.


Selasa, 25 Februari 2014

Rangkaian Kolom: Kepemimpinan Altruistik



KEPEMIMPINAN ALTRUISTIK

 In the last analysis, management is practice
 Its essence is not knowing but doing
 It’s test is not logic but result
 Its only authority is performance
(Peter F. Drucker)

            Ilmu manajemen, sebagai salah satu pendekatan disiplin Ilmu Ekonomi, khususnya ilmu bisnis, pada dasarnya masih merupakan suatu pengetahuan yang berusia muda, dan di Indonesia pun relatif baru dikenal. Disamping itu uniknya pula, hingga saat ini, diantara para pakar masih terus berlangsung perdebatan akademik, apakah manajemen itu lebih diposisikan sebagai ilmu-kah atau seni-kah. Tetapi terlepas dari pergulatan ide tadi, manajemen dapat didefinisikan sebagai “the process of planning, organizing, directing, and controlling an organization resources to achieve its goals”.
            Di tanah air sendiri, nyatanya beragam kegiatan pendidikan seputar ilmu manajemen bukan semata-mata merupakan monopoli dari program magister manajemen saja, namun dalam jenjang stara diploma, S1, S2, maupun S3, juga diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan tinggi lain baik yang menawarkan disiplin ilmu ekonomi maupun ilmu non-ekonomi, dan bahkan oleh sekolah tinggi yang tersendiri (School of Management).
            Tak dapat dipungkiri, bahwa beragam penyelenggara pendidikan ilmu manajemen tersebut lebih menitik-beratkan muatan kurikulum atau silabinya pada sisi fungsional bisnis, seperti kajian di bidang manajemen pemasaran, operasi, keuangan, dan sumber daya manusia. Sedangkan pendidikan ilmu manajemen yang memfokuskan dirinya pada kajian perspektif korporasi boleh dikatakan relatif masih langka, terkecuali hanya satu di pulau Bali yang kini dinakhodai oleh salah seorang praktisi manajemen ternama.
            Untuk negeri seluas Indonesia, dengan keragaman struktur industri berikut skala usaha dan bentuk hukum bisnisnya, hal ini tentu saja agak menyedihkan, dan oleh karenanya kita pun patut menjadi maklum adanya, tatkala kualitas manajerial yang dimiliki manusia Indonesia pun senantiasa dipergunjingkan di ajang pergaulan antarbangsa di dunia.
            Fenomena pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang masih terpaku pada sisi fungsional bisnis seperti itu, mau tak mau berdampak pula memunculkan perilaku para manajer kita yang lebih tertarik berfikir internal dan parsial serta menekankan pada upaya-upaya manajerial yang bersifat taktik-operasional demi kesuksesan mengejar raihan keuntungan bisnis jangka pendek semata. Bahkan lebih parah lagi, mereka pun seringkali mempersepsikan bisnis sebagai bisnis semata tanpa mampu mengaitkan dengan kearifan hidup kemanusiaan yang lebih luas lagi. Selaku para manajer seyogyanya mereka terkait dengan pertanggungjawaban organisasi bisnis terhadap publik sebagai manifestasi akan keberadaan eksistensial diri berikut organisasi bisnisnya dalam menjunjung tinggi kaidah etik-manajerial.  
Suatu petikan menarik adalah contoh di India yang lama  telah memiliki tradisi  bisnis altruistik (Sundar, 2000). Para pelaku bisnis altruistik di India telah menggunakan sebagian besar  keuntungan bisnis mereka untuk tujuan amal seperti membangun tangki air, sekolah, kuil, apotik, pelayanan kesehatan dan klinik atau rumah sakit. Bahkan pengusaha serakah seperti di India Selatan masih  memiliki  tradisi dari ajaran dasar altruistik  (Singer, 1972).  Agaknya ajaran Mahatma Gandhi masih berpengaruh besar pada gagasan  bisnis-altruistik. Salah satu  gagasan Gandhi yang mengilhami bisnis-altruistik adalah tentang perwalian. Sebagaimana banyak diketahui dari sejarah, Gandhi adalah pejuang yang telah mengidentifikasi penyebab kesenjangan sosial  dan pentingnya perjuangan untuk kemerdekaan dari penjajahan Inggris, dengan pemberdayaan perempuan, pengentasan kemiskinan dan orang tertindas lainnya, kerukunan antar umat beragama, dan kemandirian ekonomi bangsa. Gandhi juga mengajarkan kemurnian  dalam cara mencapai tujuan. Di bawah kepemimpinan Gandhi, bisnis-altruistik  tidak hanya diterjemahkan sebagai amal bagi masyarakat miskin, akan tetapi juga prinsip kekayaan perusahaan sebagai amanah, sebagai dasar komitmen sosial dalam melaksanakan kejujuran bisnis secara etik. Masih banyak pengusaha di India yang percaya atau menganut  prinsip-prinsip ajaran altruistik dari Mahatma Gandhi. Sebagaimana difahami secara umum, bahwa altruisme memusatkan perhatian pada pandangan manusia untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sehingga altruisme adalah motivasi manusia yang murni untuk memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Dari studi yang pernah dilakukan oleh Khandwalla,  dari sepuluh gaya manajemen perusahaan di India, salah satu gaya yang senantiasa mempengaruhi para pelaku bisnis  adalah gaya  manajemen altruistik, yang beberapa ide dasarnya menggunakan landasan ajaran dari Mahatma Gandhi. Yang dimaksud dengan perwalian dalam konteks ini adalah bahwa suatu manajemen bisnis menyadari bahwa mereka adalah wali dari kepentingan publik atau masyarakat, termasuk pemilik, pelanggan, dan pekerja. Oleh karena itu, landasan filosofi dan praktek bisnis yang dijalankan lebih dilandasi oleh nilai-nilai kejujuran, semangat pengorbanan, komitmen terhadap kesejahteraan orang lain, dan dedikasi untuk cita-cita sosial yang lebih luas dan mendasar.
Di antara sepuluh gaya manajemen yang banyak dipraktekkan di India, maka  gaya altruistik ternyata menempati peringkat kelima yang paling banyak digunakan oleh perusahaan, dengan mengambil  sampel  sembilan puluh perusahaan yang beroperasi di India. Sedangkan peringkat gaya diatasnya, yakni peringkat keempat adalah gaya konservatif yang lebih menekankan pada sikap kehati-hatian, kompromi, preseden, tradisi, stabilitas dan pertumbuhan yang stabil. Sedangkan gaya profesionalistik, sebagai peringkat ke tiga, lebih menekankan pada pengambilan keputusan berbasis penelitian dan perencanaan  jangka panjang, kecanggihan sistem informasi manajemen (SIM), strategi, dan pengambilan keputusan oleh para profesional. Peringkat kedua menekankan pada gaya organik, yakni pengambilan keputusan yang didasari oleh aliran bebas komunikasi dan interaksi yang luas, penekanan pada kesadaran akan tujuan organisasi secara luas, orientasi pada masalah, rencana bisnis dan prosedur formal. Yang terakhir, yakni peringkat pertama, adalah gaya partisipatif, yang  lebih menekankan pada partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan, konsensus berbasis keputusan atas landasan saling bertukar dan berbagi ide dan informasi, saling percaya, serta menjunjung iklim  kolaborasi dan semangat  kerja tim. Peringkat dibawah gaya altruistik  yang lebih banyak dipraktekkan  adalah  gaya kewirausahaan, gaya otoriter, gaya birokrasi,  gaya  manajemen berorientasi peraturan , dan gaya paternalistik atau kekeluargaan. 
Gaya altruistik  memiliki korelasi yang sangat erat dengan gaya  partisipatif dan gaya birokrasi, dan lebih banyak dipraktekkan  oleh organisasi publik ketimbang organisasi bisnis swasta. Adapun  yang menarik adalah bahwa gaya altruistik ternyata menjadi pendorong utama bagi mekanisme  pembelajaran organisasi dan inovasi. Sebagai contoh adalah  gaya profesional berkorelasi sangat erat (pada tingkat kepercayaan 99 persen) dengan hanya sembilan dari dua puluh tiga indikator mekanisme pembelajaran dan inovasi, sedangkan gaya altruistik berkorelasi sangat erat dengan kedua puluh indikator tersebut. Hal ini boleh jadi bahwa organisasi yang berinvestasi dalam pembelajaran dan inovasi, otomatis terlatih dan terbentuk sikap kejujuran dan kebaikan meskipun beroperasi di lingkungan bisnis yang dikenal korup. Gaya altruistik juga  berkorelasi erat dengan enam dari sepuluh  kriteria  organisasi yang efektif, yakni semangat kerja, dampak sosial yang positif, citra perusahaan, stabilitas kinerja, kekuatan keuangan dan inovasi. Temuan lain menunjukkan bahwa manajemen altruistik  berhubungan juga dengan proses belajar yang produktif,  inovasi,  dan keramahan internal, yang kesemuanya merupakan suatu aset yang sangat penting bagi kesuksesan organisasi dalam lingkungan bisnis yang penuh turbulensi dan kompetitif. Dalam praktek bisnis di lingkungan yang demikian itu, maka  manajemen altruistik dapat dirangsang untuk mengambil jalan lain bagi proses pembelajaran yang cepat dan inovatif agar tetap berada di depan. Altruisme pada perusahaan juga dapat memberikan rasa bermakna  dan adanya peningkatan kualitas hidup bagi para pekerja yang merasa terjebak oleh rutinitas, serta mendesak pekerja untuk memiliki keunggulan kolektif guna meningkatkan kinerja organisasi serta kualitas hidup para pemangku kepentingan organisasi. Mereka juga dapat merasakan hal  yang unik dan bermartabat  di dalam situasi dunia bisnis yang penuh dengan cela dan keserakahan.
            Tentu saja penelitian demikian perlu juga dilakukan di negara kita, sehingga kita tidak serta-merta menjatuhkan vonis negatif pada para pelaku bisnis Indonesia secara apriori. Namun berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, acapkali orientasi manajerial berjangka pendek pada akhirnya meninggalkan jejak keorganisasian yang tidak kontinum. Ada baiknya filosofi  altruistik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama menjadi landasan  dalam membangun kiprah organisasi dalam rentang waktu yang panjang dan relatif abadi. Para ahli manajemen telah mencanangkan konsepsi, bahwa suatu aktivitas kolektif barulah pantas dimaknai sebagai suatu organisasi jika memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
·        Relatively permanent social entities;
·        Characterized by
·        Goal-oriented behavior;
·        Specialization, and
·        Structure.
Agaknya hingga saat ini, di bumi nusantara tercinta, masih belum muncul kesadaran kolektif untuk memilahkan pemahaman antara peran manajemen di strata fungsional dan peran manajemen di strata korporasi, baik dalam organisasi laba maupun nirlaba. Orang hanya melihat bahwa posisi manajerial di tingkat korporasi itu ditafsirkan lebih berkuasa dan cenderung dimaknai identik dengan kepemilikan ketimbang posisi manajerial  ditingkat fungsional yang diberi pembobotan pada keterampilan teknikal, administratif, dan kepemimpinan. Namun jarang diketahui bahwa peranan manajemen korporasi yang paling penting adalah justru dalam membangun dan mengejawantahkan formula-formula kepemimpinan yang memiliki semangat altruistik berikut nafas moralitasnya di lingkungan internal dan eksternal suatu organisasi, agar kelak tidak hanya dihayati pada tingkatan manajemen eselon puncak (CEO) saja akan tetapi beradaptasi pada tingkatan manajemen eselon menengah serta bawah (COO) hingga ke para pekerja pelaksananya. Semangat altruisme di sini dimaksudkan sebagai “a social behavior carried out by an individual or organization to benefit another without anticipation of reward from external sources”. Sedangkan dengan kandungan moralita dimaksud di sini adalah sebagai “the standards that an individual or a group has about what is right and wrong or paradise and evil”.
Kepemimpinan manajemen puncak tanpa dibarengi nuansa altruistik dan etika bisnis yang kental yang sebahagian besar diantara mereka adalah individu-individu yang berpendidikan dan pekerja keras - akan senantiasa mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan mempercanggih kinerja bisninya. Berbagai keluhan kalangan dunia bisnis di Indonesia dewasa ini yang merasa kewalahan menghadapi gejolak buruh, kebingungan membendung serbuan barang impor namun murah, dan juga ketidakmampuan dalam meningkatkan produktivitas sumber daya manusianya, kesemuanya ini paling tidak semakin memperlihatkan pada kita akan adanya suatu tuntutan  perubahan dalam kurikulum atau silabi ilmu pengetahuan manajemen yang muatannya lebih berorientasi pada manajemen korporasi yang holistik sekaligus kontekstual dengan ciri khas lingkungan ke-Indonesiaan yang memiliki nuansa kehidupan kemasyarakatan yang  masih bersifat komunal, agamis, mistis, kekerabatan, etnikal dan bahkan feodal.
      Disadari bahwa, konsepsi pendidikan ilmu pengetahuan manajemen yang selama ini diterapkan lebih bersifat westernize, mengutamakan peran kefungsionalan dalam organisasi (spesialisasi), hedonistik dan egoistik, individual, mengunggulkan keuntungan maksimal jangka pendek, serta berorientasi pada penawaran dan kesejahteraan pemilik modal (capital safety net) yang kesemuanya merupakan hasil warisan pemikiran manajemen di era pasca perang dunia ke-2. Oleh karenanya, sudah saatnya di alam reformasi Indonesia yang disertai krisis multidimensional sekarang ini, perlu segera dilakukan terobosan untuk merubah konsepsi pendidikan ilmu pengetahuan manajemen menjadi berbasis moralistik-altruistik serta berorientasi pada permintaan dan kesejahteraan masyarakat (social safety net), tanpa harus mengabaikan raihan perolehan keuntungan yang proporsional, sejalan dengan pemikiran manajerial kontemporer di era globalisasi abad ke 21 ini, yang mengedepankan isu-isu kritikal seputar HAM,  demokrasi,  dan kelestarian lingkungan hidup.
      Secara komprehensif dapat kiranya diulas suatu runtutan berfikir holistik yang menghantar terbentuknya ilmu pengetahuan manajemen berbasis altruistik. Dalam paparan ini, adalah menarik untuk menyimak pernyataan dari Dr. Danah Zohar (Maria Hartiningsih, Menghidupi Modal Spiritual, Kompas, 30 Juni 2006) yang dikenal sebagai seorang pakar fisikawan serta meraih doktor di bidang filsafat, agama, dan psikologi lulusan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, dan juga selaku penulis buku Spiritual Capital: Wealth We Can Live By, The Quantum Self, dan The Quantum Society- yang menyatakan antara lain:
·        Keberhasilan pemimpin sering diukur hanya dari keuntungan material yang di peroleh selama masa kepemimpinannya. Keberhasilan bisnis juga dinilai hanya dari ekspansi, pendapatan, dan kemampuan untuk menguasai pihak lain. Orientasinya sesaat dan bertujuan jangka pendek. Kepentingan yang melandasinya bersifat sempit dan dangkal;
·        Obsesi pada pencapaian material adalah sangat berbahaya. Apalagi demi pencapaian material itu, kesejahteraan pekerja atau buruh harus dikorbankan. Praktik ini antara lain dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, kemiskinan, penyakit, jurang kesenjangan sosial serta berbagai dampak serius lainnya, termasuk keresahan sosial, ketiadaan kesetiaan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial, menguatnya pandangan membedakan orang lain, dan munculnya kelompok eksklusif berdasarkan etnis, agama, dan golongan; dan
·        Karena yang dikejar material belaka, maka kehendak untuk menjaga, merawat, berbagi, dan melayani sesama manusia juga semakin menipis. Begitu pula korupsi akan merajalela karena mereka tak punya rasa memiliki bersalah mencuri hak milik banyak orang.
Jika para pelaku dunia pendidikan dan para praktisi manajemen tidak mau merubah orientasi mereka, maka bisa diprediksikan bahwa akan semakin banyak organisasi atau perusahaan anak bangsa yang kolaps, tereduksi, dan bahkan lenyap ditelan kecepatan perubahan atau dinamika lingkungan. Dari sudut pandang yang jeli, kita pun patut menyadari, bahwa dibalik kesuksesan kiprah para manajer perusahaan berskala besar nasional dan multinasional (MNE’s), sesungguhnya terkandung pula semangat altruisme yang menggumpal, tentunya“versi mereka”, yang telah melahirkan produktivitas, talenta, dan kreativitas tanpa batas dalam menorehkan sejarah manuver organisasi mereka yang unggul, ekspansif, dan bergenerasi.
            Adalah merupakan tantangan zaman bagi para teoritisi dunia pendidikan tinggi maupun para praktisi dunia bisnis di bumi nusantara tercinta, untuk saling bekerja sama merumuskan secara komprehensif suatu paket kurikulum pendidikan ilmu pengetahuan manajemen berbasis altruisme  “versi Indonesia” yang memiliki muatan berimbang antara sisi korporasi dan fungsionalnya. ***
                                                                                                                                      Jakarta, 19 Desember 2012
                                                                                                                                                         Faisal Afiff

0 komentar:

Posting Komentar