.


Rabu, 04 Januari 2012


Kata Pembuka di Awal 2012
Rekan-rekan sejawat yang saya cintai,
Malam tahun baru, sejenak telah kita lewati, meninggalkan kesan masa lalu dan sekaligus pesan masa mendatang. Di tahun  lalu saya tampil di rubrik kolom ini menyajikan buah pikiran dengan serangkaian kolom yang akan dituangkan keseluruhannya dalam sebuah buku dengan judul Spirit Kepemimpinan Era 2014, yang segera bisa diperoleh bukunya oleh para peminat. Di tahun ini, saya akan mengisi kolom dengan serangkaian tema baru lagi yang mudah-mudahan semakin menginspirasi rekan-rekan sejawat. Masukan dari rekan-rekan sejawat secara on-line saya terima dengan terbuka, dan kolom di bawah  ini merupakan jendela-masuknya.

Memasuki Tahap Konsolidasi dan Integrasi
Kekuatan Bangsa
Reformasi dan pesta demokrasi telah sampai pada ambang kejenuhan, yang dalam periode tersebut Indonesia hanya menjadi tontonan dunia luar saja, sementara negara tetangga semacam Malaysia hanya tersenyum simpul menyaksikan sorak-sorai ephoria anak bangsa, tanpa sedikitpun terpengaruh atau ingin meniru “perubahan” ala Indonesia- dengan tidak memberi celah sedikitpun pada Anwar Ibrahim sebagai pembaharu - kecuali mengambil keuntungan saja dari situasi yang keruh. Setelah banyak membuang energi berpesta pora menyulut petasan, mercon dan kembang api, keheningan sejenak menghinggapi kita: akan kemanakah bangsa Indonesia ini dibawa  para pemimpinnya?
Kalau di akhir tahun 2011 adalah tahap dimana kita melakukan re-evaluasi, maka mengawali tahun 2012 seyogyanya kita menghimpun kembali segenap kekuatan bangsa yang masih tersisa, apakah itu aset kebudayaan, sumber daya manusia, kepemimpinan, sumber daya alam dan terlebih lagi adalah merekonstruksi cara berpikir serta cara pandang kita terhadap pelbagai aspek, baik ke dalam maupun aspek-aspek lingkungan yang terus berubah dengan cepat. Menyusun kembali infrastruktur jalinan berbangsa dan bernegara  dalam  struktur yang kokoh. Namun periode kepemimpinan formal yang sekarang ini tinggal menyisakan  tahap akhir masa pemerintahannya, bukanlah  memasuki babak periode kepemimpinan baru. Seyogyanya periode orde reformasi tahap transisi ini segera berakhir, masuk ke dalam babak baru pencerahan dan kejayaan bangsa. Dua tahun dalam masa penantian babak baru tersebut menjadi terasa lama – dalam siatuasi kepemimpinan yang kehilangan arah dan inspirasi - apalagi dihadapkan pada  berbagai urgensi yang mendesak saat ini.
Menengok ke sejarah masa lalu, apa yang yang pernah dilakukan kaisar Agustus (Octavianus) di Romawi  berkisar di abad 27 SM, dapat direnungkan sebagai proses pembelajaran ketika ia mengubah sistem pemerintahan republik - dengan determinasi kepemimpinan yang kuat - ke sistem kerajaan. Kaisar Octavianus dianggap sebagai administrator piawai yang cakap dalam mengatur urusan pemerintahan sipil dan pelayanan masyarakat. Dia merombak sistem perpajakan dan sistem keuangan negara Romawi, menata kembali angkatan bersenjata dan membangun angkatan laut yang permanen. Juga membangun jaringan jalan raya yang luas di segenap wilayah kekuasaan Romawi, membangun perumahan rakyat yang layak dan indah, kota-kota diperindah dan di perluas; Octavianus adalah contoh pemimpin dan negarawan bijak yang berhasil menutup celah-celah perpecahan  yang ditimbulkan oleh ketidak-puasan dan ancaman perang saudara. Dengan determinasi kekuasaannya, Octavianus melontarkan isu ingin kembali membangun sistem republik, tentu saja disaat kekuatan senat  sudah jinak  dan murah hati, yang akhirnya bersedia mempersembahkan jabatan  apa saja yang dipilih Octavianus di masa hidupnya. Negara Romawi berhasil melewati tahap transisi dari bentuk pemerintahan sistem republik yang rentan perpecahan ke sistem kerajaan, dan Octavianus berhasil memimpin kerajaan Romawi dengan stabil selama 40 tahun. Keadaan dan situasi dalam negeri aman tentram di bawah Octavianus, sumber daya alam memberikan kemakmuran besar untuk rakyat. Keadaan ini mempengaruhi seni budaya yang berkembang, sebagai suatu zaman emas bagi kesusastraan Romawi. Meski ia harus mengusir budayawan Ovid karena rasa tidak senang semata. Namun dibalik itu, muncul pengarang-pengarang besar baru di Romawi, seperti Virgil, Horace dan Livy.
Kembali pada permasalahan di Indonesia yang belum kunjung berhasil menemukan calon pemimpin yang kuat dan kokoh, maka model pemerintahan kolektif-kolegial  dapat didiskusikan, yakni berupa kepemimpinan presidium dengan wibawa dan karisma para sultan atau raja di nusantara perlu secara intensif diperkenalkan, dengan tanpa menyalahi konstitusi yang ada. Dalam sejarah,  semua perubahan fenomenal dapat dilakukan  dengan dimulai adanya gagasan terobosan dari para pencetusnya. Ciri khas dan keantikan masing-masing kesultanan dan raja di nusantara merupakan sumber daya yang dapat menghidupkan kembali “economical-herritage” yang tengah kita tingkatkan akhir-akhir ini, dengan begitu proses “pengkayaan” budaya dan sejarah Indonesia makin dapat dipercepat. Sebagaimana di saat kekuasaan Octavianus, negara Romawi terkenal karena keantikannya, bukan hanya sebagai pusat kebudayaan purba, akan tetapi juga sebagai penyalur utama gagasan dan peradaban budaya berbagai bangsa di dunia, seperti Mesir, Babylonia, Yunani dan bangsa-bangsa lainnya di eropa barat. Paling tidak bagi bangsa Indonesia adalah merintis penyebaran gagasan budaya ke asia tenggara atau bahkan ke asia. Dengan demikian perspektif pandangan bhineka tunggal ika dan pluralisme merupakan kendaraan yang efektif dalam mengakselerasi kemajuan-kemajuan di bidang peradaban bangsa polinesia, sementara stabilitas kehidupan bernegara dapat dipertahankan secara lebih berakar melalui ketahanan budaya yang dikendalikan oleh mekanisme kepemimpinan  kolektif-kolegial.
Infrastruktur modern yang telah kita bangun dan telah kita koreksi tentunya harus tetap dikembangkan, sebagai isyarat bahwa peradaban ini bukan berjalan mundur namun melaju pesat ke depan. Sudah sejak era orde baru, bahwa dunia swastalah yang mulai mempelopori dibangunnya manajemen dan keorganisasian dengan konsep modern, sebagai konsekuensi atas tantangan dunia bisnis yang semakin dinamis dan kompetitif serta kebutuhan negara akan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Meskipun dalam periode tersebut sempat terjadi “krisis-konglomerasi” akibat terjadinya praktek KKN, namun prinsip-prinsip diterapkannya praktek-praktek manajemen modern telah dimulai.  Di sektor publik, pemerintah dapat memanfaatkan dan menerapkan kehandalan model manajemen swasta. Belgia adalah suatu contoh negara monarki yang menerima pasar bebas, sama seperti negara-negara eropa lainnya. Berkisar antara periode tahun 1945-1950, Belgia menghadapi suatu tugas besar, yakni mengembalikan perekonomian  pada jalur yang benar. Pasar bebas ternyata tidak memiliki kesanggupan mengatur dirinya sendiri secara proporsional, terutama dalam membendung semua konsekuensi yang terjadi akibat suasana ketidak stabilan dan pengangguran selama berlangsungnya krisis ekonomi. Intervensi pemerintah dilakukan, dengan mengurangi dampak buruk akibat ketidak sempurnaan dari diberlakukannya pasar bebas. Melalui intervensi terarah, terutama antara periode tahun 1950-1960, telah terjadi lompatan kesejahteraan spektakuler, dan ketika terulang kembali gejolak perekonomian di tahun 1970, instrumen masa lalu kemudian diaktifkan kembali dengan membuka investasi di sektor riil berskala besar yang membuka seluas-luasnya kesempatan lapangan kerja. Dalam  konteks ini, organisasi-organisasi swasta lebih tanggap diberdayakan agar mengoptimalkan potensi masyarakat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Semenjak adanya upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif oleh pihak pemerintah dipadukan dengan praktek efisiensi dan manajemen modern secara lebih baik lagi, mulai tampak terjadinya dinamika positif yang sangat menonjol disektor swasta. Pembelajaran sektor publik dari sektor swasta adalah, menghilangkan keterbatasan anggaran dan ketidak efisienan sektor publik, melalui penyehatan dan efisiensi, yang keberhasilannya telah ditunjukkan oleh sektor swasta. Dari kasus ini Indonesia dapat belajar, bahwa penciptaan efisiensi dapat dilakukan oleh sektor publik dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan institusional dan organisasional yang menyerupai sektor swasta. Maka perlu ada suatu gerakan yang bercita-cita menata ulang fungsi administratif secara berbeda, suatu program penataan kembali ke dalam diri organisasi publik yang di dorong oleh perlunya suasana kompetitif, melalui persaingan prestasi, privatisasi, kerjasama publik-swasta, baik di lingkungan internal maupun eksternal dari organisasi publik: tujuannya agar mampu berinteraksi dengan kinerja pasar yang terus tumbuh, dan tidak sebaliknya dianggap hanya sebagai faktor penghambat. Oleh karena itu “swastanisasi” di semua sektor perlu dilakukan. Hal ini juga yang dilakukan oleh Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore yang mencanangkan  program restrukturisasi berskala besar administrasi pemerintahannya. Tugas lain pemerintah, pertama melakukan alokasi dan/atau relokasi, dimana pemerintah bertanggung jawab untuk mengerahkan secara optimal keseluruhan sarana/prasarana yang tersedia agar bisa dimanfaatkan bagi pemberdayaan faktor-faktor produksi dalam sektor swasta. Kedua, melakukan pemerataan melalui pungutan pajak dan asuransi sosial untuk mempercepat pemerataan kemakmuran melalui subsisidi silang. Dan ketiga, melakukan stabilisasi, menjaga setiap kemungkinan terjadinya krisis dan bahkan menghindari sebelum hal itu terjadi.
Singkatnya di Indonesia, perlu adanya upaya konsolidasi dan pengintegrasian secara kreatif antara faktor-faktor tradisi dan faktor-faktor modern sejalan dengan arah globalisasi interaksi peradaban antar bangsa di dunia, yakni dengan mempertahankan stabilitas, kepribadian dan akselerasi kemajuan ekonomi demi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, dimana Indonesia diakui sebagai bangsa yang bermartabat, berbudaya dan terlebih bangsa yang memiliki kesinambungan sejarah yang tidak mudah dibelokkan, dimana prinsip-prinsip pancasila dan sumpah pemuda tetap menggema di bumi persada. Bangkitlah Indonesiaku!
                                                                                                                        
                                                                                                                        Jakarta, 4 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar