka terus-menerus meningkatkan kinerja strategis dan hasil ( result). Melalui perspektif balanced scorecard akan mengarahkan kita untuk melihat organisasi dari sudut empat perspektif, adapun masing-masing perspektif tersebut adalah, Pertama, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, dan perspektif ini meliputi pelatihan pembentukan sikap para pekerja secara individual dan menumbuhkan sikap budaya perusahaan secara korporasi. Dalam iklim yang diwarnai oleh cepatnya perubahan teknologi seperti saat ini,  maka penting bagi para pekerja untuk terus meningkatkan pengetahuannya  agar tetap berada dalam suasana belajar yang terus menerus.
Dengan perkataan lain, pembelajaran dan peningkatan pengetahuan pekerja merupakan dasar penting untuk mencapai pertumbuhan dan keberhasilan setiap organisasi. Kaplan dan Norton menekankan bahwa 'belajar' itu lebih dari sekedar 'pelatihan', belajar melebihi hal-hal seperti aktivitas mentor dan tutor dalam organisasi, juga berupa peningkatan kecakapan  komunikasi di antara para pekerja yang memungkinkan mereka tetap siap mendapatkan bantuan pada saat menghadapai masalah, dan tercakup dalam hal ini adalah penguasaan dalam hal perangkat teknologi. Kedua, perspektif proses bisnis, dimana perspektif ini mengacu pada proses bisnis internal. Berdasarkan perspektif ini memungkinkan seorang manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan, dan apakah produk dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ketiga, perspektif pelanggan,  yaitu filosofi manajemen terbaru yang menggaris bawahi  pentingnya fokus pada pelanggan dan kepuasan pelanggan dalam bisnis apapun. Aspek ini adalah indikator utama, dan jika pelanggan tidak puas, mereka akhirnya akan menemukan pemasok lain yang akan memenuhi kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif ini merupakan indikator utama tentang penurunan kinerja masa depan, meskipun gambaran keuangan saat ini mungkin terlihat baik. Utuk mengembangkan matrik pengukuran kepuasan pelanggan, maka pelanggan harus dianalisis  termasuk jenis-jenis proses pelayanan barang dan/atau jasa kepada kelompok pelanggan. Keempat, perspektif keuangan,   dalam hal ini Kaplan dan Norton tidak mengabaikan pentingnya data keuangan. Data, dana, tepat waktu, dan akurasi akan selalu menjadi prioritas, begitu pula seorang manajer akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menyediakannya. Dewasa ini untuk memperoleh data demikian ditunjang oleh sarana yang lebih dari cukup, yakni melalui penerapan database perusahaan dimana proses tersebut dapat lebih terpusat dan otomatis. Namun demikian, perspektif keuangan tidak cukup mencerminkan kinerja perusahaan, dimana perspektif keuangan yang baik tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut akan bisa eksis dalam jangka panjang.  Perspektif non keuangan di anggap sebagai bagian yang penting untuk diperhatikan, yang pada gilirannya dapat mendongkrak kinerja keuangan yang merupakan keinginan utama dari para pemegang saham. Dengan demikian semakin jelas, bahwa Balanced scorecard bukanlah bagian dari perangkat lunak. Walaupun banyak orang percaya bahwa penerapan sejumlah software untuk menerapkan balanced scorecard. Manfaat perangkat lunak manajemen dapat digunakan untuk mendapatkan informasi kinerja yang tepat tentang orang yang tepat pada waktu yang tepat. Otomatisasi menambah struktur dan disiplin untuk menerapkan sistem balanced Scorecard, disamping itu juga membantu mengubah data perusahaan yang berbeda-beda menjadi informasi dan pengetahuan, serta sebagai sarana membantu mengkomunikasikan informasi kinerja.
Ringkasnya, balanced scorecard memiliki dua indikator, yaitu lead dan lag indikator. Lead indikator adalah indikator yang mengukur hasil non keuangan sebagai pedoman organisasi untuk pengambilan keputusan. Lag indikator adalah indikator yang mengukur dampak akhir berdasarkan perencanaan yang sebelumnya dilakukan organisasi dengan pelaksanaannya, di mana dampak akhir ini bersifat keuangan. Kedua indikator ini diturunkan lagi menjadi empat perspektif, satu sebagai lag indikator dan tiga sebagai lead indikator. Keempat perspektif ini memiliki hubungan sebab akibat dalam menguraikan strategi organisasi sehingga performa yang kurang baik pada salah satu perspektif akan berdampak pada performa perspektif yang lain. Ke-4 perspektif tersebut adalah:
1.      Financial performance
Perspektif ini merupakan lag indikator yang merupakan puncak dari pengukuran terhadap pencapaian strategi organisasi;
2.      Customer perspective
Lead indicator ini mengukur dampak dari kepuasan dan loyalitas pelanggan  terhadap pencapaian financial performance yang baik.
3.      Internal Business Process
Internal business process menciptakan nilai yang nantinya akan dirasakan oleh customer. Ini juga merupakan lead indikator yang berusaha menciptakan efisiensi dalam bisnis internal organisasi untuk menciptakan nilai bagi konsumen; dan
4.      Learning and Growth
Lead indikator ini menguraikan pengaruh optimalisasi dari semua sumber daya organisasi untuk mendukung implementasi strategi organisasi.
Maka keempat perspektif tersebut diatas kemudian dapat dituangkan kedalam peta strategi yang juga merupakan penjabaran dari visi dan misi organisasi. Peta strategi dibangun mengikuti metode yang terstruktur. Struktur tersebut adalah empat perspektif dalam Balanced Scorecard (BSC) yang menguraikan secara jelas hubungan sebab akibat yang terjadi pada keempat perspektif BSC tersebut. Peta strategi memberikan keseragaman dan langkah yang konsisten dalam menguraikan strategi, sehingga sasaran strategis dan pengukurannya dapat dicapai dan dilakukan dengan baik, dan tentu saja yang dimaksud  peta strategi disini adalah peta strategi korporasi.
Dengan demikian, tujuan utama dari penerapan balance scorecard adalah untuk mencapai penyesuaian dan memfokuskan antara kegiatan operasional yang dilakukan unit kerja, terhadap arahan dalam strategi yag telah dirumuskan dalam rencana strategis organisasi. Balanced Scorecard pada awalnya ditemukan untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki ukuran-ukuran keuangan dalam memperlihatkan pencapaian kinerja terhadap implementasi strategi organisasi. Balanced Scorecard memang cukup komprehensif karena dapat menyeimbangkan dalam hal kinerja keuangan dan non keuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Proses penyelarasan dan proses komunikasi strategi dari tingkat organisasi secara keseluruhan sampai ke tingkat unit kerja dan bahkan ke tingkat individu, disebut penyebar luasan. Kaplan dan Norton (2006) menjelaskan bahwa organisasi harus menyeleraskan semua  unit bisnisnya atau unit kerjanya dalam menciptakan sinergi untuk implementasi strategi organisasi. Setiap unit kerja harus jelas kontribusinya dalam mendukung pencapaian sasaran strategis korporasi. Setiap sasaran strategis yang ada pada BSC korporasi, maka harus ada unit kerja yang mendukungnya. Oleh karena itu, proses penyebar luasan BSC korporasi menjadi BSC unit kerja harus dilakukan. Metode penyebarluasan yang dilakukan adalah dengan dua langkah utama, yaitu(1) top down approach; dan (2) bottom up approach.      
Dalam konteks ini, bentuk penyelarasan unit bisnis atau unit kerja dalam menciptakan sinergi untuk implementasi strategi organisasi dilakukan dari organisasi ke tingkat unit kerja, yaitu bidang : (1) Pendidikan, (2) Kerohanian, (3)Fasilitas dan Perawatan, (4) Admisi & Kemitraan, (5) Pengadaan dan Kooperasi, (6) Keuangan, (7)Teknologi Informasi, (8)Sumber Daya Manusia, (9)Perencanaan & Pengembangan, (10) Counseling Center, (11) Learning & Development Center, dan (12) kelembagaan.
Disamping itu suatu Strategi Inisiatif juga perlu dilakukan sebagai upaya strategis untuk mewujudkan dan/atau mencapai tujuan atau sasaran strategis. Strategi inisiatif dirumuskan dengan membuat suatu pernyataan kualitatif  berupa langkah besar yang akan dilaksanakan di masa depan untuk mewujudkan sasaran strategis. Oleh karena itu, strategi inisiatif bukanlah suatu tindakan atau aksi yang sudah biasa dilakukan, atau sudah termasuk ke dalam standard operating procedure (SOP). Pada waktu merumuskan strategi inisiatif, fokus ditujukan untuk memikirkan langkah besar yang diperlukan supaya sasaran strategis yang telah ditentukan  ke dalam peta strategis unit kerja dapat tercapai. Penjabaran strategi inisiatif akan terdiri atas beberapa program (activity plan) sekaligus periode waktunya serta anggaran.
Adapun sasaran strategis dapat dibagi menjadi sasaran strategis yang bersifat sebagai penyebab (driver atau lead indicator), dan sasaran strategis yang bersifat sebagai akibat atau dampak (outcome atau lag indicator), maka strategi inisiatif hanya akan terdapat pada setiap sasaran strategis yang bersifat sebab (driver atau lead indicator). Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa strategi inisiatif yang merupakan upaya (action) hanya ada pada sasaran strategis yang berupa sebab (driver atau lead indicator) yang akan berakibat pada sasaran strategis yang berupa dampak (outcome atau lag indicator). Strategi inisiatif tidak terdapat pada sasaran-sasaran strategis milik organisasi (korporasi) karena pencapaian sasaran strategi organisasi merupakan perwujudan dari pencapaian sasaran-sasaran strategis unit kerja. Di beberapa sasaran strategis unit kerja tidak semuanya memiliki strategi inisiatif, karena berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan manajer dari tiap unit kerja, sasaran strategis yang tidak memiliki strategi inisiatif merupakan sasaran strategis yang memang tidak diperlukan adanya inisiatif baru supaya sasaran strategis tersebut tercapai. Pelaksanaan SOP saja sudah cukup untuk mencapai sasaran strategis. Maka sasaran strategis pada tingkat organisasi dapat terwujud dari pencapaian sasaran-sasaran strategis di tiap unit kerja. Proses  penyebar luasan merupakan langkah dalam mewujudkan pengkomunikasian strategi organisasi. Di dalam proses penyebar luasan, setiap unit kerja mengemban sasaran strategis yang berasal dari organisasi. Dengan demikian, KPI  ( individual key performance indicators ) organisasi sudah dibagi kepada setiap unit kerja sehingga jelas bahwa setiap unit kerja memiliki keselarasan dalam mendukung pencapaian sasaran strategis organisasi yang diukur melalui KPI. Alur “hirarki vertikal” ini untuk memastikan bahwa setiap KPI di organisasi ada pemegang kontribusinya, sehingga pencapaian sasaran strategis dapat ditelusuri. Dengan adanya “hirarki vertical” ini, maka dapat terjalin keselarasan setiap unit kerja dalam implementasi strategi organisasi. Sedangkan “hirarki horisontal” adalah untuk memastikan bahwa setiap KPI yang ada di masing-masing  unit kerja mendapat dukungan dari departemen atau unit kerja lain, sehingga pencapaian sasaran strategis organisasi terjadi secara integratif, sesuai dengan pencapaian sasaran-sasaran startegis di semua departemen  atu unit kerja. Dengan adanya hirarki horisontal ini, maka dapat terjalin keselarasan setiap unit kerja dalam implementasi strategi organisasi. Dengan demikian, merumuskan strategi di tingkat korporasi saja belum cukup, strategi perlu dilaksanakan oleh setiap individu yang bekerja pada unit kerjanya masing-masing. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengerti tentang strategi yang akan diterapkan oleh organisasi. Tahap-tahap penyebaran dilakukan sesuai tahap-tahap penyebaran menurut  Fitzek (2005), adalah sebagai berikut: (1)Menentukan kontribusi dari setiap pemegang jabatan, (2)Mengelompokkan posisi pemegang jabatan kepada empat perspektif, (3)Membagi sasaran-sasaran strategis unit kerja kepada setiap pemegang jabatan, dan (4)Membagi KPI dari setiap sasaran strategis kepada setiap pemegang jabatan. Menentukan sasaran kerja individu (SKI) yang mendukung sasaran kerja unit kerja dan mendukung sasaran strategis organisasi merupakan kunci dalam pelaksanaan strategi organisasi. Sasaran kerja individu yang akan menjadi ukuran kinerja setiap individu, perlu diselaraskan dengan uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab setiap individu tersebut yang biasanya tertulis dalam job description. Selanjutnya, sasaran-sasaran kerja individu tersebut diukur dalam bentuk Key Performance Indicator (KPI) yang mengikuti KPI yang ada di tingkat unit kerja kerja mereka masing-masing. Pada tahap ini, sasaran kerja individu yang diukur oleh KPI tersebut perlu dibuatkan bobotnya sesuai dengan uraian tugas, wewenang dan tanggungjawab individu tersebut masing-masing.
Proses implementasi strategi sampai ke tingkat individu dilakukan berdasarkan penentuan sasaran strategis di tingkat organisasi, yang terlihat jalan atau skenario pencapaiannya pada peta strategi organisasi yang kemudian dituangkan dalam peta strategis unit kerja. Dalam peta strategis terdapat dua hal yang penting, yaitu sasaran strategis yang terhubung dengan sebab akibat dan ukuran keberhasilan dari setiap sasaran startegis tersebut.   Ukuran tersebut sering disebut dengan Individual Key Performance Indicator (KPI). Untuk mewujudkan strategi ke dalam aksi yang terukur pada setiap individu, maka KPI tersebut yang harus jelas penelusurannya terhadap implementasi strategi. Kejelasan penelusuran KPI individu terhadap strategi organisasi dapat diperoleh jika balanced scorecard diturunkan sampai ke tingkat individu.
Pencapaian sasaran strategis organisasi tidak terlepas dari peran setiap unit kerja yang terdapat di organisasi. Sasaran-sasaran strategis di tingkat organisasi tercapai dari peran setiap unit kerja. Mewujudkan peran dari setiap unit kerja dilakukan dengan menurunkan peta strategis organisasi menjadi peta strategis unit kerja melalui proses penyebar luasan. Setiap unit kerja terdiri dari beberapa individu dengan jabatan yang berbeda-beda. Sasaran-sasaran strategis yang terdapat pada peta strategis unit kerja dapat tercapai karena kontribusi dari setiap individu sebagai pemegang jabatan dalam suatu unit kerja. Oleh karena itu, sasaran-sasaran strategis pada peta strategis unit kerja perlu diturunkan sampai ke tingkat individu sebagai bentuk pemberian kontribusi kepada setiap individu dalam melakukan strategi organisasi untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. Penyebar luasan sasaran strategis unit kerja ke tingkat individu berdasarkan tanggung jawab utama dan uraian pekerjaan seorang pemegang jabatan menghasilkan individual scorecard yang secara jelas memperlihatkan target yang harus dipenuhi pada setiap KPI oleh pemegang jabatan. Dengan demikian, implementasi strategi sampai ke tingkat individu bisa dilakukan dengan individual scorecard. Akhirul kata, tulisan dalam kolom ini masih jauh dari sempurna, masih banyak hal yang perlu dielaborasi dan didalami, tiada gading yang tak retak, maka untuk itu kami berharap agar semangat untuk penyempurnaannya sangat dinantikan. Viva hari pendidikan nasional.

                                                                                                Jakarta, Mei 2012
                                                                                                      Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar