BLUE OCEAN STRATEGY
DAN
EKONOMI
KREATIF
Salah satu tema penting tentang wacana manajemen stratejik lima
tahun belakangan ini dan agaknya masih menjadi topik perbincangan hangat sampai
saat ini, adalah respon terhadap gagasan profesor asal Korea, W. Chan Kim dan
rekannya dari Perancis Renee Mauborgne, yang tertuang dalam buku mereka berjudul
Blue Ocean Strategy, suatu gagasan
inovatif tentang menciptakan ruang pasar tanpa pesaing. Blue Ocean Strategy pada dasarnya adalah suatu siasat untuk
menaklukan pesaing melalui tawaran fitur produk yang inovatif, yang selama ini justru
luput dari perhatian para pesaing. Fitur
produk ini biasanya berbeda secara radikal dengan yang selama ini sudah ada dan
tersedia di pasar. Apa yang dilakukan oleh para pelaku di industri kreatif
dewasa ini adalah dengan menciptakan fitur produk inovatif yang berbeda secara
radikal, sehingga pemahaman akan konsep blue
ocean strategy perlu dibekali bagi mereka. Beranjak dari pola-pikir blue ocean strategy, pelaku
bisnis didorong untuk memasuki sebuah arena pasar baru yang secara potensial selama
ini seolah diabaikan oleh para pesaing. Dalam pola-pikir sebelumnya, yang oleh W Chan Kim dan rekannya disebut sebagai red ocean, suatu
kemampuan mengalahkan pesaing adalah hal terpenting, dimana kompetitor biasanya
memberikan tawaran fitur produk yang seragam, sama, dan semua saling
memperebutkan pasar yang juga sama. Maka mudah dibayangkan yang terjadi adalah
pertarungan sengit, yaitu medan persaingan diperebutkan oleh para pemain yang
menawarkan keseragaman produk dan pendekatan. Sebaliknya, blue ocean ditandai oleh ruang pasar yang belum terjelajahi,
penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan.
Berkompetisi meraih pangsa pasar yang berkontraksi – sebagai fakta dunia bisnis
- mungkin masih perlu dilakukan, namun tidak memadai untuk mendukung kinerja
prima, maka kita harus melampaui kompetisi untuk meraup laba dan kesempatan
pertumbuhan baru, yaitu dengan menciptakan samudra biru (blue ocean). Saat ketika
ruang pasar semakin sesak, prospek akan laba dan pertumbuhan dapat berkurang,
dan produk pun telah bergeser menjadi komoditas.
Suatu strategi blue ocean
yang efektif, paling tidak memiliki tiga kualitas yang saling melengkapi, yakni
fokus, gerak menjauh (divergensi), dan moto utama. Pertama, fokus, setiap strategi hebat tentu perlu memiliki fokus,
dimana suatu profil strategis atau kurva nilai perusahaan harus dengan jelas
menunjukkan fokus tersebut. W. Chan Kim dan rekannya memberi contoh profil southwest sebagai sebuah perusahaan
maskapai penerbangan yang berfokus pada tiga faktor, yaitu pelayanan
ramah-tamah, kecepatan, dan keberangkatan point
to point langsung dari kota ke kota secara berkala. Sebaliknya, para pesaing
berinvestasi pada semua faktor kompetitif dalam industri penerbangan, sehingga
semakin sulit bagi mereka untuk menyaingi tarif penerbangan southwest, yaitu sama saja dengan membiarkan
agenda mereka didikte oleh langkah para pesaing, sehingga terbentuk model
bisnis yang mahal. Kedua, divergensi,
suatu bentuk kurva nilai yang menjauh dari pesaing lain, yaitu suatu upaya
mencari dan melihat alternatif baru tanpa harus membandingkan diri dengan para
pesaing lain. Ketika strategi suatu perusahaan dibentuk secara reaktif dalam
upaya mengikuti irama kompetisi, maka strategi itu akan kehilangan keunikannya.
Maka dalam blue ocean strategy
diterapkan pendekatan empat langkah strategi, yaitu menghilangkan, mengurangi,
meningkatkan, dan menciptakan, terutama dalam upaya untuk membedakan profil blue ocean dari profil umum industri.
Dalam kasus cirque de soleil, dengan
mengambil contoh suatu perusahaan pertunjukan sirkus – disaat bisnis
pertunjukan sirkus tengah meredup dan hampir dilupakan - maka upaya terobosan
dilakukan dengan menghilangkan pemain bintang, pertunjukan binatang, penjualan konsesi
tempat duduk dilorong, serta jumlah arena pertunjukan yang dianggap terlalu banyak.
Adapun yang dipertahankan adalah pertunjukan yang memancing gelak tawa, humor
serta pertunjukan ketegangan dan bahaya. Kemudian yang ditingkatkan adalah
lokasi yang lebih unik, sementara yang diciptakan adalah tema baru, suasana
yang lebih baik, beragam produksi, musik dan tarian artistik. Oleh cirque de soleil pasar yang dibidik tidak lagi kelompok anak-anak
dan remaja, namun bergeser kearah pasar kelompok dewasa dan pelanggan korporasi
yang bersedia membayar mahal, untuk merasakan sensasi hiburan yang berbeda dari
yang terbayang sebelumnya. Ketiga,
moto yang memikat, sebuah strategi yang baik memiliki moto yang jelas dan
memikat. Dalam hal ini agen periklanan akan kesulitan dalam mendapatkan moto
yang berkesan dari hanya sekedar penawaran konvensional berupa makan siang,
pilihan kursi duduk atau menu restorasi. Sebuah moto yang bagus tidak hanya
harus mampu menyampaikan pesan secara jelas, akan tetapi juga mengiklankan
penawaran atau produk secara jujur. Maka untuk menguji keefektifan dan kekuatan
dari sebuah strategi, adalah dengan melihat apakah suatu strategi itu
mengandung suatu moto yang kuat dan otentik.
Pertanyaan yang menggelitik kemudian adalah, sejauhmana produk blue ocean
mudah atau sulit ditiru? Sebagaimana diketahui, menciptakan blue ocean bukanlah pencapaian yang
statis melainkan suatu proses yang dinamis. Ketika suatu perusahaan telah
menciptakan blue ocean dan
akibat-akibatnya yang kuat terhadap suatu kinerja sudah diketahui pesaing, maka
cepat atau lambat akan muncul pengekor. Agaknya sudah menjadi hukum alam pada
saat suatu perusahaan yang sukses dan meluaskan blue ocean-nya, maka serta merta akan makin banyak perusahaan lain
yang ingin ikut terjun. Seringkali suatu strategi blue ocean akan berjalan tanpa tantangan berarti selama 10 hingga
15 tahun. Rintangan bagi para peniru adalah bahwa strategi blue ocean merupakan sebuah pendekatan sistemik yang tidak hanya
menuntut berjalannya setiap elemen strategis secara benar, tetapi juga menuntut
keterpaduan elemen-elemen itu dalam suatu sistem integral supaya dapat
menghasilkan inovasi nilai. Inilah sebabnya kita jarang melihat adanya peniruan
strategi yang terjadi secara cepat, dimana meniru sistem semacam itu bukanlah
hal yang mudah. Beberapa faktor yang menyulitkan untuk meniru strategi blue ocean adalah, pertama, inovasi nilai seringkali dianggap tidak masuk akal bagi
logika konvensional perusahaan pada umumnya. Sebagai contoh ketika pertama kali
CNN memperkenalkan siaran berita 24 jam dalam 7 hari penuh, sempat dicemooh
oleh para pesaingnya sebagai berita “mie ayam”, apalagi tanpa dibumbui oleh
penyiar kondang. Situasi ini justru menguntungkan karena menunda terjadinya
peniruan secara cepat. Kedua,
strategi blue ocean dapat menimbulkan
konflik dengan citra merek perusahaan lain. Ketiga,
terdapat kaidah hukum monopoli alamiah, yaitu pasar biasanya tidak bisa
mendukung atau menerima pemain kedua atau tiruan. Keempat, adanya hak paten atau legal aspek yang menghalangi
peniruan. Kelima, volume penjualan
tinggi akan menghasilkan keunggulan biaya yang cepat bagi inovator nilai, dan dapat
menciutkan nyali pengekor untuk memasuki pasar. Keenam, eksternalitas jaringan blue
ocean menghambat perusahaan lain untuk melakukan peniruan. Ketujuh, suatu peniruan kerap akan
menuntut perubahan kebijakan, operasional, dan kultural yang signifikan. Kedelapan, perusahaan yang melakukan
inovasi nilai akan meraih popularitas tersebar dari mulut ke mulut dan
membentuk pelanggan loyal yang cenderung menciutkan nyali para pengekor. Sebagai
contoh, penyanyi legendaris Iwan Fals dan grup musik Slank di Indonesia, yang
menjadi ikon dunia hiburan di tanah air yang sulit digantikan, yang dikenal
dengan fanatisme penggemarnya. Berbeda dengan polularitas Aa Gim, yang
dihancurkan sendiri oleh inkonsistensi nilai yang ditebarkannya, sehingga upaya
apapaun untuk mendongkrak nilai inovatif menjadi sulit, meskipun ia menempuh langkah
inovatif untuk rujuk dengan mantan istrinya. Namun bagaimanapun strategi blue ocean
relatif lambat atau cepat, pasti akan diikuti oleh para peniru. Apabila kita
terobsesi untuk mempertahankan pangsa pasar secara defensif, boleh jadi ada
kemungkinan kita terperosok kedalam persaingan dan berlomba untuk memenangi
kompetisi baru. Jika reaksi ini yang ditempuh, dihawatirkan bentuk dasar kurva
nilai kita akan berimpit dengan dasar kurva nilai para pesaing. Maka untuk
menghindari jebakan tersebut, kita perlu memonitor kurva-kurva nilai dalam
kanvas strategi. Memonitor kurva nilai akan memberi sinyal kepada kita, kapan kita
harus melakukan inovasi nilai dan kapan tidak. Kegiatan memonitor ini memberi
peringatan dini kepada kita untuk menciptakan blue ocean lain ketika kurva nilai kita mulai berimpit dengan kurva
nilai para pesaing. Memonitor kurva nilai, juga mencegah kita untuk menunda
menciptakan blue ocean baru, ketika
masih terdapat arus laba yang besar dari produk kita saat ini. Ketika kurva nilai
perusahaan memiliki fokus, divergensi, dan moto yang masih memikat, maka kita perlu menahan diri dari godaan untuk
kembali melakukan inovasi nilai. Dalam hal ini, justru kita harus fokus untuk
memperlebar, memperluas, dan memperdalam arus profitabilitas melalui perbaikan
operasional dan perluasan geografis demi mencapai cakupan pasar dan economies-of-scale secara optimal.
Dalam rangka mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maju, pemerintah
optimis untuk menggerakkan pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2025. Ekonomi
kreatif diyakini pemerintah akan menjawab tantangan permasalahan dasar jangka
pendek dan menengah, karena (1)
relatif rendahnya perrtumbuhan ekonomi pasca krisis (rata-rata hanya 4,5% per
tahun), (2) masih tingginya angka pengangguran ( 9 – 10%) dan tingkat
kemiskinan (16 – 17 %), dan (3) rendahnya
daya saing industri Indonesia. Selain permasalahan tersebut, dengan ekonomi
kreatif diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan, seperti isu global warming, pemanfaatan energi yang
terbarukan, deforestasi, dan pengurangan emisi karbon. Diharapkan dengan itu
arah pengembangan industri kreatif akan menuju pola industri ramah lingkungan
dan penciptaan nilai tambah barang dan/ atau jasa yang berasal dari
intelektualitas sumber daya insani yang dimiliki oleh orang Indonesia, dimana
intelektualitas sumber daya tersebut merupakan sumber daya yang terbarukan.
Terkait dengan hal ini, maka pemerintah membuat Rencana Pengembangan Ekonomi
Kreatif Indonesia 2025, yang dapat digunakan sebagai pedoman operasional dan
pembuatan kebijakan baru bagi aparatur pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan
ekonomi kreatif. Disamping itu, sebagai rujukan bagi instansi terkait perihal pengembangan
ekonomi kreatif, sehingga tercipta kolaborasi serta sinergi yang positif dalam
pembangunan negara Indonesia secara umum. Begitu juga sebagai arahan dan
rujukan bagi para pelaku Industri, baik pengusaha, cendikiawan dan pelaku
lainnya yang bergerak di bidang industri kreatif ataupun bidang lain yang
berkaitan. Juga adanya tolok ukur pencapaian atau pengembangan ekonomi kreatif
di Indonesia. Disamping sebagai fungsi sumber informasi tentang ekonomi kreatif
yang diharapkan dapat mendorong partisipasi masyarakat luas untuk berkontribusi
secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengembangan ekonomi
kreatif. Tiada lain, hal ini merupakan wujud optimisme baru dalam menyongsong
masa depan negeri dalam rangka meningkatkan kebanggaan sebagai warga atau bangsa
Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa ekonomi kreatif merupakan wujud konkrit dalam
upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas, sebagai suatu
iklim ekonomi yang berdaya saing dan memiliki sumber daya yang terbarukan. Terdapat
fokus guna pengembangan ekonomi kreatif ini, yaitu pengembangan yang lebih
menitikberatkan pada industri berbasis: (1)
lapangan usaha kreatif dan budaya (creative
cultural industry), (2) lapangan
usaha kreatif (creative industry),
dan (3) hak kekayaan intelektual,
seperti hak cipta (copyright industry).
Daniel L Pink dalam bukunya
The Whole New Mind (2005),
mengungkapkan bahwa jika ingin maju di era kreativitas, maka kita harus
melengkapi kemampuan teknologi kita (high-tech)
dengan hasrat untuk mencapai tingkat “high
concept” dan “high touch”. High Concept adalah kemampuan menciptakan keindahan artistik dan
emosional, mengenali pola-pola dan peluang, menciptakan narasi yang indah dan
menghasilkan temuan-temuan yang belum disadari oleh orang lain. Adapun high touch adalah kemampuan berempati,
memahami esensi interaksi manusia, dan menemukan makna keutuhan kehidupan.
Dengan demikian, yang perlu dimiliki dalam pola pikir kreatif adalah:
·
Not just function but also ……………….design;
·
Not just argument, but also ………….. story;
·
Not just focus, but also………………….. symphony;
·
Not just logic, but also…………………….empathy;
·
Not just seriousness, but also…………..play; and
·
Not just accumulation, but also……….meaning.
Sementara itu Howard Gardner menyarankan lima pola pikir utama
yang diperlukan dimasa yang akan datang, yang ditulis dalam bukunya Five Minds of The Future, yaitu:
1.
Pola pikir disipliner, yaitu dimana sekolah-sekolah
dianjurkan menambahkan pengajaran bidang seni secara serius seperti halnya
disiplin ilmu lain;
2.
Pola pikir sintesis, yaitu kemampuan menggabungkan
ide-ide dari berbagai disiplin ilmu untuk menyatukannya kedalam suatu kesatuan
sekaligus mampu menyampaikannya kepada orang banyak. Dalam konteks bisnis,
ide-ide baru tersebut akan lebih mudah diterima oleh konsumen. Dalam hal
memperkenalkan barang dan/ atau jasa baru, strategi komunikasi dan
pencitraan (branding) yang diperkuat dengan kemampuan sintesis akan
meningkatkan kesuksesan di pasar;
3.
Pola pikir kreasi, yaitu dalam konteks bisnis,
adalah kemampuan untuk menggerakkan perusahaan agar lebih proaktif, tidak hanya
mengikuti, akan tetapi juga menciptakan tren. Dalam proses kreasi ini seseorang
butuh dibekali dengan bakat (talent)
yang cukup;
4.
Pola pikir menghargai, yaitu kesadaran untuk mengapresiasi
perbedaan diantara pelbagai kelompok manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Richard Florida yang menyatakan bahwa faktor penting agar kreativitas dapat
tumbuh dan berkembang adalah dengan mengembangkan tingkat toleransi yang tinggi
diantara sesama anggota komunitas dan menghargai perbedaan, termasuk didalamnya
menghargai karya cipta orang lain; dan
5.
Pola pikir etis, yaitu penanaman nilai-nilai
etika terhadap lingkungan dapat mendorong terciptanya produk yang ramah
lingkungan, sehingga dapat dihasilkan terobosan-terobosan produktif dan
menghindari peniruan secara terang-terangan.
Sementara Thomas L Friedman, menyebut tujuh kemampuan utama yang
perlu disiapkan oleh orang-orang yang ingin bersaing di arena pekerjaan saat
ini, yakni:
1.
Kemampuan
dalam berkolaborasi dan “memimpin orkestra”;
2.
Kemampuan
mensintesiskan segala sesuatu;
3.
Kemampuan
menjabarkan suatu konteks;
4.
Kemampuan
dalam menciptakan nilai tambah;
5.
Kemampuan
beradaptasi terhadap lingkungan baru;
6.
Kesadaran
yang tinggi terhadap kelestarian alam; dan
7.
Kehandalan
dalam menciptakan kandungan lokal.
Dengan demikian dapat dipetik hikmah mengenai pendapat diatas,
yaitu kecenderungan manusia untuk beralih memikirkan nilai-nilai halus (soft value) atas segala sesuatu yang
akan dilakukan, baik itu kegiatan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, bisnis,
pendidikan, maupun sosial lainnya di masa depan.
Semakin kritis para konsumen di pasar, akan membuat mereka semakin
selektif terhadap barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsinya. Konsumen
kurang tergerak membeli produk generik, sebaliknya konsumen sangat antusias
membeli produk yang unik dan dapat membuat bangga yang memakainya. Agaknya kini faktor selera semakin mendominasi
perilaku konsumen, yang pada gilirannya daur hidup suatu produk akan menjadi relatif singkat. Dahulu sektor
industri lebih berorientasi untuk mendorong suplai, maka sekarang pendekatan
industri lebih berorientasi pada konsumen dan proses operasinya tidak menetap
di satu tempat, namun mulai tersebar. Dampak dari industri yang berorientasi pada
konsumen, adalah munculnya era produksi non masal. Pada sistim ini produk
dibuat tidak terlalu banyak dan dengan variasi yang beraneka ragam. Yang kurang
disadari oleh banyak orang dari fenomena ini adalah tumbuhnya faktor kandungan emosional
dan selera yang mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian lembaga
pendidikan perlu menciptakan SDM dengan kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi, serta mampu menstimulasi potensi
intelegensia multi dimensi dalam rangka menciptakan SDM kreatif bertalenta.
Istilah inovasi sering dikaitkan dengan penguasaan teknologi
tinggi, padahal inovasi bisa juga tidak dari sisi teknologinya namun dari nilai
yang dihasilkan. Inovasi bisa dihasilkan dengan menciptakan nilai baru. Maka
kemampuan adaptasi dan konvergensi agar tercipta ide baru membutuhkan daya
imajinasi dan daya visualisasi, dan kemampuan ini perlu dimiliki oleh insani-insan
kreatif didalam industri kreatif. Oleh karena itu para pelaku dalam industri
kreatif perlu memahami dengan baik strategi blue
ocean yang digagas oleh W. Chan Kim dan rekan. Khususnya ketika kurva nilai
para kompetitor mulai berimpit dengan kurva nilai kita, yaitu dimulainya upaya
untuk mencari inovasi lain demi menciptakan blue
ocean yang baru. Memetakan kurva
nilai pada kanvas strategi adalah penting, terutama untuk mengidentifikasi
kurva nilai pesaing dan kurva nilai kita, sehingga secara visual akan
terdeteksi kadar peniruan, dan terlihat sejauh mana blue ocean kita sedang berubah menjadi red ocean. Karena blue ocean
dan red ocean selalu hadir
berdampingan, realitas praktis menuntut para pelaku bisnis untuk berhasil dan
menguasai strategi dalam kedua samudra tersebut. Namun karena banyak perusahaan
sudah berpengalaman dan piawai berkompetisi dalam red ocean, maka merumuskan dan mengeksekusi strategi blue ocean menjadi lebih prioritas untuk
melakukan upaya sistematis dan sekaligus sepraktis berkompetisi di pasar red ocean.Tak
pelak lagi, blue ocean strategy merupakan
salah satu siasat yang diperlukan para pelaku di industri kreatif, terutama
jika mereka memang hendak terus memenangkan kompetisi bisnis yang kian keras.
Sebab dengan inilah, mereka kemudian bisa terus menciptakan produk inovatif
yang akan digemari para pelanggannya. Dengan cara ini pula, para pelanggan akan
senantiasa jatuh hati dengan keragaman produk yang ditawarkan. Dari pemaparan
diatas, perlu disadari bahwa terdapat hubungan komplementer antara blue ocean strategy dengan pengembangan
ekonomi kreatif. Persoalan kunci kemudian adalah, sejauhmana para pakar Indonesia,
khususnya yang terkait dengan dunia pendidikan mampu meracik konsep blue ocean kedalam kekayaan dan keanekaragaman
etnis dan budaya nusantara (bhineka
tunggal ika), yang dinafasi oleh falsafah dan sistem nilai industrial Pancasila,
sehingga konsep blue ocean tersebut dapat dituangkan kedalam upaya-upaya
stratejikal yang operasional dan membumi sesuai jati diri bangsa Indonesia.
Viva Hari Kebangkitan Nasional.
Jakarta, 8 Mei 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar