WAJAH BARU KEPEMIMPINAN
Pentingnya peran kepemimpinan dalam
organisasi, telah menggugah minat para peneliti dan ilmuwan untuk lebih memahami,
mendefinisikan, dan menjelaskan esensi kepemimpinan khususnya di era abad ke 21
ini. Dalam upaya mereka untuk menemukan definisi
kepemimpinan yang tepat dan akurat, ribuan penelitian di tingkat global telah
dipublikasikan hanya dalam beberapa dekade terakhir saja. Sebagian besar studi
telah berfokus pada kualitas pribadi dan keterampilan seseorang untuk
memperoleh penjelasan tentang kepemimpinan. Para ilmuwan sosial telah mencoba
mengidentifikasi kemampuan, sifat, perilaku, sumber kekuasaan atau aspek
situasi yang menentukan seberapa efektif seorang pemimpin dapat mempengaruhi orang lain. Bertentangan dengan
periode sebelumnya, istilah "kepemimpinan"
telah menjadi kosa kata populer yang telah menambah perbendaharaan kata baru dewasa ini. Bahkan di akhir abad ke-19, kata tersebut belum
sepopuler seperti dewasa ini, meski kata "raja", “kaisar”, "sultan"
dan “saudagar” telah memiliki sejarah lebih lama untuk menggambarkan figur
otoritas pemimpin. Kelahiran dan evolusi dari gagasan "kepemimpinan"
berfokus pada konsep yang jauh lebih kompleks yang telah melampaui batasan pengertian
kepemimpinan tunggal dan formal selama ini. Malah definisi kontemporer telah
menolak gagasan konsep kepemimpinan yang hanya berkisar pada kemampuan figur
seorang pemimpin, perilaku, gaya atau karisma, meskipun hal ini masih tetap
penting. Dewasa ini, para ilmuwan membahas sifat dasar kepemimpinan dalam
konteks "interaksi" antara orang-orang yang terlibat dalam proses,
yaitu antara pemimpin dan pengikut. Dalam perspektif ini, kepemimpinan bukanlah
hasil karya dari satu orang saja, melainkan sebagai "usaha
kolaboratif" di antara anggota kelompok. Oleh karena itu, esensi dari
kepemimpinan bukanlah hanya memimpin an sih, melainkan suatu gabungan dari
efektivitas suatu hubungan. Adanya transformasi konsep kepemimpinan ini
merupakan bahan bagi suatu pemikiran ulang berkenaan dengan definisi kepemimpinan. Joseph Rost
dari University of San Diego
merupakan salah seorang penulis paling populer yang telah mencermati pergeseran
konsep kepemimpinan pada tahap industri (suatu bentuk kepemimpinan terpusat) ke
paradigma yang di sebut sebagai konsep kepemimpinan pasca-industri. Dalam bukunya tentang kepemimpinan dengan judul Abad
ke 21, Josept Rost mengartikulasikan definisi kepemimpinan berdasarkan
perspektif pasca-industri ini. Yaitu suatu definisi yang ia percaya lebih
konsisten dan relevan dengan kehidupan organisasi kontemporer. Definisi dari
Joseph Rost mengatakan bahwa kepemimpinan adalah hubungan saling pengaruh
antara pemimpin dan pengikut yang berniat melakukan perubahan nyata untuk
mencapai tujuan bersama. Definisi kontemporer dari kepemimpinan, paling tidak
ditentukan oleh empat komponen dasar, yang masing-masing sangat penting dan
harus hadir jika suatu hubungan tertentu layak untuk disebut sebagai kepemimpinan.
Pertama, hubungan yang didasarkan
pada pengaruh. Dalam konteks ini pengaruh bersifat multi-arah, yang berarti
bahwa pengaruh tidak selalu harus bersifat
top-down dan tidak boleh bersifat
memaksa. Dengan perkataan lain, sifat hubungan ini tidak didasarkan pada
kekuatan otoritas melainkan pada pendekatan persuasi. Kedua, para pemimpin dan pengikut adalah orang-orang yang terlibat
dan berperan pada situasi hubungan ini. Dengan
demikian, jika kepemimpinan didefinisikan sebagai hubungan, maka keduanya baik
pemimpin maupun pengikut secara bersama-sama tengah melakukan suatu proses kepemimpinan.
Dalam kaitan ini, Joseph Rost tidak berarti mau mengatakan bahwa kedua
pemain dalam hubungan ini adalah sama dan setara, baik dari sisi pengaruh maupun
partisipasi aktif. Ketiga, Pemimpin
dan pengikut beritikad melakukan perubahan nyata. Yang dimaksud dengan
beritikad berarti bahwa pemimpin dan
pengikut menggagas dan sengaja mencari terobosan perubahan. Adapun yang
dimaksud dengan perubahan nyata oleh
para pemimpin dan pengikut ini tentunya harus bersifat substansial. Keempat, melalui perubahan ini para pemimpin
dan pengikut bertekad mewujudkan tujuan mereka bersama. Yang menjadi faktor kunci
adalah bahwa sesuatu perubahan yang diinginkan oleh mereka, tidak hanya harus mencerminkan keinginan
pemimpin semata tetapi juga menyertakan keinginan dari para pengikutnya. Joseph
Rost telah mengingatkan bahwa kepemimpinan tidak hanya menyoroti apa yang
dilakukan para pemimpin. Sebaliknya, suatu proses kepemimpinan lebih menyoroti
apa yang para pemimpin dan pengikut lakukan bersama-sama untuk kebaikan
bersama. Dalam organisasi saat ini, pemimpin beroperasi dalam suatu lingkungan dengan
bersinergi bersama para pengikutnya. Tidak lagi penting apakah seorang pemimpin secara
individual memiliki semua jawaban dan kekuatan untuk melakukan perubahan
substansial. Sebaliknya, dalam kacamata saat ini, dunia menyadari bahwa begitu banyak orang berpartisipasi dalam
kepemimpinan, meski terdapat suatu pemilahan yaitu sebagian berperan sebagai
pemimpin dan yang lain sebagai pengikut. Hanya ketika semua orang bekerja
bersama-sama yang akan membawa pada suatu perubahan yang sukses untuk mencapai
suatu tujuan bersama. Banyak teori organisasi menyetujui definisi Rost yang
dianggap lebih konsisten untuk jenis kepemimpinan yang diperlukan dalam
masyarakat kontemporer dewasa ini. Secara perlahan para ilmuwan dan praktisi
sama-sama menyerah dan menanggalkan cara-cara lama kepemimpinan peninggalan
paradigma tahap industri. Yaitu suatu pendekatan tradisional jenis kepemimpinan
yang ditandai oleh filosofi top-down,
di mana peran pemimpin perorangan lebih bersifat dominan, dengan suatu
pendekatan efisiensi dan kendali yang hampir tanpa emosi. Perubahan cara
pandang terhadap paradigma kepemimpinan juga dapat ditemukan dalam disiplin
lain di mana sebelumnya pandangan terhadap organisasi lebih menuntut deskripsi
yang lebih bersifat obyektif, tunggal, mekanik, hirarkis dan terkendali.
Paradigma kepemimpinan pasca-industri, di sisi lain, ditandai dengan fasilitasi
kerjasama, pembagian kekuasaan dan pemberdayaan. Suatu pandangan baru dunia
yang lebih kompleks dan beragam, saling membentuk yang secara spontan terus berubah.
Howe dan Freeman telah melakukan studi sejalan
dengan peningkatan jumlah perguruan tinggi yang menawarkan program-program persiapan
kepemimpinan para mahasiswa. Hampir 600 perguruan tinggi termasuk universitas
saat ini menyediakan bagi para mahasiswa kesempatan untuk mengikuti pelatihan
kepemimpinan, mulai dari lokakarya singkat
yang berlangsung selama satu atau dua jam saja bagi program sarjana penuh dan
gelar master. Meskipun para pendidik melihat tren pelatihan kepemimpinan ini
sebagai menggembirakan, maka hasil penelitian dari Center for Creative Leadership, mengatakan bahwa banyak dari
program ini masih mengajarkan "cara lama" dalam hal kepemimpinan.
Meskipun ada beberapa pengecualian, banyak program pengembangan kepemimpinan
telah gagal mengubah pendekatan pelatihannya, terutama metoda pelatihan yang mencerminkan
pandangan baru tentang kepemimpinan dan tuntutan perilaku organisasi.
Joseph Rost telah mengingatkan bahwa
program pengembangan kepemimpinan yang identik dengan perkembangan para
pemimpin secara individual tidak lagi
sesuai. Saat ini semakin disadari bahwa
para pemimpin secara individual bukanlah satu-satunya orang yang terlibat dalam
proses kepemimpinan. Oleh karena itu, model pengembangan saat ini - termasuk
isi dan pedagogi - harus mengakomodasi paradigma kepemimpinan pasca-industri
yang telah berubah. Hal ini berarti bahwa membentuk karakter pemimpin secara
individual tidak lagi memadai untuk abad ke-21 ini. Jika konsep kepemimpinan adalah aktivitas
gabungan dari para pemimpin dan pengikut yang dilakukan secara bersama-sama,
maka adalah logis bahwa pembentukan lingkungan pendidikan tinggi saat ini harus
mencerminkan perspektif kolaboratif. Selanjutnya
Joseph Rost memberikan beberapa rekomendasi bagi mereka yang bertanggung jawab
agar berlangsungnya operasi program pengembangan kepemimpinan di perguruan
tinggi. Pertama, berhenti dari hanya
berkonsentrasi pada pembentukan kepemimpinan individual. Program pelatihan kepemimpinan
yang hanya berusaha untuk menghasilkan kualitas pemimpin tertentu bagi para mahasiswa
kurang berguna lagi. Dalam hal ini, program harus melampaui sifat pemimpin yang terlalu
menekankan pada aspek perilaku dan karakteristik pribadi. Kedua, mempersiapkan para mahasiswa untuk menggunakan pengaruh
dalam pola hubungan yang tidak saling memaksa. Kegiatan program harus melatih para
mahasiswa bagaimana cara menggunakan pengaruh melalui strategi persuasif secara
rasional. Mahasiswa harus didorong untuk bekerja dalam hubungan kepemimpinan
yang didasarkan pada pengaruh timbal balik dan mencapai hasil yang saling
menguntungkan. Ketiga, membantu para mahasiswa
untuk memahami sifat perubahan transformasional. Program pengembangan
kepemimpinan harus berdampak pada perubahan organisasi dalam membangun kepemimpinan
pasca-industri. Sebagai agen perubahan, para lulusan harus belajar untuk terbiasa
menantang status quo, menciptakan
visi baru, dan mempertahankan suatu gerakan perubahan. Keempat, merekonstruksi pandangan dasar para mahasiswa menuju pada
suatu pandangan yang berorientasi kolaboratif. Mendorong para mahasiswa untuk
menantang asumsi-asumsi dasar tentang kehidupan yang didasarkan pada sisi kepentingan
dan persaingan semata. Kepemimpinan pada milenium baru ini jauh akan lebih bersifat kolaboratif, dan karenanya,
program pengembangan kepemimpinan harus mendorong pada pembentukan keterampilan
membuat konsensus, kerjasama, dan kolaborasi, bukan lagi pada kompetisi dan
konflik yang selama ini diilhami strategi perang.
Berikut
adalah pola-pola hubungan yang dapat dikembangkan agar kepemimpinan meraih
suatu keberhasilan: Pertama, mengutamakan hubungan pada prioritas utama. Pemimpin
yang sukses tidak hanya membangun jaringan, tetapi mereka juga harus mampu
memelihara hubungan yang telah dijalin. Mereka menyediakan waktu untuk
bercengkrama baik dengan para klien maupun kolega mereka. Begitu juga,
menyediakan waktu untuk orang-orang yang mereka bina dalam suatu hubungan
pribadi. Tentu saja dibutuhkan banyak energi untuk menjaga hubungan agar
berkembang, namun kesuksesan dapat diraih jika bersedia untuk memasukkan
hubungan tersebut ke dalam skema kerja dan usaha. Sebagaimana dikatakan oleh
Robert Martin: "Menaruh minat pada
apa yang tengah orang lain pikirkan dan lakukan adalah bentuk
dorongan motivasi yang jauh lebih kuat ketimbang dorongan dalam bentuk
pujian." Kedua, memahami
hal-hal yang bermakna dalam kehidupan seseorang. Dalam hal ini penting
memasukkan makna hidup seseorang kedalam pekerjaan dan filosofi bisnis. Banyak
pengusaha, khususnya di abad milenium ini, tengah membangun imperium bisnis
untuk melakukan sesuatu yang akan mempengaruhi dunia. Pemimpin yang sukses tahu
bagaimana menyesuaikan upaya tersebut dengan konteks kehidupan bermakna di
dalam kehidupan organisasi secara internal maupun terhadap lingkungan eksternal
yang lebih luas secara signifikan. Ketiga, mampu menggunakan humor.
Sukses seorang pemimpin berkaitan dengan
perjuangan untuk keluar dari persoalan pelik dan sulit, disaat tekanan dan
tegangan meningkat mereka perlu melawan rasa tertekan tersebut dengan humor. Studi awal berkenaan dengan
humor dan kesehatan telah menunjukkan bahwa humor dapat memperkuat sistem
kekebalan tubuh, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi tingkat stres. Karena
humor membangun emosi positif, juga dapat membantu mengurangi perasaan marah,
depresi, dan kecemasan (McGhee, 2010). Penelitian tambahan di seputar ini
menunjukkan bahwa emosi positif diperkirakan dapat meningkatkan kepuasan dan tahan-banting dalam kehidupan (Cohn et al.,
2009). Yang menarik dari studi ini adalah bahwa semakin stres situasi yang
dihadapi, semakin berhasil para pemimpin
menemukan sisi lucu dari kehidupan yang dapat memulihkan kebugaran emosi
mereka. Keempat, memimpin dan berjuang dengan kekuatan sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Gallup Konsultan telah menunjukkan bahwa
pemimpin yang paling efektif berinvestasi dengan kekuatan tim kerja mereka
sendiri, yaitu dengan mengelilingi diri dengan orang yang tepat untuk
memaksimalkan prestasi tim kerja dan memahami kebutuhan para pengikutnya (Rath
& Conchie, 2008). Pemimpin yang sukses memahami bahwa mereka tidak bisa
menjadi segalanya bagi semua orang agar tetap efektif, selain memiliki
kesadaran mendalam tentang bagaimana memanfaatkan perpaduan unik mereka berupa
kekuatan, keterampilan, dan bakat menjadi kompetensi multitalenta. Kelima,
mengelola pemikiran pesimis. Pemimpin yang sukses mampu mengelola pemikiran
pesimis mereka dalam tiga cara.
a)
Memfokuskan waktu dan energi mereka secara terkendali. Yaitu
mengetahui kapan harus beralih ke pilihan lain, jika strategi tertentu tidak
bekerja lagi atau jika mereka tidak memiliki kendali lagi pada area yang lebih
spesifik;
b)
Mereka tahu persis kapan suatu persoalan berat tersebut akan
berlalu. Pemimpin yang sukses sangat memahami bahwa untuk sementara perjalanan
mungkin berliku dan bergelombang, namun itu tidak akan berlangsung selamanya;
dan
c)
Pemimpin sukses akan mampu melokalisir dan memilah
permasalahan sehingga tidak merembes ke bidang yang lain.
Keenam, menciptakan keberuntungan
sendiri. Para pemimpin yang sukses mengejar tujuan dengan penuh gairah, pantang
mundur dari tantangan, dan tidak membiarkan kegagalan menerpa, dengan
senantiasa berjuang dan bekerja tanpa henti (Duckworth, Peterson, Matthews, &
Kelly, 2007). Ketujuh, mengelola energi tim kerja. Pemimpin bersama-sama
dengan tim kerja berupaya menjaga ritme keadaan kinerja ideal sebagai kinerja
yang berkelanjutan dari waktu ke waktu. Pemimpin yang sukses adalah mereka yang
mahir bergerak diantara pembuangan energi (stress)
dan pembaharuan energi (recovery).
Dalam rangka mendapatkan pembaharuan
energi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan bekerja dalam ritme kinerja
yang ideal, pemimpin yang sukses tahu persis kapan mengisi kembali tangki energi mereka. Ketika
tim kerja dihinggapi tegangan stres yang tinggi, pemimpin yang sukses mengetahui persis bagaimana dan kapan harus beristirahat.
Jika perguruan tinggi benar-benar
bertujuan untuk mempersiapkan kaum muda menerima tongkat estafeta kepemimpinan
untuk abad berikutnya, adalah penting bahwa program pengembangan kepemimpinan
saat ini harus mencerminkan paradigma baru kepemimpinan pasca-industri yang
lebih inovatif dan kolaboratif. Para mahasiswa akan lebih membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi sukses di era
pasca-industri abad ke-21, bukan lagi suatu jenis keterampilan kepemimpinan
individual-sentral peninggalan abad ke-20. Dengan demikian, program pengembangan
kepemimpinan pada perguruan tinggi harus menekankan pada kegiatan pengembangan
kepemimpinan pembelajaran yang benar-benar menumbuhkan semangat kolaboratif
dengan berbekal potensi dan bakat multitalenta yang kaya dimiliki para mahasiswa
saat ini. Viva kepeloporan pengembangan kepemimpinan di perguruan tinggi!
Bandung, 27
Agustus 2012
Faisal Afiff
0 komentar:
Posting Komentar