.


Rabu, 04 Januari 2012

Kepemimpinan Ke Depan


Kata Pengantar Rubrik Kolom
Diujung Tahun 2011

Rekan-rekan sejawat yang saya cintai,
Tulisan ini merupakan akhir tulisan saya di penghujung tahun 2011, dari rangkaian serial kolom saya yang pernah dimuat di rubrik ini. Mudah-mudahan rekan –rekan terinspirasi dengan hadirnya rubrik ini.  Agar hasil yang dicapai optimal, untuk selanjutnya saya akan padukan seluruh kolom yang pernah termuat tersebut kedalam sebuah buku – dengan lebih disempurnakan – yang semoga di awal tahun 2012, buku tersebut sudah dapat  dimiliki oleh rekan-rekan sejawat  yang berminat. Tiada lain, semoga ke depan rubrik semacam ini akan lebih semarak, dengan terlontar berbagai gagasan segar dari rekan-rekan sejawat untuk kemajuan dan kejayaan almamater kita tercinta. Insya Allah, di tahun 2012 sayapun akan terus berusaha mengisi rubrik ini dengan tema-tema lain yang mudah-mudahan lebih menarik. Akhirul kata, sekali lagi saya ucapkan selamat Tahun Baru 2012, jaya selalu almamater anda tercinta.

Kepemimpinan ke Depan
Dalam buku saya yang terbit diawal tahun 2011 dengan judul “meretas pemikiran strategic pemecahan masalah di Indonesia melalui teropong ekonomi, politik dan psikologi”, penulis sempat mengupas sepintas tentang kepemimpinan  di era transisional, yang kemudian melahirkan beragam sosok politisi era reformasi, dengan kemampuan oral dan verbal  yang baik, yang sempat membuat gaduh republik ini, namun disayangkan tidak satupun yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, sehingga reformasi bagaikan “bola liar” yang tidak ada kendalinya. Eforia dan hiruk-pikuk  reformasi tersebut disamping tak jelas arah tujuannya, dengan biaya sosial-politik yang besar, namun hanya menyisakan puing-puing kekecewaan. Perkataan almarhum Gus Dur ada benarnya bahwa para politisi senayan itu bagaikan “arena taman kanak-kanak”  yang baru bangun dari lelap tidur panjang, kemudian ketika ada kesempatan “berisik”nya bukan main.
Seting yang melatari perilaku para politisi ini  bisa ditelusuri dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang sempat mengalami era gaya kepemimpinan yang berbeda dari setiap periode kekuasan, baik yang bercorak orde lama, orde baru dan orde reformasi. Kita mengetahui di era orde lama lebih mengedepankan politik sebagai panglima,  orde baru lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dengan mengejar pertumbuhan dan stabilitas, sedang di era reformasi merupakan periode transisi yang sangat rentan perpecahan, dengan dalih demokratisasi dan konsep “federalisasi” ala Amien Rais. Di masa orde lama, khususnya di masa transisi kemerdekaan, telah melahirkan banyak tokoh politisi dan negarawan berkelas, dengan watak dan kepribadian yang kuat. Kita bisa mengenang tokoh-tokoh seperti Agus Salim, Sutan Syahrir, Natsir, Wahid Hasyim, Sudirman, Sukarno dan Hatta, dan yang tak kalah kontroversial dan misteriusnya adalah Tan Malaka. Meskipun periode selanjutnya kekuasaan terkonsentrasi pada figur Bung Karno, tokoh karismatik dan orator ulung yang sempat memikat rakyat Indonesia khususnya dan dunia umumnya, dengan retorika dan gaya pidatonya, sering orang mensejajarkannya dengan Nehru, Kennedy, Kruschev sebagai tokoh yang disegani. Ketika masa keemasannya meredup dan diredupkan, kemudian seorang sosok militer kelahiran desa Kemusuk menggantikan Soekarno, dengan gaya kepemimpinan yang lebih “bercorak Jawa”. Pada awal periode pemerintahannya banyak orang yang masih meragukan kualitas kepemimpinan Soeharto, namun lambat tetapi pasti ia berhasil menganyam jaring tali-temali kekuasaan yang menggurita dengan memadukan kekuatan militer dan birokrasi serta penyederhanaan jumlah partai politik lengkap dengan  ketua parpol bonekanya, tidak dinyana kekuasaannya terus bergulir dan berakar sampai periode kurang lebih tiga puluh lima tahun. Dialah Soeharto, yang tampil di depan publik selalu berpembawaan formal, berwibawa,serta determinasi kekuasaannya terpancar dengan nuansa perpaduan protokoler militer dan aura raja jawa. Pembangunan ekonominya dianggap berhasil - meskipun menjadi negara pengutang – namun lambat laun rakyat merasakan kesejahteraan buah dari kepemimpinannya, meskipun ada kekangan terhadap menyatakan pendapat dan berekspresi. Di era ini muncul ekonom-ekonom tangguh yang sering dianalogikan dengan “mafia Barkley”, seperti Widjojo, Emil Salim, Ali Wardana, Sumarlin dan Saleh Afiff yang meletakkan dasar ekonomi perencanaan oleh negara (BAPPENAS), terkenal dengan tahapan REPELITA beserta delapan jalur pemerataannya. Lahirnya kepemimpinan dan tokoh masyarakat di era ini tidak lepas dari seleksi, kontrol dan monitoring dari pusat-pusat kekuasaan, sehingga proses pembentukkan kepemimpinan tidak terjadi secara alami. Pemerintah atau kekuasan politik pada waktu itu memiliki perekayasaan yang canggih, baik terang-terangan ataupun terselubung, untuk menghambat dan melapangkan jalan bagi siapa saja calon pemimpin yang hendak tampil di panggung nasional. Berbeda dengan di  era orde lama para pemimpin politik banyak bermunculan hampir tanpa katrolan, bergerak dan bergesekkan dari bawah dengan potensi terasah dan merangsek tahap demi tahap menuju puncak. Di era orde baru tokoh pemimpin muda pun tidak mudah melenggang masuk ke kancah elit, jika tidak melalui saluran-saluran organisasi  “under-bow” pemerintah yang sudah disediakan seperti KNPI dan organisasi-organisasi ormas lainnya. Bagaimanapun dalam era ini, tidak sedikit muncul tokoh-tokoh politik yang memiliki kecerdasan dan kematangan yang mampu mengatur “keseimbangan” kekuatan politik yang berjalan hampir tanpa adanya konflik vertikal maupun horisontal, sehingga  “stabilitas nasional” mampu dipertahankan dengan baik, di era ini muncul tokoh-tokoh sekaliber Ali Murtopo, Sarwono, Sudharmono, Abdul Gafur, Akbar Tanjung, Harmoko dan sederetan tokoh militer, yang berhasil menjalankan mesin politik Golkar dengan sangat efektif. Tokoh-tokoh yang kecerdasannya diakui, meski karakter dan integritasnya mungkin masih diragukan, mereka banyak ditemui di dalam kancah pangung perpolitikan di era orde baru ini.
Yang runyam adalah periode orde reformasi, kekuatan “people-power” dan mahasiswa yang berhasil melengserkan kepemimpinan Soeharto, terjebak dalam periode transisi yang berkepanjangan, dengan tidak ditemukannya lagi figur kepemimpinan yang kuat yang mampu mempersatukan dan meyakinkan masyarakat. Figur-figur yang sebelumnya diharapkan mampu mengatasi krisis-multidimensi dan instabilitas justru mengalami kemerosotan kewibawaan,  akibat terus-menerus dirongrong oleh para petualang politik di tingkat legislatif, sehingga tokoh reformis-ambisius semacam Amien Rais pun terpental tidak mendapat tempat dalam pucuk kepemimpinan formal, kecuali selaku ketua MPR, yang selanjutnya ia membentuk kaukus poros-tengah untuk membendung kekuatan Megawati, sehingga memunculkan Gus Dur sebagai pucuk kepemimpinan formal nasional. Dalam hal ini kecerdasan tokoh-tokoh Golkar yang sudah sangat terasah melanggengkan kekuasan selama orde-baru kembali piawai memainkan situasi, sehingga partai yang nyaris dibubarkan ini mampu lolos dari situasi kritis dan terbukti sampai saat ini masih menguasai panggung perpolitikan nasional. Figur-figur reformis muncul bergantian dalam tampuk kepemimpinan nasional-formal dalam waktu yang singkat, mulai dari Habibie, Gus Dur dan Megawati, sementara figur-figur lain seolah kehilangan momentum untuk melanjutkan agenda reformasinya, baik figur  Sultan, Cak Nur apalagi Amien Rais, dengan munculnya sosok  SBY sebagai figur militer yang tiba-tiba muncul dengan partai demokratnya sebagai pemenang pemilu. Rupanya rakyat Indonesia sudah jenuh dengan berbagai hiruk-pikuk  eforia reformasi yang tak berujung itu, tokoh-tokoh reformis akhirnya rontok dan tersingkir dari “gelanggang” sebagai korban situasi dan kondisi yang seolah direkayasa  tangan-tangan halus yang berhasil menggrogoti ketokohan mereka. Rakyat mulai memimpikan kehadiran figur-figur kuat kebapaan, seperti halnya Soekarno dan Soeharto yang dianggap berhasil dalam menjalankan tampuk kepemimpinan dan memberikan suasana aman dan kepastian, sementara banyak tokoh yang hanya menciptakan huru-hara, pertengkaran, debat tiada habisnya yang melelahkan mereka. Dan sosok yang dicari itu tergambar dalam postur SBY, pemeran tokoh Soeharto yang lebih demokratis dan manusiawi. Lahir kembalinya Soeharto yang lebih manusiawi inilah yang ada dalam benak dan “bawah sadar” masyarakat, sehingga mereka menambatkan hatinya pada figur SBY, yang melekat citra militer – yang belakangan justru dikecam tidak tegas – kebapaan, santun dan manusiawi, bahwa dirinya juga teraniaya dengan fitnah dan ancaman pembunuhan, dan ia mengajak rakyat menangis berpelukan bersamanya akan getir dan pahitnya kehidupan, sehingga ia berhasil mempertahankan kekuasan dalam dua periode kepemimpinan nasional dengan memahami denyut dan psiko-sosial bawah sadar masyarakatnya.
Era kepemimpinan Indonesia ke depan jelas harus lebih memahami tentang kondisi sosio-kultural dan sosial-psikologis masyarakat, mengingat ke depan era pemilihan langsung sudah semakin melembaga sehingga rakyat adalah faktor dominan dalam menentukan siapa pemimpin yang muncul ke depan. Di era reformasi kita telah banyak belajar, betapa carut-marutnya suasana perpolitikan di Indonesia saat itu. Kita hampir tidak pernah disuguhkan pentas perpolitikan dengan sajian yang cantik, unik, menarik dan berkelas. Semuanya serba serabutan yang penuh dengan hujatan, cacian dan makian, tatanan norma dan budaya khas ketimuran telah diaduk-aduk dengan demokrasi “ala-cowboy” itu. Figur Gus Dur yang dihormati oleh hampir semua kalangan dan golongan sebelum menjadi presiden, setelah menjadi presiden ketokohannya dimerosotkan menjadi bahan ledekan dan gurauan, sebagai puncak kemrosotan budaya dan peradaban anak bangsa sampai ketika ia dilengserkan. Era reformasi adalah era dimana nafsu, ambisi, rasa tidak tahu-malu, egoisme,  dipagelarkan dalam panggung “srimulat” yang acap memalukan. Manusia-manusia yang tadinya tidak dikenal keberadaannya, tiba-tiba bermunculan di panggung senayan lengkap dengan segala “anekdot”  wakil rakyat yang baru melek demokrasi, dengan berbagai skandal dan ulah yang mengejutkan, sehingga menjadi santapan empuk para politisi wajah lama yang sudah sangat piawai.
Bawah sadar masyarakat selalu memimpikan jaman keemasan, dan jaman keemasan itu biasanya tidak merujuk ke masa depan, melainkan akan lebih nyaman merujuk kepada “jejak memori masa lalu”, itulah masyarakat kita yang lebih menyukai spekulasi tentang kedatangan ratu adil dan ramalan joyoboyo. Pemilih masyarakat terdidik mungkin akan lebih menggunakan kriteria atau parameter rasional, namun sebagian besar masyarakat di pelosok negeri mungkin masih terpengaruh oleh alam pikiran yang irasional dalam  memilih dan menentukan pemimpin mereka ke depan, disamping menjamurnya kecurangan dan politik uang. Orang berpendidikan pun sama memimpikan munculnya masa keemasan di bumi pertiwi ini. Ketika Profesor Santos dari Brasil -yang belakangan di dukung oleh temuan Openheimmer- menyatakan argumentasinya bahwa peradaban atlantis itu sebenarnya dulu adalah di Indonesia, bawah sadar kita menginginkan bahwa masa keemasan itu memang ada, buku itu banyak dibaca oleh kalangan terdidik. Masa lalu lebih memberikan rasa aman dan pelipur lara, sementara masa depan adalah ketidak-pastian, maka apa yang pernah diraih di masa lalu lah yang harus terjadi di masa depan Indonesia. Oleh karena itu ketika orang dikecewakan oleh pencapaian masa kini, biasanya mereka menyukai untuk bernostalgia tentang keindahan masa lalu, seperti masa-masa berpacaran atau berbulan madu. Begitu juga perhatian masyarakat pernah tersita untuk menyaksikan prosesi perkawinan di kerajaan Inggris, belakangan pun orang tersita dengan perkawinan putri sultan di kraton Jogyakarta, dan yang terjadi baru-baru ini dengan perkawinan Ibas putra SBY dengan putri Hatta Rajasa, dengan suasana adat-istiadat istana jaman keemasan Sriwijaya, masyarakat kecil berbondong-bondong ingin menyaksikan secara langsung atau melalui televisi, dimana secara bawah sadar masyarakat masih menyukai dan terhibur oleh dongeng-dongeng cerita putra-putri raja-raja.
Indonesia dengan masyarakat dunia lainnya tengah masuk keabad modern penyatuan dunia, yang semuanya menjadi lebih mudah dan lebih dekat. Namun demikian – seperti kata psikolog Jung –  bawah sadar masa lalu adalah dimensi unik yang tidak bisa diabaikan sebagai endapan sejarah manusia, Mereka adalah bagian yang integral dalam eksistensi manusia sehingga ia akan selalu seimbang. Dialektika masa lalu, masa kini dan masa yang akan datanglah yang menyebabkan manusia terus dapat berevolusi secara sinambung dan seimbang. Tipologi kepemimpinan masa depan harus merepresentasikan harapan masyarakat seperti demikian, yang masih dan akan terus dipengaruhi oleh dimensi rasionalitas dan irasionalitasnya. Tipologi kepemimpinan yang merepresentasikan kepekaan akan sejarah, budaya, sosok panutan dan kebapaan, yang kesemuanya membawa impian-impian akan hari esok dan kepastian yang lebih cerah, serta toleran akan kemajemukan dan perbedaan, merupakan sosok yang masih akan disukai orang. Bisa jadi peristiwa pernikahan pembesar negara di istana Bogor akhir-akhir ini merupakan alternatif isyarat-dini imajinasi suksesi kepemimpinan di masa depan, melalui kemasan budaya. Fenomena diatas merupakan sesuatu hal yang sangat menarik dan dinantikan oleh seluruh masyarakat pada saat suksesi kepemimpinan di era 2014.

Jakarta,27 Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar