.


Rabu, 11 Januari 2012

MEMBANGUN SOLIDITAS BANGSA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI


Yth. Rekan-rekan sejawat,
Tulisan kolom di bawah ini dirangkai dari tulisan-tulisan yang relatif lama namun masih sangat relevan untuk dibaca dewasa ini. Semoga dapat menggugah dan bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.
Salam Hormat

MEMBANGUN SOLIDITAS BANGSA
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

“… Duduk di dekat piramida,
Kami saksikan punahnya suku-suku bangsa,
Perang, damai, dan air bah melanda …
Dan air muka kami…
Tidak berubah sama-sekali…” (Faust, karya Goethe)

Dalam mengarungi kehidupan manusia tidak lepas keberadaannya dari dunia obyektif, ia mencerap dan menyimak sekaligus  berinteraksi secara dialektis dengan  dunia obyektif terlibat bersama-sama memahatkan dan mematrikan sejarahnya. Melalui pekerjaan atau aktivitasnya manusia bergumul sepanjang waktu menorehkan sejarah hidupnya sendiri, komunitas, negara dan bangsa dalam skala intensitas yang saling berbeda antar individu. Kemampuan manusia mengambil distansi dalam kapasitas sebagai pelaku sejarah sekaligus keniscayaan dirinya yang terbelenggu oleh arus kesejarahannya menyebkan ia memiliki keunggulan dibanding mahluk lain. Walaupun kesadaran historis sebagai hasil peradaban manusia tergolong baru, karena sebelum tampilnya para tokoh sejarawan Yunani kesadaran itu belum muncul.
Hakekat kesejarahan inilah yang membuat manusia akhirnya menjadi sedemikian berbeda dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya yang tidak memiliki sense of history. Keistimewaan manusia untuk aktif melakukan pilihan-pilihan kesejarahannya – dengan kesdaran eksistensialnya - membuat dirinya mampu mengubah  wajah sejarah. Ada banyak kejadian dan perkembangan  penting yang melibatkn peranan sosok manusia dalam mengubah sejarah dan peradaban. Dari sejak manusia pertama diturunkan ke muka bumi sampai dengan masuk ke abad  teknologi, komunikasi dan informasi yang pesat seperti saat ini, telah terjadi pelbagai lompatan monumental  dalam sejarah peradaban umat manusia di segala bidang, baik dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, agama dan pola-pola hubungan antar manusia, baik sebagai mahluk individual maupun  mahluk bermasyarakat atau sosial. Kemampuannya sebagai mahluk sosial telah banyak melahirkan pranata-pranata, institusi melalui pelbagai cara dan pola pengorganisasian lengkap dengan pelbagai perangkat lunak dan perangkat keras  sebagai  penunjangnya. Sebagai mahluk yang berakal manusia diberi kemampuan untuk menyiasati sejarahnya, berkesempatan mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan kontinum terhadap kemajuan peradaban untuk mengangkat harkat-martabat kemanusiaannya baik untuk kepentingan dirinya, keluarga, komunitas dan secara luas adalah bangsa negara dan dunianya. Terpulang pada diri manusia masing-masing untuk menentukan pilihan-pilihan sejarahnya, menapaki rentang lorong waktu menggapai masa depan, merambah wilayah-wilayah yang belum terjamah, baik oleh jangkauan daya pikir-nya maupun oleh daya gerak fisik lahiriahnya sebagai tantangan yang terbuka lebar.
Herder sebagai filsuf sejarah modern memiliki pengertian paling jelas menyangkut sisi proses kesejarahan ini. Sebagai sejarawan ia tidak hanya mengumpulkan kembali (recollection) tentang masa lampau, tetapi juga “membangkitkan kembali” (resurrection) masa lampau. Karya filsafat Herder tidak dapat disetarakan dengan karya Hegel, namun ia telah merintis cita-cita baru mengenai kebenaran historis. Menurut Cassirer, tanpa Herder, karya Ranke atau Hegel tidak mungkin lahir. Herder memiliki kemampuan pribadi untuk menghidupkan kembali masa silam, meniupkan nafas kedalam keping-keping sejarah sehingga sisa-sisa hidup moral, religius dan kultural hidup kembali. Menurut Goethe, Herder tidak hanya sekedar mampu menemukan “kulit luar dan selongsong manusia saja, namun cara ia menghidupkan sejarah bagai menyaring emas dari onggokan sampah menjadi tumbuh-tumbuhan yang hidup”. Oleh karena itu setiap upaya yang ingin mengembalikan kejayaan kehidupan berbangsa dan bernegara dari puing-puing sejarah yang sempat terpuruk, dibutuhkan sejarawan sekaliber Herder untuk merekonstruksi kembali fosil kepingan sejarah menjadi “daya hidup” bagi arah kejayaan bangsanya. Indonesia dalam hal ini memerlukan seorang arranger ulung untuk  membangkitkan masa keemasan sejarah masa lampaunya diantaranya dengan menghidupkan kembali tokoh-tokohnya secara otentik, bukan menenggelamkan mereka bagi “kepentingan-kekuasaan” tokoh masa kini yang berambisi ingin mencatatkan dirinya dalam sejarah. Untuk membangkitkan solidaritas Bangsa dalam ikatan kolektif yang kokoh sangat dibutuhkan fakta-fakta sejarah baru yang akan menggalang semangat segenap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, bersatu-padu menyusun segenap kekuatan dari sumber tanah air tumpah-darahnya. Daya ini agaknya sulit lahir dari sejarawan yang hanya kuat dari sisi ingatannya semata, sementara akalnya tumpul untuk melihat fungsi sejarah sebagai penggerak dan daya hidup yang menggelorakan semangat bangsanya, barangkali ini lebih merupakan tugas para pemimpin – dengan tingkat pemahaman sejarah yang mumpuni – ketimbang harus dibebankan kepada para sejarawan.
Justru gelora dan daya hidup itu terlihat-jelas dan terekspresi  pada saat awal kemerdekaan yang diperlihatkan oleh para pejuang kemerdekaan kita, sejak terkristalnya visi ke-Indonesiaan melalui sumpah pemuda hingga titik puncak  dikumandangkannya proklamasi, yang sanggup menggerakan secara serempak gelora menentang penjajah Belanda. Dalam memvisualisasikan dan merepresentasikan perjuangan tokoh masa lalu saat merebut kemerdekaan, rupanya para pengambil keputusan negeri ini cukup hanya dengan mempercayakan proses kebangkitan sejarah ini kepada grup-grup pelawak yang meredusir arti penting sejarah hanya sebagai lelucon dan bahan dagelan di televisi, dimana spirit dan nafas kejuangannya sudah tidak diutamakan lagi kecuali hanya sebagai pertunjukkan hiburan semata. Station televisi dan para selebritis yang tidak memiliki kepedulian akan hal ini – justru ketika media diberi kemudahan dengan fasilitasnya - turut mempercapat terjadinya erosi dan degradasi bangsa diakibatkan terdistorsinya manusia Indonesia dari kesinambungan sejarahnya, akibat kurang disadari pemahaman akan arti penting pewarisan sejarah. Khususnya terhadap makna, nafas dan cita-cita “founding-father” dalam mendirikan Negara Republik Indonesia ini.
Berbeda dengan patriotisme yang tumbuh pada awal kemerdekaan, telah tumbuh dan berkembang semangat sekaligus kesadaran akan kebangsaan nasional yang sanggup mempersatukan semua elemen bangsa untuk saling bahu membahu melepaskan diri dari belenggu penjajahan.  Manusia Indonesia kala itu siap berkorban nyawa maupun harta, sanggup bekerja keras, rela menderita, untuk menjaga kekokohan, serta persatuan dan kesatuan anak bangsa, demi tegaknya kebangsaan nasional atau nasionalisme Indonesia. Hal tersebut terungkap melalui suara batin heroik Panglima Besar Jenderal Soedirman (Jaleswari Pramodhawardani: Kompas, 2007), yang menggelorakan sukma:
“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku, tetapi jiwaku yang dilindungi benteng Merah Putih akan tetap hidup, akan tetap menuntut bela, siapa pun lawan yang aku hadapi. Jangan bimbang dalam menghadapi macam-macam penderitaan, karena makin dekat cita-cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami.”
Menguatnya semangat kebangsaan nasional pada pertengahan abad ke-20 seusai Perang Dunia II, bukanlah semata-mata milik bangsa  yang hidup di tanah Ibu Pertiwi saja. Dunia yang tengah terbelah perang dingin ideologis  antara kapitalisme vs komunisme, tengah ramai dipenuhi hiruk pikuk suara bangsa-bangsa yang ingin merdeka, di mana kebangsaan nasional menjadi perekat untuk mendirikan negara yang berdaulat. Bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dan dikaruniai beragam etnis, hadirnya semangat kebangsaan nasional menjadi penting artinya untuk berkohesi dan bersinergi mempertahankan kemerdekaan yang baru saja direbutnya. Keyakinan Bung Karno, sang proklamator, akan pentingnya menjaga kohesi pluralisme bangsa Indonesia sambil tetap menjunjung semangat kebangsaaan nasional, diwujudkan dengan mengukuhkan pancasila sebagai ideologi negara tercermin dalam ungkapan beliau yang bernada optimistis: “samen bundeling van alle krachten van de natie” yang bermakna, pengikatan bersama seluruh kekuatan bangsa (Nurcholish Madjid, 2003). Walaupun Indonesia sebagai negara muda telah berhasil melahirkan ideologi pancasila yang diterima oleh mayoritas elit bangsa, namun sistem ekonomi apa yang akan dikedepankan untuk menunjang ideologi terebut, belum sempat terpikirkan.
Jika mengacu pada sejarah bangsa-bangsa lain yang sukses menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya, tampak kasat mata bahwa kecanggihan ideologi saja sebenarnya tidaklah cukup, jika tidak ditunjang dengan ketahanan dan kemajuan ekonomi yang berbasis pasar. Sebab tanpa dukungan pasar berikut sistem ekonomi yang canggih, bisa diprediksikan ideologi sebagai ekspresi pengejewantahan semangat kebangsaan nasional yang sebagus apa pun hanya mungkin berusia “seumur jagung”.
Seiring waktu berjalan, semenjak kemerdekaan tak juga nampak ada langkah serius menata kehidupan ekonomi. Agaknya  latar belakang kesarjanaan arsitek yang diperoleh Bung Karno dan kepribadian kesenimanan dengan kapasitas imajinatif genialnya yang teramat luar biasa itu, telah menjadi kendala bawah sadar bagi dirinya selaku presiden pertama, untuk mau serius memikirkan sistem ekonomi yang bisa diterapkan secara adekuat demi mendulang manfaat bagi hajat hidup orang banyak di bumi nusantara yang teramat kaya ini. Presiden Soekarno nampak lebih tertarik mengumpulkan lukisan dan menyukai aktivitas demagogi politik, sehingga terlarut dengan gagasan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Barat (Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat), mencoba meracik benang merah antara Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM), lantang mengumandangkan “Revolusi Belum Selesai”, serta menggalang kekompakkan negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika untuk bersikap netral terhadap pengaruh dunia barat melalui gerakan nonblok. Di tengah keberhasilan aktivitas demagogi politiknya, Bung Karno abai terhadap upaya pemberdayaan ekonomi yang mengacu pada terciptanya mekanisme pasar, yang berguna untuk mengalokasi dan/atau merelokasi sumberdaya masyarakat berikut penetapan harganya. Ia juga lupa bahwa pasar  baik dalam maupun luar negeri tidak kalah pentingnya dengan pergulatan ideologi, percaturan politik, maupun pidato-pidato yang membakar semangat kebangsaan nasional, karena secara alamiah di pasar semua orang akan bertemu tanpa dikomando, baik konsumen maupun produsen; siap bertransaksi atau berinteraksi melakukan pertukaran barang dan/atau  jasa, demi mengais keuntungan yang berguna mendukung siklus proses kehidupan manusia secara kontinum.
Di dunia barat, kesadaran akan pentingnya peran pasar sudah berurat berakar tertanam jauh hari sejak abad ke-18, semenjak Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations pada tahun 1776, yang memaparkan gagasan tentang pasar yang memiliki keajaiban mampu mengoreksi dan mengatur mekanismenya sendiri (the invisible hand). Meski kemudian Keynes mengkoreksi asumsi ini ketika terjadi depresi besar di Eropa tahun 1930-an, ternyata pasar bebas tidak memiliki kesanggupan mengatur dirinya sendiri secara proporsional, khususnya untuk membendung semua konsekuensi yang terjadi akibat suasana ketidak stabilan dan pengangguran selama berlangsungnya krisis ekonomi, hingga pemerintah perlu melakukan langkah intervensi untuk mengurangi dampak buruk yang muncul akibat ketidak sempurnaan dari diberlakukannya pasar bebas. Namun demikian, pasar masih bisa diandalkan sebagai alat ukur kinerja perekonomian yang relatif jujur. Pasar diyakini sanggup membingkai efisiensi jalannya roda perekonomian secara maksimal, sebagaimana dikemukakan Saleh Afiff (1985):
Pasar menurut teori ekonomi tidak usah dihubungkan dengan tempat fisik, tetapi lebih merupakan suatu mekanisme dalam proses pembagian penggunaan sumber daya (allocation of resources) melalui pembentukan harga. Penggunaan sumber daya ditentukan oleh tingkat harga, sedangkan tingkat harga ditentukan oleh keadaan pasar. Kalau harga meningkat karena permintaan lebih besar dari persediaan, sedangkan keadaan lain tidak berubah maka produsen akan mengalihkan sumberdaya dari kegiatan lain untuk menghasilkan barang yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya akan terjadi. Kalau proses ini berjalan terus, maka pada suatu waktu akan tercapai keseimbangan, di mana semua sumberdaya telah terpakai dan menghasilkan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen pada tingkat harga di mana konsumen bersedia membelinya. Dalam keadaan demikian tercapai suatu penggunaan sumber daya yang optimal yang akan menghasilkan tingkat produksi yang tertinggi. Keadaan ini dapat disebut juga sebagai tercapainya tingkat efisiensi ekonomi maksimal.
Ternyata lain lubuk lain pula belalangnya. Justru perhatian serius terhadap pengelolaan ekonomi bangsa kala itu, tampak menonjol dalam diri Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang kebetulan adalah seorang ekonom, dan meraih kesarjanaan ekonominya di negeri Belanda. Uniknya, walaupun kental mencerap pemikiran barat, Bung Hatta lebih suka mendorong agar ekonomi Indonesia dikembangkan dengan berbasis pada gerakan koperasi. Bapak Koperasi Indonesia ini pada tahun 1934 pernah mengkritik Adam Smith (Sri-Edi Swasono, 2005), sebagai berikut:
… teori Adam Smith berdasarkan kepada perumpamaan homo economicus, yang hanya ada dalam dunia pikiran, tidak ada dalam masyarakat yang lahiriah, satu golongan kecil yang aktif dan bermodal cukup, yang memutuskan segala soal ekonomi; dan satu golongan besar, orang banyak, yang pasif dan lambat, yang tiada mempunyai tenaga ekonomi, yang kehidupannya terserah pada putusan golongan pertama, praktek laisser-faire stelsel memperbesar mana yang kuat, menghancurkan yang lemah ….
Sebagai ekonom futuris yang idealis dan humanis, tentunya Bung Hatta sangat paham, bahwa pasar bisa juga bergerak liar jika tidak ada kendali moral dan tanpa dipayungi semangat kebangsaan nasional atau nasionalisme. Namun sayangnya, karena perbedaaan pandangan yang semakin tajam dengan Bung Karno, beliau pun lantas mengundurkan diri dari pemerintahan. Mundurnya Bung Hatta adalah simbol semakin tidak terurusnya ekonomi tanah ibu pertiwi, dan semakin menjauhnya langkah Soekarno dari dunia obyektif. Rakyat mulai bertanya, inikah hasil proklamasi yang digerakkan oleh semangat kebangsaan nasional: inflasi menggila, barang hilang dari pasar, harga-harga menjulang, rakyat bertambah miskin dan harus siap antri untuk mendapatkan jatah pangan.  Pasar semakin tidak bersahabat dengan sang presiden yang terlilit oleh krisis kekuasaan. Berbagai elemen bangsa merasa harus bertindak mengambil jalan berbeda. Secara apik dan ringkas, Nurcholish Madjid (2003) menuturkan alur historis momen-momen menjelang babak akhir kekuasaan Soekarno:
…. Bung Karno tidak lagi memandang dirinya cukup sebagai kepala pemerintahan atau ketua badan eksekutif negara, melainkan sebagai “pemimpin besar revolusi”. Pemerintahan presidensial periodik yang seharusnya dilaksanakan dengan mencontoh dan mengembangkan sistem serupa yang sudah mapan di dunia, ia ubah menjadi “demokrasi terpimpin”. Beberapa partai politik yang dipersatukan oleh platform demokrasi modern, yaitu Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Parkindo dan Partai Katolik, didukung beberapa pribadi tokoh kalangan NU dan PNI, dan dengan restu Bung Hatta, membentuk gerakan “Liga Demokrasi” guna menggalang kekuatan politik untuk mencegah dan menghalangi Bung Karno meluncur ke lembah kediktatoran. Sebab rakyat mulai merasa kehilangan kebebasan sipilnya, dan ekonomi merosot sampai hampir membangkrutkan ekonomi negara. Politik grandiose Bung Karno, dengan, misalnya hendak menggantikan PBB dan Olimpiade, ikut memperburuk keadaan ekonomi bangsa sehingga terasa tidak tertahankan lagi oleh rakyat. Dalam keadaan seperti itulah Bung Karno pada tahun 1965 jatuh in disgrace – lepas dari persoalan siapa sebenarnya yang berperan dalam proses penjatuhan itu - adil ataupun tidak adil, yang jelas sistem kekuasaan  yang kemudian disebut “Orde Lama” harus memberi jalan kepada sistem kekuasaan lain yang disebut “Orde Baru”.
Pelajaran teramat mahal dari kejatuhan seorang genial yang mempesona dan sudah menghabiskan usianya sedari muda untuk membangkitkan semangat kebangsaaan nasional rakyat nusantara itu, membuat penggantinya, Presiden Soeharto, mengembangkan kebijakan yang nyata-nyata berorientasi pasar versi Adam Smith. Pasar yang dimaksudkan di sini berwujud pasar bebas di mana di dalamnya dimungkinkan terjadi perdagangan dan persaingan yang akan mendorong diraihnya manfaat ekonomi seefisien mungkin. Sebagai catatan, pandangan Adam Smith yang menjunjung paham ”fundamentalisme pasar bebas”  dan dikenal dengan jargon make or buy, masih mewarnai pendidikan dan penerapan sistem ekonomi yang dianut banyak negara, terutama sekali di Amerika Serikat sebagai negara super kaya di dunia saat sekarang, yang ekspresinya tercermin dalam narasi Presiden Bush saat berpidato pada forum National Security Strategy di Monterrey, Mexico, 22 Maret 2002 (Sri-Edi Swasono, 2005) sebagai berikut:
…. The concept of ‘free trade’ arose as a moral principle even before it became a pillar of economics. If you can make something that others value, you should be able to sell it to them. If others make something that you value, you should be able to buy it. This is real freedom, the freedom for a person – or a nation – to make a living ….
Pasar yang sebelumnya mati suri di era orde lama, langsung menggeliat semarak di era orde baru. Semenjak 1967 Indonesia berubah haluan secara drastis. Dialektika presiden yang mendukung pasar dan pasar yang mendukung presiden, menjadi “barang baru” yang mempesona. Tak bisa dipungkiri, di era orde baru inilah tercipta pertumbuhan ekonomi yang teramat luar biasa. Kemiskinan berkurang, ketersediaan barang melimpah, nilai tukar rupiah lumayan kuat, inflasi terkendali, pengangguran berhasil ditekan dan kesempatan kerja terbuka luas, investasi mengalir deras, dan orang asing semakin banyak berdatangan ke negeri yang dikenal eksotis ini. Citra Indonesia  berkibar cukup disegani di kawasan ASEAN maupun dalam pergaulan antarbangsa di dunia internasional.
Indonesia berubah dari negara miskin kemudian berusaha merangsek mensejajarkan diri sebagai salah satu macan Asia yang lantang mengaum dan berlari sekencang-kencangnya mengejar ketertinggalan ekonomi. Semangat kebangsaan nasional yang terkristal pada ideologi pancasila yang saat orde lama berkuasa dijadikan pedoman membingkai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tiba-tiba saja lenyap tak tentu rimbanya. Bahkan penataran eskalatif tafsiran tunggal P4 yang diselengarakan oleh BP7 hanya sekedar formalitas belaka. Di sini pancasila mulai kehilangan sensitivitas dan spiritualitas roh kesejarahannya. Ada banyak kritik dilontarkan, salah satunya sindiran halus Selo Soemardjan (1996):   
…Efektivitas penyebaran suatu ajaran di dalam masyarakat sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh banyaknya saluran informasi yang dipakai. Lebih nyata efektivitas itu terciptakan karena tingginya frekuensi kegiatan di dalam masyarakat untuk penyebaran itu. Makin tinggi frekuensinya makin tinggi pula efektivitasnya. …Oleh karena itu alangkah baiknya apabila dapat diciptakan suatu sistim penyebaran pancasila yang dapat menimbulkan kegiatan sukarela dari masyarakat untuk ikut menyebarkan pancasila tanpa mendapat tekanan dari pihak mana pun juga. Apabila partisipasi dari masyarakat itu kemudian dirasakan memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat, niscaya akan timbul penghargaan yang lebih tinggi lagi dari masyarakat terhadap pancasila. Penghargaan itu pada waktunya dapat tumbuh menjadi keyakinan. Apabila tahap yang demikian itu tercapai maka pancasila akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari seolah sebagai kewajiban hidup bagi setiap anggota masyarakat. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa proses pembudayaan sudah lengkap. Dengan perkataan lain pancasila sudah menjadi fungsional di dalam kebudayan masyarakat. …Untuk membantu masyarakat Indonesia melancarkan jalannya penghayatan dan pengamalan pancasila dalam kehidupannya bermasyarakat sekiranya ada baiknya apabila sistem penyebaran yang sampai sekarang dipelopori oleh BP-7 dikaji kembali. Masyarakat Indonesia yang beberapa tahun lagi diharapkan mampu membawakan pembangunan nasionalnya pada tahap tinggal landas memerlukan penjabaran dan interpretasi pancasila yang berbeda dari pada masyarakat Indonesia tahun 1978 waktu BP-7 dibentuk dan mulai menjalankan tugasnya.
Taufik Abdullah (Kompas, 2007), dalam sebuah perbincangan di rentang waktu yang jauh berbeda, melontarkan evaluasinya ke masa lalu yang hampir senada:
Berbeda dengan patriotisme yang tumbuh secara natural, nasionalisme tidak tumbuh secara natural sehingga terkadang butuh dorongan seperti diarahkan ke luar agar bangsa menghadapi tantangan bersama. Nasionalisme bukan bagian dari diri kita. Nasionalisme adalah hasil konseptualisasi ide-ide, suatu konsep pemikiran. Nasionalisme adalah state of mind, suatu hasrat yang diciptakan, suatu cita-cita yang diciptakan. …Dulu, ada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kalau isi P4 itu benar, kita jadi orang baik semua. Dalam P4, kita tidak diajarkan menghadapi masalah riil, tetapi persoalan baik semua. Padahal, dalam hidup ini ada pilihan, ada masalah etik. Salah satu contoh adalah prajurit yang dipanggil tugas, tetapi pada saat bersamaan harus menunggui kelahiran anak pertamanya. Pergi tugas adalah kewajiban dia sebagai warga negara, tetapi menunggui kelahiran anak juga sama pentingnya karena kewajiban dia sebagai manusia. Oleh karena itu, yang perlu ditekankan adalah masalah etik, bukan semua benar. Ada prioritas dalam pilihan itu.
Pada waktu itu semua kritikan yang datang diabaikan. Pesona pasar membuat orde baru semakin berani membuka diri walau tanpa dibekali perlindungan oksigen ideologi. Realitas empiriknya menyuratkan pancasila masuk terpendam ke dalam alam bawah sadar dan secara otomatis semangat kebangsaan nasional tidak dianggap nyata selaku dunia obyektif, digantikan semangat “kebangsaan pasar”. Tersirat kehendak untuk meraup modal asing tanpa pikir panjang, yang penting asalkan pelaku pasar senang. Keranjingan orde baru akan pasar yang dari waktu ke waktu semakin diliberalkan ujung-ujungnya justru menjadi bumerang, seperti dipaparkan lugas dan rinci oleh Sri Hartati Samhadi (Kompas, 2007) berikut ini:
Upaya membuka diri itu dimulai dari diluncurkannya Undang-undang Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Disusul berbagai paket deregulasi yang sangat ekstensif pada awal dekade 1980-an hingga awal 1990-an, mulai dari deregulasi perbankan melalui Paket Oktober (PAKTO) 1983, kemudian deregulasi moneter dan sektor keuangan, deregulasi fiskal, deregulasi perdagangan dan investasi. Kebijakan deregulasi ini bisa dikatakan sangat liberal. Dana Moneter Internasional (IMF) mengakui Indonesia adalah salah satu negara yang perekonomiannya sangat terbuka. … Dibandingkan dengan beberapa negara berkembang setingkat, Indonesia termasuk paling bernafsu membuka pasar. Terlalu cepat dan prematur, sampai-sampai menciptakan kerapuhan dalam perekonomian yang diyakini sebagai salah satu akar penyebab krisis 1997. Sebelum krisis, Indonesia sering disebut-sebut Bank Dunia dan IMF sebagai contoh sukses negara berkembang yang mampu memetik buah dari integrasi pasar global, terutama dengan masuknya arus investasi asing dan terbukanya akses ekspor Indonesia ke pasar global. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terbukti 62 tahun Indonesia merdeka fondasi perekonomian tidak sekokoh yang dibayangkan. Salah satunya, industri manufaktur yang menjadi lokomotif ekonomi sejak pertengahan dekade 1980-an ternyata begitu gampang runtuh bersamaan dengan tumbangnya rupiah dan rezim pemerintahan Soeharto pada 1997/1998.
Sri Hartati melukiskan pula betapa pentingnya menjaga kebangsaan nasional atau nasionalisme tanpa perlu dibarengi chauvinism, dengan ungkapan sebagai berikut: 
Dampak lain liberalisasi arus modal, sejak merdeka, kita terus bergantung pada utang luar negeri secara gali lubang tutup lubang dan sulit keluar dari jeratnya. Pada masa orde baru, peran utang luar negeri dikamuflasekan dalam anggaran berimbang semu, dengan cara menyumpal defisit dengan utang. …Akhirnya, liberalisasi, atau nasionalisme seharusnya ditempatkan dalam konteks kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat konstitusi kita, UUD 1945. Istilah yang sering dipakai, nasionalisme humanis. Persaingan global atau membuka pasar harus tetap didudukkan dalam kerangka itu. Artinya, tidak harus anti asing, tetapi tidak juga berarti harus membuka pasar secara membabi buta.
Sejarah kembali berulang, namun dalam posisi yang diametral dengan orde lama. Orde baru yang terlampau memuja pasar namun abai menjaga semangat kebangsaan nasional atau nasionalisme, harus menerima kenyataan pahit, runtuh berserakan tertinggal di landasan, terkena datangnya badai krisis moneter yang bersumber dari mancanegara. Peringatan bijak Bung Hata yang dikutip di muka, “praktek laisser-faire stelsel memperbesar mana yang kuat menghancurkan yang lemah”, terbuktilah sudah. Bangsa yang sebelumnya nampak perkasa ini, langsung limbung tanpa punya daya untuk bangkit sampai sekarang walau gejolak perekonomian, yang belakangan ini popular disebut krisis multidimensi, sudah bercokol sekitar 14 tahun.            Kejatuhan orde baru di penghujung abad ke-20, menstimulasi segudang hasrat anak bangsa untuk melakukan perubahan atau reformasi di bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya, sehingga kemudian dinamakan orde reformasi. Kebetulan pada saat itu peta perpolitikan dan perekonomian dunia sudah jauh berubah, karena konstelasi perang dingin yang memberi pengaruh signifikan terhadap kiprah orde lama dan orde baru tak ada lagi. Komunisme sudah tercerai berai dilibas kapitalisme, yang kemudian membuka jalan bagi munculnya arus dahsyat globalisasi ideologi barat berikut globalisasi ekonominya di bawah komando dan hagemoni Amerika Serikat.
Orde reformasi hadir pada saat Indonesia tengah diterjang badai krisis multidimensi yang parah dan kadung sudah masuk dalam “perangkap” arus dahsyat globalisasi, sehingga segala sesuatunya menjadi serba salah, menambah kebingungan jejak anak bangsa hendak ke manakah sebaiknya melangkah, seperti digambarkan oleh Acuviarta dalam Pikiran Rakyat (2007):
Membuka diri serta mencoba beradaptasi dalam arus globalisasi ekonomi memang tidak mudah. Konsekuensinya, kalau tidak cerdas untuk mendapatkan manfaat, justru malah dieksploitasi kalau kebablasan. Dalam perspektif globalisasi dan liberalisasi ekonomi, perekonomian negeri ini tampaknya memang menawarkan surga ekonomi yang diinginkan oleh globalisasi dan liberalisasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia telah menjadi bagian dari jaringan globalisasi dan liberalisme yang sedemikian kompleks dan integratif. Pada kenyataannya, banyak kalangan menilai bahwa strategi-strategi pembangunan yang paling hebat dan terencana secara matang sekali pun dapat dimentahkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan asing yang keberadaan dan eksistensinya sama sekali di luar kendali kita, atau yang kita kenal dengan paradigma ketergantungan internasional. Model ketergantungan internasional adalah suatu model yang dalil utamanya menyatakan berlarut-larutnya keterbelakangan di negara-negara berkembang disebabkan oleh aneka kebijakan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan budaya eksploitatif yang dimainkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, sehingga tidak ubahnya ketika mereka memperlakukan wilayah jajahannya di masa sebelumnya. Hanya mungkin caranya sedikit lebih santun. Kalau kenyataannya seperti itu, kapan kita akan merdeka dengan sesungguhnya?
Orde reformasi yang dianggap berhasil membuka keran demokrasi, terkena getah orde baru yang mewarisi pula wabah regresi kolektif semangat kebangsaan nasional atau nasionalisme yang terbilang akut, sehingga ikut terseret menapaki atmosfir kohesi anak bangsa yang tengah melorot drastis hampir ke titik nadir. Tim Litbang Kompas (Suwardiman, 2007) melaporkan hasil jajak pendapat dan observasinya terhadap 834 responden, yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 2007. Sebanyak 65,9 persen responden merasa bangga menjadi orang Indonesia, data ini menurun drastis dibanding lima tahun lalu yang mencapai 93,5 persen. Dalam aspek kebanggaan menjadi warga Indonesia, pada tahun 2002 tercatat hanya 5,1 persen menyatakan tidak bangga menjadi warga Indonesia, sementara pada tahun 2005 jumlah tersebut meningkat menjadi 23 persen, dan pada tahun 2007  meningkat lagi menjadi 34 persen. Kondisi tersebut berkorelasi dengan kekecewaan publik terhadap kondisi bangsa saat ini, misalnya terhadap Pemerintah RI, hasil jajak pendapat menunjukkan 39,8 persen responden kecewa atas kinerja pemerintah, sementara 39,6 persen bersikap apatis, dan hanya 20,4 persen merasa bangga terhadap kinerja pemerintah sekarang.
Terungkap bahwa sumber kekecewaan responden paling banyak bermuara pada persoalan perekonomian serta masalah penegakan hukum; namun bagian paling menarik perhatian tentunya menyangkut paparan perihal keterancaman nasionalisme kita, yang tertuang sebagai berikut:
Mayoritas responden menyatakan  ancaman besar atas bangunan nasionalisme bangsa Indonesia tertumpu pada masalah-masalah seperti menguatnya sentimen keagamaan dan sentimen kedaerahan di tengah masyarakat, kurangnya perhatian terhadap budaya lokal, hingga derasnya arus globalisasi serta gelombang budaya dan kapital asing yang tak terbendung. .… Sementara itu perhatian publik tertuju kepada tiadanya kepemimpinan bangsa yang kuat saat ini. Hal tersebut disuarakan oleh 88,8 persen responden yang menilai masalah itu menjadi ancaman besar bagi bertahannya nasionalisme bangsa Indonesia.
Menurunnya kinerja perekonomian dan memudarnya semangat kebangsaan nasional yang menyeruak seiring langkah orde reformasi, yang akarnya sudah tertanam jauh semasa era kekuasaan orde lama dan orde baru, tak bisa kita diamkan saja berlarut-larut seperti sekarang ini, dengan sekadar menambal sulam upaya solutifnya tanpa ada platform bersama dari segenap elemen bangsa yang dijalankan secara konsisten. Tersimpan bara api dari terjangan arus globalisasi pasar ataupun ancaman memudarnya kebangsaan nasional, yang setiap saat berpotensi menggelegar dan meruntuhkan struktur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tanah air. Diingatkan oleh Andrinof A. Chaniago (2007) melalui pisau analisisnya yang tajam dan komprehensif:
Saat ini, bangsa Indonesia tidak hanya dihadapkan pada pilihan cara-cara mengelola aset-aset ekonomi negara oleh pemerintah, tetapi juga masalah bagaimana membuat struktur ekonomi nasional yang tahan terhadap guncangan ekonomi dalam negeri dan luar negeri. Di satu sisi, kecenderungan global di bidang ekonomi akan terus memaksa para pelaku ekonomi nasional masuk ke arena yang makin kompetitif dan bergantung pada bekerjanya mekanisme pasar. Tetapi dilihat dari sisi lain, betapapun fairnya sistem seperti ini dan betapapun optimisnya orang melihat efeknya terhadap efisiensi ekonomi diukur dari skala perekonomian tertentu, bagi masyarakat Indonesia yang kondisi sosio-demografisnya sangat rentan terhadap berbagai krisis akan membuat mereka mudah didikte oleh sistem pasar tersebut. Perilaku anarkis dari sistem pasar sewaktu-waktu bisa saja muncul seperti yang terjadi di masa krisis di akhir 1990-an ini yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia terhimpit dalam kesulitan. Efisiensi dan pertumbuhan ekonomi mungkin sekali akan terjadi kembali di sektor-sektor ekonomi tertentu dan pada lokasi-lokasi tertentu berkat liberalisasi dan kepatuhan mengikuti selera pasar yang sekarang. Tetapi yang sangat perlu dicatat adalah, pasar yang memaksa para pelaku ekonomi domestik mengikuti persaingan global itu bukanlah pasar yang adil dan sempurna. Di dalam struktur pasar yang berkembang sekarang munculnya kekuatan-kekuatan yang memiliki kemampuan monopoli tidak akan terelakkan. Kekuatan monopoli tentu saja menjanjikan efisiensi dan akselerasi produktivitas yang tinggi. Tetapi, bersamaan dengan makin majunya kekuatan tersebut, kemungkinan besar inefisiensi ekonomi pada pelaku ekonomi kecil dan konsumen massal akan meluas di dalam sebuah negara yang penduduknya besar tetapi mayoritas masyarakatnya masih berpendidikan rendah.              
Sungguh amat disayangkan, setelah sekitar 14 tahun reformasi berlangsung di negeri ini belum nampak hasil membanggakan yang bisa kita raih. Anehnya, orde reformasi yang muncul belakangan di panggung sejarah belum juga nampak mau belajar dari sejarah kekeliruan orde lama dan orde baru.
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, adalah dua manusia yang menyejarah dalam skala dan intensitas nasional maupun internasional. Keduanya pelaku sejarah yang bercita-cita adiluhung hendak membawa rakyatnya “menyiasati” sejarah kelam selaku negeri terjajah menjadi terhormat. Walau telah bekerja keras dengan caranya masing-masing, tetapi bernasib malang diturunkan di tengah jalan oleh rakyat yang semula sangat memuja dan mencintai mereka, saat cita-cita itu dianggap telah menyimpang dari niatan semula. Keduanya menjadi manusia yang “terjerat” oleh sejarah, dikarenakan lalai mere-integrasikan kebangsaan nasional dengan pasar global menjadi sebuah sintesis “memanusiakan” manusia Indonesia.
Orde Lama bergerak terlampau menggebu-gebu dalam menularkan semangat kebangsaan nasionalnya di kancah pergaulan internasional yang terfokus di belahan timur pada negara-negara Asia dan Afrika yang miskin dan terkebelakang. orde baru juga bergerak serba terburu-buru membuka pintu pasar dalam pentas pergaulan global dengan para sahabat dari belahan dunia barat yang kaya dan serba maju.  Apa pun pilihannya, baik orde lama maupun orde baru, sama-sama memandang dunia obyektif mereka hanya sebatas satu dimensi saja, yaitu melihat kebangsaan nasional atau pasar secara terpisah, tak ada relasi institusional di antara keduanya. Tak heran jika dunia obyektif dari dimensi lain diperlakukan sebagai musuh yang harus dihancurkan. Suara pasar nasional dan internasional dimaknai bukan bagian dunia obyektif kaum orde lama dan harus “diganyang”. Begitu pula sebaliknya, semangat kebangsaan nasional yang mencoba bertindak oposan tidak dimaknai sebagai bagian dunia obyektif orde baru maka ia harus “digebuk”.
Oleh karena itu, wajar jika orde lama dan orde baru, tak berminat sedikit pun untuk melakukan rekonsiliasi antara semangat kebangsaan nasional dan pasar, sebagai prasyarat terbentuknya reintegrasi bersama, agar nantinya bersintesis “memanusiakan” manusia Indonesia. Kegagalan rekonsiliasi dan reintegrasi tadi mengakibatkan kebangsaan nasional dan pasar menjadi tidak alamiah lagi dan terasing dari dunia obyektif mayoritas manusia Indonesia. Akibatnya, kebangsaan nasional dan pasar, pada zaman keemasannya masing-masing, hanyalah milik segelintir orang, yang di mata orang kebanyakan terkesan menjulang, indah, dingin, megah, arogan dan kesepian; seperti tersimbolisasikan lewat karya arsitektural tugu Monas semasa orde lama, ataupun torehan industri berteknologi canggih yang gigih merancang pesawat terbang buatan bangsa sendiri semasa orde baru.
Persepsi mengenai dunia obyektif yang hanya satu dimensi itu, membuat orde lama dan orde baru tuli terhadap aspirasi masyarakat, merasa benar selalu, mau menang sendiri, dan terlampau percaya terhadap kehebatan platform miliknya sendiri. Seperti dalam kisah pewayangan, yang hanya menceritakan ulah tingkah kaum elit, sedangkan rakyat tak pernah ditampilkan utuh terkecuali melalui simbolisasi tokoh punakawan. Sejak awal kemerdekaan realitas mayoritas manusia Indonesia tak berbeda seperti layaknya kisah pewayangan, ada tapi tak punya arti signifikan, ada tapi tak pernah terlibat penuh pada jalannya pembangunan.
Pada mulanya, manusia Indonesia yang terkenal mudah tersenyum agaknya cukup punya kesabaran dan toleransi menerima nasib seperti itu. Sesekali mereka bisa juga memprotes keras lewat amuk massa. Tetapi lambat laun, tatkala zaman dan generasi berubah, mayoritas manusia Indonesia pun mulai berani mempertanyakan sejarah, menyangsikan keterampilan negara untuk memayungi mereka, meragukan manfaatnya ke-Indonesia-an. Jika kesangsian demikian terus menerus tertimbun lantas menumpuk menjadi energi frustatif di benak, pada akhirnya akan meledak. Menginspirasi niatan memisahkan diri dari bangunan nasionalisme Indonesia, menghadirkan dialektika berlawanan arah yakni:” bersatu kita runtuh, bercerai kita teguh!”
Sudah saatnya orde reformasi tidak terjebak mengulang kesalahan seperti halnya orde lama dan orde baru, yang gagal memformulasi strategi pembangunan multidimensi, yang mencerap dialektika semangat kebangsaan nasional dan pasar global secara berimbang. Kekeliruan seperti ini bukan hanya milik bangsa Indonesia saja, tetapi pernah pula hinggap di bangsa-bangsa lainnya bahkan menimbulkan dampak negatif dalam skala lebih spektakuler, seperti terjerumusnya Eropa dalam Perang Dunia II menjelang pertengahan abad ke-20.
Strategi pembangunan multidimensi yang tentunya akan terfokus pada soliditas manusia Indonesia, seyogyanya dirumuskan dalam bentuk platform bersama oleh semua elemen anak bangsa. Baik mereka yang aktif di dalam pemerintahan maupun yang berada di luar, baik yang menyukai pandangan mainstream ataupun yang nyeleneh, baik yang agamis juga yang sekuler, bersepakat duduk dengan pikiran dan hati terbuka, untuk merumuskan platform tersebut. Sebagai konsekuensinya, patut dibangun komitmen sepenuh hati, bahwa siapa pun yang memerintah, partai mana pun yang menang pemilu di negeri ini, kelak harus taat menjalankan platform tersebut. Jika tidak, mereka harus siap untuk dilengserkan.
Walaupun kondisi Indonesia sekarang di atas permukaan nampak cukup tenang sebagaimana penjelasan para elit pemerintahan ahir-ahir ini, tetapi itu belum tentu menggambarkan keadaan di bawah permukaan yang sesungguhnya. Ada diskrepansi sosial dan ekonomi berdigit-digit. Hikayat stabilitas dan pertumbuhan “dunia atas” versi pejabat bisa bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan cerita penderitaan dan pengorbanan versi rakyat “dunia bawah”. Ada kegetiran dari dunia bawah dan kegenitan dunia atas. Maka Jakob Sumardjo pun berkisah (Kompas, 2007):
Kini dunia Indonesia sudah terbalik-balik. Sama rata dan sama rasa hanya dilingkungan dunia atas, dengan kemampuan punya rumah mewah di mana-mana. Mobil mutakhir ganti tiap tahun. Rekening bank paling sedikit 10 kartu. Gaji puluhan juta sebulan. Adapun sama rasa dan sama rata dunia bawah, hanya mampu mencicil rumah RSS, naik motor atau mobil tua, boro-boro menyimpan uang malah punya pinjaman dipotong gaji yang cuma di bawah lima juta. Sama rata sama rasa dunia atas menggambarkan seolah Indonesia sudah setara Amerika Serikat dan Eropa. Adapun dunia bawah kualitas sama rasa sama rata masih zaman kolonial. Rakyat cukup hidup dua setengah sen sehari.
Tak bisa dipungkiri jikalau angka-angka kasuistik bunuh diri, gangguan kejiwaan, dan kekerasan dalam rumah tangga dari hari ke hari terus meningkat, belum lagi jumlah  putus sekolah, dan PHK yang terus bertambah, disamping kemiskinan yang merebak di desa maupun kota. Kesemuanya mengendap potensi frustrasi tersembunyi. Seandainya kita semua terus menerus lalai, bisa diprediksikan akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kancah perang saudara, melalui ancaman modus operandi Perang Asimetrik di lahan-lahan klandestin perkotaan, bukan di kantong-kantong gerilyawan pedesaan seperti pada masa meletusnya pemberontakan daerah  tatkala orde lama masih berkuasa.  
Ninok Leksono mengutip Greg Wilcox seorang analis militer Amerika Serikat  (Kompas, 2007), menjelaskan hakekat Perang Asimetrik adalah:
... Dalam konteks moderen, Perang asimetrik sering dipandang sebagai komponen perang generasi Ke-4. Perang generasi petama bertepatan dengan era munculnya senapan dan tentara mulai memanfaatkannya untuk mendapatkan sarana tembak dalam jumlah besar. Perang generasi Ke-2 bertepatan dengan era munculnya teknologi di abad ke-19, seperti senapan mesin yang efeknya berlanjut hingga ke era perang dunia. Adapun perang generasi Ke-3 ditandai dengan motivasi ide sebagai penggeraknya, hingga kemudian sering disebut sebagai peperangan manuver, yang diperlihatkan oleh Jerman yang melancarkan perang kilat (blitzkrieg) semasa Perang Dunia II. Perang generasi Ke-4 oleh sejumlah analis sering disederhanakan sebagai terorisme. Ia melahirkan ancaman global, menerapkan organisasi sel dan kelompok aksi yang membangkitkan diri sendiri, acap dilandasi oleh keyakinan etnik, agama, moral, mengincar sasaran masyarakat atau ekonomi yang rawan. Di sini dikenal pula sponsor negara (dalam hal dana, fasilitas, dan tempat perlindungan), pemanfaatan media untuk mempengaruhi opini publik, memanfaatkan teror sebagai alat pilihan, dan punya akses terhadap persenjataan teknologi tinggi yang bisa diperoleh di pasaran. Sementara itu, basis perang generasi Ke-4 bisa berupa non-nasional atau trans-nasional, seperti ideologi atau agama; melakukan serangan langsung terhadap kultur musuh, dan mampu melancarkan perang psikologis amat canggih, dalam hal ini melalui manipulasi media.     
Kemudian dalam kaitannya dengan konteks Indonesia, Ninok pun mengungkapkan bahwa dengan melihat kondisi nasional yang belum kokoh, perpolitikan masih tinggi, sementara keadaan perikehidupan rakyat pada umumnya masih jauh dari sejahtera, potensi Perang Asimetrik tampak riil di Indonesia. Potensi ini jauh lebih riil daripada potensi invasi oleh satu negara asing.
 Dalam pergulatan pemikiran merumuskan strategi pembangunan multidimensi hendaknya kita tidak terjebak pada paragdima mempertentangkan antara kebangsaan nasional atau nasionalisme dan pasar. Pola berfikir seperti itu, yang diwarisi semenjak konstelasi perang dingin mengemuka, dikhawatirkan hanya menyeret kita semua dalam perasaan inferioritas terselubung, yang akan semakin memperburuk perbincangan ke arah menang-kalah, menghalangi berkah terpecahkannya masalah ke-Indonesia-an yang sudah menumpuk setinggi mata memandang. Retorika demikian juga tak terlampau berguna dan sudah kehilangan relevansinya, mengingat zaman sudah berubah banyak terutama setelah internet memasuki ruang pribadi menerobos sekat kehidupan individu di muka bumi, yang membuat batas-batas kolektif lenyap.    
Kembali ingin diingatkan, agar eksperimentasi pembangunan satu dimensi berbasis pada kebangsaan nasional atau pasar saja, yang terbukti mewariskan citra kegagalan orde lama dan orde baru, patut dicegah kelanjutannya di era orde reformasi ini.  Hendaknya keinginan mencari solusi ke masa aktual sekarang dan merengkuh cita-cita masa mendatang, dilakukan dengan cara bekerjasama  antar elemen bangsa, terutama yang paling penting dalam menyusun platform excellence formulasi strategi pembangunan multidimensi yang  mencerap dialektika aspiratif semangat kebangsaan nasional dan pasar global secara proporsional, demi terwujudnya soliditas mayoritas manusia Indonesia. Sudah saatnya rakyat tidak dipinggirkan, karena mereka pun memiliki hak menyejarah, menjadi bagian sejarah yang alamiah dan tidak terasingkan. Bukan sekadar korban dari strategi pembangunan yang dangkal dan impersonal.  
Kesadaran masa lalu memberi kita wawasan lebih bebas terhadap masa kini dan memperbesar wewenang dan tanggung jawab kita kepada masa depan. Akhirnya pemahaman terhadap sejarah perlu terus menerus disadari, ditularkan dan digelorakan dari generasi ke generasi, karena sejarah adalah “sisi batin kita terdalam” sebagai rongga tempat para leluhur kita berkumpul menyampaikan  pesan-pesan luhur dan sarat makna akan pentingnya tanah-air yang dulu ditebus oleh nyawa dan dibalut robekan merah-putih dari tetesan air mata dan darah. Atau paling tidak, sebagaimana dikatakan oleh Leibniz: “on recede pour mieux sauter”,  manusia mundur untuk dapat melompat lebih tinggi.

                                                                                                Jakarta, 11 Januari 2012
                                                                                                                                          Faisal Afiff
                    

0 komentar:

Posting Komentar