STRATEGI EKSEKUSI
DAN
BALANCE SCORE CARD
Banyak organisasi yang mampu merumuskan rencana strategis
dengan baik, namun belum banyak organisasi mampu melaksanakan kegiatan operasional
organisasi bisnisnya berdasarkan rencana strategis yang telah dirumuskan tersebut.
Kenyataannya bahwa strategi yang telah ditetapkan melalui proses formulasi
strategi yang baik, sering tidak dapat terwujud atau strategi tersebut tidak
dapat diimplementasikan. Hal tersrebut didukung oleh hasil penelitian Kaplan
dan Norton terhadap
organisasi-organisasi di Amerika Serikat, didapatkan bahwa hanya 10% organisasi
yang memiliki rencana strategis, kemudian mampu menerapkan rencana strategis
tersebut dalam kegiatan operasional bisnisnya (Kaplan:2004). Setelah diidentifikasi
terdapat empat hambatan pokok yang dapat dijumpai , yaitu (1)hambatan visi dan
misi, (2)hambatan orang, (3)hambatan manajemen, dan (4) hambatan sumberdaya. Sementara W. Chan Kim dalam bukunya Blue Ocean
Strategy, mengandaikannya dalam terminologi 4 rintangan, yakni rintangan
kognitif (terjebak status quo), rintangan sumber daya, rintangan motivasional
dan rintangan politik.
Secara konseptual dapat difahami, bahwa rencana strategis
berisikan uraian-uraian yang prioritas dan signifikan, jangka panjang, dan melibatkan stakeholder yang luas. Dalam rangka mengeksekusi rencana strategis
dengan kategori tersebut diatas, menjadi suatu tindakan operasional yang
detail, rutin ( jangka pendek ), dan tersegmentasi pada unit-unit kerja
tertentu, membutuhkan suatu upaya dan metodologi yang efektif dan efesien. Balanced
Scorecard merupakan alat bagi manajemen untuk menerjemahkan visi, misi, dan
strategi organisasi menjadi tindakan nyata yang terukur pelaksanaannya.
Hubungan sebab akibat antara keempat perspektif dalam Balanced Scorecard diperlihatkan
dalam peta strategis. Peta strategis menjadi alat komunikasi yang efektif
kepada seluruh pekerja untuk mendukung tujuan yang ingin dicapai organisasi,
karena peta strategis memberikan keseragaman langkah yang konsisten dalam
menguraikan strategi sehingga sasaran strategis dapat dicapai.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa suatu organisasi modern
perlu untuk menyusun rencana jangka panjangnya, khususnya dalam rangka
mempertahankan diri dan menjaga kesinambungan agar organisasi tersebut tetap
eksis dan berkembang dimana rencana tersebut harus diformulasikan. Menurut Wheelen
dan Hunger (2008) formulasi strategi
adalah penyusunan rencana jangka panjang organisasi dalam rangka mengupayakan
keefektifan organisasi dalam meraih peluang dan mengatasi hambatan yang ada
sesuai dengan kekuatan dan kelemahan organisasi. Formulasi strategi ini juga
termasuk mendefinisikan visi, misi, value serta kompetensi inti dari organisasi
sebagai bahan dalam menentukan strategi yang terdapat dalam rencana jangka
panjang organisasi. Mendefinisikan visi, misi, value serta kompetensi
inti organisasi juga dapat diartikan dengan mengkaji ulang kesesuaiannya dengan
peluang dan hambatan yang dihadapi organisasi, karena mungkin saja setelah dilakukan
analisis dan diagnosis internal dan eksternal, ternyata visi, misi, value organisasi
sudah tidak relevan untuk terus diterapkan sehingga harus disesuaikan dengan
keadaan yang harus dihadapi. Hal ini mungkin juga akan menuntut perubahan
kompetensi inti organisasi, dalam arti organisasi harus menemukan kembali
kompetensi intinya dalam upaya meraih peluang dan mengatasi hambatan yang ada.
Setelah suatu strategi dapat diformulasikan, maka
strategi tersebut harus dapat diimplementasikan. Adapun implementasi strategi masih
menurut Wheelen dan Hunger, adalah proses mewujudkan strategi yang telah
diformulasikan ke dalam aksi melalui serangkaian program, prosedur serta anggaran. Serangkaian program dan prosedur
serta anggaran tersebut harus dilakukan secara komprehensif di tingkat
korporasi dan di setiap divisi organisasi dengan mengarah kepada visi dan misi
organisasi. Dalam hal ini Kaplan dan Norton (2004) menyatakan bahwa strategi
dari suatu organisasi harus menjelaskan
bagaimana organisasi akan menciptakan nilai bagi pemegang saham, konsumen, dan
masyarakat. Nilai atau value yang harus diciptakan itulah yang menjadi satu
titik tujuan dari implementasi strategi yang dilakukan tiap bagian dalam
organisasi. Menciptakan nilai tersebut juga merupakan wujud dari mempertahankan
keberadaan organisasi. Charan dan Bosidy (2002) menyebutkan bahwa dalam
mempertahankan keberadaan organisasi, tergantung kepada tiga rincian proses
aktivitas, yaitu:
1. Proses
strategi
Proses ini merupakan proses
formulasi rencana strategis, sehingga hasilnya adalah organisasi memiliki rencana
atau strategi yang akan dilakukan;
2. Proses
sumber daya manusia
Proses ini sudah masuk kepada
tahap awal implementasi strategi, yaitu dengan membagi implementasi strategi
kepada masing-masing individu dalam organisasi; dan
3. Proses
operasional
Proses ini merupakan implementasi
strategi yang nyata. Pembagian tugas dalam implementasi strategi kepada seluruh
individu dalam organisasi benar-benar dilakukan.
Untuk menjamin agar implementasi strategi tetap berjalan selaras
dengan rencana strategis, maka perlu dilakukan upaya pengukuran dan evaluasi
sehingga implementasi strategi berjalan pada garis rencana strategis, yang pada
akhirnya tujuan strategis organisasi dapat tercapai. Pendekatan yang relatif baru
untuk mengukur hal tersebut, acap dinamakan sebagai balanced
scorecard, yaitu berupa pengukuran kinerja perusahaan modern dengan
mempertimbangan empat perspektif - yang saling berhubungan - yang merupakan
penerjemahan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam
jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitor secara berkelanjutan. Balance
scorecard kini digunakan secara luas dalam dunia
bisnis dan industri, pemerintahan, dan organisasi nirlaba di seluruh dunia untuk
menyelaraskan kegiatannya dengan visi,
misi dan strategi organisasi,
meningkatkan komunikasi internal dan eksternal, dan monitoring terhadap kinerja pencapaian tujuan strategis organisasi.
Adanya istilah “balance”
dalam konteks ini menunjukkan adanya keseimbangan antara semua faktor, yaitu
keseimbangan antara faktor keuangan dan non keuangan, faktor internal dan
eksternal, serta rentang waktu jangka pendek dan jangka panjang. Pendekatan baru dalam manajemen strategis ini untuk pertama kali secara rinci diperkenalkan
dalam serangkaian artikel dan buku karya
Kaplan dan Norton,
dan kedua pakar tersebut menyadari bahwa terdapat beberapa kelemahan dan ketidakjelasan pendekatan
manajemen pada periode waktu sebelumnya. Sejalan
dengan itu, pendekatan balanced scorecard memberikan resep yang jelas mengapa organisasi perlu mengukur kinerja dan
'menyeimbangkan' perspektif keuangan. Balanced
scorecard adalah sistem manajemen - bukan sistem pengendalian saja - yang memungkinkan organisasi dapat mengklarifikasi dan merevisi visi, misi dan strategi serta menerjemahkannya ke dalam tindakan. Melalui
pendekatan ini umpan balik berlangsung
ke arah dua sisi proses bisnis, yakni proses bisnis internal
dan hasil eksternal dalam rangka terus-menerus meningkatkan kinerja strategis
dan hasil ( result). Melalui perspektif
balanced scorecard akan mengarahkan kita untuk melihat organisasi dari sudut empat perspektif, adapun masing-masing perspektif
tersebut adalah, Pertama,
perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan, dan perspektif
ini meliputi pelatihan pembentukan sikap para pekerja secara individual dan menumbuhkan sikap budaya perusahaan secara
korporasi. Dalam iklim yang
diwarnai oleh cepatnya perubahan
teknologi seperti saat ini, maka penting bagi para pekerja untuk terus meningkatkan pengetahuannya agar
tetap berada dalam
suasana belajar
yang terus menerus.
Dengan perkataan lain, pembelajaran dan peningkatan pengetahuan pekerja merupakan dasar penting untuk
mencapai pertumbuhan dan
keberhasilan setiap
organisasi.
Kaplan dan Norton menekankan bahwa
'belajar' itu lebih dari sekedar
'pelatihan', belajar melebihi hal-hal
seperti aktivitas mentor dan
tutor dalam organisasi, juga berupa peningkatan
kecakapan komunikasi di antara para
pekerja yang memungkinkan mereka tetap siap mendapatkan bantuan pada saat
menghadapai masalah,
dan tercakup dalam hal ini adalah penguasaan dalam hal perangkat teknologi. Kedua, perspektif
proses
bisnis,
dimana perspektif ini mengacu pada proses
bisnis internal. Berdasarkan
perspektif ini memungkinkan seorang manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka
berjalan, dan apakah produk dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ketiga,
perspektif pelanggan,
yaitu filosofi manajemen terbaru yang
menggaris bawahi pentingnya fokus pada
pelanggan dan kepuasan pelanggan
dalam bisnis apapun. Aspek ini adalah
indikator utama, dan jika
pelanggan tidak puas, mereka akhirnya akan menemukan pemasok lain yang akan
memenuhi kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif ini merupakan
indikator utama tentang penurunan kinerja
masa depan, meskipun gambaran
keuangan
saat
ini
mungkin
terlihat
baik. Utuk mengembangkan matrik pengukuran kepuasan pelanggan, maka pelanggan
harus dianalisis termasuk jenis-jenis proses pelayanan barang dan/atau jasa kepada kelompok pelanggan.
Keempat,
perspektif keuangan, dalam hal ini Kaplan dan Norton tidak mengabaikan pentingnya data keuangan. Data, dana, tepat waktu, dan akurasi akan selalu menjadi prioritas, begitu
pula seorang manajer akan melakukan apa pun yang
diperlukan untuk menyediakannya. Dewasa ini untuk memperoleh data
demikian ditunjang oleh sarana yang lebih dari cukup, yakni melalui penerapan database perusahaan
dimana proses
tersebut dapat lebih terpusat dan
otomatis. Namun
demikian, perspektif keuangan tidak cukup mencerminkan kinerja perusahaan,
dimana perspektif keuangan yang baik tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut
akan bisa eksis dalam jangka panjang. Perspektif
non keuangan di anggap sebagai bagian yang penting untuk diperhatikan, yang
pada gilirannya dapat mendongkrak kinerja keuangan yang merupakan keinginan
utama dari para pemegang saham. Dengan demikian semakin jelas, bahwa Balanced scorecard bukanlah bagian dari perangkat lunak. Walaupun banyak orang percaya bahwa penerapan sejumlah software untuk menerapkan balanced scorecard. Manfaat perangkat lunak manajemen dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi kinerja yang tepat tentang orang yang tepat pada waktu yang tepat. Otomatisasi menambah struktur dan disiplin untuk menerapkan sistem
balanced Scorecard, disamping itu juga membantu mengubah data perusahaan yang berbeda-beda menjadi informasi dan pengetahuan, serta
sebagai sarana membantu mengkomunikasikan
informasi kinerja.
Ringkasnya, balanced scorecard
memiliki dua indikator, yaitu lead dan lag indikator.
Lead indikator adalah indikator yang mengukur hasil non keuangan sebagai
pedoman organisasi untuk pengambilan keputusan. Lag indikator adalah
indikator yang mengukur dampak akhir berdasarkan perencanaan yang sebelumnya
dilakukan organisasi dengan pelaksanaannya, di mana dampak akhir ini bersifat
keuangan. Kedua indikator ini diturunkan lagi menjadi empat perspektif, satu
sebagai lag indikator dan tiga sebagai lead indikator. Keempat
perspektif ini memiliki hubungan sebab akibat dalam menguraikan strategi
organisasi sehingga performa yang kurang baik pada salah satu perspektif akan
berdampak pada performa perspektif yang lain. Ke-4 perspektif tersebut adalah:
1. Financial
performance
Perspektif ini merupakan lag indikator
yang merupakan puncak dari pengukuran terhadap pencapaian strategi organisasi;
2. Customer
perspective
Lead indicator ini
mengukur dampak dari kepuasan dan
loyalitas pelanggan terhadap pencapaian financial performance yang
baik.
3. Internal
Business Process
Internal business process menciptakan
nilai yang nantinya akan dirasakan oleh customer. Ini juga merupakan lead indikator
yang berusaha menciptakan efisiensi dalam bisnis internal organisasi untuk menciptakan
nilai bagi konsumen; dan
4. Learning
and Growth
Lead indikator
ini menguraikan pengaruh optimalisasi dari semua sumber daya organisasi untuk
mendukung implementasi strategi organisasi.
Maka keempat perspektif tersebut diatas kemudian dapat dituangkan
kedalam peta strategi yang juga merupakan penjabaran dari visi dan misi organisasi.
Peta strategi dibangun mengikuti metode yang terstruktur. Struktur tersebut
adalah empat perspektif dalam Balanced Scorecard (BSC) yang menguraikan
secara jelas hubungan sebab akibat yang terjadi pada keempat perspektif BSC
tersebut. Peta strategi memberikan keseragaman dan langkah yang konsisten dalam
menguraikan strategi, sehingga sasaran strategis dan pengukurannya dapat dicapai
dan dilakukan dengan baik, dan tentu saja yang dimaksud peta strategi disini adalah peta strategi
korporasi.
Dengan demikian, tujuan utama dari penerapan balance scorecard
adalah untuk mencapai penyesuaian dan memfokuskan antara kegiatan
operasional yang dilakukan unit kerja, terhadap arahan dalam strategi yag telah
dirumuskan dalam rencana strategis organisasi. Balanced Scorecard pada
awalnya ditemukan untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki ukuran-ukuran
keuangan dalam memperlihatkan pencapaian kinerja terhadap implementasi strategi
organisasi. Balanced Scorecard memang cukup komprehensif karena dapat
menyeimbangkan dalam hal kinerja keuangan dan non keuangan, serta kinerja
jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Proses penyelarasan dan proses
komunikasi strategi dari tingkat organisasi secara keseluruhan sampai ke
tingkat unit kerja dan bahkan ke tingkat individu, disebut penyebar luasan. Kaplan dan
Norton (2006) menjelaskan bahwa organisasi harus menyeleraskan semua unit bisnisnya atau unit kerjanya dalam
menciptakan sinergi untuk implementasi strategi organisasi. Setiap unit kerja
harus jelas kontribusinya dalam mendukung pencapaian sasaran strategis
korporasi. Setiap sasaran strategis yang ada pada BSC korporasi, maka harus ada
unit kerja yang mendukungnya. Oleh karena itu, proses penyebar luasan BSC
korporasi menjadi BSC unit kerja harus dilakukan. Metode penyebarluasan yang
dilakukan adalah dengan dua langkah utama, yaitu(1) top down approach; dan
(2) bottom up approach.
Dalam konteks ini, bentuk penyelarasan unit bisnis atau
unit kerja dalam menciptakan sinergi untuk implementasi strategi organisasi
dilakukan dari organisasi ke tingkat unit kerja, yaitu bidang : (1) Pendidikan,
(2) Kerohanian, (3)Fasilitas dan Perawatan, (4) Admisi & Kemitraan, (5)
Pengadaan dan Kooperasi, (6) Keuangan, (7)Teknologi Informasi, (8)Sumber Daya
Manusia, (9)Perencanaan & Pengembangan, (10) Counseling Center, (11)
Learning & Development Center, dan (12) kelembagaan.
Disamping itu suatu Strategi Inisiatif juga perlu
dilakukan sebagai upaya strategis untuk mewujudkan dan/atau mencapai tujuan atau
sasaran strategis. Strategi inisiatif dirumuskan dengan membuat suatu
pernyataan kualitatif berupa langkah
besar yang akan dilaksanakan di masa depan untuk mewujudkan sasaran strategis. Oleh
karena itu, strategi inisiatif bukanlah suatu tindakan atau aksi yang sudah
biasa dilakukan, atau sudah termasuk ke dalam standard operating procedure (SOP).
Pada waktu merumuskan strategi inisiatif, fokus ditujukan untuk memikirkan
langkah besar yang diperlukan supaya sasaran strategis yang telah ditentukan ke dalam peta strategis unit kerja dapat
tercapai. Penjabaran strategi inisiatif akan terdiri atas beberapa program (activity
plan) sekaligus periode waktunya serta anggaran.
Adapun sasaran strategis dapat dibagi menjadi sasaran
strategis yang bersifat sebagai penyebab (driver atau lead indicator),
dan sasaran strategis yang bersifat sebagai akibat atau dampak (outcome atau
lag indicator), maka strategi inisiatif hanya akan terdapat pada setiap
sasaran strategis yang bersifat sebab (driver atau lead indicator). Hal
ini didasarkan pada prinsip bahwa strategi inisiatif yang merupakan upaya (action)
hanya ada pada sasaran strategis yang berupa sebab (driver atau lead
indicator) yang akan berakibat pada sasaran strategis yang berupa dampak (outcome
atau lag indicator). Strategi inisiatif tidak terdapat pada sasaran-sasaran
strategis milik organisasi (korporasi) karena pencapaian sasaran strategi
organisasi merupakan perwujudan dari pencapaian sasaran-sasaran strategis unit
kerja. Di beberapa sasaran strategis unit kerja tidak semuanya memiliki
strategi inisiatif, karena berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan
manajer dari tiap unit kerja, sasaran strategis yang tidak memiliki strategi
inisiatif merupakan sasaran strategis yang memang tidak diperlukan adanya
inisiatif baru supaya sasaran strategis tersebut tercapai. Pelaksanaan SOP saja
sudah cukup untuk mencapai sasaran strategis. Maka sasaran strategis pada
tingkat organisasi dapat terwujud dari pencapaian sasaran-sasaran strategis di
tiap unit kerja. Proses penyebar luasan
merupakan langkah dalam mewujudkan pengkomunikasian strategi organisasi. Di
dalam proses penyebar luasan, setiap unit kerja mengemban sasaran strategis yang
berasal dari organisasi. Dengan demikian, KPI ( individual key performance
indicators ) organisasi sudah dibagi kepada
setiap unit kerja sehingga jelas bahwa setiap unit kerja memiliki keselarasan
dalam mendukung pencapaian sasaran strategis organisasi yang diukur melalui
KPI. Alur “hirarki vertikal” ini
untuk memastikan bahwa setiap KPI di organisasi ada pemegang kontribusinya,
sehingga pencapaian sasaran strategis dapat ditelusuri. Dengan adanya “hirarki vertical” ini, maka
dapat terjalin keselarasan setiap unit kerja dalam implementasi strategi
organisasi. Sedangkan “hirarki horisontal”
adalah untuk memastikan bahwa setiap KPI yang ada di masing-masing unit kerja mendapat dukungan dari departemen
atau unit kerja lain, sehingga pencapaian sasaran strategis organisasi terjadi
secara integratif, sesuai dengan pencapaian sasaran-sasaran startegis di semua
departemen atu unit kerja. Dengan adanya
hirarki horisontal ini,
maka dapat terjalin keselarasan setiap unit kerja dalam implementasi strategi
organisasi. Dengan demikian, merumuskan strategi di tingkat korporasi saja
belum cukup, strategi perlu dilaksanakan oleh setiap individu yang bekerja pada
unit kerjanya masing-masing. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengerti
tentang strategi yang akan diterapkan oleh organisasi. Tahap-tahap penyebaran
dilakukan sesuai tahap-tahap penyebaran menurut Fitzek (2005), adalah sebagai berikut:
(1)Menentukan kontribusi dari setiap pemegang jabatan, (2)Mengelompokkan posisi
pemegang jabatan kepada empat perspektif, (3)Membagi sasaran-sasaran strategis
unit kerja kepada setiap pemegang jabatan, dan (4)Membagi KPI dari setiap
sasaran strategis kepada setiap pemegang jabatan. Menentukan sasaran kerja
individu (SKI) yang mendukung sasaran kerja unit kerja dan mendukung sasaran
strategis organisasi merupakan kunci dalam pelaksanaan strategi organisasi.
Sasaran kerja individu yang akan menjadi ukuran kinerja setiap individu, perlu
diselaraskan dengan uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab setiap individu
tersebut yang biasanya tertulis dalam job description. Selanjutnya,
sasaran-sasaran kerja individu tersebut diukur dalam bentuk Key Performance
Indicator (KPI) yang mengikuti KPI yang ada di tingkat unit kerja kerja
mereka masing-masing. Pada tahap ini, sasaran kerja individu yang diukur oleh
KPI tersebut perlu dibuatkan bobotnya sesuai dengan uraian tugas, wewenang dan
tanggungjawab individu tersebut masing-masing.
Proses implementasi strategi sampai ke tingkat individu
dilakukan berdasarkan penentuan sasaran strategis di tingkat organisasi, yang
terlihat jalan atau skenario pencapaiannya
pada peta strategi organisasi yang kemudian dituangkan dalam peta strategis
unit kerja. Dalam peta strategis terdapat dua hal yang penting, yaitu sasaran
strategis yang terhubung dengan sebab akibat dan ukuran keberhasilan dari
setiap sasaran startegis tersebut. Ukuran
tersebut sering disebut dengan Individual Key Performance Indicator (KPI).
Untuk mewujudkan strategi ke dalam aksi yang terukur pada setiap individu, maka
KPI tersebut yang harus jelas penelusurannya terhadap implementasi strategi.
Kejelasan penelusuran KPI individu terhadap strategi organisasi dapat diperoleh
jika balanced scorecard diturunkan sampai ke tingkat individu.
Pencapaian sasaran strategis organisasi tidak terlepas
dari peran setiap unit kerja yang terdapat di organisasi. Sasaran-sasaran
strategis di tingkat organisasi tercapai dari peran setiap unit kerja.
Mewujudkan peran dari setiap unit kerja dilakukan dengan menurunkan peta
strategis organisasi menjadi peta strategis unit kerja melalui proses penyebar luasan. Setiap unit kerja
terdiri dari beberapa individu dengan jabatan yang berbeda-beda.
Sasaran-sasaran strategis yang terdapat pada peta strategis unit kerja dapat
tercapai karena kontribusi dari setiap individu sebagai pemegang jabatan dalam
suatu unit kerja. Oleh karena itu, sasaran-sasaran strategis pada peta strategis
unit kerja perlu diturunkan sampai ke tingkat individu sebagai bentuk pemberian
kontribusi kepada setiap individu dalam melakukan strategi organisasi untuk
mewujudkan visi dan misi organisasi. Penyebar
luasan sasaran strategis unit kerja ke tingkat individu
berdasarkan tanggung jawab utama dan uraian pekerjaan seorang pemegang jabatan
menghasilkan individual scorecard yang secara jelas memperlihatkan
target yang harus dipenuhi pada setiap KPI oleh pemegang jabatan. Dengan
demikian, implementasi strategi sampai ke tingkat individu bisa dilakukan
dengan individual scorecard. Akhirul kata, tulisan dalam kolom ini masih
jauh dari sempurna, masih banyak hal yang perlu dielaborasi dan didalami, tiada
gading yang tak retak, maka untuk itu kami berharap agar semangat untuk
penyempurnaannya sangat dinantikan. Viva hari pendidikan nasional.
Jakarta,
Mei 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar